Hati Budha Tangan Berbisa - G...

By JadeLiong

174K 3.6K 48

Wataknya dingin, angkuh, semua itu menjadikan jiwanya nyentrik. Untunglah di dalam lubuk hatinya yang paling... More

01. Pelajar Muda Berlengan Buntung
02. Perempuan Genit dari Thian-Thay
03. Tuduhan yang Sulit Dibantah
04. Jangan Sentuh Dia!!
05. Balasan Pengorbanan Darah
06. Pertemuan Tak Terduga
07. Jit-sing-po Tersapu Bersih
08. Pembunuh Berkedok Berjubah Sutera
09. Peresmian Perkumpulan Wi-to-hwe
10. Tamu Agung Wi-to-whe
11. Kehilangan Anting Kenangan
12. Kuil Mesum Siong-cu-am
13. Perebutan Sek-hud
14. Sam-Cay-Ciat. . . . . Penyelamat
15. Kakek Aneh di Dasar Jurang
16. Dari Celaka Dapat Rejeki Nomplok
17. Tabib Keliling Thian-bak-sin-jiu
18. Puteri dari Istana Ngo-lui-kiong
19. Racun Paling Dikenal, Jarang dan . . . Sama
20. Bu-lim-siang-koay
21. Racun Bu-ing-cui-sim-jiu
22. Dalang Penyerangan Wi-to-hwe
23. Jiwa Ksatria Tak Gentar Elmaut
24. Tuduhan Pembunuh dan Pemerkosa
25. Ayah Meninggal, Dendam Makin Membara
26. Kau, Tidak Takut Racun. . . . . .??
27. Rahasia Rumah Setan di Kay-hong
28. Wi-to-hwe Terima Syarat Barter
29. Salah Duga Terhadap Biau-jiu Siansing
30. Cinta dan Dendam Tak Bisa Berdampingan
31. Hmm, ...... Tidak Tahu Malu
32. Rahasia Wi-to-hwecu
34. Te-gak Suseng Hidup Kembali .....??
35. Orang Desa Penagih Darah
36. Jejak Ibunda, Mulai Tercium
37. Pengkhianatan Kacung Keluarga
38. Kedok dan kemunafikan Sang Ayah ....??!!
39. Korban Ilmu Hian-giok-siu-hun
40. Lelaki Penderita Tanpa Daksa
41. Moyang Perguruan Racun
42. Murid Ban-tok-ci-bun
43. Misteri Perkumpulan Ngo-hong-kau
44. Duta Istimewa Ngo-hong-kau
45. Lorong Rahasia Ngo-hong-kau
46. Siapa Murid Angkatan ke 13 Ban-tok-bun?
47. Dua Generasi Terkubur
48. Silat Tinggi, Rendah Pengalaman
49. Pembantaian di Lembah Ciang-liong-kok
50. Bukan, Murid Angkatan ke 14
51. Malaikat Perempuan Penunggu Gunung
52. Keluar Dari Kurungan Jala Sutera
53. Rahasia Ngo-hong Kaucu
54. Penderitaan Puteri Musuh Besar
55. Keluhuran Budi Thian-thay-mo-ki
56. Misteri Danau Setan
57. Beberapa Misteri Mulai Terkuak
58. Pembasmi Jit-sing-po
59. Dendam Dibalas, Budi Pun Harus
60. Pemberian Thian-thay-mo-ki
61. Mati .... Bagi Pengikut Ngo-Hong-Kau
62. Ibumu, Tok-keng.... Paderi Siau-lim
63. Pertanggungan Jawab Paderi Siau-lim-si
64. Hampir Mengotori Kuil Suci
65. Akal Bulus Ngo-hong Kaucu
66. Tabir Misterius Terbuka Lebar (TAMAT)

33. Siapa Pembunuh Te-gak Suseng?

2.1K 53 0
By JadeLiong

Wi-to-hwecu berjingkrak berdiri. Hadirin yang lain juga ikut berdiri. Suasana seketika memuncak tegang, semua hadirin sama dijalari nafsu membunuh.

Sudah tiada pilihan lain bagi Ji Bun, dalam keadaan seperti ini hanya gugur bersama musuh, tangan kiri yang menggenggam Ngo-lui-cu sampai gemetar, sudah tentu semua hadirin tidak tahu bahwa elmaut sudah diambang pintu.

