Terluka

1K 105 3
                                    

Veranda bergegas turun dari mobil saat melihat tiga motor itu menghalangi jalannya. Ia berdiri melipat kedua tangannya didepan dada, menatap tajam pada tiga orang itu yang mulai turun dari mobil. Mereka masih mengenakan helm full facenya hingga ia tidak bisa melihat atau memperhatikan siapa mereka sebenarnya.

"Apa yang kalian inginkan?" tanya Veranda membentak keras.

"Nyawamu," jawab salah satu dari mereka lalu mengeluarkan pisau lipat dari sakunya.

"Oh begitu." Veranda mengambil ikat rambut disaku celananya kemudian mengingkat rambutnya dengan sembarang. Sesaat ia mengibas-ngibaskan rambutnya memastikan bahwa rambutnya itu sudah terikat dengan kuat. Setelah itu, ia mundur dua langkah dan mengambil posisi kuda-kuda dengan dua tangan yang diletakan didepan dada. "Maju satu persatu, jika kalian bukan orang yang pengecut."

Dengan sigap Veranda menahan satu orang pemuda yang melayangkan pukulan kearahnya. Kaki Veranda terayun menendang perut pemuda itu hingga jatuh diatas tanah. Veranda menginjak perut pemuda itu sampai jeritan tertahan mulai terdengar. Tanpa ampun ia terus menginjak dan naik sampai dada. Emosi sudah benar-benar membutakan matanya.

Veranda melihat kearah kaca mobil, bayangan seorang pemuda lain terlihat jelas tengah mendekatinya dengan memegang sebuah balok kayu yang entah didapatkan dimana. Veranda segera berbalik menatap tajam pemuda itu. Ia mundur beberapa langkah kemudian berlari cepat dan langsung melayangkan kakinya tepat diwajah pemuda itu.

Tubuh pemuda itu terhuyung beberapa langkah kebelakang tapi dapat segera mengendalikan diri lalu kembali berdiri tegak. Satu tangannya terayun hendak memukul wajah Veranda tetapi dengan cepat Veranda menundukan kepalanya dan memberikan satu pukulan talak didada pemuda itu.

Nafas Veranda sudah tersenggal-senggal. Ia berusaha mengendalikan emosi agar dapat dengan mudah mengendalikan diri. Namun bayangan saat kedua orang tuanya dibunuh tiba-tiba bertamu dalam pikirannya. Emosi Veranda kembali meledak, ia mengepalkan tangan kanannya lalu memukul keras pemuda itu tepat ditenggorokannya. Pemuda itu tampak kesakitan namun Veranda tidak peduli, malah menambah kesakitannya dengan membalikan tubuh pemuda itu lalu memukul punggungnya sekuat tenaga. Dalam sekejap, tubuh orang asing itu tergeletak di jalan.

Suara tepuk tangan terdengar, diikuti oleh suara tawa yang menggelegar. Veranda menoleh, menatap satu-satunya pemuda yang menggenggam pisau lipat tadi. Untuk menjaga-jaga serangan, Veranda mundur tiga langkah menjauhi pemuda itu.

"Kau tidak selemah yang aku duga."

Mata Veranda memicing, seperti tidak asing lagi dengan suara itu. Namun ia yakin suara orang itu sedikit di serak-serakan agar ia tidak bisa mendengarnya dengan jelas. Veranda menarik napas dalam dan dihembuskan perlahan.

"Pergi jika kau tidak ingin terjatuh seperti teman-temanmu yang lemah itu," ancam Veranda tajam.

Pemuda itu kembali tertawa mendengar ucapan Veranda. Kakinya mulai melangkah mendekati Veranda. "Bukan aku tapi kau."

Mata elang milik Veranda bergerak memperhatikan setiap gerik pemuda itu. Ia terus mengatur napasnya berusaha menahan emosinya agar tidak meledak. Seperti apa yang pernah Naomi katakan, emosi bisa melemahkan tubuhnya. Ia tidak ingin lemah hanya karena emosinya sendiri.

"Simpan pisau itu! Pengecut!" bentak Veranda sengit. Satu tangannya mengepal kuat.

Veranda menahan lengan pemuda itu yang hendak menusukan pisau ke perutnya. Dengan sekuat tenaga ia memutar lengan pemuda itu lalu menjatuhkan pisaunya. Tangan Veranda mengunci kuat tubuh pemuda itu dari belakang. "Aku sudah tidak asing lagi dengan suaramu, katakan siapa kau?!"

Pemuda itu kembali tertawa terlihat sangat meremehkan Veranda. Emosi Veranda perlahan mulai bangkit pada puncaknya. Tanpa ia sadari lengan pemuda itu memberontak dan memukul keras perutnya. Mata Veranda mengantup saat merasakan mual ditambah rasa sakit menjalar ke seluruh perutnya. Ia mundur beberapa langkah berusaha meredakan rasa sakitnya. Veranda bisa melihat pemuda itu kembali meraih pisaunya.

Waktu (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang