Hati Budha Tangan Berbisa - G...

By JadeLiong

175K 3.6K 48

Wataknya dingin, angkuh, semua itu menjadikan jiwanya nyentrik. Untunglah di dalam lubuk hatinya yang paling... More

01. Pelajar Muda Berlengan Buntung
02. Perempuan Genit dari Thian-Thay
03. Tuduhan yang Sulit Dibantah
04. Jangan Sentuh Dia!!
05. Balasan Pengorbanan Darah
06. Pertemuan Tak Terduga
07. Jit-sing-po Tersapu Bersih
08. Pembunuh Berkedok Berjubah Sutera
09. Peresmian Perkumpulan Wi-to-hwe
10. Tamu Agung Wi-to-whe
11. Kehilangan Anting Kenangan
12. Kuil Mesum Siong-cu-am
13. Perebutan Sek-hud
14. Sam-Cay-Ciat. . . . . Penyelamat
15. Kakek Aneh di Dasar Jurang
16. Dari Celaka Dapat Rejeki Nomplok
17. Tabib Keliling Thian-bak-sin-jiu
18. Puteri dari Istana Ngo-lui-kiong
19. Racun Paling Dikenal, Jarang dan . . . Sama
20. Bu-lim-siang-koay
21. Racun Bu-ing-cui-sim-jiu
22. Dalang Penyerangan Wi-to-hwe
23. Jiwa Ksatria Tak Gentar Elmaut
24. Tuduhan Pembunuh dan Pemerkosa
25. Ayah Meninggal, Dendam Makin Membara
26. Kau, Tidak Takut Racun. . . . . .??
27. Rahasia Rumah Setan di Kay-hong
28. Wi-to-hwe Terima Syarat Barter
29. Salah Duga Terhadap Biau-jiu Siansing
30. Cinta dan Dendam Tak Bisa Berdampingan
31. Hmm, ...... Tidak Tahu Malu
32. Rahasia Wi-to-hwecu
33. Siapa Pembunuh Te-gak Suseng?
34. Te-gak Suseng Hidup Kembali .....??
35. Orang Desa Penagih Darah
36. Jejak Ibunda, Mulai Tercium
37. Pengkhianatan Kacung Keluarga
38. Kedok dan kemunafikan Sang Ayah ....??!!
39. Korban Ilmu Hian-giok-siu-hun
40. Lelaki Penderita Tanpa Daksa
42. Murid Ban-tok-ci-bun
43. Misteri Perkumpulan Ngo-hong-kau
44. Duta Istimewa Ngo-hong-kau
45. Lorong Rahasia Ngo-hong-kau
46. Siapa Murid Angkatan ke 13 Ban-tok-bun?
47. Dua Generasi Terkubur
48. Silat Tinggi, Rendah Pengalaman
49. Pembantaian di Lembah Ciang-liong-kok
50. Bukan, Murid Angkatan ke 14
51. Malaikat Perempuan Penunggu Gunung
52. Keluar Dari Kurungan Jala Sutera
53. Rahasia Ngo-hong Kaucu
54. Penderitaan Puteri Musuh Besar
55. Keluhuran Budi Thian-thay-mo-ki
56. Misteri Danau Setan
57. Beberapa Misteri Mulai Terkuak
58. Pembasmi Jit-sing-po
59. Dendam Dibalas, Budi Pun Harus
60. Pemberian Thian-thay-mo-ki
61. Mati .... Bagi Pengikut Ngo-Hong-Kau
62. Ibumu, Tok-keng.... Paderi Siau-lim
63. Pertanggungan Jawab Paderi Siau-lim-si
64. Hampir Mengotori Kuil Suci
65. Akal Bulus Ngo-hong Kaucu
66. Tabir Misterius Terbuka Lebar (TAMAT)

41. Moyang Perguruan Racun

2.1K 50 0
By JadeLiong

"Kau akan tahu, kabarnya kau keras kepala dan angkuh, tahan disiksa lagi, walau sekarang kau kehilangan kepandaian silat, namun kita harus cari tempat lain untuk berbicara ......" sembari bicara dia menyopot jubah luarnya, sekali gerak dia ikat tangan dan tubuh Ji Bun terus dijinjingnya lari masuk ke dalam hutan. Hakikatnya Ji Bun tidak kuasa melawan, maka dia diam saja menerima nasib, tujuan orang menelikung kedua tangan dan mengikat badannya karena takut tersentuh tangan kirinya, hal ini cukup dimengerti Ji Bun.