Agaknya perjamuan yang diadakan Wi-to-hwecu ini memang ada sangkut pautnya untuk membongkar kedok dirinya. Tanpa jeri mata Ji Bun melirik ke arah Thong-sian Hwesio, mata orangpun sedang menatap dirinya. Ji Bun buka suara "Taysu, ada sebuah hal mohon petunjukmu."

"Katakan saja!"

"Kabarnya kematian ayahku dan seorang berkedok lain adalah buah karya Taysu?"

Seketika mencorong sinar mata Thong-sian Taysu. "Pinceng pembunuhnya maksudmu?" desisnya, "siapa bilang?"

"Kabarnya demikian, siapa yang bilang Taysu tidak perlu tahu. Pokoknya ada saksi."

"Omong kosong," teriak Thong-sian.

"Taysu tidak berani mengaku?"

"Kalau benar harus diakui, kalau tidak kenapa harus mengaku, jadi bukan soal berani atau tidak."

"Tapi tuduhan ini betulkan?"

"Tidak!"

"Ji Bun," sela Wi-to-hwecu, "apa tujuanmu?"

"Menuntut balas!" Ji Bun mengertak gigi.

Suara Siang-thian-ong yang berat laksana geledek berkata: "Anak muda, kau sedang mimpi di siang hari? Soal menuntut balas kau salah alamat, apalagi kau mempunyai ayah durjana, kau sendiri harus mawas diri dan merasa malu, bicara sakit hati, kau justeru sasaran Hwecu untuk menuntut balas atas perbuatan bapakmu ......"

"Tutup mulutmu!" bentak Ji Bun.

"Ji Bun," bentak Siu-yan Suthay bengis dan kereng. "Mengingat kau pernah menolong jiwa Hwecu, tiada kesempatan lagi bagimu bicara disini ....."

Ji Bun mendengus berat, jengeknya: "Semua yang hadir ini ikut membantai penghuni Jit-sing-po bukan?"

"Kentutmu busuk," bentak Siang-thian-ong, "memangnya kau pandang Lohu sama dengan Ji Ing-hong, manusia srigala yang kejam itu?"

"Tua bangka, jangan memaki orang," damprat Ji Bun.

Saking marah rambut ubanan Siang-thian-ong yang jarang sampai berdiri. Sudah tentu badannya yang serba buntak tambun itu kelihatan lucu dan menggelikan, tapi juga cukup menakutkan, agaknya dia sudah tak sabar lagi.

"Laki-laki sejati putus hubungan tidak akan mengeluarkan kata-kata kotor," demikian Bu-cing-so memenyelutuk, "Sahabat muda, kau harus membedakan salah dan benar."

"Cayhe sudab cukup membedakannya," sahut Ji Bun.

"Ji-sicu," ujar Siu-yan Suthay, "Kalau kami pandang kau sebagai musuh, jelas kau tiada kesempatan mengundurkan diri, kau percaya tidak? Tahukah kau kenapa selama ini Siangkoan Hwecu bersabar dan menyembunyikan diri saja?"

"Tidak perlu tahu, kalau tempo hari aku sudah tahu siapa dia sebenarnya, jiwanya sudah lama kuhabisi, buat apa aku menolongnya."

"Ji Bun," ujar Wi-to-hwecu, "kau pernah menolongku, sekarang kusilakan kau turun gunung, utang piutang kedua pihak sudah lunas sejak kini, "

"Tidak perlu!" teriak Ji Bun beringas.

"Kau menghapus kenyataan, membual hendak menuntut balas segala, dengan cara apa kau hendak menuntut balas?"

Ji Bun terdesak dan nekat, teriaknya kalap: "Utang darah bayar dengan darah!"

Diam-diam genggaman tangannya kiri semakin mengencang, kalau dia lemparkan Ngo-lui-cu di tengah perjamuan ini, pasti tiada seorangpun di antara hadirin yang selamat.

Dengan tatapan beringas dia menyapu pandang muka seluruh hadirin. Waktu matanya bentrok dengan pandangan Pui Ci-hwi, serta merta timbul perasaan dalam sanubarinya, gadis jelita yang pernah menjadi pujaannya, kini juga akan gugur bersama. Kehidupan manusia di dunia fana ini memang tiada yang abadi, nasib sering mempermainkan setiap orang. Kini tibalah saatnya dia turun tangan, tidak boleh ragu-ragu. Mendadak ia keluarkan tangan kiri serta teracung ke atas, tiada orang atau sesuatu yang dapat mengubah lagi nasib semua hadirin?

