Hati Budha Tangan Berbisa - G...

By JadeLiong

174K 3.6K 48

Wataknya dingin, angkuh, semua itu menjadikan jiwanya nyentrik. Untunglah di dalam lubuk hatinya yang paling... More

01. Pelajar Muda Berlengan Buntung
02. Perempuan Genit dari Thian-Thay
03. Tuduhan yang Sulit Dibantah
04. Jangan Sentuh Dia!!
05. Balasan Pengorbanan Darah
06. Pertemuan Tak Terduga
07. Jit-sing-po Tersapu Bersih
08. Pembunuh Berkedok Berjubah Sutera
09. Peresmian Perkumpulan Wi-to-hwe
10. Tamu Agung Wi-to-whe
11. Kehilangan Anting Kenangan
12. Kuil Mesum Siong-cu-am
13. Perebutan Sek-hud
14. Sam-Cay-Ciat. . . . . Penyelamat
15. Kakek Aneh di Dasar Jurang
16. Dari Celaka Dapat Rejeki Nomplok
17. Tabib Keliling Thian-bak-sin-jiu
18. Puteri dari Istana Ngo-lui-kiong
19. Racun Paling Dikenal, Jarang dan . . . Sama
20. Bu-lim-siang-koay
21. Racun Bu-ing-cui-sim-jiu
22. Dalang Penyerangan Wi-to-hwe
23. Jiwa Ksatria Tak Gentar Elmaut
24. Tuduhan Pembunuh dan Pemerkosa
25. Ayah Meninggal, Dendam Makin Membara
26. Kau, Tidak Takut Racun. . . . . .??
27. Rahasia Rumah Setan di Kay-hong
28. Wi-to-hwe Terima Syarat Barter
29. Salah Duga Terhadap Biau-jiu Siansing
30. Cinta dan Dendam Tak Bisa Berdampingan
31. Hmm, ...... Tidak Tahu Malu
32. Rahasia Wi-to-hwecu
33. Siapa Pembunuh Te-gak Suseng?
34. Te-gak Suseng Hidup Kembali .....??
35. Orang Desa Penagih Darah
36. Jejak Ibunda, Mulai Tercium
37. Pengkhianatan Kacung Keluarga
38. Kedok dan kemunafikan Sang Ayah ....??!!
39. Korban Ilmu Hian-giok-siu-hun
40. Lelaki Penderita Tanpa Daksa
41. Moyang Perguruan Racun
42. Murid Ban-tok-ci-bun
43. Misteri Perkumpulan Ngo-hong-kau
44. Duta Istimewa Ngo-hong-kau
45. Lorong Rahasia Ngo-hong-kau
46. Siapa Murid Angkatan ke 13 Ban-tok-bun?
47. Dua Generasi Terkubur
48. Silat Tinggi, Rendah Pengalaman
49. Pembantaian di Lembah Ciang-liong-kok
50. Bukan, Murid Angkatan ke 14
51. Malaikat Perempuan Penunggu Gunung
52. Keluar Dari Kurungan Jala Sutera
53. Rahasia Ngo-hong Kaucu
54. Penderitaan Puteri Musuh Besar
55. Keluhuran Budi Thian-thay-mo-ki
56. Misteri Danau Setan
57. Beberapa Misteri Mulai Terkuak
58. Pembasmi Jit-sing-po
59. Dendam Dibalas, Budi Pun Harus
60. Pemberian Thian-thay-mo-ki
61. Mati .... Bagi Pengikut Ngo-Hong-Kau
62. Ibumu, Tok-keng.... Paderi Siau-lim
63. Pertanggungan Jawab Paderi Siau-lim-si
64. Hampir Mengotori Kuil Suci
65. Akal Bulus Ngo-hong Kaucu

66. Tabir Misterius Terbuka Lebar (TAMAT)

3.9K 78 12
By JadeLiong

"Siapa?" bentaknya bersama. Tapi suara mereka berubah erangan tertahan. Satu diantaranya roboh terkulai, sementara orang yang bersuara tadi lantas ngacir ke tempat gelap hendak lari. Tapi seperti elang menyamber ayam, sekali raih dan cengkeram Ji Bun jinjing baju kuduknya terus ditarik balik.

Merasa tengkuknya dipegang dan badan tertarik mundur, orang itu jadi nekat dan membalik, pedang terus menusuk. Gerakannya cukup tangkas dan lihay pula serangannya. Ji Bun tidak menduga bila orang membawa pedang, reaksinyapun cepat dan cekatan lagi, tahu-tahu hawa pedang yang dingin dan kemilau sudah menusuk ke dadanya. Saking kaget Ji Bun lepaskan cengkeramannya sambil abitkan tubuh orang ke samping, sementara kaki menggeser, "cret", ujung pedang merobek bajunya, serambut saja hampir melukai kulitnya. Saking gusar serta merta dia baliki telapak tangannya terus menampar.

