Waktu (END)

由 iiaMlk

36.2K 2.9K 233

Rahasia apa yang disembunyikan waktu? 更多

Prolog
Pertemuan Pertama
Senyuman?
Silat
Kebersamaan?
Cinta?
Bahagia
Rencana
Teror Pertama
Kecurigaan
Hay
Ada Apa?
Terluka
Mulai Terungkap
Masalah Baru
Naomi...
Kenyataan Sebenarnya
Pilihan Sulit
Akhir Dari Semuanya
Kehidupan Baru (END)

Kecelakaan

1.4K 142 13
由 iiaMlk

Sepanjang jalan senyuman Veranda terus tersungging melihat pemandangan yang sangat indah disebelah kiri dan kanan; Pohon-pohon, Pertanian, Perkebunan semua ada disini. Sungguh, ia tidak pernah pergi ke tempat seindah ini. Sepertinya Naomi memang benar-benar ingin membuatnya bahagia. Ia ingin bertanya ini tempat apa tetapi selalu diurungkan. Jangankan untuk bertanya, meredakan detak jantungnya sendiri itu sangat sulit

Naomi melirik kekaca spion lalu tersenyum, Veranda terlihat bahagia.

Tiba-tiba Veranda terkesiap saat kecepatan Motornya naik, kontan ia memeluk Naomi. Dalam hati ia berharap Naomi tidak akan merasakan detakan jantungnya tetapi bagaimana bisa? Jantungnya berdetak 10 kali lebih cepat. Ia menarik napas lalu dihembuskan secara perlahan mencoba untuk tenang.

"Kau sedang sakit? Kenapa tersenyum sendiri?" tanya Naomi tersenyum tipis, "ah mungkin aku salah membawamu, seharusnya aku membawamu ke rumah sakit jiwa."

Veranda cemberut kemudian memukul punggung Naomi. "Aku mau turun."

Tawa Naomi langsung pecah. Ia berhenti dipinggir jalan lalu membalikan setengah tubuhnya menatap Veranda. Sebelah alisnya terangkat tinggi, "Kenapa?" tanyanya lalu menghentikan tawa.

Veranda memalingkan wajahnya kearah lain sambil melipat kedua tangan didepan dada tanpa berniat menjawab pertanyaan Naomi.

Senyum masih tercipta dibibir Naomi. Bukan terlihat menyeramkan, Veranda malah terlihat sangat menggemaskan jika sedang marah seperti ini. Tangannya tertarik untuk merapikan poni Veranda yang tertiup angin. "Kau terlihat sangat cantik." Naomi kembali menghadap kedepan dan mulai memajukan motornya

Setelah beberapa saat Veranda hanyut dalam suasana, ia menghela napas kasar. Sepasang tangannya kembali melingkar diperut Naomi.

"Tapi bohong," lanjut Naomi yang langsung mendapatkan cubitan diperutnya. Bukan mengerang kesakitan ia malah tertawa puas

Veranda tersenyum tipis sambil mengeratkan pegangan dan menyandarkan tubuhnya dipunggung Naomi. Bahkan hanya pelukan sepihak, tetapi itu sudah bisa membuatnya nyaman.

Setelah memarkirkan motor, Naomi langsung masuk kedalam. Tangan kanannya membawa tas berukuran lumayan besar sedangkan tangan kirinya membawa kantong kresek makanan yang ia beli tadi dijalan. Ia menatap kesal Veranda yang sedang memandang kagum pemandangan disekelilingnya

"Bantu aku."

Kening Veranda berkerut. Namun ia menolak untuk nurut dan malah memeluk lengan Naomi sambil terus melangkah.

Beban ditangan kanan Naomi tentu semakin besar, ia mendengus. "Berat, Ve."

Langkah Veranda terhenti, ia memiringkan sedikit wajahnya menatap Naomi dengan pandangan yang sulit diartikan. "Kau yang mengajakku kesini, jadi mau tidak mau kau harus bertanggung jawab."

Naomi berdecak kesal lalu kembali berjalan meninggalkan Veranda

Veranda hanya memutarkan kedua matanya malas sambil melangkah mengekori Naomi dari belakang. "Kemanaaa?!" tanyanya berteriak keras

Dagu Naomi terangkat untuk menunjukan Gazebo yang sering disebut 'saung' dikota ini
"Makan dulu atau berenang?" tanya Naomi menyimpan barang bawaannya.