Pada detik-detik yang gawat sebelum Ji Bun sempat menjatuhkan Ngo-lui-cu, tiba-tiba terasa oleh Ji Bun lengan kirinya kesemutan dan mengejang. Seluruh tenaga yang dikerahkan seketika lenyap. Lebih celaka lagi, Ngo-lui-cu tahu-tahu sudah terlepas dari genggamannya, lengan kirinya lantas menjulur lemas ke bawah.

Kejut Ji Bun luar biasa, serasa sukma meninggalkan raganya, siapakah yang kebal terhadap racun di tangan kirinya, sehingga segala usahanya menjadi gagal total?

Dalam sekejap itu. Ji Bun merasa kepala berat dan mata berkunang, bumi terasa bergunjing, pikirannya menjadi hampa dan kabur.

Sekali sapu ia tendang meja kursi terus melompat mundur, waktu dia berpaling, seketika ia melenggong. Tahu-tahu dalam gardu bertambah seorang nyonya muda, begitu molek dan rupawan sampai Ji Bun tidak berani menatapnya terang-terangan, pakaian yang dikenakan berwarna serba merah, tak ubahnya seperti puteri raja. Tangannya tengah menimang-nimang Ngo-lui-cu, wajah nan cantik membesi geram, sepasang matanya yang bening bersih mempesona menyorotkan sinar terang.

Pandangan seluruh hadirin tertuju kepada nyonya muda ini, begitu kereng dan penuh wibawa nyonya muda ini, meski berdiri tidak bergerak, namun tiada orang yang berani mengawasinya lama-lama. Hening lelap sekian lama, akhirnya Siang-thian-ong yang bersuara: "Ngo-lui-cu!"

Serta merta pandangan hadirin berbalik ke arah Ji Bun yang berdiri bagai patung.

Sungguh menyesal, benci dan murka dan kaget hati Ji Bun. Kalau sejak tadi dia turun tangan, segalanya sudah berakhir. Padahal sejak kapan nyonya muda ini berada di beiakangnya, sama sekali tidak diketahuinya.

Bu-cing-so berdiri paling dekat dengan nyonya muda ini, segera ia memberi hormat padanya serta menyapa: "Sejak kapan Siancu tiba?"

"Baru saja," sahut nyonya muda baju merah, suaranya merdu nyaring bagai kicau burung kenari, "agaknya memang sudah kehendak Thian!"

Siancu? Siapakah dia? Ji Bun bertanya-tanya dalam hati.

"Darimana Siancu tahu ......" tanya Bu-cing-so.

Nyonya muda baju merah segera memotong: "Seorang yang mempunyai sesuatu rencana jahat, jika menghadapi situasi yang menegangkan dan tetap tidak tergoyahkan pendiriannya, itu berarti dia sudah nekat dan bertekad gugur bersama musuh, agaknya kalian lalai dalam hal ini."

Beberapa patah kata ini membuat seluruh jago-jago silat yang hadir sama merah mukanya.

Tiba-tiba Pui Ci-hwi, seharusnya bernama Siangkoan Ci-hwi, karena dia puteri kandung Siangkoan Hong, menjerit pelahan terus menubruk ke dalam pelukan nyonya muda itu. Nyonya muda baju merahpun lantas memeluknya. Lalu dia membalik tubuh dan mengundurkan diri, masuk lewat pintu bundar yang ada di arah kiri sana.

Siang-thian-ong menggeram bagai guntur menggelegar, serunya: "Ayahnya srigala, puteranyapun srigala, mana boleh diantapi hidup di dunia ini."

Ji Bun tersentak sadar dari kejut yang membuat pikirannya butek. Mendadak ia menyadari keadaan dirinya yang serba kepepet dan nasib apa yang bakal menimpa dirinya. Tanpa bicara mendadak dia menubruk ke arah Siangkoan Hong, beruntun dia lancarkan serangan dengan Bu-ing-cui-sim-jiu. Gerak tubrukannya ini secepat kilat, mendadak lagi, siapapun yang disergap begini pasti akan kelabakan. Tapi secara refleks Wi-to-hwecu angkat sebelah tangannya menangkis, dia lupa bahwa Ji Bun menyerang dengan tangan beracun yang bakal mencabut nyawanya.

