Hati Budha Tangan Berbisa - G...

De JadeLiong

174K 3.6K 48

Wataknya dingin, angkuh, semua itu menjadikan jiwanya nyentrik. Untunglah di dalam lubuk hatinya yang paling... Mais

01. Pelajar Muda Berlengan Buntung
02. Perempuan Genit dari Thian-Thay
03. Tuduhan yang Sulit Dibantah
04. Jangan Sentuh Dia!!
05. Balasan Pengorbanan Darah
06. Pertemuan Tak Terduga
07. Jit-sing-po Tersapu Bersih
08. Pembunuh Berkedok Berjubah Sutera
09. Peresmian Perkumpulan Wi-to-hwe
10. Tamu Agung Wi-to-whe
11. Kehilangan Anting Kenangan
12. Kuil Mesum Siong-cu-am
13. Perebutan Sek-hud
14. Sam-Cay-Ciat. . . . . Penyelamat
15. Kakek Aneh di Dasar Jurang
16. Dari Celaka Dapat Rejeki Nomplok
17. Tabib Keliling Thian-bak-sin-jiu
18. Puteri dari Istana Ngo-lui-kiong
19. Racun Paling Dikenal, Jarang dan . . . Sama
20. Bu-lim-siang-koay
21. Racun Bu-ing-cui-sim-jiu
22. Dalang Penyerangan Wi-to-hwe
23. Jiwa Ksatria Tak Gentar Elmaut
24. Tuduhan Pembunuh dan Pemerkosa
25. Ayah Meninggal, Dendam Makin Membara
26. Kau, Tidak Takut Racun. . . . . .??
27. Rahasia Rumah Setan di Kay-hong
28. Wi-to-hwe Terima Syarat Barter
29. Salah Duga Terhadap Biau-jiu Siansing
30. Cinta dan Dendam Tak Bisa Berdampingan
31. Hmm, ...... Tidak Tahu Malu
32. Rahasia Wi-to-hwecu
33. Siapa Pembunuh Te-gak Suseng?
34. Te-gak Suseng Hidup Kembali .....??
35. Orang Desa Penagih Darah
36. Jejak Ibunda, Mulai Tercium
37. Pengkhianatan Kacung Keluarga
38. Kedok dan kemunafikan Sang Ayah ....??!!
39. Korban Ilmu Hian-giok-siu-hun
40. Lelaki Penderita Tanpa Daksa
41. Moyang Perguruan Racun
43. Misteri Perkumpulan Ngo-hong-kau
44. Duta Istimewa Ngo-hong-kau
45. Lorong Rahasia Ngo-hong-kau
46. Siapa Murid Angkatan ke 13 Ban-tok-bun?
47. Dua Generasi Terkubur
48. Silat Tinggi, Rendah Pengalaman
49. Pembantaian di Lembah Ciang-liong-kok
50. Bukan, Murid Angkatan ke 14
51. Malaikat Perempuan Penunggu Gunung
52. Keluar Dari Kurungan Jala Sutera
53. Rahasia Ngo-hong Kaucu
54. Penderitaan Puteri Musuh Besar
55. Keluhuran Budi Thian-thay-mo-ki
56. Misteri Danau Setan
57. Beberapa Misteri Mulai Terkuak
58. Pembasmi Jit-sing-po
59. Dendam Dibalas, Budi Pun Harus
60. Pemberian Thian-thay-mo-ki
61. Mati .... Bagi Pengikut Ngo-Hong-Kau
62. Ibumu, Tok-keng.... Paderi Siau-lim
63. Pertanggungan Jawab Paderi Siau-lim-si
64. Hampir Mengotori Kuil Suci
65. Akal Bulus Ngo-hong Kaucu
66. Tabir Misterius Terbuka Lebar (TAMAT)

42. Murid Ban-tok-ci-bun

2.2K 52 0
De JadeLiong

Ji Bun berlutut dan menyembah tanpa bersuara, hakikatnya memang, dia sendiri tidak tahu apa yang harus dia lakukan untuk mengiringi upacara ini. Lalu berkatalah Ban Yong-siang lebih lanjut dengan nada kereng berwibawa. "Perguruan kita adalah Ban-tok-ci-bun (perguruan selaksa racun). Berdiri dan berkembang demi kesejahteraan manusia, hidup rukun saling membantu, membela yang benar menindas kelaliman, membantu yang lemah menumpas yang kuat dan jahat, takkan berbuat salah dan tidak menuntut kegaiban. Dapatkah kau mematuhinya?"

"Hamba bersumpah akan patuh dan taat!"

"Dengarkan tata tertib!"

"Tecu siap mendengarkan."

"Pertama dilarang berbuat jahat dan cabul, kedua dilarang mencuri atau merampok, ketiga dilarang membunuh tanpa berdosa, keempat dilarang membantu kejahatan atau kelaliman. Dapatkah kau mematuhi semua ini?"

Ji Bun mengiakan.

"Nah, sekarang dengarkan peraturan hukum. Mendurhakai perguruan dan leluhur, hukumnya mati. Mengajarkan ilmu beracun secara semena-mena dihukum gantung. Yang membocorkan rahasia perguruan dihukum mati. Berbuat kejahatan dan melanggar perikeadilan dihukum mati. Dapatkah kau mematuhi semua ini?"

Ji Bun mengangguk dan menyatakan patuh.

"Nah, sekarang kau boleh berdiri, nak."

Ji Bun berdiri lalu menghadapi Ban Yu-siong dan memberi hormat.

"Tidak perlu banyak adat, berdirilah!" wajah orang tua itu sekarang kelihatan welas asih penuh kasih sayang, sorot matanya yang tajam tadi telah lenyap, katanya sambil menuding bangku batu di sebelahnya: "Duduklah, kuingin bicara dengan kau."

"Terima kasih," ucap Ji Bun sambil duduk.

"Tuturkan riwajat dan asal usulmu."

"Tecu Ji Bun, keturunan Jit-sing-pang Pangcu Ji Ing-hong, anak tunggal dan mewarisi ajaran keluarga, tidak pernah berguru pada aliran lain."

"Baiklah, nak, dengarkan dengan cermat. Perguruan kita bernama Ban-tok-ci-bun, cikal-bakal kita adalah Kwi-kian-jiu yang tersohor sejak ratusan tahun hingga sekarang. Beliau bernama Le Bong. Perguruan kita diwariskan dari satu generasi kepada generasi yang lebih muda, setiap generasi , hanya menerima seorang murid, inilah peraturan yang diwariskan oleh cikal bakal kita dan pantang dilanggar, oleh karena itu ada larangan barang siapa yang melanggar aturan dan sembarangan mengajarkan ilmu beracun kepada orang lain, harus dihukum mati."

"Pernahkah Suthayco berkelana di Kang-ouw?"

"Sudah enam puluh tahun aku menyepi diatas gunung."

"Lalu generasi yang lalu ......"

"Cosuya (Cikal bakal) kita mewariskan aturan cara untuk mendapatkan murid, ini boleh dibilang sebagai rahasia perguruan kita pula. Pada dua ratus tahun yang lalu Cosuya secara tidak disengaja menemukan gua rahasia yang tersembunyi di celah-cela Kiu-coan-ho ini, maka sejak itu beliau lantas bersemayam dan mengasingkan diri di sini. Setelah menggembleng diri selama 60 tahun, bukan saja ilmu silatnya mencapai puncak yang tiada taranya, yang lebih penting beliau berhasil menyelami ajaran Tok-keng yang paling mendalam. Tiba-tiba timbul nalarnya yang luhur, jika ilmu-ilmu ciptaannya sampai putus turunan dan lenyap terbawa mati, kan amat sayang, namun beliau sudah bersumpah untuk mengasingkan diri, tak mungkin melanggar sumpah untuk keluar mencari murid ......"

Sampai disini dia berhenti sebentar, lalu menyambung, "Oleh karena itu Cosuya mendapatkan akal secara untung-untungan bagi yang berjodoh mendapatkan rejeki, beliau mencatat semua ciptaan ilmunya pada dua buah kitab, pada jilid pertama diterangkan, bagi seorang yang menemukan buku itu harus mempelajarinya dengan tekun dan rajin. Dalam jangka 10 tahun, jika mencapai hasil, boleh kemari untuk angkat guru dan memperdalam pelajaran jilid kedua. Jilid pertama dan keterangannya itu oleh Cosuya dimasukkan ke dalam sebuah gelembung kulit terus dilempar ke sungai biar terbawa arus, kemungkinan memang buku itu tidak akan ditemukan orang dan akan lenyap tak keruan parannya. Namun cita-cita Cosuya ini memang hanya dipertaruhkan kepada orang-orang yang kebetulan punya jodoh saja ......"

Asyik sekali Ji Bun mendengarkan cerita ini, akhirnya tak tahan ia bertanya, "Tentu bungkusan itu ditemukan orang, lalu bagaimana?"

Ban Yu-siong manggut-manggut, katanya: "Ya, kalau tidak masakah perguruan kita bisa bertahan turun temurun sampai sekarang."

"Harap Suthayco melanjutkan kisah ini."

"Enam tahun kemudian, suatu hari ketika Cosuya sedang memancing ikan di tepi sungai, mendadak dilihatnya sesosok tubuh manusia terhanyut dibawa arus, cepat beliau menolongnya ke atas, untung orang itu belum meninggal. Pada badannya ternyata ada kitab Tok-keng jilid pertama. Setelah ditolong dan diobati, baru diketahui bahwa orang ini memang hendak menghadap kepada guru, sayang ia kesasar dan terpeleset jatuh ke sungai ......"

"Hah!" Ji Bun bersuara dalam mulut.

"Waktu itu bukan kepalang senang hati Cosuya, segera orang itu diangkat jadi murid dan mulai mendirikan sebuah perguruan yang dinamakan Ban-tok-bun. Sejak itu keluarlah aturan perguruan. Di samping itu mengingat ajaran ilmu beracun tidak sama dengan pelajaran ilmu silat, sekali salah tangan pasti mengakibatkan tewasnya orang, jika anak murid sendiri tidak dibatasi gerak geriknya, kelak bisa menimbulkan petaka bagi dunia persilatan, oleh karena itu ditentukan setiap generasi hanya boleh menerima seorang murid saja ......."

"Memang bajik dan bijaksana sekali Cosuya," ujar Ji Bun.

"Orang itu adalah Suco dari generasi kedua bernama Hoan Goan-liang, karena pengalaman Hoan-suco ini, maka Cosuya menyadari suatu cara untuk menjajaki jiwa manusia. Setiap orang yang memperoleh Tok-keng jilid pertama dan menjadi murid keturunannya, dia harus menceburkan diri di hulu Kiu-coan-ho, setelah mengalami ujian berat dengan mempertaruhkan jiwa raga ini baru dia setimpal dan punya bobot untuk diangkat menjadi murid secara resmi ......"

"Jika orang itu hilang terbawa arus, lalu bagaimana?" tanya Ji Bun.

"Tidak mungkin, arus air dibawah bukit itu memang aneh, setiap orang yang ceburkan diri ke sungai akhirnya pasti akan terlempar ke atas daratan, disamping itu Cosuya juga memasang jala besar, setiap benda yang terhanyut kesana pasti terjala, boleh dikata segala kemungkinan sudah dipikirkan dengan matang ......."

"O," demikian kata Ji Bun, "pantas datang-datang tadi engkau orang tua lantas mengaku diri sebagai Suco, jadi engkau kira Tecu juga menceburkan diri ke air demi masuk perguruan."

"Ya, nak, itulah yang dinamakan jodoh."

"Maaf akan kelancangan mulut Tecu, jika diantara sekian banyak generasi itu kehilangan kitab pusaka, bukankah ajaran akan terputus juga?"

"Pertanyaan bagus, itulah yang Suco katakan sebagai menyenggol rejeki, kalau memang tidak berjodoh, sudah tentu perguruan kita akan putus di tengah jalan."

"Kalau yang menemukan seorang jahat dan membuat petaka Bulim, dan orang itu hakikatnya tiada tujuan hendak masuk perguruan, lalu bagaimana jadinya?"

Orang tua kurus tersenyum, ujarnya : "Suco tetap punya cara untuk mengatasinya, tiga tahun setelah kitab diturunkan, generasi yang terdahulu harus turun gunung mengadakan pemeriksaan, karena ajaran racun merupakan ilmu sampingan, setiap orang mendapatkan ilmu ini pasti akan tenar dan berkecimpung di Bu-lim, maka tidak sukar untuk menemukan jejaknya. Kalau murid itu orang jahat, dia akan dihukum menurut peraturan serta merebut kembali Tok-keng, lalu mencari calon murid yang lain. Setelah diselidiki dengan baik, maka dia harus pulang gunung dan menunggu datangnya generasi yang akan tiba, dia wajib menurunkan pelajaran yang tertera pada jilid dua, begitulah seterusnya."

"Kalau demikian, sudah menjadi ketentuan adanya dua generasi yang harus tinggal di atas gunung untuk mempelajari ilmu ciptaan Cosuya bersama ......."

"Ya, begitulah kenyataannya."

"Mohon tanya, siapakah generasi ke-13?"

"Murid generasi ke-13 bernama Ngo Siang, tiga tahun kemudian setelah dia nyenggol rejeki jodoh itu, dia mendapat perintahku turun gunung untuk mencari calon murid generasi mendatang, mungkin orang yang berjodoh adalah ayahmu Ji Ing-hong, dia terhitung generasi ke-14, Ngo Siang mungkin mengalami sesuatu bencana, sehingga sekian tahun tidak kunjung pulang, kini ayahmu dicelakai orang lagi, beruntung Thian sudah mengatur segalanya dan kaulah yang dituntun kemari."

Bergidik Ji Bun dibuatnya, analisa orang tua kurus ini agaknya tepat, namun ayahnya lebih dari 10 tahun mendapatkan Tok-keng, agaknya dia sengaja tidak mau masuk perguruan, malah sepak terjangnya justeru melanggar pantangan yang paling besar dari aturan perguruan. Jika Ngo Siang generasi ke-13 itu masih hidup di dunia ini, suatu hari pasti akan mengadakan pembersihan.

Terdengar Ban Yu-siong berkata pula: "Ayahmu melanggar aturan, mengajarkan ilmu perguruan terhadapmu. Jika dia masih hidup, dia pasti dikejar oleh hukuman. Dan kau, setelah meyakinkan ilmu beracun itu pernahkan kau sembarangan membunuh?"

"Tecu yakin tidak pernah membunuh secara serampangan," sahut Ji Bun tegas.

"Bagus, bagus sekali."

"Masih ada satu hal, ingin Tecu bertanya?"

"Boleh, soal apa?"

"Menurut cerita beberapa sesepuh Bu-lim, bahwa Bu-ing-cui-sim-jiu selama ratusan tahun ini hanya Suco seorang saja yang berhasil meyakinkan."

"Itu memang benar."

"Jadi diantara puluhan generasi itu tiada ......."

"Tidak demikian halnya, ajaran Bu-ing-cui-sim-jiu dimuat pada jilid pertama dan sukar dipahami. Setiap generasi yang pulang keperguruan sesuai batas 10 tahun itu, jarang yang berhasil meyakinkan dengan baik, sekalipun ada dua tiga orang, tapi kalau tidak dipergunakan, maka kaum Bu-lim tentu tiada yang tahu. Setelah berada dalam perguruan, meski berhasil dengan gemilang, waktupun sudah berlarut terlalu lama dan tiba saatnya dia harus menerima jabatan sebagai ahli waris. Hakikatnya dia tiada kesempatan berkelana di Kang-ouw untuk mengembangkan ilmu ini, karena tujuannya turun gunung yang kedua kalinya adalah mencari calon murid. Umpamanya kau, lain dari yang lain, rasanya sukar terjadi pada generasi yang mendatang."

"Jika kurang hati-hati, sehingga Tok-keng hilang dan terjatuh ke tangan orang lain?"

"Orang yang menemukan buku itu akan mati mengenaskan."

"Kenapa?"

"Buku itu mengandung racun yang jahat, begitu tangan menyentuh buku ia akan keracunan dan dalam seratus hari jika tidak diobati pasti mati."

Ji Bun merinding, tanyanya pula: "Tapi bagaimana dengan orang pertama yang mendapatkan, buku itu?"

"Di dalam buku ada suatu lembar keterangan di mana dijelaskan cara untuk menawarkan racun, penjelasan itu harus segera dibakar sambil berlutut setelah dia memperoleh buku itu. Oleh karena itu tidak mungkin ada orang kedua yang menjadi murid generasi yang sama, lebih tidak mungkin ada orang luar yang bisa belajar ilmu perguruan kita."

Ji Bun tunduk dan kagum lahir batin terhadap cikal bakal yang memikirkan segala ini sedemikian cermat, jika demikian halnya, jadi ayah bukan orang kedua yang sama-sama mendapatkan buku pelajaran itu, kalau benar, bukankah dia sudah mati keracunan, ini membuktikan bahwa ayahnya adalah calon murid yang dipilih oleh Ngo Siang, tapi perbuatannya jauh melanggar peraturan perguruan, jika ........ Ji Bun tak berani membayangkan lebih lanjut. Karena celaka, dirinya sekarang malah ketiban rejeki, secara aneh dan luar dugaan dirinya pulang kandang perguruan asalnya, seperti pengalaman dalam mimpi saja rasanya.

Tiba-tiba terangkat alis putih si orang tua, katanya: "Nak, ketika membuka tutukan Lwekangmu yang disegel tadi kudapati Lwekangmu begitu kuat dan mengejutkan, rasanya tidak memadai dengan usiamu, mungkin kau ....."

"Tecu mendapat saluran Lwekang dari seorang Locianpwe yang bergelar Ciok-bin-hiap Cu Kong-tam"

"Kau mengangkatnya jadi guru?"

"Tidak, kami bertemu di dasar jurang, dia berpesan kepada Tecu untuk menyelesaikan suatu urusan, maka dia salurkan Lwekangnya kepadaku untuk lolos dari tempat itu."

"Ah, kiranya begitu, hawa murnimu mencapai latihan puluhan tahun, dengan landasan yang kau miliki sekarang, kira-kira cukup setahun saja pasti berhasil mempelajari ilmu tingkat tertinggi dari perguruan kita."

"Setahun?"

"Kenapa nak, kau kira terlalu lama? Setiap Ciangbun dari generasi terdahulu, sedikitnya berlatih lima tahun, ada yang sampai puluhan tahun."

"Maaf akan kelancangan Tecu."

"Dalam keluarga jangan terlalu banyak menggunakan adat, jangan kau bersikap demikian."

"Konon setiap orang yang berhasil meyakinkan Bu-ing-cui-sim-jiu, selama hidupnya tak bisa dipunahkan, apakah betul demikian?"

"Nak, itu hanya dasarnya, tingkat permulaan, jika dilatih sampai tingkat terakhir, racun dapat kau gunakan sesuai keinginan hatimu. Keadaan tak ubahnya seperti orang biasa, semua ini tak perlu kau tanyakan, kelak kau akan tahu sendiri. Sekarang kau boleh mulai kerja bakti, kamar batu sebelah kanan adalah dapur, kamar kedua itu boleh buat tempat tinggalmu, kamar pertama disebelah iri adalah tempat tinggal Suco, kamar kedua adalah tempat latihan, pergilah kau membuat makanan dulu, besok pagi boleh kau mulai belajar."

Sampai detik ini Ji Bun masih merasa dirinya seolah-olah di alam mimpi, karena pengalamannya ini teramat aneh, sukar dipercaya, kalau betul ada kejadian ajaib di dunia pengalamannya inilah buktinya.

Di dalam gua tidak kenal hari, bulan dan tahun. Sang waktu berjalan tanpa terasa. Ji Bun lupa makan lupa tidur, rajin belajar giat menggembleng diri. Ada kalanya beberapa hari dia tidak makan dan tidak tidur. Hari itu dia kembali ke kamar latihan langsung menghampiri si orang tua dan teriaknya girang: "Suthayco, aku sudah berhasil."

Dari pergaulan hari ke hari ini, setiap saat mereka berdampingan. Hubungan mereka kini tak ubahnva seperti kakek dengan cucu sendiri, maka sikap dan gerak gerik serta tutur kata keduanya sudah tidak dibatasi oleh aturan-aturan yang mengekang lagi.

Si orang tua mengelus jenggotnya yang ubanan, katanya tertawa lebar: "Nak, kuucapkan selamat padamu, setengah tahun kau lebih dini berhasil dari perhitungan semula."

Ji Bun sendiri sudah lupa waktu dan memperhitungkan hari, iapun merasa heran dan tidak percaya, "Apa, setengah tahun?"

"Ya, setengah tahun kurang sehari. Nak, besok pagi kau boleh turun gunung."

"Besok pagi?"

Wajah si orang tua yang berseri girang tiba-tiba dihapus oleh rasa sedih. Ji Bun melihat perubahan roman mukanya, dalam hati juga timbul rasa berat untuk berpisah, namun dia tahu tidak mungkin tidak meninggalkan tempat ini. Selama ini tidak pernah dirasakannya, kini setelah berhasil meyakinkan ilmu, dendam yang tersekam itu seketika berkobar lagi.

"Nah, setelah turun gunung, ada beberapa tugas yang harus kau kerjakan," demikian kata si orang tua.

"Anak Bun siap mendengarkan petuah."'

"Pertama, usahakan untuk menemukan kembali Tok-keng, sekaligus carilah calon penggantimu untuk ahliwaris angkatan ke-16 yang akan datang. Kedua, selidikilah jejak dan kabar kakek gurumu, Ngo Siang. Ketiga, carilah sebab musababnya kenapa setelah mendapatkan Tok-keng, ayahmu tidak kembali ke gunung."

