Mocca Hallow

By MelindaAdelia

291K 22.8K 2.4K

[15+] Pada hari yang menyenangkan sekaligus hari ulang tahun, bagaimana jika hari istimewa itu menjadikan seb... More

Prolog
Chapter 1 : Labu
Chapter 2 : Gerbang
Chapter 3 : Kasur
Chapter 4 : Kamar
Chapter 5 : Pakaian
Chapter 6 : Langit
Chapter 7 : Dapur
Chapter 8 : Es Krim
Chapter 9 : Tangga
Chapter 10 : Tidur
Chapter 11 : Jawab
Chapter 12 : Makan
Chapter 13 : Malu
Chapter 14 : Diam
Chapter 15 : Teman
Chapter 16 : Kelas
Chapter 17 : Violet
Chapter 18 : Egois
Chapter 19 : Perpustakaan
Chapter 20 : Reaksi
Chapter 21 : Lixadian
Chapter 22 : Maaf
Chapter 23 : Surat
Chapter 24 : Hukuman
Chapter 25 : Kue
Chapter 26 : Kesal
Chapter 27 : Vampir
Chapter 28 : Sisi
Chapter 29 : Pasir
Chapter 30 : Jahat
Chapter 31 : Lezat
Chapter 32 : Harapan
Chapter 33 : Bukan
Chapter 34 : Kembali
Chapter 35 : Cokelat (1)
Chapter 36 : Cokelat (2)
Chapter 37 : Cokelat (3)
Chapter 39 : Lucu
Chapter 40 : Kenapa
Chapter 41 : Alunan
Chapter 42 : Kejutan
Chapter 43 : Gagal
Chapter 44 : Hadiah
Chapter 45 : Phrygian
Chapter 46 : Malam
Chapter 47 : Merah
Chapter 48 : Dingin
Chapter 49 : Api
Chapter 50 : Kuasa
Chapter 51 : Pengikut
Chapter 53 : Cinta
Chapter 52 : Terakhir
Chapter 54 : Salah
Chapter 55 : Jangan
Chapter 56 : Damai
Chapter 57 : Debat (1)
Chapter 58 : Debat (2)
Epilog
CERITA BARU

Chapter 38 : Sakit

3K 260 15
By MelindaAdelia

Mocca's PoV

Pagi harinya, aku dan Hallow harus tetap bangun lebih awal, karena sekolah mengajarkan kita untuk tidak bangun kesiangan, walaupun tidur tengah malam membuat Hella dan Reo sampai membangunkan kami berdua, karena kata mereka kami susah sekali dibangunkan.

Bergegas aku dan Hallow bersiap-siap. Ai dan Lof telah menyiapkan sarapan. Reo, Beethov, dan Greethov sudah bersiap untuk ke sekolah dengan tugas mereka mengawal Hallow dan aku di sekolah.

Saat sedang mengenakan kemeja dan mengancing kancing baju, aku merasa mendengar pintu ruang pakaian istana dibuka. Ruangan yang biasa digunakan untukku mengganti pakaian dengan bantuan Colla. Tapi aku menyuruh Colla tidak membantuku berpakaian lagi. Aku bisa berpakaian sendiri.

Aku menyuruhnya menunggu di luar dan aku pikir yang membuka pintu adalah Colla.

“Colla, aku belum selesai memakai seragamku. Kau tunggu di luar saja, aku bisa melakukan ini sendiri. Bukankah aku sudah bilang itu?” kataku yang aku duga yang masuk ke dalam adalah Colla.

Hening.

Tidak ada balasan.

Aku ingin bersuara lagi, namun kedua lengan yang mengitari pinggangku ini telah membuatku berubah pikiran kalau yang masuk ke dalam adalah ...

“HALLOW! KELUAR DARI SINI SEKARANG JUGA!!!”

Pantulan di depan cermin berukuran setengah badan dari ujung kepala sampai pinggang, menggambarkan diriku tidak sendirian. Di belakangku, ada makhluk wajah tanpa dosa tengah memelukku dari belakang. Tidak tahukah dia kalau aku ... MASIH BELUM MEMAKAI ROK???

Malu? YAIYALAH!