Setelah keluar dari hutan, Siucay tua ini tidak berhenti, dia terus berlari-lari dengan kencang, begitu cepat, Ji Bun merasa seperti meluncur secepat angin, lekas sekali mereka tiba ditepi sebuah sungai besar, ombak bergulung-gulung, arus sungai cukup deras.

Setiba dipinggir sungai baru Siucay tua berhenti lari, tampak sebuah perahu layar yang cukup besar sudah menunggu di sana. Sekali lompat Siucay tua itu naik ke atas kapal, Ji Bun dilempar ke dalam bilik, lalu ia membuka tali tambatan sehingga kapal ini hanyut terbawa arus.

Entah berselang berapa lama, entah berapa jauh kapal ini sudah berlaju, tahu-tahu kapal ini tak terasa terombang-ambing lagi. Siucay tua masuk ke dalam bilik di mana Ji Bun menggeletak, katanya setelah duduk: "Bangun, mari kita bicara."

Tanpa bersuara Ji Bun berdiri, dia duduk di kursi yang ada disebelahnya.

"Kau putera Ji Ing-hong? Dimana sekarang dia berada?"

"Entah."

"Betul kau tidak tahu?"

"Terserah kalau tidak percaya."

"Anak muda, cara yang kugunakan jauh lebih hebat daripada Hian-giok-siu-hun, kuharap kau tahu diri."

Terbayang akan siksaan Hian-giok-siu-hun, Ji Bun bergidik, namun sikapnya semakin tawar lagi, setelah Lwekang dan kepandaiannya punah, hakikatnya hidup lebih sengsara daripada mati, maka katanya dingin: "Cayhe maklum, paling-paling mati sekali lagi."

"Jangan kau salah sangka, jangan kau kira gampang untuk mati, kau akan sekarat, setengah mati setengah hidup. Lohu akan tutuk beberapa Hiat-to sehingga kaki tanganmu lumpuh, mata bisa memandang, kuping dapat mendengar, mulut tak bisa bicara, lalu dengan semacam obat kubuat hilang ingatanmu. Kau akan lupa pada dirimu sendiri, segala pengalaman dan semua milikmu akan terlupakan. Lalu kulepas kau dikota yang ramai, sebagai manusia umumnya kau akan berjuang untuk hidup, dan kau akan terlunta-lunta sebagai pengemis yang cacat dan harus dikasihani ......"

"Tutup mulutmu!" bentak Ji Bun keras, serasa meledak dadanya.

Siucay tua tidak hiraukan reaksi Ji Bun, Dia tetap bicara dengan acuh tak acuh: "Setiap tengah hari, kau akan terserang suatu penyakit aneh, deritanya tentu lebih hebat daripada Hian-giok-siu-hun ........"

Mendadak Ji Bun melompat berdiri terus menubruk maju, tangan kiri bergerak. "Bluk", tahu-tahu sejalur angin kencang menekan dan menyurungnya mundur terduduk pula dikursinya.

Siucay tua melanjutkan: "Sudah tentu, supaya tidak menimbulkan bencana bagi masyarakat ramai, tangan kirimu yang beracun ini harus dikutungi."

Bukan kepalang benci Ji Bun, teriaknya: "Tuan mudamu menyesal tempo hari memberikan obat pemunah padamu...."

"Umpama sepuluh kali kau berikan obat pemunah padaku juga belum setimpal untuk menebus kejahatan ayahmu, dalam hal ini Lohu tidak perlu menaruh belas kasihan, tidak perlu bicara soal aturan Bu-lim segala."

