Hallow's PoV
Jam setengah 4 pagi.
"Ini gara-gara kau, Hallow."
"Hah? Aku?"
"Ya, kau. Karena kau, aku jadi tidak bisa tidur lagi."
"Haha, sejak aku tidak ada di istana, kau sedang tidur, kan? Nah, aku? Seharian ini aku tidak tidur sama sekali, karena hari ini adalah hari yang super sibuk. Sekolah dan pekerjaan. Hidupku dipenuhi oleh kesibukan."
"Terus, aku harus bilang apa? Selain itu, gaun ini terasa berat untukku."
"Jahat. Tapi, kau cocok sekali memakai gaun milik Ibuku. Rasanya aku seperti bertemu dengan Ibuku lagi."
Mocca melihat bayangannya sendiri di depan cermin. Di ruang pakaian, tempat Colla dan pelayan mengurus pakaian lainnya, bekerja membuat dan mencuci pakaian di sini. Setelah Colla mengatakan kalau Mocca sudah selesai dipakaikan gaun yang aku tunjuk, aku pun masuk ke dalam.
Gaun berwarna kuning keemasan dan ada sedikit warna nila pada bagian lengan dan bagian ujung gaun. Melihat Mocca yang kini berpenampilan semakin cantik juga bersinar, membuatku tak betah memandangnya. Untunglah tidak membuat mataku silau.
Mocca membuang pandangan dari depan cermin. "Maafkan aku sudah mengingatkan sosok Ibumu."
Aku menggeleng kuat. "Ah, tidak-tidak, bukan itu maksudku. Maksudku, kau cantik seperti Ibuku. Tapi, sepertinya kau menang cantik daripada Ibuku."
Mocca tertawa. "Sungguh?" Astaga dia cantik sekali.
"Bukan sungguh, lebih tepatnya, sangat."
Aku mengambil mahkota Ratu dari penjagaan Colla. Mahkota yang disimpan secara apik di dalam lemari kaca dan dikunci rapat memakai mantra sihir, kini sudah bebas dari kurungan dan berada di kedua tanganku.
Kakiku melangkah mendekati Mocca untuk memakaikannya mahkota. Aku melihat ekspresi Mocca tampak masih ragu untuk menerima mahkota itu akan berada di atas kepalanya.
"Tidak apa-apa, Mocca. Ini untuk membuktikan kepada orang tuamu kalau kau telah menjadi Ratu Mixolydian, menggantikan Ibuku, dan juga menjadi milikku. Tundukanlah kepalamu. Aku akan memakaikan mahkotanya sekarang," ucapku meyakinkannya agar dia menerima mahkota Ratu.
"Aku hanya takut, kalau aku menjadi Ratu, apa mereka akan semakin membenciku? Apa mereka akan menjauhiku?" Mocca mencengkram gaunnya sendiri.
Sebelah tanganku menangkup wajahnya. "Aku yakin mereka tidak akan melakukan itu kepadamu, karena mereka adalah keluargamu. Jika mereka meninggalkanmu, kau tidak akan merasa kesepian lagi, karena sekarang aku ada bersamamu. Aku akan selalu berada di sisimu, mengingatmu, termasuk mencintaimu. Jangan khawatirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Yang perlu dipikirkan sekarang adalah, bagaimana cara kau melakukan karakter barumu menjadi seorang Ratu yang terhormat."
Mocca terdiam dalam pikirannya sebentar. Lalu, dia pun mengangguk mantap. "Baiklah. Sekarang aku bisa menerima mahkota itu. Kau bisa memakaikannya ke atas kepalaku sekarang."
Aku tersenyum lebar. Mocca menundukkan sedikit kepala dan tubuhnya. Menyambut mahkota Ratu yang akan terletak di atas kepalanya. Aku segera memakaikan mahkota itu pada Mocca. Kembali melihat seluruh penampilan Mocca, akhirnya Ratuku telah lengkap dengan mahkotanya.
Sempurna. Benar-benar sempurna. Aku percaya dia adalah milikku. Bukan milik siapa-siapa.