"Blang", disusul suara gerungan rendah, tampak Ji Bun terpental balik menumbuk dinding malah, begitu keras benturan ini sampai gardu itu terasa guncang. Tapi segera tubuh Ji Bun terpental balik dan terhuyung hampir roboh, darah menyembur dari mulutnya.

Yang menolong Siangkoan Hong ternyata adalah Thong-sian Hwesio. Pertama kali Ji Bun merasakan kekuatan dan kehebatan Sian-thian-cin-khi. Hampir dalam waktu yang sama, suara bentakan dan hardikan saling susul, beberapa gelombang angin pukulan sekaligus menerjang secara beruntun dengan dahsyat, namun hanya terlambat sedetik saja, gempuran hebat ini semuanya mengenai tempat kosong.

Berubah air muka Wi-to-hwecu, yang lainpun ikut pucat dan beringas.

Ji Bun insaf usahanya sudah gagal dan entah nasib apa yang akan menimpa dirinya, namun dia pantang menyerah, meski harus menemui ajal dia tetap berjuang sampai titik darah terakhir.

Setelah menyeka darah diujung mulutnya, dengan niat gugur bersama musuh, tangannya membelah ke arah Bu-cing-so yang berdiri paling dekat. Walaupun dia sudah terluka, namun sejak mendapat saluran Lwekang orang tua aneh di jurang Pek-ciok-hong, kecuali Thong-sian Hwesio, kekuatannya kini tiada orang lain yang mampu menandinginya, maka dapatlah dibayangkan betapa dahsyat serangan yang nekat dan siap adu jiwa ini.

Bu-cing-so melayani secara tergesa-gesa dan keripuhan, keruan ia terdesak mundur hingga keluar gardu. Di tengah bergolaknya angin pukulan yang menderu, semua perabot yang ada di dalam gardu sama tersapu porak peronda, tiang gardu juga berguncang seakan-akan ambruk.

Setelah melancarkan serangannya, Ji Bun tidak pedulikan hasilnya, sigap sekali dia putar tubuh terus menubruk ke arah Wi-to-hwecu. "Omitohud!' ditengah sabda Thong-sian yang bergema itu telapak tangannya cepat mengebut. Segulung angin lembut dan kuat segera menerjang Ji Bun, kelihatan kebutan tangan ini menimbulkan segulung angin lunak, tapi begitu Ji Bun keterjang, baru terasa kekuatannya ternyata bukan kepalang hebatnya.

Bagai diterjang badai mengamuk seketika badan Ji Bun terpental terguling-guling di luar pekarangan dan tak mampu bangun lagi, lukanya bertambah berat, darah menyembur semakin banyak. Orang-orang di dalam gardu serempak memburu keluar dan mengurungnya di tengah.

Setelah mengatur napas, pelan-pelan dengan menahan sakit Ji Bun merangkak bangun, teriaknya beringas: "Aku tak kuasa mengkerumus daging kalian, matipun aku akan mencabut nyawa kalian!" Betapa tebal kebencian yang terkandung dalam sumpahnya ini, orang-orang yang mengelilinginya sama merasa jeri dan ngeri.

Siang-thian-ong, si cebol tua paling berangasan, badannya yang buntak tambun seperti bola menggeser maju, bentaknya. "Anak keparat ini memang berwatak srigala, jangan dibiarkan hidup merajalela di dunia ini."

Di tengah bentakannya, pukulannyapun melanda ke arah Ji Bun.

Mendelik liar mata Ji Bun, sekuatnya dia himpun sisa kekuatannya untuk menangkis. "Plak." Siang-thian-ong menggelinding balik, sementara Ji Bun roboh terguling lagi, darah tambah deras menyemprot dari mulutnya, mukanya pucat pias seperti kertas. Namun dia berusaha bangun, tapi tersungkur jatuh, beruntun tiga kali baru dia berhasil berdiri dengan langkah sempoyongan dan badan limbung.

Siang-thian-ong menggerung seperti banteng ketaton, badannya yang bundar tiba-tiba membal ke atas, telapak tangannya sebesar kipas terus mengepruk. Pandangan Ji Bun berkunang-kunang, kupingnya mendenging, jangan kata melawan, untuk berkelitpun sudah tak kuasa lagi, terpaksa dia terima ajal saja.