Ji Bun terempas-empis menahan marah, teriaknya dengan serak: "Ada permusuhan apa sebenarnya kau dengan ayahku?"

Terpancar sinar dendam dan kebencian pada mata Siucay tua, giginya berkerutuk, sahutnya. "Dendam setinggi gunung dan sedalam lautan, anak muda, sekarang katakan, dimana anjing tua itu menyembunyikan diri?"

"Jangan harap kau bisa mendapatkan apa-apa dari tuan-mudamu ini," bentak Ji Bun beringas.

"Anak muda, orang yang berbuat kejahatan, anak isterinya tidak ikut berdosa, bicaralah terus terang, Lohu akan memberi kesempatan hidup padamu."

"Jangan harap!"

"Kau akan mengaku, Lohu punya cara sehingga kau akan buka mulut ........"

Ji Bun maklum siksaan yang di luar perikemanusiaan bakal menimpa dirinya, kini dirinya lemas lunglai, tenaga untuk bunuh diripun tak mampu, dia tidak takut mati, malah ingin cari mati. Namun dia kuatir kalau kepalang tanggung, jika terjadi seperti apa yang dikatakan Siucay tua ini, dirinya akan hidup merana terlunta dengan badan cacat ......"

Mendadak sekilas ia melihat ujung sebatang paku yang menongol keluar dari dinding papan kapal, panjangnya ada dua senti, letaknya tepat mengarah Thay-yang-hiat dipelipisnya, jaraknya hanya beberapa senti lagi, cukup asal dirinya miringkan kepala dengan mengerahkan sedikit tenaga, tentu dengan mudah dapat menghabisi jiwa sendiri. Penemuan ini seketika menentramkan hatinya, sekarang dia harus cari akal untuk mengalihkan perhatian orang. Maka dia berkata: "Apakah tuan she Lan?"

Sincay tua melengak, sahutnya ragu-ragu: "Aku ......"

"Tuan bernama Lan Sau-seng?" Ji Bun menegas.

"Aku bukan Lan Sau-seng, kalau masih hidup dia juga akan bertindak seperti aku."

Agaknya paman atau adik ibunya, Lan Sau-seng, sudah meninggal dunia, tahu siapakah Siucay tua ini? Soal ini tidak penting, karena tujuan Ji Bun ingin mengalihkan perhatian orang dan mencari kesempatan untuk bunuh diri.

Mendadak Siucay tua bersuara keras: "Anak muda, pernahkah kau mendengar seorang yang bernama So Yan?"

Tanpa pikir Ji Bun berkata: "Bukan hanya mendengar, belum lama ini ....." sampai di sini baru dia menyadari telah kelepasan omong. Darimana Siucay tua ini dapat tahu nama ibu tuanya? Kenapa tanya tentang dia? Siapakah Siucay tua ini?

Mendadak Siucay tua berjingkrak berdiri, suaranya menggerang penuh emosi: "Kau pernah melihatnya?"

Sudah kadung omong terpaksa Ji Bun keraskan kepala: "Betul!" sahutnya.

"Dia ...... dia belum mati?"

"Pernah apa tuan dengan So Yan?"

Tidak menjawab mendadak Siucay tua malah menangkap kedua pundak Ji Bun serta digoyang-goyangkan, teriaknya: "Katakan, dimana dia?"

Inilah kesempatan baik yang tak terduga, walau Lwekang sudah punah, namun tangan kirinya yang berbisa masih mampu bekerja dengan baik, cukup sedikit menyentuh badan orang dan lawan akan keracunan. Tapi Lwekang Siucay tua ini sangat tinggi, meski keracunan ia pasti sanggup bertahan untuk sekian lama lagi. Sedang dirinya sendiri dalam keadaan lemas, obat penawar di dalam kantong pasti dengan mudah dapat digeladah orang dan akibatnya celaka lagi nasibnya nanti.

