Hati Budha Tangan Berbisa - G...

Da JadeLiong

174K 3.6K 48

Wataknya dingin, angkuh, semua itu menjadikan jiwanya nyentrik. Untunglah di dalam lubuk hatinya yang paling... Altro

01. Pelajar Muda Berlengan Buntung
02. Perempuan Genit dari Thian-Thay
03. Tuduhan yang Sulit Dibantah
04. Jangan Sentuh Dia!!
05. Balasan Pengorbanan Darah
06. Pertemuan Tak Terduga
07. Jit-sing-po Tersapu Bersih
08. Pembunuh Berkedok Berjubah Sutera
09. Peresmian Perkumpulan Wi-to-hwe
10. Tamu Agung Wi-to-whe
11. Kehilangan Anting Kenangan
12. Kuil Mesum Siong-cu-am
13. Perebutan Sek-hud
14. Sam-Cay-Ciat. . . . . Penyelamat
15. Kakek Aneh di Dasar Jurang
16. Dari Celaka Dapat Rejeki Nomplok
17. Tabib Keliling Thian-bak-sin-jiu
18. Puteri dari Istana Ngo-lui-kiong
19. Racun Paling Dikenal, Jarang dan . . . Sama
20. Bu-lim-siang-koay
21. Racun Bu-ing-cui-sim-jiu
22. Dalang Penyerangan Wi-to-hwe
23. Jiwa Ksatria Tak Gentar Elmaut
24. Tuduhan Pembunuh dan Pemerkosa
25. Ayah Meninggal, Dendam Makin Membara
26. Kau, Tidak Takut Racun. . . . . .??
27. Rahasia Rumah Setan di Kay-hong
28. Wi-to-hwe Terima Syarat Barter
29. Salah Duga Terhadap Biau-jiu Siansing
30. Cinta dan Dendam Tak Bisa Berdampingan
31. Hmm, ...... Tidak Tahu Malu
32. Rahasia Wi-to-hwecu
33. Siapa Pembunuh Te-gak Suseng?
34. Te-gak Suseng Hidup Kembali .....??
35. Orang Desa Penagih Darah
36. Jejak Ibunda, Mulai Tercium
38. Kedok dan kemunafikan Sang Ayah ....??!!
39. Korban Ilmu Hian-giok-siu-hun
40. Lelaki Penderita Tanpa Daksa
41. Moyang Perguruan Racun
42. Murid Ban-tok-ci-bun
43. Misteri Perkumpulan Ngo-hong-kau
44. Duta Istimewa Ngo-hong-kau
45. Lorong Rahasia Ngo-hong-kau
46. Siapa Murid Angkatan ke 13 Ban-tok-bun?
47. Dua Generasi Terkubur
48. Silat Tinggi, Rendah Pengalaman
49. Pembantaian di Lembah Ciang-liong-kok
50. Bukan, Murid Angkatan ke 14
51. Malaikat Perempuan Penunggu Gunung
52. Keluar Dari Kurungan Jala Sutera
53. Rahasia Ngo-hong Kaucu
54. Penderitaan Puteri Musuh Besar
55. Keluhuran Budi Thian-thay-mo-ki
56. Misteri Danau Setan
57. Beberapa Misteri Mulai Terkuak
58. Pembasmi Jit-sing-po
59. Dendam Dibalas, Budi Pun Harus
60. Pemberian Thian-thay-mo-ki
61. Mati .... Bagi Pengikut Ngo-Hong-Kau
62. Ibumu, Tok-keng.... Paderi Siau-lim
63. Pertanggungan Jawab Paderi Siau-lim-si
64. Hampir Mengotori Kuil Suci
65. Akal Bulus Ngo-hong Kaucu
66. Tabir Misterius Terbuka Lebar (TAMAT)

37. Pengkhianatan Kacung Keluarga

2.1K 47 0
Da JadeLiong

Ji Bun lupa lapar dan dahaga, tidak merasakan lelah, siang malam dia menempuh perjalanan, hanya "dendam" yang selalu menggejolak sanubarinya. Semakin dekat tempat tujuan hatinya semakin tidak tenteram, dia tahu musuh pasti telah mengatur jebakan dan muslihat untuk menyambut kedatangannya. Namun demi keselamatan ibunya, walau dia harus menghadapi hutan golok dan rimba pedang, lautan apipun akan diterjangnya.

o0o

Lam-cau adalah sebuah kota kecil yang ramai, di ujung jalan yang menjurus keluar kota dari jalan raya yang menuju barat terdapat sebuah taman hiburan yang terkenal diseluruh pelosok kota, itulah salah satu rumah Jit-sing-pocu Ji Ing-hong.

Pagi hari itu, seorang pemuda muka hitam berjubah biru mondar-mandlr di depan pintu taman yang tertutup rapat, dia bukan lain adalah Te-gak Suseng Ji Bun yang datang dengan dendam kesumat untuk menolong ibunya. Taman ini terhitung saiah satu tempat milik keluarganya, namun sekarang dia mondar-mandir di luar seperti orang asing, tidak berani ketok pintu atau menerobos masuk secara langsung.

Pintu besar yang berwarna merah sudah agak luntur catnya, gelang tembaga yang tergantung di tengah pintu juga sudah menghijau berdebu, agaknya sudah lama tidak terjamah tangan manusia, namun pepohonan di dalam pagar tembok tampak hidup subur dan berkembang dengan lebat.

Lama sekali Ji Bun mondar-mandir dengan ragu-ragu, akhirnya dia berkeputusan dan mengetok pintu.

Lama Ji Bun menunggu baru terdengar suata keresekan daun kering yang terinjak kaki, disusul suara serak orang berseru: "Siapa?"

Ji Bun tidak asing akan suara ini, hatinya menjadi bingung dan heran, suara serak orang tua ini adalah si kakek berjenggot, bukankah ibunya diculik kemati? Kenapa yang menjaga rumah dan membuka pintu tetap penjaga lama?

"Siapa yang ketok pintu di luar?" suara serak si jenggot bertanya pula.

Ji Bun sudah jelas dan yakin bahwa yang bertanya di dalam memang si Jenggot adanya, hatinya bergirang, cepat ia menjawab: "Pak jenggot, inilah aku!"

"Kau ..... kau siapa?"

"Bun-ji kongcu."

"Oooo," orang di dalam berseru kaget, agaknya di luar dugaannya. Pintu segera dibuka separo, menongollah seraut wajah seorang tua yang kurus kering, mukanya penuh berewok kaku, di antara rambutnya yang awut-awutan, tampak sepasang matanya memancarkan sinar tajam, sorot matanya mengunjuk rasa kaget dan heran.

"Pak jenggot!" sapa Ji Bun

"Siapa kau berani mengaku sebagai ....."

"Pak jenggot, masa kau tidak kenali suaraku lagi?"

Setelah tangan memegangi pintu, si jenggot mengawasi Ji Bun dari atas ke bawah, akhirnya ia berkata: "Wajahmu tidak mirip ......."

"Pak jenggot, aku sedang menyamar, duduk persoalannya nanti kuceritakan."

Sinar mata si jenggot yang tajam seperti mata burung elang menyelidik, suaranya ragu: "Apa betul ..... kau ini Ji-kongcu? Kau ..... tidak mati?"

"Apa? Mati? Bagaimana kau, bisa bilang demikian?"

Si jenggot menjadi gelagapan, katanya: O. tidak, hamba kira Ji-kongcu ikut menjadi korban musuh."

"Memang berulang kali aku mengalami bencana, syukur aku tidak mati. Pak jenggot, mana ibuku?"

"Ji-hujin?"

"Memangnya otakmu sudah miring, masakah orang lain yang kutanyakan."

"Ji-kongcu," ujar pak jenggot menghela napas panjang. ''sampai sekarang jejak Ji-hujin belum diketahui parannya."

"Apa katamu?" hardik Ji Bun beringas.

Kaget dan ketakutan pak jenggot menyurut mundur sampai mulut melongo.

Sudah tentu Ji Bun amat penasaran, apa yang dikatakan Bwe-hang sebelum ajal pasti tak salah, bahwa ibunya disekap di rumah yang ada di Lam-cau ini. Kini pak jenggot bilang ibunya tak keruan paran, bagaimana dia takkan naik pitam? Tapi iapun percaya kalau pak jenggot inipun takkan berbohong.

Sulit dia menganalisa liku-liku persoalan yang ganjil ini, sungguh luar biasa. "Pak jenggot, siapa pula yang tinggal di sini?" tanyanya kemudian.

"Hanya hamba seorang saja."

"Apa, hanya kau seorang? Pernah terjadi apa-apa di sini?"

"Terjadi apa? Tidak pernah, kenapa Kongcu tanya hal ini?"

Ji Bun semakin bingung, Bwe-hiang adalah pelayan pribadi ibunya, yang membunuhnya adalah Kwe-loh-jin, bayangan orang dilihatnya jelas demikian pula racun Giam-ong-ling hanya dimiliki oleh Kwe-loh-jin seorang, semua ini tidak akan palsu. Bagaimana seluk beluk kejadian ini harus diselidiki? Maka dia tanya dengan suara lebih keras: "Pak jenggot kau bicara dengan jujur?"

Pak jenggot menjadi gugup, sahutnya: "Ji-kongcu, hamba tidak tahu apa yang kau maksudkan?"

"Kau masih ingat Bwe-hiang tidak?"

"Bwe-hiang? Ya, sudah tentu, budak mungil dan pandai nyanyi, budak yang menyenangkan sekali. Kenapa dia, Kongcu?"

"Aku bertemu dengan dia?"

"O, Kongcu bertemu dia? Dia kenapa dan mana dia sekarang?"

"Dia sudah meninggal."

"Meninggal? Bagaimana mungkin ......."

"Sebelum ajalnya dia bilang bahwa ibu berada di rumah ini."

Pak jenggot mundur dua langkah, suaranya gemetar ngeri. "Hamba menjadi bingung, bukankah dia sama menghilang bersama Ji-hujin?"

Ji Bun melangkah masuk ke taman, lalu membalik menutup pintu. "Hayolah bicara di dalam saja."

Suara pak jenggot kedengaran kurang wajar, katanya: "Ji-kongcu silakan duduk di gardu saja, biar hamba buatkan makanan dan menyediakan arak, ai ....." lalu ia mengundurkan diri menuju ke samping rumah sebelah kiri.

Ji Bun melepas pandang ke seluruh penjuru taman yang amat dikenalnya ini, rumput-rumput liar sama tumbuh, tanaman bunga yang dulu teratur dan tumbuh subur sama layu bercampur dengan rumput-rumput liar, hanya belukar melulu yang kelihatan.

Dengan mengerut alis, seorang diri dia berjalan sambil menekan perasaan sedihnya, setelah melewati taman bunga dia masuk ke gardu ujung, penjagaan yang ada di dalam gardu tetap seperti sedia kala, cuma debu tebal, gelagasi terbentang di mana-mana. Menghadapi keadaan yang serba rusak tak terurus ini, Ji Bun berdiri kesima.

Entah berapa lamanya, baru pak jenggot muncul lagi, dia repot membersihkan debu, mulutnya mengeluh panjang pendek. Ji Bun duduk tenggelam dalam kedukaan. Setelah membersihkan gardu. pak jenggot berlari pergi dan membawakan hidangan dan arak. Katanya: "Ji-kongcu, silakan dahar seadanya."

"Ehm," baru sekarang Ji Bun angkat kepala, dalam waktu sesingkat ini ternyata pak jenggot mampu menyiapkan delapan macam hidangan, empat macam diantaranya malah hidangan daging dan ikan, keruan dia heran: "Pak jenggot, agaknya kau pandai merawat diri."

Pak jenggot melengak, tanyanya: "Apa maksud Kongcu?"

"Kau amat memperhatikan menu untuk hidupmu sehari-hari, kalau tidak dalam waktu sesingkat ini darimana kau bisa menyiapkan hidangan sebanyak ini?"

"O, he he he, hal ini hamba sih.. ....ai,ai!." Tersipu-sipu dia mengisi cangkir arak Ji Bun.

"Marilah pak jenggot kau, iringi aku makan minum."

Semula pak jenggot rikuh dan tidak berani, setelah dipaksa akhirnya duduk di depan Ji Bun, keduanya lantas makan minum sambil ngobrol, sudah tentu yang dibicarakan hanya soal-soal yang menyangkut keluarga dan peristiwa hancurnya jit-sing-po.

Entah berapa cangkir sudah Ji Bun menghabiskan arak yang selalu di isi pak jenggot, lalu tanyanya: "Pak jenggot, urusannya agak ganjil."

"Soal apa yang ganjil?"

"Sebelum ajal Bwe-hiang bilang bahwa Ji-hujin bersama penculiknya ada di tempat ini."

Pak jenggot berjingkat berdiri, serunya mendelik: "Bagaimana mungkin."

Pada saat itulah, mendadak Ji Bun merasakan kepala sedikit pusing, lekas dia menahan tubuh dengan kedua tangan memegangi meja.

Pak jenggot memburu maju dan bertanya gugup: "Ji-kongcu, kenapa kau?"

"Beberapa hari ini aku menempuh perjalanan siang malam, mungkin terlalu capai ....."

"He he he he ......" tiba-tiba berubah air muka pak jenggot dengan menyeringai.

Tersirap darah Ji Bun mendengar tawa aneh ini, seketika dia mendapat firasat jelek, baru saja dia berdiri, lekas sekali dia duduk lemas di kursinya pula, serunya: "Pak jenggot, apa yang kau lakukan ......."

"Ji-kongcu, terpaksa kau pasrah nasib saja, jangan kau salahkan hamba, kau sendiri yang meluruk kemari."

Hampir meledak kepala Ji Bun, saking murka, bentaknya: "Anjing tua, kau ...... apa katamu?"

Pak jenggot menyeringai, ujarnya: "Kuharap kau menyerah dan terima kematian saja."

Sudah tentu bukan kepalang gusar Ji Bun, dengan melotot dia tatap pak jenggot, darah mendidih, ingin rasanya ia merobeknya. Namun tenaga tak kuasa dikerahkan, racun sudah menjalar ke seluruh tubuh. Kalau dirinya harus mati demikian, sungguh penasaran sekali. Mulutnya megap-megap seperti binatang kelaparan, hardiknya kalap: "Tua bangka, kau ..... kau ..... berani mencelakai aku?"

Pak jenggot menyurut takut melihat wajah Ji Bun yang beringas seram, dia tahu Ji Bun takkan mampu berbuat apa-apa, namun wajahnya yang beringas buas sungguh menakutkan, katanya setelah mundur cukup jauh: "Ji-kongcu, Lwekangmu sungguh hebat, orang lain takkan tahan terkena racun ini."

"Anjing tua, katakan ...... kau ....... kenapa...."

"Ji-kongcu, jangan salahkan aku, setelah diakhirat, kau akan tahu siapa pembunuhmu."

Ji Bun berteriak kalap, darah menyembur dari mulutnya, kepala pusing pandangan gelap, badannya bergoyang gontai berpegangan meja. Apa yang dikatakan Bwe-hiang memang tidak salah, bahwa musuh telah menduduki rumah ini, pak jenggotpun sudah menyerah kepada musuh, sungguh sukar dipercaya. Sekuatnya dia bertahan, setelah menarik napas, dia kuatkan hati menenangkan pikiran, katanya sambil mengertak gigi: "Pak jenggot, siapa yang suruh kau?"

Pak jenggot bergelak tertawa, katanya: "Lebih baik kau tidak tahu, kau takkan meram di alam baka."

Darah yang mendidih merangsang benaknya, seketika pandangan Ji Bun menjadi gelap badanpun tersungkur di meja, muka dan dadanya sama basah oleh masakan. Pada detik-detik yang gawat itulah mendadak sebuah suara bentakan berkumandang di sebelah tubuhnya: "Pak jenggot, berani kau!"

Susah payah Ji Bun angkat kepalanya, kedua tangan menyanggah meja, sehingga badannya melorot duduk di atas kursi pula, mata berkunang-kunang dan tidak jelas melihat siapa orang yang baru datang itu.

"Aduh!" terdengar pak jenggot menjerit disusul sebuah bentakan kereng: "Keluarkan obat pemunahnya."

Sekilas pikiran jernih mengetuk benak Ji Bun, cepat tangannya meraba kantong dan mengeluarkan beberapa butir Pi-tok-tan terus dimasukkan mulut, dengan air ludah dia telan seluruhnya, rasa pening segera berkurang. Namun pandangannya masih remang-remang, lapat-lapat ia kenal siapa pendatang yang meringkus pak jenggot itu, dia bukan lain adalah Thian-gan-sin-jiu alias Biau-jiu Siansing.

Bahwa Biau-jiu Siansing muncul di sini tepat pada waktunya, sungguh amat diluar dugaan. Pak jenggot yang teringkus oleh Biau-jiu Siansing tampak pucat wajahnya.

Agaknya Biau-jiu Siansing juga terlalu emosi, napasnya memburu, badanpun gemetar, mulutnya menggumam: "Mana mungkin, peristiwa yang tidak mungkin bisa terjadi, kenapa ........"

Ji Bun mulai sadar, pikirannya sudah jernih, gumam Biau-jiu Siansing tadi dapat didengarnya, namun dia masih lemas dan belum sempat memikirkan arti kata-kata orang itu.

Terdengar Biau-jiu Siansing membentak pula dengan bengis: "Pak jenggot, kau sadar tidak apa yang kaulakukan ini?"

Gemetar tubuh pelayan tua itu, jawabnya: "Kau orang kosen dari mana?"

"Tak perlu kau tanya, katakan, kenapa kau melakukan semua ini?"

"Tahukah kau bahwa mencampur tangan urusan keluarga orang lain merupakan pantangan besar kaum persilatan?"

"Keparat, tua bangka, serahkan obat penawarnya jika tidak ingin kukerjain kau hingga setengah mampus."

Bergidik pak jenggot dibuatnya, katanya: "Apa tuan mampu berbuat demikian? Meski mati ditanganmu, jaagan harap kau bisa keluar dari sini." demikian pak jenggot malah menantang.

"Anjing tua, mana obat pemunahnya?"

"Tidak. ...punya."

Jari Biau-jiu Siansing segera menutuk, kontan pak jenggot berkuik-kuik seperti babi disembelih, keringat sebesar kacang membasahi selebar mukanya, mukanya yang penuh keriput berubah bentuk menahan sakit.

"Ada tidak?" bentak Biau-jiu Siansing.

Pak jenggot terus merintih-rintih, namun tetap tidak mau menjawab.

Kembali Biau-jiu Siansing menutuk pula, pegangan tangan dilepaskan, "Bluk", pak jenggot berguling-guling, buih meleleh dari mulutnya, mukanya seram dan matanya melotot sambil menjerit-jerit.

"Keluarkan obat pemunahnya," bentak Biau-jiu Siansing pula.

Meski sudah tua, ternyata pak jenggot tahan disiksa, keadaannya sudah sepayah itu, namun dia tetap tak mau buka suara.

Dengan gusar Biau-jiu Siansing turunkan kotak obatnya lalu mengeluarkan sebilah pisau yang biasanya dibuat operasi, teriaknya: "Kuping kiri," dan sekali pisaunya bergerak, daun kuping kiri pak jenggot seketika berpisah dengan kepalanya, darah mengalir deras.

"Kuping kanan!" kembali pisau bekerja, dan kuping kanan pak jenggot diirisnya pula.

Keruan bertambah sakit dan tersiksa keadaan pak jenggot, namun mulutnya malah menyeringai: "Kau ..... tunggu saja, kaupun .... akan disiksa ..... sepuluh kali lipat .... lebih menderita daripada aku."

Biau-jiu Siansing berteriak aneh: "Sepasang mata!" pisaunya kembali mengiris kemuka orang, betapapun pak jenggot tak berani mengambil resiko lagi, jika mata buta, hiduppun tak berarti orang berhati keras bagaimanapun juga kalau kedua mata diancam, terbang juga sukmanya, maka luluhlah hatinya, teriaknya; "Baiklah ..... kuambilkan ......"

Biau-jiu Siansing tarik pisaunya, pak jenggot benar-benar sudah kehabisan tenaga, suara rintihanpun tak terdengar lagi, seperti mampus saja ia melingkar di lantai. "Harap bebaskan dulu tutukanmu," pinta orang tua itu.

"Katakan dulu di mana obat pemunahnya?"

"Di ..... di .... biarlah aku yang pergi mengambil."

"Tidak, katakan saja."

"Obat pemunahnya ada .... di atas loteng yang terletak di pekarangan barat .... di dalam laci kelima almari sebelah timur ..... botol putih ....."

Tanpa membuang waktu lagi Biau-jiu Siansing segera berlari ke sana, seolah-olah sudah apal akan keadaan taman luas ini, dalam sekejap saja dia sudah lari kembali, tangannya memegangi sebuah botol porselin kecil putih, katanya sambil diacungkan ke depan pak jenggot: "Apakah ini?"

"Ya ........"

Biau-jiu Siansing lantas membuka tutukan Hiat-to pak jenggot, namun beruntun dia menutuk dua Hiat-to yang lain pula, katanya dingin: "Kalau obatmu ini betul mujarab baru kupastikan nasibmu."

Segera ia menghampiri Ji Bun serta menuang sebutir pil dari dalam botol terus dijejalkan ke mulut Ji Bun.

Kena racun berbeda dengan luka-luka parah oleh pukulan, asal obatnya tepat dan mujarab, segera akan punah dan sembuh seperti sediakala. Lekas Ji Bun mengunyah pil itu serta ditelan ke dalam perut, cepat sekali keringat dingin merembes dari seluruh pori-pori badannya, kadar racun seketika tawar dan hawa murnipun dapat terhimpun pula. Sekali melejit dia melompat bangun terus memburu ke sana, berbareng tangan terayun.

Biau-jiu Siansing segera berteriak mencegah: "Jangan dibunuh!"

Sayang sudah terlambat, terdengar jeritan menyayat hati, batok kepala pak jenggot kontan hancur luluh, tamatlah riwayat budak ayahnya yang ternyata khianat ini.

Maklumlah bukan kepalang benci dan sakit hati Ji Bun, maka dia menyerang dengan penuh emosi. Walau dia mendengar teriakan Biau-jiu Siansing sayang dia sudah tak kuasa mengendalikan tenaga pukulannya. Setelah kepala orang terhantam remuk baru dia sadar, namun menyesalpun sudah kasip.

Berkerut alis Biau-jiu Siansing: "Mestinya kau harus mengompes keterangannya dulu."

"Ya, memang Wanpwe yang salah, "ujar Ji Bun menyesal, "terima kasih atas pertolongan Cianpwe."

"Lohu sudah memberi peringatan supaya sebelum bertindak kau pergi ke Kay-hong dulu untuk merunding dengan Ciang Wi-bin

"Betul, namun hubungan ibu dan anak betapapun tidak dapat sabar dan membuang waktu lagi, begitu mendapat sumber berita segera aku menuju kemari."

"Tekadmu memang dapat dimengerti, Lohu sendiri juga pernah berjanji dalam sebulan untuk bantu menyelidiki seluk beluk musuh, kau harus menunggu, bahwa Lohu suruh kau menyamar adalah untuk mengelabuhi pihak lawan supaya tidak terjadi sesuatu di luar dugaan, kalau Ui Bing tak segera memberi laporan dan aku menyusul kemari tepat pada waktunya, tentu kau bisa bayangkan akibatnya."

Merinding Ji Bun, memang, kalau maling sakti ini tidak muncul tepat pada waktunya, mana mungkin dirinya masih bernyawa sekarang. Bahwa musuh berulang kali cari kesempatan hendak membunuh dirinya, sekarang menawan ibunya sebagai sandera pula. Apa maksud tujuannya sukar diraba, lebih celaka lagi kacung ayahnya yang setia dulu sekarang juga menyerah dan menjadi kaki tangan musuh hendak mencelakai jiwanya pula, sungguh suatu hal yang mengerikan. Tapi bagaimana keadaan ibunya? Tegakah dia membiarkan ibunya tersiksa dan menderita dibelenggu musuh?

Rencana kerja yang diatur dan dilaksanakan Biau-jin Siansing serta tutur katanya telah menunjukkan bahwa seluk beluk musuh sedikit banyak sudah dapat merabanya. Hanya tinggal mencari bukti dan kenyataan, maka dia berkata dengan suara haru: "Tentunya Cianpwe sudah tahu asal usul musuh."

"Boleh dikatakan demikian, tapi ......."

Tersirap hati Jl Bun, tanyanya mendesak. "Tapi kenapa?"

"Menurut rabaan, tidak mungkin ada kejadian-kejadian seaneh ini, akan tetapi kenyataan justeru menyulitkan Lohu akan analisa semula."

"Wanpwe hanya menguatirkan keselamatan ibuku."

"Dia tidak akan mengalami apa-apa."

"Berdasarkan apa Cianpwe berkata demikian?"

"Menurut keadaan yang sudah Lohu ketahui."

"Cianpwe tidak suka memberitahu seluk beluknya?"

"Bukan tidak suka, tapi belum bisa, kau harus bersabar, dalam sebulan pasti bisa kuselidiki dengan terang, menurut pendapatku, lebih baik sekarang juga kau harus berangkat ke Kay-hong."

Timbul rasa duka dalam hati Ji Bun, pengalaman getir yang beberapa kali ini sungguh merupakan peristiwa yang terlalu berat untuk dipikul dan dirasakan oleh anak semuda dirinya.

Minat untuk ke Kay-hong tiada, dalam situasi seperti sekarang, dirinya sudah tersudut dan menghadapi jalan buntu. Sejak meyakinkan Bu-ing-cui-sim-jiu yang ganas, lalu mendapat saluran kekuatan dari orang tua di dasar jurang itu, ia yakin bekal untuk menuntut balas sudah cukup melampaui, namun di luar perhitungannya, kekuatan musuh ternyata satu kuat dari yang lain, dendam berdarah keluarganya entah kapan baru bisa terbalas?

Seperti memikirkan sesuatu Biau-jiu Siansing berkata: "Kita harus segera meninggalkan tempat ini, pak jenggot sudah mati, tiada orang hidup lain di sini. Sampai sedemikian jauh kau harus tetap merahasiakan dirimu. Obat pemunah racun Giam-ong-ling ini boleh kau bawa, mungkin setiap waktu bisa kau gunakan," lalu ia tuang beberapa butir ditelapak tangannya, sisanya yang ada di dalam botol ia serahkan pada Ji Bun.

Ji Bun menerimanya sambil mengucap terima kasih, katanya lebih lanjut: "Waktu ayah mendapatkan Tok-keng dulu, dia mengagulkan diri sebagai tokoh beracun yang tiada tandingan. Tak nyana gunung satu lebih tinggi daripada gunung yang lain, racun Giam-ong-ling ini biarpun ayah sendiripun tak mampu menawarkannya."

Terpancar sinar mata Biau-jiu Siansing yang aneh, katanya: "Darimana kau tahu ayahmu tak mampu menawarkannya?"

Continua a leggere

Ti piacerĂ  anche

7.2K 157 33
Setelah terdiam sejenak, ia melanjutkan, "Ilmu yang sedang kulatih bernama Bu Kek Kang Sinkang, ilmu ke tujuhpuluh tiga yang diciptakan Tatmo Couwsu...
434K 21.2K 36
[Follow dulu untuk bisa membaca part yang lengkap] Tarima Sarasvati kira akan mudah baginya menjadi istri bayaran Sadha Putra Panca. Hanya perlu mela...
Jilbab Da Jeon

Spirituale

78.2K 904 3
Abidah Bassamah adalah seorang gadis yang masih mencari jati dirinya. Baginya pacaran adalah hal biasa walau sebenarnya itu hal yang haram. Abi mengh...
NEOTEROS [ON GOING] Da Gib

Narrativa generale

1M 113K 50
[PRIVATE ACAK! SILAHKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA] "NENEN HIKS.." "Wtf?!!" Tentang kehidupan Nevaniel yang biasa di panggil nevan. Seorang laki-laki yan...