Hati Budha Tangan Berbisa - G...

By JadeLiong

173K 3.6K 48

Wataknya dingin, angkuh, semua itu menjadikan jiwanya nyentrik. Untunglah di dalam lubuk hatinya yang paling... More

01. Pelajar Muda Berlengan Buntung
02. Perempuan Genit dari Thian-Thay
03. Tuduhan yang Sulit Dibantah
04. Jangan Sentuh Dia!!
05. Balasan Pengorbanan Darah
06. Pertemuan Tak Terduga
07. Jit-sing-po Tersapu Bersih
08. Pembunuh Berkedok Berjubah Sutera
09. Peresmian Perkumpulan Wi-to-hwe
10. Tamu Agung Wi-to-whe
11. Kehilangan Anting Kenangan
12. Kuil Mesum Siong-cu-am
13. Perebutan Sek-hud
14. Sam-Cay-Ciat. . . . . Penyelamat
15. Kakek Aneh di Dasar Jurang
16. Dari Celaka Dapat Rejeki Nomplok
17. Tabib Keliling Thian-bak-sin-jiu
18. Puteri dari Istana Ngo-lui-kiong
19. Racun Paling Dikenal, Jarang dan . . . Sama
20. Bu-lim-siang-koay
21. Racun Bu-ing-cui-sim-jiu
22. Dalang Penyerangan Wi-to-hwe
23. Jiwa Ksatria Tak Gentar Elmaut
24. Tuduhan Pembunuh dan Pemerkosa
25. Ayah Meninggal, Dendam Makin Membara
26. Kau, Tidak Takut Racun. . . . . .??
27. Rahasia Rumah Setan di Kay-hong
28. Wi-to-hwe Terima Syarat Barter
29. Salah Duga Terhadap Biau-jiu Siansing
31. Hmm, ...... Tidak Tahu Malu
32. Rahasia Wi-to-hwecu
33. Siapa Pembunuh Te-gak Suseng?
34. Te-gak Suseng Hidup Kembali .....??
35. Orang Desa Penagih Darah
36. Jejak Ibunda, Mulai Tercium
37. Pengkhianatan Kacung Keluarga
38. Kedok dan kemunafikan Sang Ayah ....??!!
39. Korban Ilmu Hian-giok-siu-hun
40. Lelaki Penderita Tanpa Daksa
41. Moyang Perguruan Racun
42. Murid Ban-tok-ci-bun
43. Misteri Perkumpulan Ngo-hong-kau
44. Duta Istimewa Ngo-hong-kau
45. Lorong Rahasia Ngo-hong-kau
46. Siapa Murid Angkatan ke 13 Ban-tok-bun?
47. Dua Generasi Terkubur
48. Silat Tinggi, Rendah Pengalaman
49. Pembantaian di Lembah Ciang-liong-kok
50. Bukan, Murid Angkatan ke 14
51. Malaikat Perempuan Penunggu Gunung
52. Keluar Dari Kurungan Jala Sutera
53. Rahasia Ngo-hong Kaucu
54. Penderitaan Puteri Musuh Besar
55. Keluhuran Budi Thian-thay-mo-ki
56. Misteri Danau Setan
57. Beberapa Misteri Mulai Terkuak
58. Pembasmi Jit-sing-po
59. Dendam Dibalas, Budi Pun Harus
60. Pemberian Thian-thay-mo-ki
61. Mati .... Bagi Pengikut Ngo-Hong-Kau
62. Ibumu, Tok-keng.... Paderi Siau-lim
63. Pertanggungan Jawab Paderi Siau-lim-si
64. Hampir Mengotori Kuil Suci
65. Akal Bulus Ngo-hong Kaucu
66. Tabir Misterius Terbuka Lebar (TAMAT)

30. Cinta dan Dendam Tak Bisa Berdampingan

2.2K 51 0
By JadeLiong

Dengan uring-uringan Ji Bun putar ke tempat semua, walau hatinya tidak rela, namun apa boleh buat, diam-diam ia sesalkan dirinya yang terlalu angkuh dan suka membawa adatnya sendiri, kenapa petunjuk Biau-jiu Siansing diabaikan untuk membicarakan persoalan ini, kalau dia mau membantu secara diam-diam, jelas Kwe-loh-jin takkan mampu menyembunyikan diri lagi, namun menyesal sudah kasip dan tak berguna, kini dia harus mengaku kalah, bagaimanapun anting-anting pualam itu harus segera direbut kembali, lalu mencari tahu asal-usul lawan dari mulut Pui Ci-hwi. Maka ia lantas keluarkan Hud-sim serta menaruh di atas batu, serunya: "Kwe-loh-jin, anggaplah kau yang menang, nah inilah kutaruh di sini."