Hanya sekejap saja, agaknya Siucay tua juga tersentak sadar lekas dia lepas tangan dan menyurut mundur. Kesempatan menjadi sia-sia begitu saja. Terpaksa Ji Bun kembali pada rencananya semula, membunuh diri dengan membenturkan kepala pada paku yang menongol di dinding kapal.

Siucay tua itu masih dirangsang emosi yang meluap, mata melotot badan gemetar, napas memburu, kulit mukanya berkerut, bahwa seorang yang berkepandaian silat tinggi juga dirangsang emosi begini meluap sehingga napas memburu, dapatlah dibayangkan betapa besar pukulan yang menimpa sanubarinya. "Anak muda, katakan, dimana kau bertemu dengan Khong-kok-lan So Yan?"

Ji Bun bersikap acuh sambil angkat pundak, diam-diam ia sudah mengincar dengan tepat, pelipisnya tepat diarahkan ke ujung paku, jaraknya tinggal dua senti lagi, sekarang cukup dia gelengkan kepala. segalanya akan beres.

Sudah tentu mimpipun Siucay tua itu tidak tahu rencana Ji Bun, namun matanya masih melotot gusar menanti jawaban. Walau ibu tuanya sudah putus hubungan dengan ayah, kini menjadi musuh besar malah, namun Ji Bun tidak rela mengatakan jejaknya, karena hal ini sekaligus bakal mendatangkan bencana bagi Biau-jiu Siansing.

"Katakan tidak?" bentak Siucay tua pula.

"Tidak!" jawab Ji Bun singkat.

"Agaknya sebelum disiksa kau tidak kapok ......"

Ji Bun mengertak gigi, baru saja hendak benturkan kepalanya ke arah paku ...... sekonyong-konyong sebuah suara bentakan bagai geledek berkumandang: "Ji Ing-hong, sekarang kau boleh unjukkan diri."

Berubah roman Siucay tua, sigap sekali dia melompat keluar bilik.

Berdegup jantung Ji Bun, sesaat itu menjadi bingung apa yang telah terjadi. Kenapa di luar orang menyebut nama ayahnya. Tanpa pikir dia berdiri dan dorong jendela melongok keluar. Tampak tiga buah perahu tengah laju mendatangi, perahu pertama berdiri jajar Wi-to-hwecu Siangkoan Hong bersama si perempuan rupawan, perahu kedua berdiri Siang-thian-ong dan Bu-cing-so, perahu ketiga dinaiki Thong-sian Hwesio dan Jay-ih-lo-sat.

"Ji Ing-hong," terdengar Siangkoan Hong membentak dengan suara kereng, "meski tumbuh sayap juga hari ini jangan harap kau bisa terbang meloloskan diri."

Siucay tua terloroh-loroh, serunya: "Para saudara, di sini tiada Ji Ing-hong."

Suara Siang-thian-ong bagai bunyi genta berkumandang: "Tutup mulutmu, jangan menggonggong di sini, lekas suruh keparat tua itu keluar."

Tergerak pikiran Ji Bun, seketika dia menjadi sadar dan mengerti apa yang terjadi, setelah memunahkan Lwekang dan kepandaian silatnya, perempuan rupawan membiarkan dirinya pergi, tujuannya adalah untuk mengejar jejak ayahnya. Siucay tua ini telah membunuh kedua anak buah Wi-to-hwe yang ditugaskan menguntit dirinya, lalu membawa lari dirinya, kemungkinan ada penguntit lain yang melihat, lalu memberi laporan ke pusat, maka cepat sekali orang-orang Wi-to-hwe ini mengejar datang.

Tujuan kedua pihak sama mengejar ayahnya, setelah kedua pihak bicara jelas dan terus terang akan duduk persoalannya, tentu dirinya pula yang bakal ketiban pulung alias celaka. Waktu matanya menjelajah sekelilingnya, dilihatnya mereka berada pada sebuah telaga yang luasnya beberapa hektar. Telaga ini dikelilingi dinding-dinding gunung yang tinggi mencuat ke langit, walau tengah hari, namun cuaca di sini remang-remang dingin.