Belum memakai rok dan hanya memakai kemeja, lalu ada Hallow tepat di belakangku sedang memelukku, di mana lagi aku menyembunyikan wajahku??

“Mocca wangi.”

“Hallow! Aku belum selesai berpakaian! Malu, Hallow! Malu!!”

Tetap saja dia tidak melepaskanku. Ada apa dengan anak ini? Tidak biasanya dia masuk ke sini dan memelukku. Pasti ada maunya.

Aku ingin melepaskan diri dan berpaling menghadapnya, tapi mengingat diriku belum memakai rok dan kalau aku sampai melihat berhadapan dengannya ... Tidak. Dia tidak boleh melihat penampilanku sekarang.

“Kita harus bergegas, Hallow. Kita bisa telat ke sekolah jika tidak bergerak lebih cepat. Lepaskan aku dan keluar dari sini. Jangan lihat ke bawah karena aku belum memakai rok,” kataku berusaha tidak gugup mengatakan hal tadi. Untunglah berhasil.

“Moccaaa.”

Seperti itu saja balasan dari Hallow. Nada yang terdengar malas dan manja. Kedua tangannya masih mengitari pinggangku. Aku menghela napas kecil.

“Ya, Hallow? Ada yang kau inginkan? Kalau bisa nanti saja. Kita harus ke sekolah.”

“Hallow tidak mau sarapan.”

Hah?

Kenapa Hallow tidak mau sarapan? Apa selera makannya terganggu lagi? Tapi, Hallow selalu meminum obat multivitamin yang aku berikan padanya dengan rutin. Selera makannya pun membaik berkat obat dariku. Lalu, kenapa sekarang dia tidak ingin sarapan?

“Kenapa tidak mau sarapan? Selera makanmu selama ini baik-baik saja. Tapi, kenapa sekarang kau berkata tidak mau sarapan padaku? Kau tidak akan aku izinkan tidak sarapan bagaimana dan sebanyak apapun kau merayuku. Sarapan itu penting, Hallow. Jangan meremehkan sarapan. Sudah berapa ratus kali aku bilang ini padamu. Hhhh.”

Hallow mempererat pelukannya.

“Aku mohon. Pagi ini saja, aku tidak mau makan.”

Untuk yang kesekian kalinya aku menghela napas.

“Baiklah, tapi aku harus tahu alasan kau tidak mau sarapan.”

Diam. Tidak ada jawaban. Keheningan ini membuatku ingin berpaling menghadapnya. Namun mengingat keadaanku sekarang, aku hanya bisa menepuk tangannya. Mataku mengerjap.

“Hallow, suhu tanganmu tidak biasanya. Ini terlalu hangat. Kau baik-baik saja, kan?” tanyaku seraya memegang tangan Hallow kembali.

Hangat. Tapi, hangat yang tidak biasa. Seperti suhu orang yang sedang demam. Aku harap Hallow tidak apa-apa.

“Baik,” jawab Hallow singkat.

“Oke, kau boleh tidak sarapan. Tapi hanya hari ini. Sekarang, kau bisa keluar dari sini,” suruhku untuk yang kesekian kalinya aku menyuruh Hallow keluar.

Hallow melonggarkan pelukannya. Lepas seutuhnya dari kedua tangannya dan mendengar langkah sepatunya yang menjauh tidak terdengar lagi, pertanda dia sudah keluar dari sini.

Kepalaku menggeleng karena tingkah laku aneh Hallow. Dia ke sini hanya ingin mengatakan dia tidak mau sarapan? Ya ampun.

* * *

Huh. Masih sempat.

Sudah bel masuk, namun guru yang mengajar belum datang ke kelas. Suasana kelas yang berisik oleh bertabrakannya obrolan yang satu dengan yang lain. Seperti itulah ciri khas kelas jika tidak ada guru.

Tampak seorang gadis berkepang dua melambaikan tangannya pada kami yang baru datang. Aku lihat Reo sangat bersemangat membalas lambaian gadis itu lalu duduk di sampingnya. Mereka memang sebangku. Itu Violet.

Aku dan Hallow juga ikut duduk di kursi kami. Mataku melirik ke belakang Violet dan Reo. Ada Belza dan Jeky sedang duduk tenang di sana. Belza melihatku dan melambaikan tangannya. Aku pun balas melambai.

Guru pengajar masuk ke dalam kelas, menimbulkan suasana kelas yang awalnya seperti pasar telah menjadi seperti kuburan. Hening.

Sembari mencatat apa yang disampaikan guru itu di papan tulis, aku melirik Hallow di sampingku yang juga sedang mencatat.

Hallow ... mendadak pendiam. Ada apa dengannya?

* * *

“Hallow, kau ikut kami ke kantin, kan?” tanyaku kepada Hallow.

Jam istirahat membuat berakhirnya pelajaran Sejarah. Setelah istirahat, pelajaran selanjutnya adalah Sihir. Sebagian besar pelajaran Sihir berbentuk materi dan tidak ada praktik.

Hallow menggeleng.

“Aku belum lapar,” jawab Hallow beralasan, lalu beralih melihat ketiga lelaki di sampingku. “Kau saja dan yang lain ke kantin. Reo, Beethov, Greethov, jaga Mocca.”

Reo, Beethov, dan Greethov mengangguk hampir bersamaan, pertanda siap melaksanakan perintah dari rajanya.

“Hallow, kau tidak ikut ke kantin, tapi aku akan membelikanmu makanan. Kau harus makan. Tadi pagi kau tidak sarapan.”

“Tapi, Mocca, aku tidak lapar.”

“Bodo amat, pokoknya harus makan!”

Aku melangkah cepat mendahului ketiga lelaki yang berjalan di belakangku. Secepat yang aku bisa, aku meraih kantin untuk membeli makanan dan minuman untukku dan Hallow.

Sepertinya aku sedikit telat ke kantin, karena makanan yang tersisa hanya bakso dan nasi goreng. Reo membeli beberapa bungkus roti. Beethov dan Greethov membeli bakso. Mereka berdua duduk di meja yang mereka temukan kosong.

Aku membeli nasi goreng dalam bentuk bungkus, karena aku akan makan di kelas dengan Hallow. Minumannya dua botol air mineral dibawa dengan bantuan tangan Reo.

Sebelum meninggalkan Beethov dan Greethov yang tengah makan, aku dan Reo pamit duluan ke kelas. Mereka membalas dengan anggukkan karena mulut mereka penuh dengan bakso. Sepertinya mereka kelaparan.

Sampainya di kelas, aku langsung menghampiri mejaku. Meletakkan makanan dan Reo meletakkan minumanku di atas mejaku. Hallow menoleh saat aku menyodorkan sebungkus nasi goreng dan sebotol air mineral untuknya ke mejanya.

Hallow tidak melihat ke makanannya. Dia terus melihat gerak-gerikku sampai diriku pun menoleh padanya. Aku bingung ada apa dengan Hallow? Seharian ini dia tidak banyak bicara dan tidak mau makan.

“Hallow,” panggilku.

Hallow menjawab panggilkanku dengan tatapan bertanya.

“Makan,” suruhku sambil menunjuk makanan yang aku berikan padanya.

Hallow menggeleng. Aku menghela napas.

“Perlu aku suapkan, ya?”

Aku mulai khawatir dengan Hallow. Tidak banyak bicara dan tidak mau makan, membuatku takut apa alasan dia jadi seperti ini. Aku harus buat dia menjelaskan kenapa dia tidak mau makan. Aku yakin selera makannya baik-baik saja.

“Hallow, ada apa? Kau bisa katakan padaku masalahmu. Ada rasa sakit di dalam tubuhmu sehingga kau tidak mau makan? Atau, selera makanmu kembali memburuk?” bujukku berusaha selembut mungkin agar dia memberitahukan sesuatu.

Kami saling menatap dalam diam. Menunggu balasan dari Hallow. Lama sekali diamnya. Aku sampai kesal.

“Hallow, aku serius. Katakan saja apa masalahmu?” tanyaku lagi dengan nada yang kembali tegas.

Hallow menjawab dengan gelengan. Lagi-lagi gelengan. Tapi, tiba-tiba saja dia membungkam mulutnya sendiri dengan tangannya. Lalu tangan yang satunya memegang perut.