Beberapa detik Veranda berpikir lalu menatap Naomi. "Sepertinya udara disini sangat dingin, kita tidak usah berenang."

Mata Naomi terbuka lebar. Sedetik kemudian ia tertawa, "Air disini hangat, nyaris panas. Kita renang dikolam itu" tangan Naomi terangkat sebentar menunjuk kolam yang berada diujung.

"Baiklah aku berenang dikedalaman 2-4 meter, kau disebelahnya. Sepertinya hanya setengah meter jadi kemungkinan tenggelem sangat tipis." tutur Veranda sangat peduli.

Namun kepedulian Veranda lebih terdengar seperti hinaan ditelinga Naomi, ia langsung melepas jaket dan celana jeansnya

"Aku bisa berenang bahkan lebih hebat dari seekor ikan." sahut Naomi sambil melemparkan pakaian diatas tasnya

Veranda tersenyum miring, "Sombong sekali. Baiklah kita buktikan saja."

Selesai berdebat. Veranda dan Naomi berjalan mendekati kolam renang. Keduanya kini saling pandang bingung.

"Kau bisa masuk terlebih dahulu." suruh Naomi mendorong pelan tubuh Veranda kearah air.

Veranda menggeleng mantap, "Tidak, kau saja."

"Tidak, kau yang lebih tinggi."

"Tadi siapa yang mengatakan lebih hebat dari ikan?"

"Tapi ini tiga meter dan tinggi aku hanya---"

BYUUUR

Belum sempat Naomi melanjutkan ucapannya,seseorang tanpa sengaja mendorong tubuh Naomi kekolam renang. Veranda terkejut dan langsung loncat kedalam. Ia masuk kedalam air tetapi tidak menemukan Naomi. Sejenak ia mengambil napas lalu kembali masuk namun sayangnya Naomi tetap tidak ada

"Kau sedang apa, nona?"

Didalam air Veranda bisa mendengar suara Naomi yang diikuti oleh tawa. Segera ia keluar dari kolam renang. Ia melirik Naomi yang masih tertawa namun bukan itu yang ia cari. Matanya memicing beberapa detik mencari seseorang. Setelah menemukan orang itu, ia keluar dari kolam renang kemudian berlari cepat

Dengan keras Veranda melayangkan sebuah pukulan kearah pemuda yang tadi tak sengaja mendorong Naomi.

"Kau hampir saja membunuh temanku!" Veranda mendorong tubuh lelaki itu hingga jatuh dan hendak melayangkan kembali tangannya. Selang beberapa detik ia menoleh saat merasakan pegangan ditangannya

"Jangan mencari keribut. Berdiri, aku baik-baik saja." Naomi membantu Veranda berdiri kemudian mengalihankan pandangannya pada lelaki itu, "Lain kali hati hati ya." Naomi tersenyum seraya menarik tangan Veranda agar menjauh dari tempat itu.

Veranda menepis tangan Naomi, "Kenapa menarik tanganku?! Aku harus menghabisi orang itu!"

Mata Naomi menyipit memperhatikan ekspresi wajah Veranda yang terlihat sekali sedang emosi, bahkan dadanya saja naik turun. Ia menghela napas kasar lalu meletakan kedua tangannya dibahu Veranda, "Apa yang selama ini aku ajarkan, tidak pernah diikuti?"

"Maksudmu?" tanya Veranda sedikit dingin.

"Kendalikan emosimu, Ve. Kau tidak bisa menyimpan ambisi bahwa kau harus menghabisi seseorang jika kau sedang emosi seperti ini."

"Lalu? Kenapa? Itu bukan urusanmu." Veranda menepis kedua tangan Naomi lalu membuang pandangannya kearah lain.

Naomi kembali menghela napas kasar lalu berjalan satu langkah. Mensejajarkan posisinya dengan Veranda yang menghadap pada kolam renang. "Ini yang aku takutkan."

"Apa?" tanya Veranda masih tidak mau melihat Naomi. Pandangannya masih tertuju pada kepulan asap tipis yang dihasilkan dari panasnya air kolam renang.