"Plok", orang itu seketika menjerit ngeri, pedang terlempar, tubuhpun terkulai, namun mulutnya masib sempat menjerit serak: "Te-gak Suseng!" tapi jiwanya lantas melayang. Ji Bun jadi menyesal, semula ia hendak menangkapnya hidup-hidup untuk dikompes keterangannya, kini urusan mennjadi gagal.

Setelah keluar dari tumpukan puing itu, Ji Bun menghirup hawa segar, ia memikirkan tindakan selanjutnya. Tiba-tiba dari arah luar lembah sana terdengar suara bentakan, disusul berdentingnya senjata yang ramai. Lekas Ji Bun memburu ke tempat pertempuran itu.

Cuaca sudah mulai terang, fajar telah menyingsing, cepat sekali Ji Bun sudah dapat melihat bayangan orang banyak di kejauhan sana, barisan orang seragam baju sutera mengelilingi sebuah arena besar.

Diam-diam Ji Bun mengumpat akan kelicikan Ngo-hong Kaucu, ternyata dia masih menyembunyikan sekian banyak jago-jagonya yang tangguh. Mulut lembah diledakkan dan disumbat, tujuannya terang hendak membabat seluruh musuh yang menyerbu datang. Cepat sekali Ji Bun tiba di luar lingkaran, sejenak dia meneliti keadaan terus melompat ke atas sebuah batu yang menonjol di dinding gunung. Dari tempat tinggi dengan jelas dia dapat menyaksikan pertempuran di tengah gelanggang.

Puluhan orang tengah berhantam dengan sengitnya. angin seperti lesus berpusar dan berderai keluar, suaranya menderu bagai hujan badai, sinar pedang dan golok berseliweran, pertempuran cukup sengit dan dahsyat. Ratusan pemuda seragam sutera dengan senjata terhunus siap pula berkeliling di luar arena.

Sebentar mulai terdengar jerit dan lolong orang-orang yang terluka atau binasa, yang roboh jadi korban adalah anak buah Wi-to-hwe dari tingkatan rendah yang tinggal beberapa jiwa saja, satu persatu mereka berguguran. Kalau keadaan seperti ini berjalan terus, kekuatan Wi-to-hwe tak lama lagi tentu terkikis habis itu berarti leburnya barisan pembela keadilan kaum persilatan ini.

Darah Ji Bun mendidih, setelah selarut ini, dia tidak bisa berpeluk tangan, maka dia melejit tinggi ke atas, di tengah udara dia menukik seraya membentak, "Berhenti!" Suaranya menggeledek menggema angkasa. Orang-orang yang lagi berbaku hantam itu serentak melompat mundur menghentikan pertempuran. Bayangan Ji Bun segera meluncur ke tengah-tengah mereka. Baru saja kakinya menyentuh tanah dan berdiri tegak, karena memperoleh bintang penolong, tanpa berjanji orang-orang Wi-to-hwe sama bersorak kegirangan.

"Anak keparat!" umpat Ngo-hong Kaucu, "kau .... kau tidak mampus?"

Sekilas Ji Bun menyapu pandang ke sekelilingnya, memang bayangan Siang-thian-ong, Cui Bu-tok dan Hing-thian-it-kiam Gui Han-bun tidak kelihatan, apa yang dibicarakan kedua orang Ngo-hong-kau tadi ternyata memang benar, ketiga orang ini semalam sudah gugur di medan laga.

Sorot mata Ji Bun beralih ke muka Ngo-hong Kaucu, lama sekali tatapan matanya semakin menyala, rona mukanya berubah bergantian, akhirnya berwarna kelabu, ini menandakan nafsunya sudah merangsang tak terkendali lagi. Semua jago-jago Ngo-hong-kau yang hadir sama mengkirik seram melihat mimik wajahnya ini. Bahwa Te-gak Suseng tidak mati, ini berarti rencana Ngo-hong Kaucu telah gagal total.

Ngo-hong Kaucu pun mengunjuk rasa kaget dan heran, lalu berubah bengis dan penasaran seolah-olah binatang buas yang kelaparan dan ingin mengkeremus mangsanya.

Walau kebencian dan dendam merusak sanubarinya, namun pikiran Ji Bun tetap tenang dan dingin, pengalaman telah menggembleng dan memupuk ketahanan lahir batinnya. Dia tidak ingin ada pihak kedua mencampuri pertikaian dirinya dengan Ngo-hong Kaucu, maka dia berpaling kepada Siangkoan Hong, katanya: "Hwecu, maaf, semalam aku tak bisa menepati janji, iblis keparat ini serahkan saja kepadaku, silakan kalian babat habis kaki tangannya."