Tepat di tengah di depan sana adalah sebuah tebing batu besar yang melintang di antara apitan dua dinding gunung, dari mana air menerjun turun dengan deras, air muncrat keras jatuh di tabir batu besar itu terus mengalir ke telaga ini. Air mengalir tenang keluar kearah kanan, dimana saluran pintunya sempit sehingga air bergolak dan berbuih, gemuruh air amat mengejutkan sekali.

Ji Bun bertindak dengan tegas dan bertekad lebih baik mati karam di telaga daripada tertawan musuh dan disiksa. Kesempatan baik sekarang jangan disia-siakan, maka dengan menggeremet diam-diam ia menuju ke belakang, dan jendela dibuka lalu merangkak keluar, tanpa mengeluarkan suara dia meluncur ke dalam air.

Permukaan air kelihatan tenang mengalun, tak nyana begitu Ji Bun masuk ke dalam air seketika dia tersedot oleh pusaran arus yang deras. Karena tak pandai berenang, begitu tenggelam, Ji Bun meronta-ronta dan tersedot ke bawah sampai kedasar telaga. Karena kepandaian punah dan Lwekang lenyap, dengan sendirinya dia tidak mampu mengerahkan tenaga untuk menahan nafas, akhirnya air terus tercekok ke dalam tenggorokan.

Secara refleks Ji Bun meronta-ronta sekuatnya supaya dirinya mengambang ke atas. Namun sedotan pusaran air di bawah ini amat keras, usahanya sia-sia, malah tubuhnya semakin terseret turun. Sekonyong-konyong badannya terombang ambing berputar terbawa arus, seketika dia kehilangan kesadaran. Dalam keadaan setengah sadar terakhir dia masih merasakan dirinya terbawa hanyut keluar dari pintu sempit yang menjurus entah ke mana.

Rasa dingin dan sakit yang menusuk tulang tiba-tiba menyentaknya bangun, waktu dia buka mata, bintang-bintang tampak bertaburan di cakrawala, tabir malam menyelimuti jagat, didapatinya dirinya rebah di atas batu cadas yang dingin, hembusan angin malam nan sepoi-sepoi terasa amat dingin membeku. Gemuruh air amat mengganggu pendengarannya. Sesaat itu ia sukar membedakan dimana dirinya berada, entah masih hidup atau sudah mati? Atau di alam mimpi?

Lama sekali setelah berhasil memulihkan sedikit tenaga baru dia yakin bahwa dirinya masih hidup dan bernapas dengan teratur, rasa sakit ditubuhnya merupakan bukti yang nyata. Maka dengan penuh keheranan dia merangkak duduk, ia celingukan kian kemari, dilihatnya dirinya rebah di atas batu yang terletak tiga kaki dipinggir jurang, dibawahnya adalah jurang seratus tombak. Sungai yang membawa keluar dirinya tampak berliku-liku di bawah sana mirip seekor ular raksasa. Tempat apakah ini? Siapakah yang menolong dirinya? Jelas dirinya tidak mati walau terjun ke telaga dengan maksud bunuh diri, bagaimana mungkin kini bisa terbang ke atas jurang yang tinggi ini?

Sekonyong-konyong sebuah suara serak tua berkumandang di pinggir telinganya: "Suco berada di sini, kenapa tidak lekas berlutut?"

Bukan kepalang kejut Ji Bun, tersipu-sipu dia merangkak bangun, terlihat di depan sana di atas sebuah batu, duduk tersimpuh seorang laki-laki tua bertubuh kurus kering seperti kayu, kedua matanya tengah menatap dirinya dengan pandangan tajam berwibawa.

Suco? Dari mana datangnya Suco (kakek guru). Sejak kecil dia belajar silat dari keluarga, belum pernah dia mengangkat seorang guru. Namun kakek tua kurus yang aneh ini mengapa mengaku dirinya sebagai kakek gurunya, bukankah aneh? Dengan kaget dan heran Ji Bun menyurut mundur, tak mampu bicara karena kebingungan.

Orang tua itu bersuara lagi: "Apakah gurumu tidak memberi penjelasan padamu?"

Akhirnya Ji Bun menjawab terputus-putus: "Gu ..... guru? Wanpwe tidak punya ....... guru."

Mencorong sinar mata orang tua kurus, kulit mukanya yang tinggal kulit membungkus tulang kelihatan berkerut, bentaknya: "Kau tidak punya guru?"

"Ya," Ji Bun mengiakan.

"Bagaimana kau bisa kemari?"

"Sebetulnya Wanpwe terjun ke air hendak bunuh diri. entah bagaimana .........."

Sinar mata si orang tua menyapu turun naik sekujur badan Ji Bun, akhirnya dia membentak bengis: "Lalu siapakah yang mengajarkan Bu-ing-cui-sim-jiu yang kau yakinkan itu?"

Jantung Ji Bun serasa melonjak keluar. Tampaknya orang tua ini rada ganjil, sahutnya kemudian: "Ayahku almarhum"

"Apa, ayahmu almarhum, jadi dia sudah mati?"

Ji Bun mengangguk.

"Sebelum ajal dia yang suruh kau kemari bukan? Mana Tok-keng?" tanya kakek itu.

Semakin kebingungan Ji Bun, pertanyaan yang susul menyusul ini membuatnya garuk-garuk kepala tanpa tahu duduk persoalannya. "Lo ...... Locianpwe adalah ......."

Berdiri alis putih si orang tua kurus, kepalanya geleng-geleng, mulutnya menggumam: "Tidak beres, dia tidak akan berani mendurhakai perguruan, namun berani menentang peraturan dengan kawin dan punya anak, tapi ini ......" sampai di sini mendadak ia membentak: "Kapan keparat itu mampus?"

"Keparat? Siapa?"

"Orang yang mengajar ilmu beracun padamu itu."

"O, mendiang ayahku? Baru beberapa bulan yang lalu beliau meninggal."

"Hm," mulut siorang tua kurus menggeram gusar, suaranya dingin seram nadanya aneh lagi. Ji Bun merinding dan berdiri bulu kuduknya, sungguh tidak habis mengerti, apa sebetulnya yang pernah terjadi.

Sekian lama siorang tua kurus seperti menahan gejolak amarahnya, akhirnya bersuara pula seperti bicara pada dirinya sendiri: "Tidak menepati janji sepuluh tahun ..... cara bagaimana dia mati?"

"Dicelakai para musuhnya, tapi ......"

"Tapi apa?"

"Akhir-akhir ini muncul gejala-gejala yang mencurigakan, agaknya ...... ayah seperti masih hidup."

"Pernahkah dia menyinggung peraturan perguruan padamu?"

"Tidak, sahut Ji Bun menggeleng.

"Lalu bagaimana kau bisa berada di Kiu-coan-ho ini?"

"Wanpwe diculik orang, suatu ketika berhasil terjun ke air, maksudku hendak bunuh diri saja ...... apakah Locianpwe yang menolong diriku?"

Orang tua kurus diam sebentar, mulutnya menggumam: "Lwekang anak ini tertutup, mungkin pikirannya terganggu dan menjadi linglung. Kalau tidak mengapa jadi begini?"

"Lwekangnya tertutup", kata-kata ini amat menggetarkan hati Ji Bun, yang jelas dia sendiri merasakan Lwekang dan kepandaian silatnya sudah punah, namun orang tua kurus ini bilang hanya di "tutup", betapa jauh bedanya antara "tutup" dan "punah" itu? Secara tak disadarinya dia lalu himpun tenaga dan tarik napas panjang. Mendadak hawa murni bagai air bah yang jebol dari bendungan bergulung-gulung timbul dari sumbernya. Entah bagaimana Lwekangnya ternyata sudah pulih kembali seperti sediakala.