"Kau masih saja seperti ini, tidak bisa mengendalikan emosi. Dengar aku," Naomi menarik lembut tangan Veranda agar menatap kearahnya, "satu-satunya hal yang bisa mengancurkan seseorang itu adalah nafsunya sendiri dan emosi berasal dari nafsu."

"Aku memahami itu tapi,"

"Kau tidak bisa memahami apapun selain emosimu sendiri," sela Naomi dengan cepat. Satu tangannya terangkat menunjuk dahi Veranda, "pikiran yang panas tidak akan menghasilkan apapun selain kerugian. Kau akan melakukan kesalahan meskipun sebenarnya kau benar."

"Naomi,"

"Dengar aku, nona!" bentak Naomi membuat Veranda bungkam dalam sekejap, "aku seperti ini karena aku peduli! Tapi kau tidak pernah mengerti. Untuk apa aku susah payah menasehatimu panjang lebar kalau akhirnya kau tidak punya keinginan untuk berubah!"

"Kenapa kau bisa semarah ini? Aku tadi hanya tidak suka karena dia menyakitimu."

"Aku tidak membicarakan tentang itu, aku berbicara soal emosimu yang selalu menggebu-gebu!" Naomi meremas wajahnya lalu mengalihkan pandangannya kearah lain.

"Maaf," Veranda menyibakan rambutnya yang basah kebelakang lalu mengambil langkah tepat didepan Naomi, "mulai sekarang aku janji akan menuruti semua ucapanmu."

Naomi menatap Veranda lalu mengangguk pelan. "Baiklah."


Setengah jam berlalu. Veranda dan Naomi masih berdiam diri di kolam renang. Udara yang dingin membuat mereka enggan keluar dari air. Sesekali keduanya mencelupkan kepala ke dalam air tetapi tak lama dikeluarkan kembali karena tidak kuat merasakan panas yang menyeruak ke wajah.

"Aku bisa keriput," sahut Naomi mengusap lengannya sendiri, "panas sekali."

"Kita mandi saja." Veranda menarik tangan Naomi untuk keluar dari kolam tetapi Naomi menahannya. Ia mengernyitkan dahi lalu menatap Naomi, "kenapa?"

Naomi terkekeh pelan, "Udara disini dingin dan siang ini mendung. Kita tunggu sampai matahari muncul."

Veranda mengedarkan pandangan ke sekeliling yang tampak sepi kemudian melangkah mendekati Naomi. Sedangkan Naomi semakin mundur melihat langkahnya semakin mendekat. Ia tersenyum menggoda kemudian melingkarkan sepasang tangannya dileher Naomi. "Kenapa mundur? Aku tidak akan menggigitmu."

Naomi menggeleng gugup, "Ti-tidak. Mundurlah."

Veranda malah semakin mengikis jarak dengan Naomi. "Kita mandi sekarang."

"Baiklah, tidak usah mendekat."

Veranda tertawa seraya mundur beberapa langkah, "Kita kemana habis ini? Apa langsung pulang? Aku ingin menginap disana," Veranda mengangkat tangannya menunjuk kearah penginapan yang tak jauh dari pemandian ini.

"Tidak bisa, kita harus pulang hari ini juga."

Veranda menatap sebal kearah Naomi, "Terserah. Aku tidak akan pulang."

Naomi hanya mendengus melihat punggung Veranda yang semakin menjauh dari pandangannya. Ia bergumam tidak jelas menggerutu pada Veranda sambil berjalan mengikuti Veranda. Sepertinya sudah cukup ia berendam disini.


***


"Aku tidak membawa apapun," gerutu Naomi berjalan masuk kedalam kamar penginap. Ia berdecak kesal lalu membantingkan tubuhnya sendiri dikasur, kedua kaki dan tangannya direntangkan. Meskipun hanya berendam sebentar, ternyata tubuhnya sudah terasa sangat lemas.

"Kita bisa beli." Veranda menyimpan barangnya disofa lalu menoleh melihat pada Naomi yang entah sejak kapan sudah tertidur. Ia tersenyum tipis lalu melangkah mendekati Naomi.

"Naomi?" seru Veranda memastikan bahwa Naomi sudah benar-benar tertidur. Ia membuka sendal Naomi lalu merapatkan kedua kakinya agar tidak menghabiskan tempat dikasur.