Bayangan berkelebat, tahu-tahu Wi-to-hwecu maju menahan pukulan Siang-thian-ong, katanya: "Harap berhenti dulu!"

Dengan bersungut gusar Siang-thian-ong mundur ke belakang.

Wi-to-hwecu langsung mendekati Ji Bun, katanya: "Ji Bun, kali ini kubebaskan kau turun gunung, selanjutnya masing-masing pihak tiada utang piutang, kalau bertemu lagi, aku pasti membunuhmu."

Ji Bun tenangkan diri, katanya dengan tegas: "Siangkoan Hong, hari ini kau tidak membunuhku, aku bersumpah akan menuntut balas kepadamu."

"Terserah!" ujar Wi-to-hwecu, lalu dia berpaling dan berseru kepada Ko Ling-jin yang berdiri jauh di belakang sana: "Ko-congkoan, antar dia turun gunung."

Ko Ling-Jin mengiakan. Dengan tatapan penuh dendam dan kebencian Ji Bun tatap setiap orang yang hadir, lalu dengan langkah sempoyongan beranjak keluar. Ko Ling-jin mengikuti di belakangnya. Tiada yang dipikirkan, seperti orang yang baru sembuh dari sakit lama, langkah Ji Bun turun naik sambil menahan derita luar biasa. Hanya dendam dan kebencian saja yang mempertahankan dirinya, kalau tidak mungkin dia sudah tidak sanggup angkat kaki.

Setelah keluar dari benteng terdepan, Ko Ling-jin segera kembali. Seorang diri Ji Bun turun dari Tong-pek-san, waktu itu sudah kentongan kedua, perjalanan yang biasanya hanya ditempuh setengah jam, kini harus empat jam. Akhirnya ia tersungkur roboh di pinggir jalan, tak tertahan lagi ia merintih-rintih. Rebah telentang kira-kira semasakan air, kembali ia meronta bangun melanjutkan perjalanan dengan jatuh bangun. Setelah fajar menyingsing baru jalan pegunungan itu dilaluinya.

Terasa sekujur badan sakit sekali seperti habis digebuki, tulang-tulang sama nyeri, selangkahpun ia tak kuasa lagi berjalan. Ji Bun sadar bahwa luka dalamnya amat parah, kalau tidak lekas diobati, mungkin bisa mendatangkan bahaya bagi jiwanya.

Maka sambil merangkak dan meronta dia merayap memasuki hutan, akhirnya ia duduk di bawah pohon, dengan tertawa getir ia menggumam: "Beruntung tidak mati, kelak pasti masih ada kesempatan."

Sekonyong-konyong sebuah suara yang cukup dikenalnya berkata: "Te-gak Suseng bagaimana hasilnya?"

Sekuatnya Ji Bun angkat kepala, laki-laki tak dikenal yang memberikan Ngo-lui-cu itu tahu-tahu sudah berdiri di depannya.

"Gagal total," sahut Ji Bun menyengir.

"Apa gagal? Bagaimana bisa gagal?"

"Digagalkan seorang nyonya muda berbaju merah."

"Siapa dia? Mana Ngo-lui-cu itu?"

"Direbut nyonya muda itu, kalau tidak mana aku bisa gagal."

"Bagaimana kau bisa meloloskan diri?"

"Mereka melepas aku pergi."

"Lho, kenapa?"

"Apa pernah menolong jiwa Wi-to-hwecu, dia utang budi kepadaku."

Memancar sinar terang yang mengandung nafsu membunuh dari mata laki-laki tidak dikenal, katanya dingin: "Kau, pernah menolong jiwanya?"

Ji Bun mengatur napas, sahutnya gusar: "Kau hendak mengorek keteranganku?"

"Aku harus memberi laporan. Kau sudah tahu wajah aslinya?"

"Sudah, dia itulah Siangkoan Hong."

"Sejak kini kau sudah bermusuhan dengan Wi-to-hwe?"

"Memangnya perlu omong lagi?"

"Kau ingin bertemu dengan ibumu bukan?"

"Sudah tentu, tapi majikanmu ....."

Bertambah tebal nafsu membunuh laki-laki tak dikenal, katanya menyeringai: "Majikanku sudah berpesan, kalau kau ingin bertemu dengan ibumu, pergilah ke alam baka saja."

Hampir pecah dada Ji Bun laksana dipukul godam, mendadak dia berdiri, serunya: "Apa maksudmu?"