Berdetak jantung Ji Bun, namun dia menjawab dengan hormat: "Anak Bun mengingatnya dengan baik, Suthayco ada pesan apa lagi?"

"Sekarang segala racun tidak akan mempan pada dirimu, namun demi mendarma baktikan dirimu bagi masyarakat umumnya, kau perlu membawa beberapa macam obat, di atas rak obat, kau boleh ambil secukupnya dan pilih mana saja yang kau rasa perlu. Dalam jangka sepuluh tahun kau harus kembali ke sini, murid perguruan kita tidak dilarang menikah, tapi ilmu kita dilarang diajarkan kepada anak cucu sendiri, kau tetap harus melaksanakan peraturan yang telah diwariskan leluhur kita, dengan cara 'rejeki tiban' itu, kau hanyalah satu-satunya orang yang teristimewa di antara sekian murid-murid yang pernah terjadi sejak perguruan kita berdiri. Untunglah kau sendiri juga sudah mengalami petaka di dalam air."

"Terima kasih atas budi Suthayco."

"Tok-jiu-sam-sek (tiga jurus tangan berbisa) terlalu ganas, kalau lawanmu tidak setimpal mati, jangan sekali-kali kau gunakan. Disamping itu di atas rak pada kotak pertama dibaris teratas terdapat sebotol Hoat-wan (pil maut pelaksana hukum), hasil buatan dan peninggalan Suco, kau boleh membawa sebutir."

Bergetar tubuh Ji Bun, namun dia mengiakan. Dia pikir, kalau ayah masih hidup, memang dia setimpal diberi Hoat-wan ini untuk bunuh diri, namun sebagai seorang anak, mungkinkah .......

"Puncak gunung ini dikelilingi air dan dipagari dinding gunung yang curam, hanya ada sebuah jalan rahasia di belakang gunung, sekarang kau boleh melihatnya ......." dengan jari telunjuk dia menggores sebuah peta sambil menerangkan cara bagaimana Ji Bun harus keluar dan masuk, Ji Bun mengingatnya dengan baik. "Sekarang kau boleh mengundurkan diri."

Ji Bun menyahut terus mengundurkan diri ke kamar sendiri, hatinya gundah dan resah, dengan bekal yang dipelajarinya sekarang, pasti tugas menuntut balas kali ini akan bisa terlaksana dengan baik. Pengalaman selama setengah tahun ini, kembali dia ulang dalam pikiran, terasa masih banyak liku-liku yang masih gelap baginya, terutama sepak terjang dan keselamatan jiwa ayahnya menjadi topik pemikirannya.

Dia berdoa semoga ayahnya masih hidup, ini jamak, namun iapun ingat betapa kerasnya aturan perguruan, bagaimana kelak dirinya harus bertindak? Ngo Siang pejabat generasi ke 13 sudah lenyap puluhan tahun, dunia seluas ini, ke mana dia harus mencarinya? Tok-keng pasti masih ada di tangan ayah, kalau dia belum mati, bagaimana harus merebutnya ......."

Tiba-tiba dia ingat akan racun, Giam-ong-ling yang pernah dipergunakan Kwe-loh-jin, sekarang baru dia tahu bahwa racun ini juga salah satu dari ciptaan perguruannya, mungkinkah Tok-keng terjatuh ke tangannya? Ini mungkin sekali, tapi kenapa dia tidak mati keracunan setelah memperoleh buku itu, sungguh sukar diselami.

Kecuali seseorang yang pernah meyakinkan Kim-kong-sin-kang yang kebal terhadap racun Bu-ing-cui-sim-jiu, tiada orang yang kuat menahannya, kecuali diberi obat penawar perguruannya. Tapi Kwe-loh-jin dan beberapa orang lainnya ternyata tidak gentar dan kebal juga terhadap racun ganas ini, terang mereka belum mencapai tingkat Kim-kong-sin-kang, memangnya mereka memiliki obat penawarnya? Lalu dari mana diperoleh obat penawar itu? Inilah soal yang mencurigakan dan sukar dipecahkan.

Diapun teringat pada Biau-jiu Siansing, orang ini juga tidak takut racun, betapapun teka teki ini harus secepatnya dibongkar.

Waktu berjalan cepat sekali, hari kedua pagi-pagi benar Ji Bun sudah pamitan kepada kakek gurunya terus menyusuri jalan rahasia di belakang gunung. Tanpa susah dia keluar dari lingkungan gunung terus menempuh perjalanan menuju ke Kay-hong.