Veranda membaringkan tubuhnya disamping Naomi. Pantas saja Naomi bisa tertidur secepat itu, ternyata memang sangat nyaman tidur setelah berendam. Sebelum benar-benar tertidur, ia memiringkan posisi tidurnya memandangi wajah tenang Naomi dari samping.

Seulas senyum mengembang dibibirnya. Ia mengusap setiap sudut wajah Naomi dengan lembut. Tidak ada bedanya menurutnya, Naomi tertidur atau bangun sama-sama menarik.

Tiba-tiba Naomi membuka mata. Ia menangkap tangan Veranda yang berada tepat didepan wajahnya lalu memiringkan posisi wajah menatap Veranda. Seakan terbawa suasana serta udara yang semakin dingin, ia mendekatkan tubuhnya hingga tanpa sadar posisinya sudah menindih tubuh Veranda. Sesaat ia memandangi wajah Veranda, sebelum akhirnya menutup mata seraya mendekatkan wajah. Sepasang tangannya terangkat menarik selimut untuk menutupi tubuhnya dengan Veranda.



Waktu sudah menunjukan pukul tujuh malam saat Naomi terbangun dari tidurnya. Ia langsung duduk lalu mengedarkan pandangan pada bajunya yang berserakan dimana-mana. Sejurus kemudian ia menghempaskan kembali tubuh dikasur lalu meremas kasar wajahnya. Entah apa yang sudah ia lakukan, ia sama sekali tidak menyadarinya. Suasana yang mendukung seakan mendorongnya untuk melakukan hal yang tidak seharusnya ia lakukan. Bahkan ia masih ingat bahwa ia yang memulai semuanya dari awal.

Naomi mengerang pelan kemudian memukul kasur beberapa kali, menyesali apa yang sudah terjadi.

"Kenapa?" tanya Veranda yang baru saja keluar dari kamar mandi, "baik-baik saja?"

Naomi mengangguk pelan lalu bangkit dari kasur, berjalan sempoyongan menuju kamar mandi tanpa mengenakan sehelai benangpun. Sambil berjalan, ia menarik handuk yang melingkar dipinggang Veranda.

"Aku pinjam handuknya."

Mata Veranda terbelalak, kontan ia maju menarik selimut untuk menutupi bagian bawahnya. "Naomi!!"

Naomi bergumam tidak jelas lalu menutup pintu kamar mandi dengan bantingkan yang keras. Ia menghidupkan shower membasahi tubuhnya yang terasa sangat lengket. Satu tangannya ia tumpukan ketembok. Pikirannya masih berputar pada kejadian beberapa jam yang lalu. Sungguh, ia tidak berniat melakukan hal itu tetapi kenapa semua itu bisa terjadi? Pergi kemana semua logikanya? Untuk kedua kalinya ia mengerang lalu memukul tembok dengan sangat keras tanpa memperdulikan buku-buku jarinya yang sedikit berdenyut.


Setelah sama-sama membersihkan diri. Veranda dan Naomi keluar untuk makan malam. Tidak ada pembicaraan yang terjadi sedari tadi, Naomi sibuk merutuki dirinya sendiri sedangkan Veranda tampak bingung melihat sikap Naomi yang tiba-tiba berubah.

"Naomi, ada apa?" tanya Veranda lembut. Tangannya terayun mengusap pipi Naomi, "aku khawatir."

Naomi menggenggam tangan Veranda lalu menatapnya lekat-lekat. Ada perasaan bersalah yang sangat besar dihatinya saat ini. Ia menghela napas kasar lalu mencium telepak tangan Veranda, "Maafkan aku."

"Bukan masalah," Veranda tersenyum lebar, ibu jarinya mengusap lembut pipi Naomi, "jadi dari tadi kau memikirkan hal itu? Kenapa?"

"Tidak, aku menyesal karena telah merebut sesuatu yang bukan hak ku."

Veranda menarik kembali tangannya lalu menyesap coklat panas. "Kau selalu mengatakan bahwa aku harus mengendalikan nafsu tapi sekarang apa yang terjadi pada dirimu sendiri?"

Naomi mengangguk membenarkan ucapan Veranda; yang secara tidak langsung menyalahkannya. Ia menangkupkan sepasang tangan didepan wajah, terlalu frustasi dengan semua ini. Bahkan masalah yang sebelumnya saja belum terselesaikan, ia malah dengan sengaja menambah masalah lain. Ia yakin sikap Veranda akan berubah, Veranda akan semakin mengikatnya.