Kwe-loh-jin tergelak-gelak kesenangan, serunya: "Sekarang boleh kau pergi ambil barangmu."

Ji Bun menekan rasa gemasnya, cepat ia meluncur ke arah timur. Jarak tiga li sekejap saja sudah dicapainya, memang di atas gundukan tanah di tengah hutan sana bertengger sebuah kelenteng kecil, suasana gelap dan sunyi seram.

Ji Bun kuatir ditipu, lekas dia dorong pintu terus melangkah masuk, di bawah meja sembayang, dilihatnya meringkel sesosok tubuh, memang dia bukan lain Pui Ci-hwi adanya. Sementara anting-anting pualam di taruh di atas meja. Dia jemput anting-anting itu lebih dulu, setelah diperiksa dan, tidak kurang suatu apa barulah lega hatinya, dia simpan ke dalam kantong lalu memeriksa keadaan Pui Ci-hwi.

Tampak wajahnya pucat dan kurus, kedua matanya terpejam, keadaannya seperti tidur pulas, napasnyapun teratur, bertambah lega hati Ji Bun. Di mana tutukan Hiat-to Kwe-loh-jin harus memeriksanya dulu baru akan diketahuinya, hal ini membuatnya ragu-ragu. Memang Pui Ci-hwi adalah musuh, dia boleh membunuhnya, namun dia tidak berani menyentuhnya. Tapi keadaan sekarang tidak memberi waktu kepadanya untuk bimbang. Terpaksa dia keraskan kepala, dengan jari-jari gemetar dia pegang urat nadi pergelangan tangan si nona tidak ada tanda apa-apa, lalu dia bergantian meraba tempat lain, terasa empuk licin dan halus, setelah sekujur badan orang dia raba kian kemari tetap tidak menemukan apa-apa, ditambah bau harum gadis jelita, seketika jantung Ji Bun berdebur keras sekali.

Memangnya dia pernah kasmaran terhadap gadis jelita ini, namun situasi kemudian yang kejam ini telah mengubah segalanya.

Setelah dia periksa semua Hiat-to sekujur badannya, dan tidak menemukan keanehan apa-apa, diteliti air mukanya, baru mendadak dia sadar kemungkinan si nona terpengaruh oleh obat racun yang menidurkan, jadi bukan lantaran Hiat-tonya tertutuk seperti apa yang dikatakan Kwe-loh-jin.

Menawarkan racun bagi Ji Bun bukan kerja yang sulit, lekas dia keluarkan sebutir Pit-tok-tan yang selalu dibawanya dan dijejalkannya ke mulut Pui Ci-hwi, hanya dalam sekejap saja Pui Ci-hwi sudah bergerak dan siuman, dengan mengeluh lirih dia membalik tubuh.

"Hah, kau ......" teriaknya sambil merangkak bangun, agaknya dia kaget dan heran melihat keadaan dirinya ditempat asing ini.

Sekuatnya Ji Bun tekan perasaannya yang berkobar tadi, katanya dingin: "Nona Pui merasa tidak apa bukan?"

Sekejap Pui Ci-hwi menatap Ji Bun, tanyanya dingin: "Apa yang telah terjadi?"

Di bawah cahaya remang bintang-bintang di langit, Ji Bun melihat wajah si nona murung dan masgul seperti semula sebelum diculik Kwe-loh-jin tempo hari, walau menghadapi musuh besar, namun sedikitpun tidak gentar. Tapi Ji Bun tidak peduli akan sikapnya ini, katanya terus terang: "Perkumpulanmu mengeluarkan imbalan yang cukup besar untuk menolong jiwa nona melalui tanganku."

"Apa ...... apa katamu?"

"Nona sekarang sudah merdeka."

"Maksudmu dengan imbalan tadi?"

"Ya, Wi-to-hwe sudah mengeluarkan imbalannya."

"Imbalan apa?"

"Dengan Hud-sim, kau ditukar dari tangan Kwe-loh-jin."

"Hud-sim?" teriak Pui Ci-hwi keras-keras, mukanya yang semula dingin kaku kini berubah haru dan sedih, suaranya gemetar: "Katamu Hud-sim? Untuk menebus diriku?"

Tiba-tiba dia menjambak rambut kepalanya sendiri, badannya terbungkuk-bungkuk dan sempoyongan, mulutnya berteriak-teriak seperti orang kalap: "Hud-sim adalah benda yang tak ternilai harganya, aku tidak setimpal, aku .... aku tidak .... tidak setimpal ...."