Kata-kata Ji Bun sekaligus membereskan kesulitan yang dihadapi pihak Wi-to-hwe. Walau mereka amat benci terhadap Ngo-hong Kaucu, namun tiada satupun di antara mereka yang kuat menandinginya. Hanya Hun-tiong Siancu saja kira-kira yang setanding, tapi untuk mengalahkannya apalagi membunuhnya terang tidak mungkin. Celakanya pihak Ngo-hong-kau masih banyak jago-jago yang siaga di luar gelanggang. Anak buah Wi-to-hwe dari kelas dua dan tiga sudah hancur gugur seluruhnya. Tahu akan gelagat yang serba runyam ini, apa boleh buat Siangkoan Hong menyambut saran Ji Bun. Maka pertempuran lantas berlangsung pula.

Tiada kata-kata yang bisa diucapkan lagi oleh Ji Bun kepada Ngo-hong Kaucu, ia harus menundukkan dan membekuknya lebih dulu baru bicara di belakang.

"Ji Bun," desis Ngo-hong Kaucu penuh benci, "Anak haram, akan kulebur tubuhmu menjadi abu dan kutaburkan ke mana-mana"

Ji Bun menggeram rendah dalam kerongkongan, terus menubruk dengan serangan Tok-jiu-sam-sek. Ngo-hong Kaucu juga balas menyerang, keduanya serang menyerang dengan sengit seperti orang kalap.

Singkat dan cepat sekali serang menyerang ini terjadi, segera darah sudah meleleh dari mulut Ngo-hong Kaucu, langkahnyapun sempoyongan. Ji Bun sendiri juga terkena delapan kali pukulan oleh serangan nekat lawannya, darah sudah bergolak dalam rongga dadanya. Pertempuran dahsyat antara naga dan harimau yang jarang terjadi selama ratusan tahun dalam Bu-lim ini, sayang tiada orang yang menikmatinya. Orang-orang kedua pihak sedang sibuk menggasak lawannya untuk mempertahankan jiwanya sendiri-sendiri, tiada seorangpun yang mengikuti pertempuran besar ini.

Kedua orang terpental mundur, keduanya sama-sama istirahat sedetik mengatur napas dan menghimpun kekuatan. Biji mata Ji Bun seolah-olah mencolot keluar, katanya dengan menyeringai: "Yang kulancarkan tadi adalah Giam-ong-yan-khek, jurus ketiga dari Tok-jiu-sam-sek ajaran perguruan kita. Nah, pengkhianat, hari ini kau barus mampus binasa oleh jurus ciptaan Cosuya."

Ngo-hong Kaucu mundur beberapa langkah, mendadak kakinya menjejak tanah, badan meluncur keluar gelanggang, secepat terbang.

"Lari kemana!" Ji Bun membentak, segera iapun mengejar dengan kencang. Beberapa tombak di luar lingkaran, Ji Bun mengerahkan seluruh tenaganya dan melompat maju memperpendek jaraknya dengan musuh seraya mendorongkan telapak targannya ke depan.

Sambil menjerit kesakitan Ngo-hong Kaucu terdorong sempoyongan dua tombak jauhnya. Pelan-pelan dia putar balik badannya.

Ji Bun mendekat di dekat orang, desisnya dengan gigi gemerantak: "Masih mau lari?"

Ngo-hong Kaucu setengah jongkok, kedua telapak tangannya seperti menekan ke bawah, jubah hitam yang longgar tiba-tiba semakin melembung membesar seperti berisi angin, tak ubahnya layar berkembang tertiup angin kencang, uap tampak mengepul di atas kepalanya, mata terpejam mulut mengancam pelahan: "Aku mati kaupun jangan harap bisa hidup."

Mencelos hati Ji Bun, entah lawan hendak mengerahkan ilmu jahat apa, maka iapun siaga, seluruh kekuatan Lwekangnya ia kerahkan.

Tiba-tiba bayangan seorang meluncur datang, begitu dekat seketika dia menjerit kaget: "Awas, dia .... dia telah berhasil menyakinkan Kian-kun-sut-biat (semesta alam sunyi senyap) yang tertera di dalam Hud-sim ....." yang memberi peringatan adalah orang dalam tandu, Toh Ji-lan, atau adik kandung Pek-ciok Sin-ni, pemilik Hud-sim. Dari suaranya yang ngeri menakutkan dapatlah dibayangkan bahwa keadaan amat gawat dan mendesak.

Jantung Ji Bun serasa hampir meledak, dia tidak tahu apa itu Kian-kun-sut-biat, tapi tiada sedikitpun maksudnya hendak mundur, dia tidak gentar.

"Ciiiaaat ......" di tengah pekik panjang ini, kedua tangan Ngo-hong Kaucu yang semula menekan ke bawah mulai terangkat. Tiba-tiba laksana kilat membalik terus mendorong ke depan. Ji Bun juga lontarkan pukulan Tok-jiu-sam-sek dengan seluruh kekuatannya.

Toh Ji-lan lekas melompat mundur sejauhnya. Angin kencang setajam pisau berderai ke empat penjuru, hawa udara seperti meledak mengeluarkan suara rentetan letusan panjang. Dua lawan yang baku antam sama terjungkal roboh sambil menjerit seram. Muka Ji Bun putih seperti kertas, darah menyembur dari mulut, dalam sekejap ini seakan-akan dia kehilangan kesadaran. Di sana Ngo-hong Kaucu rebah mendekam di atas tanah, darah membanjir keluar diantara mukanya yang menyentuh bumi. Toh Ji-lan menjublek ditempatnya.

Lama sekalibaru kelihatan Ji Bun bergerak, agaknya mulai siuman dan sadar kembali, dalam hatinya berteriak-teriak: "Ji Bun, kau jangan mati, kau tidak boleh mati. Hayo bangkit keraskan hatimu!"

Sementara itu, Toh Ji-lan beranjak mendekati Ngo-hong Kaucu. Keruan Ji Bun menjadi gugup, lekas dia kerahkan tenaganya, suara serak keluar dari kerongkongannya: "Jangan sentuh dia!"

Tanpa kendali darah menyemhur sebanyak-banyaknya. Kepala seketika pusing, pandangan pun berkunang-kunang, namun dia sudah mencegah tindakan Toh Ji-lan.

Keyakinan dan kekerasan hatinya menimbulkan semacam kekuatan pada diri Ji Bun. Pelan-pelan dia berdiri, wajahnya yang pucat begitu seram dan mengerikan siapapun akan mengkirik melihatnya. Cukup lama baru dia kuasa pertahankan dirinya yang limbung. Dengan suara serak dan samar-samar dia menggumam: "Dia tidak mampus begini saja, dia harus mati di bawah ..... hukum perguruan yang berlaku, banyak urusan yang harus dia ......"

Dengan mendelong Toh Ji-lan awasi Ji Bun, ia tidak mengerti apa yang dimaksudkan.

Sementara pertempuran masih berlangsung dengan gaduh, korban berjatuhan saling susul.

Tiba-tiba Ngo-hong Kaucu menggerakan kaki tangan kepalapun terangkat pelan-pelan.

"Dia belum mati!" gemetar suara Toh Ji-lan.

Dengan sabar Ji Bun menunggu, sayang tenaga sendiri juga sudah ludes, paling-paling cuma mampu untuk berdiri saja.

Selekasnya dia mengerahkan hawa murni dan bersemadi dengan ilmu perguruannya, dia harap dalam waktu singkat berhasil memulihkan kekuatannya.

Dua permuda baju sutera tiba-tiba berlari ke arah sini, begitu melihat keadaan di sini, mereka menjerit kaget, serentak tanpa berjanji kedua pemuda ini memburu ke arah Ji Bun.

Orang dalam tandu, Toh Ji-lan, segera pentang kedua tangan menyambut kedatangan mereka. Hanya sekali puntir dan mengipat, jiwa mereka kontan dibikin tamat. Sementara pertempuran masih tetap berlangsung, cuma keadaan sudah tidak segaduh tadi. Agaknya pertempuran besar sudah menjelang akhir.

Pelan-pelan Ngo-hong Kaucu mulai merangkak dan berduduk. Sinar mentari menyorot masuk dari celah lembah menyinari suasana lembah yang suram itu. Bayangan orang berlari saling kejar, yang kalah melarikan diri berusaha menyelamatkan jiwa, sudah tentu pihak yang menang tidak memberi ampun, maka terjadilah kejar mengejar.

Tiba-tiba Ji Bun berkata kepada "orang dalam tandu": "Harap Cianpwe suka mundur sebentar!"

"Kenapa?" tanya Toh Ji-lan.

"Wanpwe akan menyelesaikan sesuatu secara rahasia."

"Pinni harus mengambil kembali "Hud-sim"

"Wanpwe akan mengembalikannya nanti."

Dengan heran dan apa boleh buat, akhirnya "Orang dalam tandu" Toh Ji-lan menyingkir.

Sementara itu Ji Bun sudah berhasil menghimpun tiga bagian tenaganya. Didengarnya Ngo-hong Kaucu sedang sesambatan: "O, Thian, agaknya engkau sengaja hendak menumpasku ...."

"Ganjaran setimpal dengan perbuatanmu!" jengek Ji Bun sambil mendekat.

Dua bayangan tampak meluncur datang dari lembah sana yang lebih rendah letaknya, ternyata Ciang Wi-bin dan puterinya. "Se-heng" teriak Ciang Bing-cu kegirangan sebelum tiba, "kau tidak apa-apa bukan?"

Ji Bun sambut kedatangan mereka dengan pandangan haru dan penuh simpatik.

"Ji Bun", kata Ciang Wi-bin begitu tiba, "kau tak boleh membunuhnya."

"Kenapa?"' tanya Ji Bun.

Serba susah Ciang Wi-bin menjawab, tapi dia menggertak gigi, akhirnya katanya dengan serak gemetar: "Kau boleh menyingkap kedok dan ikat kepalanya."

Heran dan curiga Ji Bun. agaknya Ciang Wi-bin sudah tahu siapa sebetulnya Ngo-hong Kaucu ini, kata-katanya juga mengandung maksud tertentu. Memang sejauh ini tiada peluang bagi Ji Bun untuk banyak pikir. Segera dia gerakkan jari tangan menutuk dari kejauhan, lengan kanan Ngo-hong Kaucu seketika lemas. Mulutnya menyuarakan pekik serak dan putus asa yang menggila: "Ji Bun ..... kau .... lekas kau bunuh aku saja."

Ji Bun terus mencengkeram ikat kepala dan merenggut kedok mukanya.

"Hah," tiba-tiba dia berteriak histeris dan mundur sempoyongan. "Bluk" akhirnya jatuh terduduk. Kulit mukanya berkerut-kerut, hampir saja dia jatuh semaput.

Sedetik itu, dunia seakan-akan kiamat, rasanya seperti badan dirobek-robek, otaknya hampa dan badan lunglai. Lama sekali baru mulutnya mengeluarkan keluhan putus asa, sambatnya: "Tidak.... ini tidak mungkin! Terlalu kejam, O, Thian ......."

Ngo-hong Kaucu ternyata ayahnya, yaitu Jit-sing-pocu Ji Ing-hong.

Mimpipun tak pernah terbayang dirinya bakal menghadapi kenyataan yang sukar diterima dengan akal sehat ini. Orang berkedok berjubah sutera, Jit-sing-ko-jin, laki-laki muka hitam tak dikenal, Kwi-loh-jin duplikat orang-orang yang pernah menyerang dan mencelakai dirinya, kini satu persatu terpampang di depan matanya. Codet panjang miring disamping kepala Ji Ing-hong setajam pisau menggores sanubarinya. Tanpa mengenal belas kasihan dengan berbagai cara keji dan licik ayah kandungnya berusaha membunuh dirinya, malahan menculik ibunya untuk memeras dan menindas dirinya. Thian-thay-mo-ki, kekasih yang dlcintainya diperkosa sampai bunuh diri, lebih celaka lagi diapun berani mendurhakai guru dan melanggar aturan perguruan.

Remuk radam hati Ji Bun, betapa hebat derita yang dialaminya sekarang sukar dilukiskan dengan kata-kata. Kedua jari tangan meremas rambut kepala sendiri, mulutnya sesambatan: "O,Thian, kenapa bisa begini? Kenapa ........ kenapa?" Begitu sedih memilukan suaranya, tidak mirip suara manusia lagi.

Ciang Wi-bin pun mencucurkan air mata, katanya pilu: "Saudara Ing-hong, kenapa kau sampai berbuat begini rupa?"

Ji Ing-hong menengadah, mukanyapun berkerut dan gemetar, dia diam saja.

Mendadak Ji Bun berdiri, segera dia putar badan berlari keluar. Lekas Ciang Wi-bin memburunya, katanya sesenggukan: "Ji Bun kau tidak boleh pergi demikian saja, apakah Siangkoan Hong dan teman-temannya mau memberi ampun kepadanya?"

Baru sekarang Ji Bun menangis tergerung-gerung, katanya terputus-putus: "Paman, aku ..... bagaimana .... baiknya ...."

"Hadapilah kenyataan ini dengan tabah, bereskan dulu persoalan di depan mata ini, soal lain boleh dibicarakan nanti."

"Tapi ..... bagaimana Siautit bisa menyelesaikan soal ini? Aku ..... rasanya lebih baik mati saja ..... "

Puluhan orang berlari-lari mendatangi ke arah sini. Mendadak seorang berteriak: "Ji Ing-hong! He, ini Ji Ing-hong!"

Lekas Ciang Wi-bin menyeret Ji Bun mendekati Ji Ing-hong.

Mendadak Siangkoan Hong mendongak sambil bergelak tertawa dengan sedih dan beringas, serunya:"'Ji Ing-hong, sungguh tidak terduga, agaknya Thian memang berkehendak begini. Ha ha ha ha .......!"

Bayangan seorang tiba-tiba menubruk ke arah Ji Ing-hong. Tanpa pikir Ji Bun segera menghadang maju sambil ayun tangan. Bayangan itu dipukulnya mundur pula. Penyerangnya ternyata adalah ibu tuanya, Khong-kok-lan So Yan atau isteri ayahnya yang resmi.

"Ji Bun," teriak Siangkoan Hong gusar, "kau mau melindunginya?"

Gemetar bibir Ji Bun, sekian lamanya baru dia kuasa bicara, "Kalau kalian mau turun tangan, boleh bunuh aku lebih dulu."

"Ji Bun," teriak Khong-kok-lan So Yan kalap, "kalau kau melindungi dia, kaupun harus bunuh kami semua yang hadir di sini."