"Lihatlah nanti, waktu akan menyelesaikan masalah kita satu persatu atau membuatnya jadi semakin rumit."

Naomi tidak menjawab ucapan Veranda. Ia bangkit dari tempat duduk lalu memilih untuk berjalan keluar tanpa menghabiskan nasinya. Selera makannya sudah benar-benar lenyap sekarang, ia tidak ingin apapun selain berharap bahwa ini semua mimpi. Sebenarnya tidak ada masalah, hanya saja ia terlalu takut Veranda akan menuntutnya. Bahkan sebelum kejadian ini terjadi, Veranda selalu memaksa agar ia mau menjadi kekasihnya, bagaimana sekarang?

Naomi menendang kuat batu yang berukuran sedikit besar saat langkahnya sampai di tepian jalan sepi, menghadap ke arah pemandangan hijau yang sedikit tertutupi kabut malam. 

Rasanya ia ingin berteriak keras memarahi didirinya sendiri. Tidak ada yang ia rasakan selain rasa penyesalan.

Veranda yang sedari tadi mengikuti Naomi hanya mengembuskan nafas berat melihat punggung Naomi yang bergetar. Ia berhenti beberapa langkah dari Naomi, membiarkan gadis itu sendiri. Sepasang tangannya ia lipat didepan dada, masih memperhatikan Naomi. Entah apa yang saat ini Naomi rasakan, ia tidak memahaminya. Kenapa Naomi menangis? Padahal ia tidak marah sedikitpun. Itu hanya kecelakaan. Ya, kecelaan kecil. Dan ia bisa menganggap seolah tidak terjadi apa-apa, kenapa Naomi bisa sefrustasi ini?

Hawa dingin semakin kuat menusuk tulang, Veranda mendongakan wajahnya keatas memandang jauh pada rembulan yang bersembunyi di balik awan hitam, cahayanya sedikit pudar dan ia yakin sebentar lagi mendung akan bernaung. Ia memasukan kedua tangannya disaku jaket lalu melangkah mendekati Naomi yang masih terdiam.

"Naomi," seru Veranda melingkarkan kedua tangannya diperut Naomi, "kita bisa melupakan kejadian tadi."

Naomi mengangguk pelan kemudian mengusap lembut tangan Veranda yang masih berada diperutnya. Tak lama, ia berbalik, menghadap pada Veranda.

"Itu yang terakhir," Naomi menggenggam kedua tangan Veranda, "kita tidak bisa melakukannya lagi, Ve."

"Aku mengerti, apa masalahnya? Aku tidak meminta hal yang lebih kan?" Veranda tersenyum mengusap punggung tangan Naomi dengan ibu jarinya.

Naomi menghela napas lega lalu tersenyum tipis, "Ya, kita anggap ini tidak pernah terjadi."

"Naomi, apa mulai sekarang kita menjadi sepasang kekasih?"

Veranda menatap Naomi penuh harap, ia sudah menunggu sangat lama untuk ini. Menjadikan Naomi sebagai kekasih terakhirnya. Namun Naomi malah bungkam, mulutnya terkunci oleh keraguan.

"Naomi,"

Naomi masih membiarkan kedua matanya menatap Veranda. Ia selalu tenggelam dalam tatapan penuh cinta itu tetapi lidahnya seakan kelu tidak bisa mengatakan apapun. Ia belum siap untuk menjadi kekasih Veranda, sama sekali belum siap.

Naomi menghela napas kasar sebelum akhirnya berkata dengan nada sendu, "Kita akan tetap menjadi teman, Ve."

Mata Veranda membulat sempurna. Ia mundur satu langkah menjauhi Naomi, tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Naomi menolak untuk menjadi kekasihnya? Lalu apa maksudnya tadi? Kenapa Naomi melakukan hal itu dan membuat harapannya semakin besar. Namun yang terjadi malah Naomi menamparnya dengan ucapan yang sangat menyakitkan.

"Ve," Naomi menggeleng lalu mengeratkan genggamannya pada Veranda, "aku mohon kau bisa mengerti, aku,"

"Jangan sentuh aku!" bentak Veranda menepis kasar tangan Naomi. Tatapan yang sebelumnya lembut, kini mulai meruncing menusuk tajam pada Naomi. Ia mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat.