Ji Bun jadi ketarik dan ingin tahu, tanyanya: "Tidak setimpal? Kenapa?"

Seperti orang mengigau Pui Ci-hwi berkata: "Dosaku terlalu besar, mampuspun tidak setimpal untuk menebusnya."

Ji Bun melengak, dia tidak tahu apa arti ucapan Pui Ci-hwi, walau dia tidak ingin mengorek rahasia orang, namun tak urung dia bertanya pula, "Apa maksud nona dengan katamu tadi?"

Membesi muka Pui Ci-hwi, katanya sepatah demi sepatah: "Aku ini orang yang patut mati, tidak perlu Gi-hu mengeluarkan imbalan sebesar itu."

"Gi-hu (ayah angkat)? Siapa ayah angkat nona?" tanya Ji Bun.

Sedikit ragu-ragu akhirnya Pui Ci-hwi berkata dengan tegas: "Wi-to-hwecu."

"O!" baru sekarang Ji Bun mengerti, waktu pertama kali dirinya naik ke Tong-pek-san, Pui Ci-hwi pernah mengaku dirinya terhitung setengah majikan di sana, kiranya dia adalah anak angkat ketua Wi-to-hwe, tapi kenapa dia bilang dirinya patut mampus?"

Semula Ji Bun kira orang adalah murid Pek-ciok Sin-ni, belakangan baru diketahui bahwa dugaan meleset, namun dari terjadinya peristiwa Sek-hud tempo hari, dapatlah disimpulkan kalau Wi-to-hwe pasti ada hubungan erat dengan Pek-ciok Sin-ni, namun hal ini tidak perlu dia ketahui lebih lanjut. Sekarang dia alihkan pembicaraan pada persoalan yang pokok: "Nona patut mati, apa maksudmu?"

"Karena .... karena aku merusak diriku sendiri, juga membikin kotor nama baik Gihu, lebih celaka lagi aku telah menyia-nyiakan kebaikan orang-orang yang memperhatikan diriku, sekarang ketambahan lagi kejadian ini, matipun belum setimpal menebus dosaku."

"Cayhe tidak mengerti," ujar Ji Bun.

Tiba-tiba Pui Ci-hwi menarik muka, katanya dengan nada haru dan tandas: "Bolehkah aku mohon sesuatu padamu?"

"Memohon kepada Cayhe ..... soal apa?"

"Sukakah kau tolong aku membunuh Liok-kin."

Ji Bun heran dan tidak mengerti, si nona pernah jatuh cinta pada pemuda itu, pernah ditipu, pernah pula memohonkan ampun kepada Jay-ih-lo-sat yang hendak membunuhnya, kini dia minta padanya untuk membunuhnya, kenapa begini? Serta merta dia terbayang kepada Dian Yong-yong, gadis jelita yang menjadi gila karena dipermainkan cintanya, rasanya dia menjadi paham sedikit, tanpa terasa, dia bertanya: "Membunuh Liok-kin keparat itu? Bukankah nona pernah menyintainya?"

Gemetar dan berkerut-kerut kulit muka Pui Ci-hwi, sorot matanya memancarkan sinar hijau yang diliputi napsu dendam dan membunuh, teriaknya bengis: "Ya, aku pernah mencintainya, tapi sekarang aku ingin membunuhnya, karena dia telah menodai aku ......."

"Menodai kau?"

"Ya, dia menodai kesucianku!"

Berubah air muka Ji Bun, timbul pula perasaan aneh yang sukar diutarakan dengan kata-kata. Maklumlah dulu dia pernah terpikat dan mengejar gadis pujaan hatinya dengan bertepuk sebelah tangan, namun karena keadaan situasi memaksa sehingga belakangan berubah perasaan ini, cinta pertama yang pernah membuat getir hatinya sudah lama terpendam, namun asmara yang terpendam ini akan timbul bila dipengaruhi oleh sesuatu. Kini bak sebentuk batu pualam yang semula mulus bersih dan kini telah retak dan cacat, warnanya luntur lagi, si nona tidak sebersih dan sesuci dulu pula.

Tak heran sekarang dia kelihatan seperti kehilangan gairah hidup, sikapnya begitu aneh dan bertentangan terhadap Liok Kin bocah keparat itu, serta merta terbakar rasa cemburunya, tanpa pikir segera ia berkata: "Untuk ini aku menerimanya, sebetulnya aku memang ingin membunuhnya."

"Siangkong," kata Pui Ci-hwi tertawa, getir, "tiada yang dapat kuberikan untuk membalas kebaikanmu, terimalah ucapan terima kasihku dulu."

Sebutan yang mendadak berubah ini terasa asing dan risi bagi pendengaran Ji Bun. namun menimbulkan perasaan kecut dalam sanubarinya, katanya tawar: "Tidak perlu nona sungkan-sungkan."

Ragu-ragu sebentar, tampak wajah Pui Ci-hwi yang kurus pucat bersemu merah, katanya dengan tertawa getir: "Siangkong, terpaksa aku harus berterus terang, aku tahu bagaimana perasaan dan sikapmu dulu padaku, soalnya kesanku terlalu jelek akan, nama gelaranmu, maka tidak kuterima maksud baikmu itu. Sekarang segalanya sudah terlambat ....."

Habis berkata dengan sedih ia menangis sambil menunduk.

Kusut pikiran Ji Bun, perasaannya menjadi tidak karuan darahnya bergolak, ingin juga dia melimpahkan isi hatinya. Walau sudah terlambat, dia dapat memaafkannya. Namun dia tidak kuasa buka suara, karena segala ini tidak mungkin terjadi. Memang cinta dan dendam tak bisa berdampingan, apa lagi sekarang si nona bukan gadis lagi ......"

Mendadak Pui Ci-hwi berteriak kalap, tangannya terayun terus mengepruk batok kepalanya sendiri. Kejadian berubah amat mendadak, tak sempat berpikir bagi Ji Bun, secara refleks tangannya menyampuk. "Plak", Pui Ci-hwi kontan jatuh tersungkur, darah meleleh dari mulutnya. Dia ingin buka suara, namun hanya mulutnya bergerak beberapa kali terus jatuh semaput. Ji Bun berkeringat dingin, dalam detik-detik yang menentukan tadi, syukur dia masih sempat menyelamatkan jiwanya.

"Amitha Bundha!" tiba-tiba berkumandang sabda Buddha yang keras dari samping. Dengan kaget Ji Bun membalik tubuh sambil menyingkir ke samping, tampak seorang Hwesio kereng berperawakan tinggi besar entah sejak kapan sudah berdiri disampingnya.

Setelah melihat jelas baru dikenalinya bahwa yang datang adalah Thong-sian Hwesio yang punya kemampuan luar biasa itu.

Kedua biji mata Thong-sian kelihatan berkilauan seperti mutiara di malam gelap, sinar matanya memancar terang dan mengejutkan.

Dingin perasaan Ji Bun, katanya setelah menarik napas sambil memberi hormat: "Cayhe unjuk hormat pada Taysu"

"Tidak usahlah, syukur barusan kau telah menolong jiwanya," mulut bicara kepada Ji Bun, namun sorot mata Thong-sian tertuju ke arah Pui Ci-hwi.

Thong-sian Hwesio menggembol sebuah buntalan kain, tanpa sadar dia menjerit kaget: "Hud-sim?"

Tubuhnya gemetar, kakipun menyurut mundur, barang ini bukankah sudah dia serahkan pada Kwe-loh-jin, bagaimana bisa terjatuh ke tangan Thong-sian Hwesio?

"Betul, memang inilah Hud-sim yang tadi kau bawa," ujar Thong-sian kalem.

"Taysu ...... bagaimana bisa ......"

"Manusia culas dan tamak, mana boleh dia dibiarkan malang melintang sesukanya?"

"Apakah Kwe-loh-jin sudah Taysu ........."

"Mungkin ajalnya belum tiba, begitu kau taruh Hud-sim di atas batu, pinceng terburu nafsu, sebelum dia muncul, aku lantas mengambil Hud-sim ini, agaknya dia tahu diri terus melarikan diri, jadi sejak itu dia tidak menampakkan diri."

"O," Ji Bun baru paham. Jadi setelah orang dalam tandu suruh orang mengantar Hud-sim kepadanya, lalu iapun mengatur rencana, seperti walang hendak mencaplok tonggeret, tidak disadari bahwa burung gereja juga sudah siap menerkam di belakangnya. Betapapun licik dan licinnya Kwe-loh-jin, ternyata dia tidak mampu berbuat apa-apa, tapi dari kejadian ini, Ji Bun yakin pula bahwa Thong-sian Hwesio telah menjadi anggota Wi-to-hwe.

Semula dia hendak mengorek keterangan dari mulut Pui Ci-hwi, tak terduga perkembangan belakangan ini semua berada di luar perhitungannya, kini Thong-sian muncul, rencananya semula terang gagal total pula, karuan hatinya menjadi masgul, patah semangat dan penasaran pula.