"Kalau berhasil, anak dan ibu akan kumpul kembali, kalau gagal hanya kematianlah yang harus kau tempuh.."

Ji Bun menyurut mundur membelakangi pohon, desisnya mengertak gigi: "Siapa sebetulnya majikanmu? Bagaimana keadaan ibuku."

"Kau akan bertemu dan melihatnya di alam baka."

Mendidih darah Ji Bun, sambil menggerung gusar dia menubruk ke arah laki-laki tak dikenal. Karena mengerahkan hawa murni dan menyerang dengan kalap, luka-lukanya seketika kambuh. Rasa sakit yang luar biasa seketika membuat pandangannya gelap, badannya yang menubruk itu seketika tersungkur kaku tak bergerak lagi.

Laki-laki tak dikenal itu menggumam: "Jangan salahkan aku, tidak bisa tidak aku harus membunuhmu."

Tangan terangkat terus menggablok punggung Ji Bun, hanya mengerang lirih Ji Bun tak bergerak Iagi, darah merembes dari mulut dan hidungnya, daun-daun kering menjadi basah oleh darahnya.

Laki-laki tak dikenal berjongkok memeriksa urat nadi dan pernapasan Ji Bun. Setelah terbukti jantungnya berhenti bekerja, sungguh diluar dugaan tahu-tahu dua titik air mata meleleh dari uiung matanya, katanya menghela, napas: "Demi aku yang hidup, maka kau harus mati, jangan salahkan aku, ini memang sudah nasibmu."

Habis berkata, dengan telapak tangannya yang kuat dia menggali liang lahat terus menggotong Ji Bun dan direbahkan telentang dalam lubang serta menguburnya. Dicarinya sebuah batu besar, diatas batu dia mengukir "Tempat abadi Te-gak Suseng". Di tengah helaan napas laki-laki tak dikenal itu terus putar badan dan pergi.

Setelah membunuhnya, kenapa menghela napas? Kenapa menangis pula? Siapakah sebetulnya laki-laki tidak dikenal ini?

Sang surya sudah tinggi di cakrawala, sinarnya menembus daun-daun pepohonan menyinari pusara baru ini. Te-gak Suseng Ji Bun sudah bersemayam dalam tanah ini untuk selamanya?

Menjelang tengah hari, dua bayangan orang berlari mendatangi memasuki hutan itu, seorang adalah nyonya baju hijau yang mengenakan cadar, tak diketahui usianya, seorang lagi adalah gadis cantik.

Nyonya berkedok itu berkata: "Kau tahu pasti kalau dia pernah kemari?"

Gadis cantik itu mengiakan.

"Memangnya laki-laki dikolong langit ini sudah mampus seluruhnya, sehingga kau justru menujui dia?"

"Suhu luluskanlah keinginan murid."

"Budak bodoh, ada permusuhan apakah dia dengan Wi-to-hwe?"

"Entahlah, murid hanya kuatir dia dibunuh oleh gembong-gembong silat durjana itu."

"Ah, menyebalkan. Tunggu di sini, aku masuk ke sana sebentar," nyonya berkedok masuk ke dalam hutan, sementara si gadis mondar mandir. Mendadak pandangannya tertuju ke sana, pada sebuah kuburan baru. Setelah dia melihat jelas, seketika dia memekik keras: "Dia ... dia sudah mati!"

Cepat dia menubruk maju dan mendekam di atas pusara Ji Bun dan jatuh semaput.

Tak lama kemudian nyonya berkedok telah katanya keras: "Ada apa gembar gembor ..... Heh?" Cepat dia lari mendatangi, setelah melihat tulisan diatas nisan mulutnya mengerut: "Agaknya betul dugaan budak ini, wah celaka!" dia melangkah maju mengebas Thian-in-hiat si gadis. Segera si gadis siuman dari pingsannya serta menubruk kedua kaki nyonya berkedok, pecah tangisnya dengan sedih.

Lama sekali baru si gadis menghentikan tangisnya. Ia berdiri dan bersumpah dengan murka: "Aku akan menuntut balas!"

"Menuntut balas, memangnya siapa musuhnya?"

"Siapa lagi kalau bukan orang-orang Wi-to-hwe?"

"Budak, cara bagaimana kau akan menuntut balas?"

"Dengan cara apapun, cara yang paling keji."