"Aku bisa memenuhi keinginanmu setelah masalah ini selesai." Naomi kembali menggenggam satu tangan Veranda berusaha untuk menenangkannya tetapi lagi-lagi ditepis.

"Lalu kenapa kau malah membuat masalah?!"

"Aku tidak sadar, Ve. Mengertilah, aku tadi terbawa suasana dan,"

"Dan merenggut sesuatu yang berharga dari ku?"

"Lalu kenapa kau tidak menolaknya? Kau juga menyukainya, bukan? Kenapa hanya aku yang dipersalahkan?"

Veranda tersenyum getir lalu membuang pandangannya ke arah lain. "Ini yang kau sebut akan memberikanku kebahagiaan?!"

"Aku sama sekali tidak merencanakan ini. Lagipula aku tidak berniat menginap, ini semua kecelakaan!" Naomi menggenggam kedua tangan Veranda, "tenang."

Veranda menarik kedua tangannya lalu memejamkan mata, berusaha menahan rasa sakit yang tiba-tiba menyelimuti hatinya. Sedetik kemudian ia membuka mata, bersamaan dengan setitik air mata meluncur keluar melewati kelopak matanya. Ia memberanikan diri kembali menatap Naomi meski sesak didadanya semakin bertambah saat melihat wajah Naomi.

"Mungkin aku hanya membawa masalah dihidupmu," Veranda menjeda kalimatnya untuk menarik napas dalam dan dihembuskan perlahan, "aku minta maaf."

"Ve," Naomi menggeleng pelan lalu mengusap lembut pipi Veranda yang sudah semakin basah, "maaf. Aku tidak bermaksud."

Veranda kembali mundur satu langkah menjauhi Naomi, "Aku mencintaimu, aku akan memberikan semua yang aku punya termasuk sesuatu yang sudah kau ambil."

"Nona,"

"Kau benar, Naomi. Aku tidak memahami apapun selain emosi ku sendiri. Tapi apa kau juga bisa memahami segalanya? Kau bisa paham bagaimana perasaanku?"

Naomi menghentakan kakinya berusaha menarik tangan Veranda tetapi lagi-lagi Veranda mundur. "Veranda."

"Kau mungkin memahami segalanya tapi kau tidak bisa memahami sakitnya air mata yang jatuh dari kelopak mataku."

Veranda berbalik dan langsung berjalan meninggalkan Naomi yang masih membeku. Mendung masih bernaung di langit, tetapi hujan sudah mengalir deras dari kelopak matanya.


***


Pulang dari penginapan, Veranda langsung mengemasi semua pakaiannya berniat untuk pindah dari rumah Naomi. Mana mungkin ia bisa tinggal disini? Itu sama saja dengan ia membiarkan hatinya hancur. Ia tidak ingin merasakan sakit untuk kesekian kalinya hanya karena cintanya belum mendapat balasan.

"Jangan pergi," Naomi menahan tangan Veranda yang hendak menutup resleting kopernya.

Veranda menepis tangan Naomi lalu kembali menutup koper itu tanpa berniat menjawab pertanyaan Naomi. Setelah selesai ia meletakan koper itu diatas lantai lalu menariknya dan mulai melangkah. Namun jalannya terhalang oleh Naomi yang tiba-tiba berdiri diambang pintu.

"Aku mohon jangan pergi, siapa yang akan membuatkan masakan lezat untukku lagi? Siapa yang akan menggangguku saat aku sibuk mengerjakan tugas? Siapa yang akan,"

"Aku harus pergi. Aku akan ke Surabaya dan tinggal disana."

Naomi menggeleng mantap lalu merebut koper milik Veranda. "Aku tidak bisa membiarkanmu pergi begitu saja."

"Naomi!" pekik Veranda yang melihat Naomi berjalan cepat membawa kopernya. Ia berdecak kesal lalu menyusul Naomi dari belakang, entah Naomi akan membawa kopernya kemana.

Naomi naik ke atas tangga di Taman belakang dengan koper milik Veranda yang langsung ia simpan di atap rumahnya. Segera ia turun dari tangga saat melihat Veranda berjalan ke arahnya. Ia mengambil tangga itu lalu melemparnya ke sembarang arah.

"Apa yang kau lakukan?!" tanya Veranda membentak keras sedangkan Naomi terus mundur berusaha menjauh darinya, "Naomi!!"

"Kau tidak bisa pergi kemana-mana."

"Aku akan meninggalkan koper itu!" Veranda mendelik lalu menyiapkan langkahnya untuk pergi.

"Veranda, ban mobil mu ada diatas sana."

Veranda terkejut dan langsung melihat keatas pohon yang ditujukan Naomi. Ia menggerang kesal lalu kembali menatap Naomi, "Kembalikan!"

"Tidak."

"Aku bisa pergi menggunakan kendaraan umum."

Naomi menggerogoh saku celananya mengeluarkan dompet, "Semua uangmu disini."

Mata Veranda terbelalak, ia menghela napas kasar berusaha untuk tetap sabar. "Aku bisa meminta Aron untuk menjemputku."

"Ponselmu juga," Naomi mengeluarkan ponsel Veranda yang sudah ia ambil diam-diam saat Veranda mandi tadi, "aku mohon jangan pergi."

"Kau membuat hidupku jadi semakin sulit." Veranda duduk di sebuah ayunan dekat pohon kemudian meremas kasar wajahnya.

"Sampai kapanpun aku tidak akan membiarkanmu pergi, nona." Naomi berjalan menghampiri Veranda lalu duduk disampingnya, ia menggenggam erat tangan Veranda dan perlahan menyandarkan kepalanya dibahu Veranda.

"Kenapa? Bukannya ini yang kau mau?" tanya Veranda tanpa menatap Naomi, "kembalikan semua barangku."

"Aku akan mengembalikan barangmu dengan satu syarat. Janji tidak akan pergi dari rumah ini."

"Aku akan ke Surabaya."

"Hanya berkunjung, tidak untuk tinggal."

"Aku tidak ingin merasakan sakit lagi."

Naomi menegakkan kembali tubuhnya lalu menatap Veranda, "Pergilah jika itu yang kau mau."

Veranda menoleh menatap Naomi sedikit bingung, bagaimana bisa pikiran Naomi berubah secepat ini?

"Pergi yang jauh. Aku yakin, kemanapun kau pergi, cinta akan menuntunmu kembali padaku."

"Cinta bisa hilang."

Naomi menggenggam kedua tangan Veranda, menatapnya lekat-lekat. "Aku janji, setelah masalah ini selesai. Aku bukan hanya akan menerimamu sebagai kekasihku tapi juga sebagai pendamping hidupku. Aku akan menikahimu."

Veranda tertegun mendengar ucapan Naomi, "Benarkah?"

"Iya, aku janji dan aku janji tidak akan menyakitimu lagi, maafkan aku," Naomi menunduk lalu mencium tangan kanan Veranda dengan lembut.

Veranda tersenyum senang dan langsung memeluk Naomi. "A-aku janji tidak akan pergi dari rumah ini, aku akan tinggal bersamamu dan akan membuatkan masakan yang lezat setiap hari."

Naomi tersenyum seraya membalas pelukan Veranda. Ia bisa menghela napas lega sekarang, meskipun kedepannya ia harus menderita dengan memakan semua masakan Veranda tapi itu bukan masalah selama Veranda ada disampingnya. Ia tidak menyangka, kecelakaan kecil itu benar-benar akan mengikatnya jauh lebih erat lagi dengan Veranda. Namun semua tidak sesuai semengerikan dari yang ia perkirakan, ikatan ini membuatnya bahagia. Sangat bahagia.

Tanpa disadari, sepasang mata tengah memperhatikan Veranda dan Naomi dari jauh. Senyuman sinis tersungging disudut bibirnya.

"Kita lihat sampai kapan waktu akan memberikan kalian kesempatan untuk bahagia."

TBC

繼續閱讀

You'll Also Like

326K 36K 53
Ara ingin menjadi pelangi dihidup Chika tapi ia lupa memberi warna untuk hidupnya sendiri [Fiksi] 18+ gxg
410K 33.2K 58
Kisah si Bad Boy ketua geng ALASKA dan si cantik Jeon. Happy Reading.
215K 19.5K 33
"I think ... I like you." - Kathrina. "You make me hate you the most." - Gita. Pernahkah kalian membayangkan kehidupan kalian yang mulanya sederhana...
656K 62.6K 67
this is just a post, don't overthink or judge too much. 😬