Banyak persoaian besar yang ingin, dia minta penjelasan dari Biau-jiu Siansing, perjanjian setahun tempo hari, kini sudah berjalan setengah tahun mungkin Ciang Wi-bin ayah dan anak sudah tidak sabar menanti. Setengah tahun cukup lama, tapi juga terlalu cepat berlalu, entah apa pula yang telah terjadi selama ini dikalangan Kangouw?

Hari itu, dia tiba di Bik-su, dia cari hotel terus ganti pakaian, sekarang tidak perlu main sembunyi dengan menyamar segala, dibelinya seperangkat dan kipas, topi serta keperluan lainnya, dia berdandan lagi sebagai seorang pelajar yang berwajah cakap.

Semu hijau yang dulu selalu timbul di antara kedua alisnya, sejak dia meyakinkan ilmu tingkat tinggi perguruannya, kini tidak kelihatan lagi. Namun setiap kali dia mengerahkan hawa murni menurut ajaran perguruan, sorot matanya pasti mencorong kehijauan, inilah keistimewaan ilmu perguruannya.

Malamnya seorang diri dia makan minum di kamarnya. Mendadak dari kamar sebelah luar sama terdengar suara ribut-ribut, seseorang berteriak kaget dan ketakutan, tamu-tamu sama berlari keluar, terdengar seorang berkata: "Apa yang terjadi?"

"Entah kenapa tua bangka ini mati, yang muda genit itu entah lenyap ke mana?"

Kematian seseorang, bagi setiap insan persilatan sudah biasa dan bukan soal besar. Ji Bun tidak tertarik, ia tetap makan minum seenaknya. Tapi kupingnya mendengarkan keributan diluar.

Terdengar seseorang berseru pula: "Eh, barang apakah ini?"

"Sebuah cincin kok ada tiga lubangnya?"

"Itulah cincin batu jade dengan tiga lubang jari?" Ji Bun terjingkat dikamarnya, sebat sekali dia memburu keluar terus berlari ke kamar tetangga sana, dilihatnya orang banyak berkerumun di depan pintu, pemilik hotel melongo di serambi sambil menjublek kehilangan akal.

Ji Bun langsung menyelinap masuk ke kamar. Seketika dia berseru kaget. Di atas lantai dalam kamar rebah celentang seorang perempuan tua berpakaian hijau, darah berceceran, di samping mayat menggeletak sepotong batu jade berlubang tiga, itulah cincin tiga lubang yang dibicarakan orang banyak.

Ji Bun menjemputnya dan diperiksa, ia kenal inilah Sam-cay-ciat yang biasa dipakai oleh Thian-thay-mo-ki. Dari dandanan orang tua ini, Ji Bun yakin dia pasti Sam-cay Lolo, guru Thian-thay-mo-ki. Di mana Thian-thay-mo-ki? Orang bilang kamar ini dihuni dua orang tua dan muda, yang muda genit pasti Thian-thay-mo-ki adanya.

Waktu Ji Bun berdiri dan membalik badan, pandangannya menjadi canang. Dinding di pinggir jendela sana terlihat ada beberapa lubang yang tak terhitung jumlahnya. tiga lubang menjadi satu kelompok, itulah bekas-bekas yang ditinggalkan oleh ilmu Sam-cay-cui-hun kebanggaan Sam cay Lolo.

Sam-cay Lolo cukup tenar dan merupakan tokoh kosen kelas wahid. Kepandaiannya hanya setingkat di bawah Thong-sian Hwesio. Golongan hitam putih sama jeri berhadapan dengan Sam-cay-cui-hun. Lalu siapakah yang mampu membunuh pendekar aneh perempuan tua di hotel ini? Apa pula tujuannya?

Ji Bun membatin: "Kejadian ini pasti sebelum aku masuk ke hotel ini, kelihatan mereka juga bertempur lebih dulu, kalau tidak masakah dirinya tidak mendengar apa-apa, lalu siapakah pembunuhnya, hanya beberapa gelintir jago silat saja yang mampu membunuhnya."

Sam-cay Lolo terbunuh, bagaimana nasib Thian-thay-mo-ki dapat dibayangkan. Keruan hati Ji Bun gelisah, dia merasa terlalu banyak utang budi kepada Thian-thay-mo-ki, perbuatan sendiri setengah tahun yang lalu juga keterlaluan.