"K-kenapa kau melihatku seperti itu? Apa aku terlihat aneh memakai mahkota ini?" tanya Mocca. "Atau, tidak cocok sama sekali?"
Aku tertawa. Mocca memakai ekspresi cemberutnya yang menggemaskan. Ingin sekali aku mencubit kedua pipinya. "Apanya yang aneh? Tentu saja kau sangat cocok memakai mahkotanya. Lihat. Wajah yang cemberutmu itulah yang membuatmu menjadi aneh, Mocca."
"Dasar bego. Menjengkelkan."
"Lho? Kenapa kau menghinaku? Seharusnya kau balas puji aku. Aku sudah memakai pakaian terbaik juga mahkota berat ini."
"Haha, memangnya apa pujian yang pas untukmu? Cantik?"
"Hiks. Mocca semakin hari tambah jutek dan tega. Atau, apa kau masih kesal padaku?" Aku memegang kedua tangan Mocca seraya pura-pura bersikap sedih.
Mocca tersenyum geli. "Aku hanya ingin mengujimu. Dengan segala perubahanku, dari cara aku bersikap padamu, apa kau akan membenciku ataukah—"
"TIDAK. Mana mungkin aku bisa membencimu. Jangan katakan itu lagi. Apapun perubahan yang membuatmu berbeda, perasaanku akan tetap sama. Kau tidak akan bisa mengujiku."
"Haha, baik, baik. Aku tidak bisa membuatmu berpaling dariku."
"Kalau begitu, katakan padaku kalau kau mencintaiku."
Mocca membelalak sebentar, lalu wajahnya memerah. "H-hah? Tidak mau. Sudah cukup pembicaraan kita, Hallow. Aku harus menemui keluargaku sekarang."
Mocca ingin berjalan keluar dari ruang pakaian, namun dengan cepat aku menahan tangannya. Tidak akan aku biarkan dia kabur dulu.
"Kenapa tidak mau? Jangan-jangan kau tidak men—"
Belum selesai aku berucap, bibir Mocca sudah melekat begitu saja di bibirku seraya sebelah tangannya menangkup wajahku. Serangan yang cepat bahkan aku tak sempat melihat gerakannya yang akan segera menciumku. Rasanya mengejutkan. Jantungku sama sekali tidak mau tenang.
Selesai dia menciumku, dia langsung berlari tanpa permisi meninggalkanku di ruangan ini. Tinggal aku saja yang ada di sini sedang merenungkan kejadian tadi sambil melihat bayanganku sendiri di depan cermin. Tampak sekali wajahku merona merah. Ternyata seperti itu jika dicium Mocca. Lebih mendebarkan dibandingkan menciumnya lebih dulu.
Arggh!! Aku jadi malu sendiri! Bagaimana ini?? Aku sampai malu jika berhadapan dengan Mocca lagi! Kenapa dia memilih mencium bukan mengatakan saja kalau dia mencintaiku??
"Colla! Berikan aku seember air! Aku ingin membasahi kepalaku yang terkukus!!" suruhku setengah berteriak.
"A-Anda yakin dengan hal itu ingin membasahi kepala Anda di sini? Selain itu, Yang Mulia, beberapa menit yang lalu, Beethov memberikan surat ini kepada saya. Surat ini untuk Anda. Kata Beethov, ini adalah surat dari kerajaan yang jauh," balas Colla sambil menyodorkan sebuah surat berbentuk gulungan merah padaku.
"Surat gulungan merah? Dari kerajaan apa?" tanyaku menerima surat itu dan segera membuka ikatan yang mengunci surat itu.
Aku membuka lebar surat itu dan membaca isinya dengan cepat. Isi surat yang ramah. Namun, di akhir kalimat, aku sudah menduga bahwa akhirnya kerajaan merah ini akan mengirimkan surat gulungan lagi setelah dua tahun lamanya. Surat yang begitu membuatku ingin membuangnya saja dibandingkan membaca semua isinya.