Sementara itu Thong-sian sedang membungkuk memeriksa keadaan Pui Ci-hwi, katanya: "Kasihan gadis ini tersiksa begini rupa."

Nadanya iba dan mengandung perasaan dekat. Ji Bun ikut merasa terharu, dari sini ia dapat menarik kesimpulan bahwa Thong-sian Hwesio pasti mempunyai hubungan luar biasa dengan Wi-to-hwe. Dengan bertambahnya seorang Thong-sian Hwesio, terang beban dirinya di dalam menyelusuri jejak musuh-musuhnya akan bertambah berat. Seorang Thong-sian saja bukan tandingannya, maka dapatlah dibayangkan betapa sukar usaha dirinya untuk menuntut balas.

Lekas sekali Pui Ci-hwi sudah siuman dari pingsannya atas pertolongan Thong-sian, katanya dengan hambar: "Aku ...... belum mati? Kenapa ti ..... tidak biarkan aku mati saja ....." lambat dia angkat kepala dan memutar biji matanya, setelah melihat jelas orang yang menolong dirinya, seketika dia menjerit: "Taysuhu, kau ..... siapa kau?

Agaknya dia belum kenal Thong-sian Hwesio. Waktu Ngo-lui-kiong menyerbu Wi-to-hwe dan Thong-sian Hwesio muncul tempo hari, kebetulan dia sedang mengembara di luar, jadi tidak mengenalnya.

"Anak manis," ujar Thong-sian welas asih, "Pinceng adalah sahabat baik ayahmu."

"O, kau ......."

"Sekarang mari ikut aku pulang ke gunung."

"Tidak ..... aku tidak mau, malu aku bertemu dengan siapapun."

"Anak bodoh ......."

"Oh, tidak ...." teriak Pui Ci-hwi dengan sesambatan, tangisnya begitu sedih memilukan, tangis seorang gadis yang menyesali nasibnya setelah kesuciannya ternoda.

Ji Bun merasa tak perlu berada di sini lebih lama, kesannya cukup baik terhadap Hwesio yang pernah menolong dirinya ini, maka dengan hormat dia berkata: "Taysu, Cayhe mohon diri."

Pada saat itulah, mendadak Pui Ci-hwi berseru melengking, badannya mencelat ke atas terus terbanting jatuh dan berkelejetan, buih keluar dari mulutnya dan tidak sadarkan diri.

Ji Bun kaget, dia tarik kakinya yang sudah melangkah itu. Thong-sian Hwesio juga merasa di luar dugaan, serunya: "Apa yang terjadi?"

Ji Bun juga tidak mengerti, kalau ada orang membokong, jangan kata dirinya, dengan kehadiran Thong-sian di sini, nyamuk terbangpun diketahui, masakah bisa mengelabui mereka. Mungkinkah sampukan tangannya tadi terlalu berat, maklumlah gerakan refleks untuk menyelamatkan jiwanya, namun setelah diperiksa dan diobati kesehatannya sudah sembuh, ialu apa yang terjadi?

Agaknya Thong-sian juga tidak berhasil menemukan sebab musababnya, katanya uring-uringan: "Aneh, aneh!"

Tiba-tiba tergerak hati Ji Bun, pikirnya: "Kwe-loh-jin teramat culas dan licin, bukan mustahil dia telah menaruh apa-apa atas tubuh Pui Ci-hwi, segera dia berkata: "Taysu, bolehkah Cayhe memeriksanya?"

"Ya," Thong-sian mengiakan sambil mundur.

Dengan pengalamannya yang luar biasa dalam bidangnya, dengan seksama Ji Bun memeriksa, tiba-tiba dia menjerit kaget dan melotot: "Racun!"

Terpancar sinar terang dari Thong-sian, katanya gemetar: "Apa racun? Kabarnya Sicu cukup ahli dalam permainan racun, racun apakah yang mengenai dia?"

"Entahlah," sahut Ji Bun haru dan penuh emosi, "racun ini sebelumnya tidak pernah kulihat."

"Apa bisa ditawarkan?"

"Akan kucoba," lalu dia keluarkan tiga butir Pit-tok-tan dan diserahkan kepada Thong-sian. Thong-sian memijat dagu Pui Ci-hwi sehingga mulutnya terbuka, ketiga butir pil itu terus dia jejalkan ke dalam mulut, kembali dia menutuk sekali di Ho-ciat-hiat, sehingga ketiga butir pil tertelan ke dalam perut.