Betapa sedih hati Ji Bun sukar terlampias, apapun dia adalah putera kandung ayahnya. Dia tidak bisa berpeluk tangan melihat orang hendak merenggut jiwanya. Namun iapun insyaf ayahnya merupakan musuh bersama kaum persilatan, di samping sebagai pengkhianat perguruannya. Iapun harus menegakkan dan melaksanakan hukum perguruan atas ayahnya sendiri. Maka dia tak kuasa menjawab pertanyaan Khong-kok-lan So Yan. Jalan satu-satunya agaknya ayah beranak gugur bersama karena dia tidak mungkin membunuh ayahnya sendiri, namun ayahnya harus mati menebus dosanya.

Dan mana ibunya? Teringat kepada ibundanya, ingin rasanya dia menangis sepuas-puasnya, dia tidak berani tanya jejak ibunya kepada ayahnya, iapun tak berani berpaling mengawasi wajah bapaknya yang telah berubah bentuknya menjadi sedemikian buruk. Ji Bun merasa malu diri, malu berhadapan dengan kaum persilatan, tapi sekarang dia harus berani memikul semua ini. Dia tidak mungkin menyingkir dari tanggung jawab yang timbul karena adanya sebab dan akibat ini.

Seorang laki-laki baju hitam lari mendekati Siangkoan Hong serta memberi hormat, katanya: "Lapor Hwecu, Cui-ciangling dan Gui-houhoat bersama tiga ......."

"Kenapa?" Siangkoan Hong menegas.

"Ditemukan sudah gugur di gedung yang runtuh itu."

"Han-bun sudah mati?" tiba-tiba Khong-kok-lan melengking beringas.

Hun-tiong Siancu segera memapah dan pegang pundak orang, tiba-tiba Khong-kok-lan terloroh-loroh kalap, gelak tawanya lebih seram dari orang menangis.

Tak tahan menghadapi tekanan lahir batin, mendadak Ji Bun juga menjerit sekeras-kerasnya: "Baiklah, kalian boleh turun tangan!"

Khong-kok-lan So Yan meronta dari pegangan Hun-tiong Siancu terus menubruk maju seraya membentak: "Ji Bun, minggir!"

"Tidak," teriak Ji Bun kalap, "kau boleh turun tangan terhadapku."

"Aku tidak akan membunuhmu ........."

"Aku tetap tidak akan menyingkir."

'"Lihat pukulan!"

"Plak", dengan telak Ji Bun terlempar setombak lebih, darah menyembur dari mulutnya. Dia tidak balas menyerang, juga tidak mengerahkan Lwekang melindungi badan. Para hadirin itu adalah jago-jago silat, mereka tahu Ji Bun sengaja mencari kematian, maka dia tidak melawan.

Keruan Khong-kok-lan melenggong, namun rasa benci dan dendam kematian Gui Han-bun menghantui sanubarinya, tekatnya membunuh Ji Ing-hong takkan tergoyahkan oleh tekanan apapun. Sementara Ji Ing-hong sendiri insaf takkan berhasil bunuh diri, luka-lukapun teramat parah, ia tahu dirinya takkan lolos dari tuntutan umum. Akhirnya dia pejamkan mata dan anggap tak melihat dan tak mendengar.

"Ji Bun," Siangkoan Hong menegas dengan suara berat, "lebih baik kau menyingkir saja."

Ji Bun meronta bangun, dengan langkah tertatih-tatih iapun kembali ke tempatnya, mulutnya menjawab tegas: "Tidak bisa!"

Ciang Wi-bin mengosok kedua telapak tangan, pertanda iapun kebingungan dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Mendadak dengan pilu sedih Khong-kok-lan So Yan berkata: "Apakah pedang Gui-houhoat ...."

Seorang laki-laki baju hitam yang lain segera tampil ke depan sambil mengangsurkan sebatang pedang dengan kedua tangan, serunya: "Inilah."

Khong-kok-lan langsung menghunus pedang itu, sarung pedang dibuang, sekali membalik pergelangan tangan, baru saja ia hendak ........

Tiba-tiba dilihatnya bayangan seorang berbaju hitam melayang turun di tengah orang banyak. Kiranya seorang perempuan setengah baya yang masih kelihatan sisa-sisa kecantikannya di masa muda dahulu. Sayang alisnya berkerut dirundung kesusahan, wajahnyapun pucat pasi.

"Ibu!" mendadak Ji Bun menjerit sambil menubruk maju dan memeluk kaki orang, maka pecahlah tangisnya sejadi-jadinya.

Perempuan baju hitam ini ternyata adalah isteri Ji Ing-hong yang kedua atau ibu kandung Ji Bun.

Air mata Lan Giok-tin berlinang-linang katanya kepada Ji Bun: "Nak, jangan menangis, bangunlah!"

Mana bisa Ji Bun membendung rasa rindu dan kepedihan hatinya, tangisnya malah semakin keras. Lan Giok-tin memegangi sebuah kotak persegi yang terbungkus kain sutera, katanya; "Inilah Hud-sim, siapa yang akan menerimanya?"

Toh Ji-lan menyebut Buddha, katanya: "Serahkan kepadaku!" Setelah terima kotak itu, dia mundur ke samping.