Si gadis mengertak gigi dan menghampiri pusara Ji Bun, air mata bercucuran pula, katanya sesenggukan: "Adik, aku bersumpah .... menuntut balas kematianmu, kau ..... istirahatlah dengan tenteram, dik, sungguh tak nyana kita akan berpisah untuk selamanya ..... takkan lama lagi, Cici pasti akan menyusulmu di alam baka, tunggulah kedatanganku!"

"Anak bodoh, memangnya kau sudah tidak ingat kepada gurumu lagi."

Si gadis diam saja, hatinya luluh. Siapakah dia? Ia bukan lain Thian-thay-mo-ki adanya. Sekian lamanya dia melamun, mendadak ia angkat kedua tangannya menggempur gundukan tanah pusara.

Lekas Nyonya berkedok menangkap tangannya, serunya: "Apa yang kau lakukan?"

"Murid ingin melihatnya untuk terakhir kali."

"Nak, dia sudah meninggal, kau tahu bagaimana keadaannya sekarang?"

"Kuburan ini masih baru, pertanda dia belum lama mati."

"Yang sudah mati biarlah pergi, kenapa kau mengusik jenazahnya ........"

"Tapi ..... oh ..... Dik!" Thian-thay-mo-ki menggerung-gerung sesambatan, begitu sedih memilukan suaranya.

Nyonya berkedok diam saja, dia tidak membujuk atau menghiburnya. Biarlah dia menangis sepuasnya untuk melampiaskan duka citanya. Dalam keadaan seperti ini, bujuk dan hiburan akan percuma saja.

Cukup lama baru tangis Thian-thay-mo-ki mereda. Sambil berlutut di depan pusara Ji Bun diam-diam dia berdoa dan mengheningkan cipta. Entah apa yang diucapkannya, bibirnya kelihatan bergerak. Kejap lain mereka sudah berangkat menuju ke markas besar Wi-to-hwe.

Tak lama setelah bayangan Thian-thay-mo-ki dan gurunya lenyap, sesosok bayangan orang muncul dari balik hutan langsung menghampiri pusara Ji Bun, katanya menghela napas: "Tuhan menghendaki dia berpulang, apa boleh buat. Di sini bukan tempat semayam yang cocok untuk dia, aku harus memindahkan dan menguburnya di tempat lain dengan cara yang memadai, anggaplah sebagai kewajiban seorang sahabat ........" maka dia bekerja mengeduk tanah, keadaannya sudah tidak menyerupai manusia. Jenazah digotong keluar serta dibaringkan di tanah berumput, orang itu menyobek pakaian dengan air yang ada disungai tak jauh diluar hutan sana, dia membersihkan muka dan kaki tangan Ji Bun.

"Siapa di situ?" ditengah hardikan nyaring sesosok bayangan meluncur tiba. Dia adalah Thian-thay-mo-ki yang telah kembali. Begitu melihat jenazah Ji Bun, tanpa menghiraukan siapa orang di depannya dan bagaimana jenazahnya bisa keluar dari liang kubur, segera dia mendekap jenazah Ji Bun serta meraung-raung.

Cepat sekali beberapa orang telah bermunculan pula, yang terdepan adalah nyonya berkedok baju Hijau, di belakangnya adalah Wi-to-hwecu, Thong-sian Hwesio dan empat laki-laki seragam hitam. Mereka menyapu pandang ke arah jenazah Ji Bun lebih dulu. Lalu perhatian tertuju kepada orang yang mengeduk kuburan.

"Sahabat, sebutkan namamu?" tanya Wi-to-hwecu kereng.

"Cayhe adalah Thian-gan-sin-jiu!" ternyata si tabib kelilingan samaran Biau-jiu Siansing.

Mendadak Thian-thay-mo-ki berdiri, serunya menuding Biau-jiu Siansing: "Apa maksudmu mengeluarkannya dari liang lahat?"

"Jenazahnya akan kupindah dan kukubur semestinya."

"Omong kosong, dengan alasan apa kau hendak memindah kuburannya?"

"Karena aku pernah mendapat pesan seseorang untuk melindunginya."

"Pesan siapa?"

"Ciang Wi-bin dari Kay-hong."

''Apa hubungan Ciang Wi-bin dengan dia?"

"Ciang Wi-bin adalah mertuanya."

"Siapa bilang?"

"Aku yang bilang, belum lama ini dia pernah mengikat perjodohan dengan puteri Ciang Wi-bin di Kay-hong."