Tidak memegang tangannya. Kali ini aku menempelkan telapak tanganku ke jidatnya. Lantas tidak lama aku melepaskan sentuhan tanganku. Mataku menatap tajam.

“Kau bohong padaku. Kau tidak sedang baik-baik saja! Suhumu terlalu hangat! Kau demam! Kalau aku tahu kau sakit, sebaiknya kau tidak ikut sekolah dan istirahat saja! Dasar bego!!”

Kali ini Hallow membungkam mulutnya dengan kedua tangan. Matanya tampak berkaca-kaca. Secepatnya aku mengajak Hallow keluar dari kelas menuju wastafel terdekat.

Sampainya di wastafel di dekat ruang laboratorium, aku menyuruh Hallow menundukkan kepala tepat di wastafel tersebut.

Hallow pun mengeluarkan semua isi di dalam perutnya yang dia rasakan mual. Mencoba membantunya, aku mengelus punggungnya berkali-kali setiap dia muntah.

“Sudah?” tanyaku mendengar tidak ada suara lagi pada Hallow.

Hallow mengangkat kepalanya yang menunduk. Dengan cepat membuka keran air wastafel untuk menghilangkan jejak. Dia masih membungkam mulutnya dengan tangan. Sepertinya rasa mualnya masih ada.

“Masih mual, ya?” tanyaku dan dengan cepat dibalas Hallow dengan anggukkan.

Sebab Hallow mendadak pendiam dan tidak mau makan, kini sudah terpecahkan.

“Baiklah, sepanjang pelajaran kau tidak usah ikut. Aku akan bilang ke Bu Yerlin kalau kau sedang sakit. Aku antar kau ke ruang kesehatan. Lebih baik kau banyak-banyak istirahat.”

Yerlin Ederleiyn. Guru Sihir kelas 2-3 yang terkenal ramah dan jarang marah. Kalau disuruh memilih, guru yang paling disenangi diantara semuanya adalah Bu Yerlin.

Hallow menggeleng kuat. Gelengan lagi. Berkat rasa mualnya, dia tidak sanggup berbicara banyak.

“Kalau begitu kau pulang saja. Reo yang akan mengantarkanmu.”

Bagus! Jawabannya adalah menggelengkan kepala lagi. Kekesalanku meningkat.

“Kau harus pilih, Hallow! Istirahat di istana atau di ruang kesehatan??”

* * *

Meskipun aku katakan Bu Yerlin itu adalah guru yang paling disenangi, disitulah suasana ribut mudah diciptakan. Bu Yerlin yang berhati lembut dan tidak gampang marah, membuat semua murid bisa menguasai kelas.

Sebelumnya, Reo bertanya kepadaku di mana Hallow. Sekarang, dia berada di ruang kesehatan, sedang beristirahat di sana. Aku hanya memberikan Hallow kain basah untuk dahinya dan membaringkannya di kasur tipis. Dia menyuruhku untuk tetap di sampingnya, namun aku harus masuk pelajaran Sihir, meskipun aku tidak mempunyai sihir biasa, setidaknya materinya bermanfaat untuk ujian nanti.

Aku pun berharap pelajaran cepat-cepat selesai dan pulang. Hallow harus minum obat. Itulah yang ada dipikiranku sekarang. Sebagian juga aku memperhatikan Bu Yerlin menerangkan pelajaran.

“Jeky Phrygian, kau paham dengan sihir yang saya jelaskan, kan? Kenapa kau terus mengganggu teman sebangkumu? Ayo maju ke sini.” Suara Bu Yerlin yang tegas namun terdengar lembut, membuatku dan yang lain memalingkan kepala ke belakang, di mana Jeky duduk sebangku dengan Belza.

“Tentu saja saya paham. Mudah, kok!” jawab Jeky santai. “Maju? Buat apa maju, Bu?”

“Lihat saja nanti. Pokoknya maju dulu ke sini,” suruh Bu Yerlin lagi.

Jeky mengangguk. Dia maju ke depan kelas, berdiri di sana. Tangannya melambaikan tangan ke arah kami. Sebagian perempuan membalas lambaian Jeky dengan gemas, walaupun aku tahu Jeky hanya melambaikan tangan untuk Belza. Aku lihat Belza terus menertawakan Jeky, namun dia bisa menahan tawanya.