"Ing-hong," kata Lan Giok-tin tiba-tiba sambil berpaling kepada Ji Ing-hong yang bersimpuh di tanah, "urusan sudah selarut ini, terpaksa aku harus bicara?"

Terpentang kedua biji mata Ji Ing-hong, sinar buas masih menyala, tapi lekas sekali tertunduk pula, katanya lesu: "Katakanlah!"

Lan Giok-tin tarik Ji Bun, katanya dengan terguguk: "Nak, bangunlah, dengarkan penuturanku."

Ji Bun menyeka air mata sambil berdiri, sekujur badannya gemetar.

Thong-sian Hwesio merangkap kedua tangan, katanya kepada Lan Glok-tin, "Ji-hujin, Pinceng adalah Ciu Tay-han, tertua Jit-sing-pat-ciang dulu."

"Aku tahu," Lan Giok-tin mengangguk.

"Bu!" seru Ji Bun pula dengan sedih,

Lan Giok-tin menarik napas panjang, dia kesut air mata yang hampir meleleh, mendadak rona wajahnya berubah, seperti bertekad ambil putusan, lalu katanya: "Aku bukan ibumu!"

"Apa katamu?" teriak Ji Bun gemetar sambil melangkah mundur.

Lan Giok-tin melirik ke arah Siangkoan Hong, lalu berkata pula dengan suara yang menggetarkan hati orang: "Ji Ing-hong juga bukan ayah kandungmu."

Terbelalak mata Ji Bun, mulutpun melongo, lama baru keluar suara gemetar dari kerongkongannya yang kering: "Aku ...... apakah aku masih hidup? Aku sedang mimpi? Atau ....."

"Nak, ini bukan mimpi, tapi kenyataan. Ayah kandungmu adalah dia!" tiba-tiba tangannya menunjuk Siangkoan Hong.

Berubah hebat air muka Siangkoan Hong, kaget dan melongo dia awasi Lan Giok-tin.

Dengan kepalan tangan Ji Bun menjotos kepala sendiri, teriaknya: "Aku tidak tahan, aku ....... aku tidak tahan. O, Thian, apakah yang terjadi ini?"

Kata Lan Giok-tin lebih lanjut sambil menatap Siangkoan Hong: "Siangkoan Hong, Ji Bun ini, adalah putera yang dilahirkan isterimu Cu Yan-hoa dulu. Tiga hari sebelumnya kebetulan aku juga melahirkan anak perempuan, sayang dua hari kemudian dia meninggal. Semula Ing-hong hendak mencekiknya mati, akulah yang mencegahnya karena tidak tega. Sejak itu dia kuasuh dan kubesarkan seperti anakku sendiri. Kukira rahasia ini tidak di ketahui orang lain sampai sekarang, maka sebenarnya anak ini bernama Siangkoan Bun. Kini tibalah saatnya dia kembali keharibaan ayah kandungnya sendiri."

Sudah tentu hadirin sama bingung dan melongo akan kejadian ini. Dalam sedetik ini, Ji Bun baru betul-betul sadar dan mengerti, pantas Ji Ing-hong yang semula dianggap ayah kandung sendiri berulang kali berusaha membunuhnya, karena sebab inilah, sungguh mengerikan, aneh dan mustahil, tapi toh nyata. Malah dia pernah bersumpah menuntut balas dengan kedua tangan sendiri terhadap musuh itu dan dia ternyata adalah ayah kandungnya sendiri.

Mendadak Siangkoan Hong memburu maju memeluk Ji Bun alias Siangkoan Bun, air mata bercucuran, sepatah katapun tak kuasa dia ucapkan.

Lekas Siangkoan Bun bertekuk lutut menyembah kepada ayah kandungnya, teringat akan kematian ibu kandungnya, Cu Yan-hoa yang mengenaskan, tiba-tiba dia angkat kepala dan mendelik murkra ke arah ...... Ji Ing-hong.

Dengan penuh kebencian dan dendam Ji Ing-hong berteriak: "Lan Giok-tin ...... kau ........ bagus ....."

"Nak, dengarkan aku bicara," kata Lan Giok-tin tanpa hiraukan seruan Ji Ing-hong, "kusuruh seorang yang bernama Ui Bing antar Tok-keng padamu, kau sudah menerimanya?"

Mendadak Ji Bun angkat kepala, sahutnya sedih: "Sudah kuterima, Ui-toako sudah ... sudah meninggal."

Terbukti sudah bahwa Ui Bing terbunuh oleh kawanan Duta Ngo-hong-kau yang berjumlah empat orang itu, tapi akhirnya merekapun mampus keracunan. Sementara paderi Siau-lim mendapat titipan Ui Bing sebelum ajal, namun Hwesio itupun mati keracunan sehingga hampir saja menimbulkan salah paham.

"Nak, Thian-thay-mo-ki pernah menolong jiwamu dengan darahnya, itu kusaksikan sendiri, sekarang dia ....... sudah mati."