Lama ditunggu tetap tidak membawa reaksi. Tak sabar Ji Bun, ia coba memeriksa bibir, kelopak mata dan lidahnya, akhirnya dia berkata. "Tak berguna. Racun apakah ini, begini ganas?"

Tiba-tiba berkumandang sebuah suara yang sudah amat dikenalnya dari luar pintu: "Itu namanya Giam-ong-ling (perintah raja akhirat), tiada orang yang dapat menawarkannya di jagat ini."

"Kwe-loh-jin!" teriak Ji Bun. Sebat sekali ia melesat keluar pintu, gerakannya boleh dikatakan secepat percikan api. Namun setiba di luar, tak dilihatnya bayangan orang. Dengan menggeram segera dia lompat naik ke atap rumah, selepas mata memandang, tiada sesuatu yang dilihatnya, terpaksa dia lompat turun kembali ke dalam kelenteng.

Dilihatnya Thong-sian masih berjaga disamping Pui Ci-hwi, pikirnya, Hwesio ini amat tabah, dengan Lwekang dan kepandaiannya, kalau dia mau tentu gerak-gerik lawan dapat diikuti.

Agaknya Thong-sian dapat meraba isi hati Ji Bun, katanya tawar: "Dia kemari dengan maksud dan tujuan tertentu, kau tidak perlu memaksa dia nanti dia akan keluar sendiri, kini dia ada di belakang kelenteng."

Dalam hati Ji Bun merasa ngeri, namun iapun memuji akan kepintaran dan pengalaman orang yang luas. Betul juga dari atap rumah sebelah belakang segera terdengar Kwe-loh-jin bersuara: "Thong-sian memang kau lebih pintar."

Tegak alis Ji Bun, tanyanya: "Dari mana Taysu tahu?"

"Waktu dia bicara, kata-katanya yang terakhir diucapkan menjurus ke kiri, jadi dia bicara sudah tidak di tempatnya semula, ini membuktikan dia berkisar dari arah kiri ke belakang, begitu habis kata-katanya, bayangannyapun lenyap dari tempat semula, maka percuma Siau-sicu hendak mencarinya."

Ji Bun membentak gusar: "Kalau kau berani hayo unjukkan dirimu, kenapa malu sembunyi seperti bangsa kunyuk?"

Kwe-loh-jin terloroh-loroh, seringan daun jatuh dia melayang turun di pekarangan. Terpancar sinar membara dari mata Ji Bun, otot hijau menonjol di jidatnya kakinya sudah melangkah dan hendak .....

Kwe-loh jin angkat sebelah tangannya, katanya: "Te-gak Suseng, lebih baik jangan kau turun tangan, cukup hanya sepatah kataku saja kau akan mampus tanpa ada liang kubur."

"Bagus, ingin aku mencobanya," tantang Ji Bun berani.

"Anak muda," jengek Kwe-loh-jin kau tidak ingin aku membongkar rahasia pribadimu bukan?"

Ji Bun tertegun, tanyanya gemetar: "Apa maksudmu?"

"Kalau rahasia pribadimu kubeberkan hah, kau tahu betapa banyak orang yang menginginkan jiwamu."

Perasaan dingin menjalari sekujur badan Ji Bun. berdiri bulu kuduknya, agaknya Kwe-loh-jin juga tahu tentang asal-usulnya, ini sungguh menakutkan, memangnya siapa dan dari golongan manakah dia? Ya, kalau dia pernah menyamar sebagai ayah dan pernah membunuh dirinya, sudah tentu dia jelas mengetahui seluk-beluk pribadinya, hal ini tidak perlu dibuat heran, namun apa sebabnya sampai berulang kali dia berusaha membunuh aku?

Terdengar Thong-sian membuka suara dengan kalem dan tandas: "Sicu, inikah Kwe-loh-jin? Apa tujuanmu?"

"Ah, masakah perlu ditanya lagi."

"Tujuanmu pada Hud-sim ini?"

"Ya, Hud-sim bisa kuganti dengan obat penawar?"

"Kau kira Pinceng mau terima?"

"Tentu saja, kecuali kau tidak pedulikan jiwa nona itu."

"Apa kau tidak pikir, untuk membunuh bagi Pinceng bukan kerja berat?"

"Ha ha ha, Thong-sian. Hal ini sudah kuperhitungkan, aku yakin kau tidak akan turun tangan terhadapku. Memangnya kau tega melihat dia mampus."

"Dia tidak akan mati, bukan kau saja yang pandai bermain racun."

"Betul, tapi jangan lupa, Giam-ong-ling adalah racun yang sudah lenyap selama ratusan tahun dari Kang-ouw, kuyakin pasti tiada orang yang mampu menawarkannya, jangan kau kira Cui Bu-tok si keledai kurus itu mampu, ah, dia masih terpaut jauh sekali."