Betapa kejut dan tergetar hatinya sungguh bukan kepalang. Orang tua ini bilang Lwekangnya di tutup, kini telah terbuka dan lancar kembali. Jelas orang tua kurus ini yang membuka segelan Lwekangnya, naga-naganya bukan sembarangan tokoh kosen kakek kurus ini. Dia menyebut diri sebagai Suco, menyinggung tangan beracun lagi, mungkinkah memang dia ini guru dari ayah?

Orang tua kurus menggapai padanya, katanya: "Mari masuk."

Bayangannya tiba-tiba lenyap, heran Ji Bun melototkan matanya, didapatinya di balik batu di mana orang kurus itu bersimpuh tadi adalah lubang batu, tadi karena teraling dan seluruh perhatiannya tertumplek pada si orang tua, maka Ji Bun tidak melihat adanya lubang gua ini.

Sejenak dia ragu-ragu, akhirnya melompat naik ke atas terus melangkah ke dalam gua batu itu. Gua ini sempit, hanya tiba cukup untuk satu orang keluar masuk, lorong gua gelap dan lembab, kira-kira puluhan tombak kemudian baru pandangannya terbeliak pada sebuah kamar batu yang luas, meja kursi dan perabot lainnya semua terbikin dari batu, tepat di tengah sana terletak sebuah meja pemujaan. Asap dupa mengepul tinggi menambah khitmadnya suasana.

Orang tua kurus tampak berdiri di pinggir meja, begitu Ji Bun melangkah masuk, segera dia berseru lantang: "Tempat semayam Cosu (leluhur) ada di sini, lekas berlutut."

Sekilas Ji Bun tertegun. Waktu ia pandang ke arah meja pemujaan, tampak sebuah papan batu panjang, ditengah-tengah bertuliskan beberapa huruf yang berbunyi:

"Tempat semayam moyang racun Kwi-kian-jiu Le Bung".

Teringat oteh Ji Bun akan penuturan orang tua aneh di dasar jurang Pek-ciok-hong dulu bahwa Bu-ing-cui-sim-jiu adalah ciptaan seorang tokoh silat ahli racun yang bergelar Kwi-kian-jiu pada dua abad yang lalu, ilmu ini sudah lama putus turunan, secara tidak sengaja, agaknya dirinya telah ke sasar ke tempat asal perguruannya sendiri yang asli.

Setengah kaget setengah girang, tersipu-sipu Ji Bun berlutut lalu menyembah berulang kali, tak lupa iapun menyembah kepada si orang tua kurus, serunya: "Ji Bun yang tidak berbudi, menghadap Suco."

"Berdiri!" seru si orang tua kurus dengan badan gemetar.

Cepat Ji Bun berdiri, pandangannya heran penuh tanda tanya kepada si orang tua aneh.

"Kau bernama Ji Bun?" orang tua itu bertanya penuh emosi.

Ji Bun mengiakan.

"Siapa nama ayahmu?"

"Beliau bernama Ji Ing-hong."

"Kau bukan murid perguruan kami!" kata si kakek tiba-tiba.

Ji Bun mundur tiga langkah, pandangannya sayu seperti mendadak menjadi bodoh. Selama hidup belum pernah dia mengalami kejadian seperti ini, begitu berhadapan orang tua ini mengaku sebagai Suco. Kini bilang dirinya bukan murid perguruannya, agaknya semua persoalan timbul lantaran dirinya meyakinkan Bu-ing-cui-sim-jiu itu, dulu cara bagaimana ayahnya memperoleh kitab pelajaran ilmu beracun ini?

Orang tua kurus duduk di atas kursi batu, sekian lama dia pejamkan mata entah merenungkan apa dan begitu membuka mata segera bertanya pula: "Pernah kau mendengar nama Ngo Siang?"

"Tidak pernah," jawab Ji Bun.

"Pernah melihat Tok-keng?"

"Juga tidak."