“Nah, Jeky, Ibu mau tanya apa kau punya sihir biasa?” tanya Bu Yerlin.

Sepertinya Bu Yerlin ingin melihat sihir Jeky. Jeky memang sering memain-mainkan sihirnya. Seperti melayangkan sendok, meja, dan benda-benda lainnya.

“Punya,” jawab Jeky.

“Nah, kalau punya, artinya kau bisa membekukan air ini?”

Bu Yerlin mengeluarkan segelas air dari mejanya. Meletakkan gelas itu di meja depan milik seorang murid perempuan. Murid itu tampak tidak keberatan. Tentu saja, dia terus memperhatikan Jeky yang kini berkacak pinggang.

“Mungkin saya bisa. Tapi, membekukan air ini?” Jari Jeky menunjuk tepat di gelas itu. “Baik. Akan saya coba. Mantranya?”

Bu Yerlin tersenyum. “Bukankah sudah saya jelaskan? Membekukan air dengan sihir tidak memerlukan mantra. Cukup gunakan sihirmu dan pikiranmu.”

Jeky melongo mendengar penjelasan singkat dari Bu Yerlin. Sementara murid lain yang melihat Jeky hanya bisa menahan tawa. Aku juga ikut menahan tawa. Ekspresi Jeky jika sedang linglung memang terlihat lucu.

Bu Yerlin menggelengkan kepalanya melihat tingkah laku Jeky. Sudah jelas Jeky sama sekali tidak memperhatikan penjelasannya. Seperti Hallow, otaknya sudah dipenuhi oleh buku-buku pelajaran yang lebih tebal dibandingkan buku yang ada di perpustakaan sekolah. Tapi, Jeky malah tidak mengerti pelajaran Sihir yang satu ini. Kalau aku punya sihir khusus bernama sihir es, pasti aku ingin mengajukan diri ke depan sana, membekukan air itu dalam sekejap.

“Coba dulu,” suruh Bu Yerlin untuk yang kesekian kalinya seraya menepuk pundak Jeky untuk sadar dari kebingungan.

Jeky mengangguk cepat. Dia mendekat ke gelas berisi air tersebut. Dia mengangkat tangan tepat di di atas gelas. Membuka tangannya lalu memejamkan mata. Hening seketika. Jeky sedang berkonsentrasi.

Hampir 5 menit, tidak ada yang terjadi dengan air itu. Sihir biasa Jeky tidak berhasil membuat air itu beku. Jeky membuka mata dan menggaruk kepalanya yang mungkin tidak gatal. Dia juga bingung kenapa sihirnya tidak bekerja.

Jeky menggelengkan kepalanya ke arah Bu Yerlin.

“Saya tidak bisa, Bu. Saya sudah mempraktikkan apa yang Anda katakan. Hasilnya, airnya tetap cair,” kata Jeky kembali berkacak pinggang.

“Baiklah. Jangan duduk. Kau tetap berdiri di dekat Ibu.”

Hampir dua langkah Jeky berlenggang pergi menuju kursinya. Jeky menghela napas. Aku tahu dia berusaha sabar dan menepis rasa bosannya. Dia melangkah mundur satu kali tepat berhenti di samping Bu Yerlin.

“Violet, kau mau coba?” Bu Yerlin menunjuk nama Violet Odoreta di buku absennya.

Violet beranjak dari kursinya. Maju ke depan kelas dan langsung mengarahkan tangan kanannya di depan gelas. Tidak ada basa-basi yang dilontarkan. Semua hening kembali dan semua pasang mata fokus ke Violet.

Dan ...

Tiba-tiba saja suhu ruang kelas terasa dingin, sedingin lemari es—kira-kira.

Aku meniup-niup kedua telapak tanganku dan menggosokkannya untuk mencari kehangatan. Kembali melihat ke depan kelas, rupanya air di dalam gelas itu ... telah menjadi es.

Yang lain juga tercengang hebat melihat air itu telah menjadi es dalam waktu yang singkat. Satu orang bertepuk tangan untuk Violet, lalu dua orang, tiga, dan sampai semua orang termasuk aku.