"Tak mungkin mana bisa ......"

Nyonya berkedok angkat tangan mencegah Thian-thay-mo-ki bicara lebih lanjut, lalu berkata bengis kepada Wi-to-hwecu: "Jenazahnya ada di sini, nyata bukan?"

"Siapakah yang membunuhnya?" tanya Wi-to-hwecu.

"Kalau bukan kau pasti anak buahmu," kata si nyonya.

"Tanpa ada perintah anak buahku takkan berani sembarangan turun tangan."

"Kau sendiri bilang, waktu dia turun gunung sudah terluka parah, siapapun bisa membunuhnya dengan gampang."

"Dengan kedudukan dan pribadiku aku berani menjamin anak buahku pasti tiada yang berani berbuat di luar perintahku."

"Kau memang pandai mungkir dan berpura-pura."

Tiba-tiba Thong-sian menyelutuk: "Sicu ini kenapa begini kukuh."

Gusar dan membentak nyonya berkedok: "Kau ini terhitung apa, berani bicara kepadaku!"

Berubah hebat air muka Thong-sian, namun dia tetap sabar, katanya: "Pinceng pandang kau sebagai tokoh terkemuka Bu-lim ......."

"Kau belum setimpal bicara soal ini."

Betapapun sabar Thong-sian Hwesio juga menjadi gusar, matanya mendelik, katanya: "Sam-cai Lolo, harap kau tahu diri."

"Kau minta aku tahu diri? Ha ha ha, sudah lama aku tidak membunuh orang ......."

"Sicu mau bunuh orang? Sicu kira Sam-cai-cui-hun tiada bandingannya dikolong langit ini?"

Sam-cai Lolo terkekeh, katanya: "Jika puluhan tahun yang lalu berani kau kurangajar padaku, sejak tadi kau sudah mampus."

"Locianpwe," sela Wi-to-hwecu, "bicara dulu persoalan sekarang saja."

"Nanti akan kubereskan dengan kau," bentak Sam-cai Lolo murka. Tiba-tiba dia gerakkan tangan kanannya, dengan jari-jari telunjuk, tengah dan manis, sama teracung menuding Thong-sian Hwesio, bentaknya bengis: "Kalau segera kau berlutut minta ampun, aku boleh ampuni jiwamu."

Tanpa dihembus angin, jubah Thong-sian Hwesio yang longgar melambai-lambai, katanya tegas: "Biar Pinceng menyambut tiga jari sicu."

Sam-cai Lolo menggereng gusar, ketiga jarinya teracung kearah samping, "ser, ser, ser!" tiba-tiba pohon sebesar pelukan tiga orang setombak di sebelah kiri sana bergetar, tiga lobang yang dalam menghiasi batang pohon yang besar itu.

Kerena memakai kedok, bagaimana reaksi dan mimik muka Wi-to-hwecu tidak diketahui, namun sorot matanya nampak ngeri dan jera, anak buahnya sama merinding ketakutan. Memangnya siapa yang pernah melihat dan menyaksikan ilmu jari selihay ini, mendengarpun belum pernah.

Hanya Thong-sian Hwesio tetap tenang-tenang dan adem ayem, agaknya dia tidak terkejut atau gentar sama sekali.

"Hwesio cilik," kata Sam-cai Lolo, tak acuh dengan nada menghina, "bagaimana dirimu dibandingkan dengan pohon itu?"

Continue Reading

You'll Also Like

1M 113K 50
[PRIVATE ACAK! SILAHKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA] "NENEN HIKS.." "Wtf?!!" Tentang kehidupan Nevaniel yang biasa di panggil nevan. Seorang laki-laki yan...
Jilbab By Jeon

Spiritual

78.2K 904 3
Abidah Bassamah adalah seorang gadis yang masih mencari jati dirinya. Baginya pacaran adalah hal biasa walau sebenarnya itu hal yang haram. Abi mengh...
423K 36.7K 57
jatuh cinta dengan single mother? tentu itu adalah sesuatu hal yang biasa saja, tak ada yang salah dari mencintai single mother. namun, bagaimana jad...
641K 23.6K 32
[KAWASAN BUCIN TINGKAT TINGGI 🚫] "Lo cuma milik gue." Reagan Kanziro Adler seorang ketua dari komplotan geng besar yang menjunjung tinggi kekuasaan...