"Bagaimana kau bisa meyakinkan Bu-ing-cui-sim-jiu"

"Ayah yang mengajarkan secara lisan."

"Apakah ayahmu juga meyakinkan tangan beracun?"

"Menurut apa yang Wanpwe ketahui, agaknya tidak."

"Pernah dengar dia menyinggung soal Tok-keng?"

"Tidak pernah beliau menyinggung Tok-keng segala."

Untuk sekian lama pula si orang tua berdiam diri, suasana menjadi hening. Ji Bun tidak tahu apa yang sedang dipikirkan si orang tua. Entah vonis apa pula yang akan dijatuhkan atas dirinya, namun nalarnya yakin bahwa dirinya tidak akan mengalami nasib jelek, terutama Lwekang dan kepandaian silatnya sudah pulih, hal ini menimbulkan gairah dan mengobarkan semangat, dia merasa seperti hidup kembali setelah berkayun di neraka.

Sampai sekian lamanya kedua orang tiada yang buka suara, lama kelamaan Ji Bun menjadi tidak sabar.

Mendadak orang tua kurus berdiri lalu berlutut di depan meja sembahyangan, mulutnya bersabda: "Ban Yu-siong, murid generasi ke-12 bersembah sujud di hadapan Suco, demi mengembangkan perguruan supaya tidak putus turunan, Tecu memberanikan diri memutuskan untuk menerima murid dan menurunkan ilmu, harap dimaklumi dari unjuk periksa adanya!"

Habis bersabda ia berdiri di pinggir meja, katanya dengan suara kereng dan serius: "Ji Bun, ayahmu adalah murid generasi 14 dari perguruan kita, kini kau adalah generasi ke 15, sekarang pasang dupa dan bersembahyang kepada leluhur."

"Heran dan tidak habis mengerti Ji Bun dibuatnya, tampaknya tiada peluang baginya untuk berpikir panjang, entah berdasar apa orang tua ini berani memutuskan bahwa ayahnya adalah murid generasi ke 14, kalau toh sudah telanjur adanya ikatan ini, apa pula yang harus dikatakan, yang terang budi orang tua ini memulihkan dan membuka segel Lwekangnya. Sulit bagi dirinya untuk menolak segala perintah dan permintaannya, maka dia lantas melangkah maju mengambil tiga batang hio dan disulut terus berlutut di depan meja pemujaan.

"Bersumpah!" seru orang tua itu.

Kembali Ji Bun tertegun, cara bagaimana harus bersumpah, sekilas dia berpikir, lalu dia berseru lantang sesuai peraturan bagi sesuatu aliran yang hendak memungut murid: "Ji Bun, murid generasi ke-15, berkat keluhuran budi Suco yang sudi menerimanya sebagai murid, dengan ini bersumpah untuk mendarma baktikan jiwa raga bagi perkembangan dan kejayaan perguruan serta bersumpah untuk mematuhi segala peraturan perguruan, kalau melanggarnya, biarlah Thian menjatuhkan hukumannya."

"Dengarkan maklumat!" kembali si orang tua kurus berseru lantang.

Continue Reading

You'll Also Like

160K 1.8K 22
Sie Cun Hong (Sin-jiu Kiam-ong atau Raja Pedang Tangan Sakti) adalah pemilik pertama Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum) sekaligus guru tunggal Cia K...
90.5K 3.2K 32
21+ Yang puasa boleh diskip. 😂 Setelah semakin melotot kaget karena ada yang menempelinya, Salwa mendorong kuat tubuh di depannya tapi gagal. Mundur...
266K 17.6K 40
Bukan cerita badboy ataupun badgirl. Bercerita tentang Faizah, gadis nakal yang rela berpindah sekolah hingga keluar kota, hanya untuk berubah menjad...
29.1M 2.5M 70
Heaven Higher Favian. Namanya berartikan surga, tampangnya juga sangat surgawi. Tapi sial, kelakuannya tak mencerminkan sebagai penghuni surga. Cowo...