Aku tidak yakin. Sihir biasa? Setahuku dari buku sihirku, sihir biasa tidak mudah digunakan dalam mengubah suatu zat ke zat lain. Bukannya tidak mudah, tetapi susah bahkan 1% berhasil. Hanya beberapa penyihir hebat saja yang bisa melakukan itu.

Berarti, sihir khusus?

* * *

BRUK!!

Diriku terhempas cukup keras ke dinding dingin salah satu koridor sepi, di mana aku memilih jalan pintas menuju ruang kesehatan.

Reo pergi bersama Violet menuju ruang musik. Sedangkan Beethov dan Greethov menuju ruang latihan basket, di mana mereka akan memulai hari pertama di ekskul basket. Artinya, mereka memilih ekskul basket.

Greyina membuang tasku jauh dariku. Serta menyeretku dengan entengnya menuju dinding yang membuat tulang belakang dan kepalaku terbentur. Aku rasa tulangku baik-baik saja. Hanya saja, yang tidak baik adalah mereka yang memperlakukanku secara kasar. Aku masih tidak mengerti. Kenapa mereka repot-repot melakukan ini padaku? Apa mereka tidak lelah?

“Manusia, kau beruntung, ya, didekati banyak cowok tampan di sekolah ini! Aku iri, lho! Gimana caranya biar bisa didekati banyak cowok tampan? Mantra apa yang kau berikan pada mereka?” Serta mencengkeram bahuku.

Aku diam tidak menjawab. Ringisan kecil tercipta saat Serta mencengkeram bahuku yang tak bersalah.

“Hei, tumben tidak dengan Reo, Beethov, Greethov, dan Hallow. Apa mereka tidak tertarik denganmu lagi? Eh, tapi aku perhatikan sih, kau sangat dekat dengan Hallow dibandingkan cowok tampan yang lain. Kok rasanya aku semakin kesal denganmu, ya?” Greyina memegang keras kedua pipiku, seolah-olah ingin menghancurkan wajahku.

Mereka belum tahu kalau aku punya sihir khusus. Kalau mereka tahu, apa mereka akan berhenti menggangguku? Meski aku katakan sekarang, mereka tidak akan percaya. Mereka akan semakin menyiksaku lebih dari mendorongku ke dinding.

“Kau dapat pelajaran tambahan dari kami sebelum kau pulang ke rumah.” Serta mengepalkan tangan kanannya.

BUGH!

Kepalan tangan itu mendarat dengan indahnya ke tengah perutku. Rasa sakit ini kembali aku rasakan setelah beberapa minggu lamanya tidak bertemu dengan mereka, karena Hallow dan Reo selalu menjagaku dari bahaya yang kapan saja mengancamku. Aku berusaha menjaga diriku sendiri, namun sepertinya aku harus merasakan rasa sakit di beberapa bagian tubuhku lagi, seperti dulu sebelum aku bertemu dengan Hallow.

Greyina menahan kedua tanganku di belakangku. Sementara Serta bertugas menghajarku sampai babak belur.

BUGH!

Tunggu saja, Hallow. Aku akan ke ruang kesehatan dan mengobatimu dengan obat yang kubuat. Sebentar lagi, ini akan berakhir.

Sial, perutku serasa hancur.

BUGH!!

🎃 TO BE CONTINUE ...

Continue Reading

You'll Also Like

23.9K 922 12
Kelanjutan UNPAID Season 1 Masih dengan karakter yang sama bersama beberapa tokoh baru dan akan banyak kejutan didalamnya. ☑️ tanda chapter yang suda...
2.1K 257 18
"Haha Cantik" __________________________ "He not crazy!!berhenti panggil dia orang gila!!"Sentak gadis itu dengan sorot mata tajam menatap lelaki dih...
455K 30.8K 59
Serena memiliki hobi yang aneh, gadis itu senang menghancurkan rumah tangga orang lain. Bagi Serena, menghancurkan rumah tangga orang lain adalah sua...
1.5K 262 71
Satu semester sudah Audrey lalui dengan banyak kejutan, dia ternyata memang punya kekuatan sihir! Kekuatan sihir Audrey adalah kekuatan fikiran, keku...