Thong-sian menjawab sekata demi sekata: "Jika kutukar jiwanya dengan jiwamu, sekaligus untuk melenyapkan bencana bagi insan persilatan bagaimana?"

Kwe-loh-jin sedikitpun tidak gentar, katanya. mantap: "Kuyakin kau takkan berbuat demikian, kalau tidak, sejak tadi kau sudah beraksi."

"Apakah Sicu yakin betul?"

"Sudah tentu, umpamanya kan ingin meringkus diriku untuk paksa menyerahkan obat penawarnya, tapi obat penawarnya tidak kubawa, jadi kau tetap tidak akan bisa menukar jiwanya dengan obat penawar itu, soalnya aku juga hanya menjalankan perintah."

"Sicu ...... menjalankan perintah siapa?"

"Mungkinkah kujawab pertanyaan ini?"

"Pinceng yakin tiada orang yang tidak takut mati, demikian pula kau."

"Tapi jiwa ragaku ini sudah kuserahkan kepada seseorang, aku tidak lagi berkewajiban melindungi jiwa ragaku sendiri."

Ji Bun tidak tahan lagi, sambil menggerung dia menubruk maju, seiring dengan tubrukan pukulannya pun dilontarkan secepat kilat. "Blang"

Ji Bun tergentak turun ke tanah, sementara Kwe-loh-jin terhuyung empat langkah baru berdiri tegak pula. Sedikit merandek segera Ji Bun bergerak maju serta menyerang pula.

"Berhenti!" bentak Kwe-loh-jin sambil mengegos ke samping.

Karena serangannya luput, serta merta Ji Bun menghentikan aksinya.

"Anak muda," ancam Kwe-loh-jin, "memangnya kau ingin kubongkar rahasia pribadimu?"

Benci Ji Bun setengah mati, dia menjadi nekat, jawabnya: "Katakan saja, aku tidak peduli, yang terang kau tidak akan hidup lewat hari ini."

Kwe-loh-jin terkekeh-kekeh, serunya: "Apa kau tidak pikirkan keselamatan jiwa ibumu?"

Seperti disamber geledek kejut Ji Bun, dengan terbeliak dia menyurut mundur, sejak Jit-sing-po hancur, baru pertama kali ini mendengar berita tentang ibunya, agaknya bukan saja orang tahu jelas seluk beluk dirinya, malah ibunya yang hilang dan jejaknya sekarang diketahui, jelas di balik batu pasti ada udang, sumber berita ini betapapun takkan begini saja, maka dengan penuh emosi dia berteriak: "Kau tahu jejak ibuku? Di mana beliau?

"Kini bukan waktunya ngobrol, kau paham maksudku?"

"Jangan kau bertingkah ....."

"Anak muda, persoalanmu boleh dikesamping dulu, setelah urusanmu di sini beres baru kita selesaikan pula perhitungan lain," kata Kwe-loh-jin.

Apa boleh buat, demi keselamatan ibundanya, terpaksa Ji Bun mundur setombak lebih, betapapun dia pantang melakukan kecerobohan yang akan membahayakan jiwa ibunya, asal ibu beranak bisa kumpul kembali, dia tidak peduli pengorbanan apapun yang harus dia pertaruhkan.

Kwe-loh-jin bekerja atas perintah orang, memangnya siapa orang yang berada di belakang layar itu? Waktu dia membunuh diriku memangnya juga atas perintah? Adakah hubungannya dengan hancurnya Jit-sing-po serta kematian ayahnya? Pikir punya pikir, Ji Bun sampai berdiri menjublek, namun darah dalam tubuhnya masih mendidih. Memang dalam suasana yang menegangkan ini, persoalan begini ruwet sehingga tiada kesempatan baginya untuk berpikir.

Kini Kwe-loh-jin menghadapi Thong-sian, katanya dingin: "Thong-sian, kau mau menyerahkan Hud-sim?"

Melotot bagai kelereng biji mata Thong-sian, tatapannya begitu tajam dan mengerikan, katanya dengan suara berat: "Sicu harus katakan dulu atas perintah siapa kau bekerja?"

"Hal itu terang tidak mungkin kukatakan."

"Agaknya Pinceng terpaksa harus melanggar pantangan untuk menamatkan riwayatmu ....."

"Lohu tidak takut diancam, "jawab Kwe-loh-jin. "Thong-sian, setengah jam lagi nona ini akan berubah menjadi cairan darah, sampai tulang belulangnya luluh, nah boleh kau tunggu dan saksikan sendiri."