Surat pernyataan perang dari kerajaan Ferlendian. Kerajaan berdarah vampir yang sangat aku benci. Kerajaan gila yang kedua kalinya mengajak kerajaan Mixolydian mengadakan perang tanpa alasan yang jelas.
Tanganku meremas surat itu sampai kumal. Mendengus meratapi surat merah ini dengan kesal. Sampai kapan kerajaan Ferlendian mengusik kerajaanku?? Dia benar-benar tampak tidak waras sejak orang tuanya alias Raja dan Ratu Ferlendian dibunuh oleh Putrinya sendiri. Anehnya, dia tidak dihukum. Waktu itu, aku tak memperdulikan urusan kerajaan Ferlendian yang terlihat tak beraturan itu. Aku sempat melihatnya, Putri Ferlendian. Dia cantik, tapi lebih cantik Ratuku— tentu saja. Dan yang membuat hidupku tidak tenang ...
... dia terus mengejarku dan mengatakan kalau dia suka padaku. Menjijikkan. Bangsa vampir bercampur penyihir menginginkan seorang Mixolydian terhormat sepertiku? Oh, tidak bisa. Aku sudah punya Mocca. Tidak ada yang bisa menggantikannya.
Aku harap, dia tidak mengetahui kalau aku sudah memiliki Ratu. Karena, jika dia tahu, aku tahu hal-hal buruk apa yang akan dia lakukan pada hidupku dan Mocca. Dulu, dia sempat nyaris membunuhku karena aku berkata benci padanya. Mungkin dia masih marah padaku. Padahal, aku sudah mengirimkan surat permintaan maaf kalau aku sudah mengatakan hal buruk padanya.
Aku dengar, Putri Ferlendian yang sudah menjadi Ratu menggantikan kedua orang tuanya itu punya gangguan mental yang merusak kewarasannya. Tapi, kabar itu tidak terlalu jelas. Mungkin hanya kabar angin. Jika dia sudah tidak waras, kenapa dia bisa memimpin kerajaannya sendiri? Dia hanya ingin bersenang-senang. Semua orang boleh memainkan permainannya sendiri jika sedang bosan. Yang tidak aku mau, dia pasti akan mengajakku ke dalam permainannya yang tidak masuk akal.
Semoga dia tidak melakukan hal-hal yang merepotkan ataupun mengganggu hidupku dengan Mocca serta kerajaanku. Tapi, kalau dia membuat pernyataan perang padaku, itu artinya dia tidak akan melepaskanku semudah membebaskan burung dari kurungan.
Permainan bodoh apa lagi yang akan dia mainkan? Apa aku harus meminta pendapat kerajaan lain?
"Buang saja surat ini. Aku tidak butuh menyimpannya. Itu membuat meja dan laciku menumpuk saja. Kerajaan Ferlendian memang selalu ingin mengajak perang. Ratu itu benar-benar sudah bosan hidup," ucapku memberikan surat merah itu kepada Colla.
Aku tidak ingin mendengar pendapat Pangeran Jeky Phrygian. Pasti dia akan banyak bicara tidak penting dan selalu menyindirku macam-macam. Kalau dengan Putri Belza Daimeldian, dia pasti akan meminta pendapat dari hewan-hewan yang dia ajak bicara. Kebiasaannya menggunakan sihir khususnya, membuatku memandangnya aneh, karena dia selalu berpendapat sama dengan teman-teman hewannya dan tidak yakin dengan pendapatnya sendiri.
Astaga, aku sama sekali tidak punya teman pendukung yang normal. Jadi, hanya Mocca yang bisa aku ajak bicara mengenai kerajaan Ferlendian ini. Lagipula, dia harus mengetahui bahwa kerajaan Mixolydian selalu menjadi pusat perhatian Ratu Ferlendian.
Ini tidak akan mudah. Ratu Ferlendian sangat pintar dalam menyusun rencana. Kali ini, aku harus berhati-hati jika aku bertemu dengannya di mana dan kapan saja.
🎃 TO BE CONTINUE ...