HIM

By dhiardia

108K 6.2K 781

Bila rasa terucap, bolehkah aku memiliki? Copyright 2016 © by dhizayniegirl // All Right Reserved. More

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
34
35
36
37
38
Dari Eza Untuk Naya
HIM LANJUT/UDAHAN?
HER [ sequel of HIM ]
cerita baruku : Aiden

33

1.5K 110 8
By dhiardia


Aku mengerjapkan mataku berkali-kali, takut kalau ini bukan hanya sekedar mimpi.

Aku tahu ini aneh, tapi perasaanku setiap kali melihat Revan pasti selalu diselimuti banyak rasa; rasa bersalahku telah menolaknya tanpa alasan yang cukup jelas, rasa mengagumiku padanya sejak tahun lalu, rasa itu tak hilang ketika mataku bertemu dengan mata Revan.

Mata itu melembut, bahkan selalu begitu setiap kali aku menatap matanya. Ia tersenyum. Dan aku hanya bisa terpaku menatapnya, ku usahakan untuk tersenyum dan faktanya itu terlihat sangat canggung.

"Hei, Van." sapa Eza mendahulukanku.

Sedangkan aku hanya bisa berdiri di sampinya, memegang cup es krim dan tersenyum seperti orang bego.

"Kalian, apa kabar?" tanya Revan.

Aku melirik Eza, menunggunya untuk menjawab. Karena sejujurnya aku seperti orang yang diam membisu.

"Baik, lo sendiri?"

Revan senyum tipis. "Baik-baik. Beres ujian praktek?"

Revan mengalihkan pandangannya pada kostum kami yang sedikit berantakan. Eza melirikku, mengisyaratkan kali ini bagianku berbicara.

"Ehm..., iya." jawabku.

Perlu beberapa menit untukku melupakan tatapan mata Revan waktu pada malam ia menyatakan perasaannya padaku.

Tatapan memohonnya, bahwa ia tak pernah main-main. Tatapan itu selalu mengingatkanku pada malam itu, malam dimana aku merasa tak berdaya. Revan ada, saat itu ia ada dan menyatakan semuanya. Aku merasa hatiku seperti di timpuk batu besar.

Sialan, kenapa aku baru merasakan penyesalan itu sekarang?

Eza dan Revan asik mengobrol kesana-kemari sedangkan aku masih pura-pura seperti baik-baik saja. Meskipun pada nyatanya aku ingin pergi dari hadapan mereka, termasuk aku ingin pergi dari hadapan Eza. Aku yakin Eza tahu sikapku yang berubah, detik ini aku merasa pusing. Pusing yang aku sendiri tak pernah bisa menjelaskannya.

Aku menyalahkan semuanya pada diriku sendiri. Untuk apa aku mengagumi Revan kalau ujung-ujungnya aku menolak hanya karena aku merasa lebih menyukai Eza? Sedangkan yang aku tahu Eza tak akan pernah menyukaiku, dia hanya sebatas sahabatku. Hanya itu.

Aku terlalu bodoh pada malam itu.

Aku memilih memberanikan diriku untuk pergi dari hadapan mereka, bergegas ke aula mengambil tasku sementara Eza hanya bisa memperhatikanku dengan tatapan penuh tanda tanya. Aku cepat-cepat keluar aula dan sayangnya aku malah bertemu Eza di gerbang.

Ia berdiri di hadapanku. Tatapan matanya begitu menenangkan. Tapi bukan tatapan itu yang aku butuhkan, aku tetap ingin punya waktu sendiri, hanya itu yang ku inginkan.

"Kamu nggak apa-apa?"

Aku menggeleng pelan, mengulaskan senyumanku.

"Kamu tadi kenapa per--"

Aku nemotongnya. "Nggak pa-pa Za. Aku pengen pulang aja, lagian tadi kalian berdua kan lagi ngobrol, nah aku nggak--"

Eza menggeleng dan langsung memotong pembicaraanku.

"Karena ada Revan, kamu pergi?" tanyanya dalam satu tarikan napas.

Aku diam.

Dadaku terasa ingin meledak. Pertanyaan macam apa yang bisa membuatku seperti ini?

"Revan?" aku pura-pura terkekeh. "Apa masalahnya sama dia? Aku cuma mau pulang Za."

Eza menatapku, tanpa merasa lelah untuk terus mencari kebenaran dalam mataku. Aku mengalihkan pandanganku darinya.

Aku nggak mau Eza tahu aku menyukainya, aku juga nggak mau Eza tahu kalau aku merasa bersalah pada Revan, aku nggak mau Eza tahu kalau aku... aku terlalu membenci memendam perasaanku untuknya sedangkan tepat di depan mataku ada seseorang yang benar-benar menyanyangiku seperti Revan, bahkan tatapaan mata Revan selalu meyakinkanku.

Aku benci fakta bahwa Eza tak pernah menyukaiku dan aku terlalu menyukainya. Fakta bahwa aku dengan bodohnya  terlalu menyukai Eza dan menolak Revan tanpa alasan yang jelas--melukainya lebih tepatnya.

Aku benci semua fakta itu.

Dan akan selalu aku tekankan kalimat itu.

"Aku tau kamu suka sama Revan, kamu nggak mau kan buat dia sakit karena kamu nggak bisa terima dia?" Eza menarik napas. "Karena kamu terlanjur suka sama cowok lain, yang sayangnya aku sendiri nggak tau siapa cowok itu, iya kan?"

Aku menggebu. "Kamu nggak akan pernah tau siapa cowoknya, Za."

"Kenapa? Cowok itu brengsek?"

Aku menahan air mataku, perasaanku membeludak.

Aku menarik napas panjang untuk memberanikan diriku.

"Cowok itu nggak akan pernah tau, Za. Dia... dia punya trauma sama cinta pertamanya dulu. Aku... aku tau dia nggak mungkin bisa percaya lagi kalau aku selalu ada buat dia, sekalipun aku sama dia sahabat."

Tanpa sadar aku meneteskan air mataku.

"Cowok itu orang yang mengenal diri kamu jauh lebih baik di bandingkan aku, Za."

Eza menatapku tak percaya. Aku nggak yakin dia mengerti apa maksudku. Yang aku tahu aku selalu membenci kejujuran yang hadir tanpa aku sadari keluar dari mulutku.

"Maksud kamu? Orang itu kenal aku?" tanya Eza. Tatapannya menatapku kebingungan.

"Nggak penting Za, mau orang itu kenal atau enggak, kamu nggak akan pernah tau." kataku. "Aku pulang dulu ya." pamitku.

Eza menahan tanganku, tangannya yang kokoh mengenggam erat. Ia menatapku, dengan penuh harapan agar aku bisa menceritakan segalanya.

"Nay," panggilnya, aku menunggu ucapannya ketika dia mengumpulkan kekuatannya untuk menatap mataku lagi.

Aku menatap mata cokelatnya, mata yang selalu aku harapkan bisa selalu menatapku seperti biasanya bukan tatapan yang melihatkanku bahwa ia sedang rapuh.

"Aku jatuh cinta sama seseorang." katanya pelan.

Deg.

Dentuman dalam dadaku menggebu.

Air mataku semakin menggenang, namun belum keluar sepenuhnya dari kantung mataku. Siap ataupun tidak, aku harus menerima pilihan Eza, lagi pula aku bukan siapa-siapanya.

"Tapi aku tau cewek itu bukan untuk aku."

"Kenapa?" tanyaku.

"Dia suka sama cowok lain, dan aku nggak bisa berbuat apapun."

Setiap kalimat yang Eza keluarkan membuat dadaku terasa semakin sakit. Aku masih menatap matanya, berharap aku bisa membuatnya tersenyum dan mengingatkan padanya kalau cewek yang membuatnya jatuh cinta itu tak pantas menyakitinya seperti ini.

Kenapa aku tahu Eza tersakiti? Karena aku bisa melihat kilatan itu dari matanya.

Eza menatapku. "Karena dia, aku berusaha buka hati aku setelah kejadian Tata itu. Aku berusaha buat ngerasain harapan dan kebahagian setiap sama dia, kalau kamu tau seberapa pentingnya dia buat aku, kamu bisa liat sendiri dari mata aku."

Aku menatap matanya, tak ada kebohongan sama sekali. Aku tahu Eza begitu menyukai perempuan itu.

"Za," gumamku. Eza melihatku lirih.

"Suatu saat nanti. Cewek itu, pasti tau ketulusan cinta kamu."

Aku meraih tangan Eza, memegangnya erat. Aku mengulas senyumanku, dan Eza ikut tersenyum.

"Aku seneng bisa jadi orang yang kamu percaya buat cerita tentang perasan kamu setelah yang dulu itu, makasih juga selalu jadi orang pertama yang tau perasaan aku Za." kataku, tanpa berani melihat matanya.

Ia tersenyum, ada suara tawanya terdengar yang membuatku mendongak melihatnya.

"Kamu aku anter pulang ya?" senyumannya begitu tulus, tangannya masih dalam genggamanku.

"Kalau aku nolak gimana?" jawabku.

"Kamu pulang sama Revan? Atau sama cowok yang kamu suka itu?" celetuknya.

Aku menahan tawa.

Justru cowok yang aku suka itu baru aja ngajakin pulang bareng.

"Kamu kenapa nggak pulang bareng sama cewek yang kamu suka?" aku berbalik tanya.

Eza menggeleng sebal.

"Kebiasaan pasti nanya balik." pandangannya beralih ke arah lain lalu kembali melirikku.

"Cewek yang aku suka kayaknya udah ada janji sama cowoknya." bisiknya.

Aku senyum, meskipun sejujurnya merasakan kepedihan yang Eza rasakan.

"Baguslah, kita sama-sama menyedihkan."

Eza dan aku tertawa.

"Jadi?" tanyanya.

"Jadi apanya?"

"Pulang bareng yuk?"

Dengan senyuman manisnya, aku tak akan pernah bisa menolak tawaran itu dan senyuman yang selalu membuatku merasa bahagia akan selalu membujukku untuk mengatakan 'iya'.

Iya Za, aku mau.

※※※

Note: Nggak tau deh kenapa Eza sama Naya baper banget di part ini. Yang penting kalian suka deh sama alurnya (meskipun sejujurnya aku nggak yakin). Sampai ketemu di part selanjutnya!

Published on April 22nd 2017.
By Dhia Ardia.

Continue Reading

You'll Also Like

12M 747K 56
Sejak orang tuanya meninggal, Asya hanya tinggal berdua bersama Alga, kakak tirinya. Asya selalu di manja sejak kecil, Asya harus mendapat pelukan se...
3.4M 276K 47
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...
15.5M 874K 28
- Devinisi jagain jodoh sendiri - "Gue kira jagain bocil biasa, eh ternyata jagain jodoh sendiri. Ternyata gini rasanya jagain jodoh sendiri, seru ju...
GEOGRA By Ice

Teen Fiction

1.6M 66K 56
Pertemuan yang tidak disengaja karena berniat menolong seorang pemuda yang terjatuh dari motor malah membuat hidup Zeyra menjadi semakin rumit. Berha...