Sekejap Thong-sian berpaling memandang Pui Ci-wi, tampak kaki tangannya meringkel, mukanya merah legam kehitaman, matanya terpejam, mulutnya megap-megap, agaknya amat menderita dan tersiksa sekali.

"Mana obat penawarnya?"

"Kau mau serahkan Hud-sim?"

"Baiklah, sementara ini Pinceng mengaku kalah."

"Bagus, nah serahkan Hud-sim kepadaku."

"Sebelum obat penawar kau serahkan, masakah aku harus percaya padamu?"

"Begini saja," ujar Kwe-loh-jin, "biarlah anak muda ini tetap menjadi penengahnya. Hud-sim serahkan padanya, biar dia ikut aku mengambil obat penawarnya, kau boleh tunggu setengah jam di sini, dia pasti kembali membawa obat penawarnya, nah bagaimana?"

Thong-sian tidak bicara lagi, segera dia lemparkan Hud-sim ke arah Ji Bun, lekas Ji Bun menerimanya. Sambil tertawa lebar Kwe-loh-jin segera berseru: "Anak muda, marilah"

Ditengah kumandang suaranya, tubuhnya melesat ke wuwungan, lekas Ji Bun mengikuti dengan gerakan tak kalah tangkasnya, susul menyusul dua bayangan berlari kencang beberapa li jauhnya, di depan adalah hutan lebat, Kwe-loh-jin langsung menerjang masuk.

Kokok ayam sudah sayup-sayup terdengar di kejauhan, cepat sekali sinar sang surya sudah mencorong di ufuk timur, sebentar lagi bakal terang tanah. Ji Bun ikut melesat kedalam hutan. Tiga tombak di dalam hutan Kwe-loh-jin berhenti dan menunggu, katanya: "Berhenti anak muda!"

Ji Bun mengerem luncuran tubuhnya, dengan dongkol dia tatap orang, ingin rasanya dia keremus dan mencacah tubuh orang.

"Anak muda, agaknya kau ingin berbicara?" tanya Kwe-loh-jin.

"Betul, kau menyamar orang berkedok beberapa kali hendak membunuhku, apakah aksimu itu juga atas perintah orang?"

"Kau keliru, selamanya Lohu bekerja sendiri dan atas kehendak sendiri pula, apa yang dinamakan perintah tidak lebih hanya muslihat untuk menipu si kepala gundul tadi."

"Kau keparat hina dina yang tidak tahu malu," maki Ji Bun dengan murka dan gemas. "Siapakah kau sebetulnya?"

"Siapa aku, selamanya kau tidak akan tahu dan mengerti. Ingat, jangan bertingkah terhadapku, keselamatan jiwa ibumu berada ditanganku."

Bergidik Ji Bun dibuatnya, katanya sesaat kemudian: "Bagaimana ibuku bisa jatuh di tanganmu?"

"Untuk ini kau tidak perlu tanya, suatu hari kau akan mengerti sendiri."

"Bagaimana keadaan ibuku?"

"Dia baik-baik saja, asal kau tidak bersikap bermusuhan terhadapku, kujamin dia tidak kurang suatu apa-apa."

"Kau kira bisa mengancamku. Hm, sebelum mencacah tubuhmu tidak terlampias dendamku."

"Kalau begitu Lan Giok-tin akan mati lebih dulu."

Darah serasa hendak menyemprot dari mata Ji Bun, tapi Kwe-loh-jin tidak peduli, katanya pula: "Ji Bun, waktu tidak dapat menunggu, marilah kau tukar obat penawarnya,"

Continue Reading

You'll Also Like

94.2K 1.1K 27
Dalam kisah terakhir cerita "Pedang Karat Pena Beraksara" diceritakan Ban-kiam Hweecu berhasil membekuk Sah Thian Yu. Namun dalam pembicaraan selanju...
31.5K 1.5K 24
"ATIKA PUTRI" Anak dari Perwira Menengah, yaitu Kolonel M.Budi dan Siti Aminah "ANGGA PRAYOGA" Anak dari Brigadir Jendral Satria Pratama dan Putri La...
11.5K 176 15
Cerita silat ini merupakan lanjutan dari Karya Khu Lung yang berjudul ANAK BERANDALAN dimana akhir pertempuran antara Siau Cat It Long melawan Raja g...
8.7K 291 40
Setiap huruf yang tertera nyaris meliuk tidak beraturan, seakan si penulis surat sedang tercekam rasa takut dan ngeri yang luar biasa, demikian tak...