Ji Bun manggut-manggut, perempuan baju hitam yang misterius seperti yang pernah diceritakan oleh Thian-thay-mo-ki dulu ternyata adalah Lan Giok-tin.

"Beberapa kali Ji Ing-hong hendak membunuhmu, tapi gagal. Sebetulnya dia harus insaf dan menghentikan niat jahatnya, karena rahasia riwayatmu tiada orang lain yang tahu. Tapi karena codet di kepalanya itu tak bisa hilang, terpaksa dia nekat, dan aku harus malu dan menista perbuatannya, betapapun aku adalah isterinya. Sekarang aku mengingkarnya demi kebenaran, maka sejak kini putuslah hubungan suami isteri, aku ..... .." belum habis dia bicara, tiba-tiba ia roboh binasa, dia bunuh diri dengan memutus urat nadi sendiri.

Mendadak Ji Bun melompat ke depan Ji Ing-hong, telunjuknya menuding Hoat-wan di telapak tangan yang lain, bentaknya bengis: "Ji Ing-hong, kau pantas dicincang, demi menegakkan ....... aturan perguruan, telanlah ini untuk mengakhiri hidupmu."

Ji Ing-hong menarik napas, dia terima Hoat-wan tanpa bicara terus ditelan kontan iapun roboh telentang dan amblas jiwanya.

Khong-kok-lan menjerit pilu, ia menubruk maju dan ayun pedang memenggal kepala Ji lng-hong, lalu berteriak: "Han-bun, tunggulah aku!"

Tahu-tahu pedangnya menggorok leher sendiri, gerakkannya terlalu cepat dan tak terduga, orang lain tak sempat mencegah atau menolongnya lagi.

Hun-tiong Siancu maju mendekat, Siangkoan Hong tarik Siangkoan Bun ke dekatnya, katanya: "Nak, inilah ibu muda. Dulu kebetulan ayah bersua dengan Pek-ciok Sinni, kepada beliau aku belajar silat dan berhasil. Akhirnya aku menikah dengan ibumu ini dan melahirkan adikmu Ci-hwi...."

"O, mana adik?"

"Ai, nasibnya memang jelek, sekarang berada di atas gunung, mengasuh anaknya yang tak berdosa itu."

Ji Bun diam saja, sungguh tak nyana bahwa gadis baju merah yang dulu memikat hatinya itu ternyata adalah adiknya dari lain ibu, sungguh luar biasa.

Siangkoan Hong segera memerintahkan anak buahnya menolong yang terluka dan mengubur yang mati.

Pada suatu kesempatan Ciang Wi-bin tarik Siangkoan Hong menyingkir dari orang banyak. Entah soal apa yang mereka bicarakan dengan bisik-bisik, lalu Siangkoan Hong panggil Siangkoan Bun: "Nak, bagaimana persoalanmu dengan nona Bing-cu."

Thian-thay-mo-ki telah meninggal, tiada alasan lagi yang dapat Siangkoan Bun katakan, terpaksa ia menjawab: "Terserah kepada putusan ayah."

"Baiklah, kita putuskan," ujar Siangkoan Hong kepada Ciang Wi-bin, "sebulan lagi kami ayah dan anak akan berkunjung ke rumahmu untuk mengajukan lamaran."

Ciang Wi-bin tergelak-gelak, katanya senang: "Baiklah, sekarang aku mohon diri."

Ciang Wi-bin lantas berangkat sambil menggandeng tangan Ciang Bing-cu.

Siangkoan Bun bertanya dengan tak mengerti: "Bukankah selat lembah sana sudah diledakan dan buntu?"

"Dari Lan Giok-tin, Ciang Wi-bin sudah mendapat tahu jalan rahasia lain," tutur Siangkoan Hong.

Setelah semua orang bekerja keras, haripun sudah hampir magrib, dengan langkah berat rombongan Siangkoan Hong ramai-ramai meninggalkan lembah itu melalui jalan rahasia.

T A M A T

Continue Reading

You'll Also Like

Jilbab By Jeon

Spiritual

78.2K 904 3
Abidah Bassamah adalah seorang gadis yang masih mencari jati dirinya. Baginya pacaran adalah hal biasa walau sebenarnya itu hal yang haram. Abi mengh...
44.1K 543 39
(seri ke 13 Bu Kek Siansu) Jilid 1- 39 Tamat Episode ini meski masih kental diwarnai oleh kiprah keluarga Pulau Es namun sebenarnya yang menjadi sent...
7.8K 136 12
"Kalau memang berjodoh, pasti ada saja cara semesta mempersatukan kita. Bahkan setiap pertemuan dan perpisahan pun memiliki takdirnya sendiri, kan?" ...
918K 14.3K 33
Elia menghabiskan seluruh hidupnya mengagumi sosok Adrian Axman, pewaris utama kerajaan bisnis Axton Group. Namun yang tak Elia ketahui, ternyata Adr...