Mendadak seorang tua berpakaian hitam melongok sekali ke dalam kamar, seketika mukanya pucat pias. dia menghampiri pemilik hotel serta berbisik: "Jangan ribut-ribut, lekas dikebumikan, tak usah lapor kepada yang berwajib, supaya hotelmu tidak mengalami gangguan."

Habis berkata dia menyurut mundur terus tinggal pergi.

"Berhenti!" Ji Bun menghardik.

Laki-laki baju hitam menoleh, dilihatnya cuma seorang pemuda berdandan pelajar, nyalinya menjadi besar, namun mimiknya yang kaget dan takut masih kelihatan, suaranya gemetar: "Siau-hiap ini ada petunjuk apa?"

"Siapa yang membunuh di sini?"

"Ini ..... ini ......."

"Lekas katakan."

"Apakah Siau-hiap tidak melihat cap pupur di atas dinding itu ......."

Baru sekarang Ji Bun sempat memeriksa keadaan kamar, dilihatnya di dinding memang terdapat sebuah cap sebesar telapak tangan, bentuknya mirip sekuntum bunga Bwe, keruan dia heran dan tak mengerti, tanyanya: "Cap kembang Bwe, memangnya kenapa?"

"Masakah Siauhiap tidak tahu?"

"Kalau tahu buat apa tanya padamu."

"Ini .... ini .... aku tidak berani menjelaskan," mendadak dia putar tubuh terus menyelinap pergi di antara orang banyak, lekas sekali bayangannya sudah lenyap.

Pertanda apakah cap bunga Bwe ini? Ji Bun tidak habis pikir, kenapa orang tua itu begitu ketakutan? Kalau bukan tanda khas seseorang yang ditakuti pasti merupakan tanda pengenal dari suatu perkumpulan rahasia. Sekian lama dia menjublek, akhirnya dia mencari daya untuk menyelidiki pembunuhan ini, maka dia memberi uang kepada pemilik hotel serta menyuruhnya mengubur mayat Sam-cay Lolo. Lalu dia masukkan Sam-cay-ciat ke dalam kantong.

Menghadapi hidangan di kamarnya, Ji Bun tiada selera makan lagi, otaknya memikirkan peristiwa aneh ini. Kebetulan pelayan masuk membereskan mangkok piring dan berkata dengan cengar-cengir: "Siangkong, di dalam kamar begini gerah, kenapa tidak cari angin di luar?"

Tiba-tiba timbul ilham Ji Bun, segera ia merogoh uang dan berkata: "Siau-jiko, 10 tail ini berikan kepada majikanmu untuk ongkos penguburan, beberapa uang receh ini kuberikan kepadamu, pergilah ke toko belikan sebatang kipas lempit berwarna, hitam legam."

"Kipas Hitam?"

"Ya, kipas lempit warna hitam polos, jangan yang bergambar atau sudah ada tulisannya, cukup yang bertulang bambu saja."

"Kipas tulang bambu cukup murah, uang sebanyak ini ....."

"Sisanya boleh kau miliki."

"Terima kasih Siangkong, sebentar kuambilkan sepoci air teh dulu, segera kubelikan kipas ke toko sebelah."

Seorang diri Ji Bun mondar-mandir di dalam kamarnya, dia merancang akal supaya lebih matang sesuai dengan rencananya untuk mengejar jejak si pembunuh. Tidak lama menunggu pelayan itu telah kembali dengan berseri tawa, tujuh delapan kipas lempit dia taruh di atas meja.

"Kau pandai bekerja, kalau perlu nanti kupanggil kau lagi," kata Ji Bun.

Continue lendo

Você também vai gostar

36.2K 749 63
1. Pedang Abadi (Zhang Sheng Jian) 2. Bulu Merak/Badik Merak (Kong Que Ling ) 3. Golok Kumala Hijau (Bi Yu Dao) 4. Gelang Perasa (Duo Qing Huan) 5. P...
465K 39.7K 60
jatuh cinta dengan single mother? tentu itu adalah sesuatu hal yang biasa saja, tak ada yang salah dari mencintai single mother. namun, bagaimana jad...
10K 132 8
Karena mendapatkan petunjuk dari pimpinan Sin Thian Ju yang maha sakti, serta bakatnya sendiri yang memang sangat baik maka ilmu kepandaian Keng In W...
655K 5.5K 18
WARNING 18+ !! Kenzya Adristy Princessa seorang putri terakhir dari keluarga M&J group yang diasingkan karena kecerobohannya. Ia hanya di beri satu...