Hati Budha Tangan Berbisa - G...

By JadeLiong

174K 3.6K 48

Wataknya dingin, angkuh, semua itu menjadikan jiwanya nyentrik. Untunglah di dalam lubuk hatinya yang paling... More

01. Pelajar Muda Berlengan Buntung
02. Perempuan Genit dari Thian-Thay
03. Tuduhan yang Sulit Dibantah
04. Jangan Sentuh Dia!!
05. Balasan Pengorbanan Darah
06. Pertemuan Tak Terduga
07. Jit-sing-po Tersapu Bersih
08. Pembunuh Berkedok Berjubah Sutera
09. Peresmian Perkumpulan Wi-to-hwe
10. Tamu Agung Wi-to-whe
11. Kehilangan Anting Kenangan
12. Kuil Mesum Siong-cu-am
13. Perebutan Sek-hud
14. Sam-Cay-Ciat. . . . . Penyelamat
15. Kakek Aneh di Dasar Jurang
16. Dari Celaka Dapat Rejeki Nomplok
17. Tabib Keliling Thian-bak-sin-jiu
18. Puteri dari Istana Ngo-lui-kiong
19. Racun Paling Dikenal, Jarang dan . . . Sama
20. Bu-lim-siang-koay
22. Dalang Penyerangan Wi-to-hwe
23. Jiwa Ksatria Tak Gentar Elmaut
24. Tuduhan Pembunuh dan Pemerkosa
25. Ayah Meninggal, Dendam Makin Membara
26. Kau, Tidak Takut Racun. . . . . .??
27. Rahasia Rumah Setan di Kay-hong
28. Wi-to-hwe Terima Syarat Barter
29. Salah Duga Terhadap Biau-jiu Siansing
30. Cinta dan Dendam Tak Bisa Berdampingan
31. Hmm, ...... Tidak Tahu Malu
32. Rahasia Wi-to-hwecu
33. Siapa Pembunuh Te-gak Suseng?
34. Te-gak Suseng Hidup Kembali .....??
35. Orang Desa Penagih Darah
36. Jejak Ibunda, Mulai Tercium
37. Pengkhianatan Kacung Keluarga
38. Kedok dan kemunafikan Sang Ayah ....??!!
39. Korban Ilmu Hian-giok-siu-hun
40. Lelaki Penderita Tanpa Daksa
41. Moyang Perguruan Racun
42. Murid Ban-tok-ci-bun
43. Misteri Perkumpulan Ngo-hong-kau
44. Duta Istimewa Ngo-hong-kau
45. Lorong Rahasia Ngo-hong-kau
46. Siapa Murid Angkatan ke 13 Ban-tok-bun?
47. Dua Generasi Terkubur
48. Silat Tinggi, Rendah Pengalaman
49. Pembantaian di Lembah Ciang-liong-kok
50. Bukan, Murid Angkatan ke 14
51. Malaikat Perempuan Penunggu Gunung
52. Keluar Dari Kurungan Jala Sutera
53. Rahasia Ngo-hong Kaucu
54. Penderitaan Puteri Musuh Besar
55. Keluhuran Budi Thian-thay-mo-ki
56. Misteri Danau Setan
57. Beberapa Misteri Mulai Terkuak
58. Pembasmi Jit-sing-po
59. Dendam Dibalas, Budi Pun Harus
60. Pemberian Thian-thay-mo-ki
61. Mati .... Bagi Pengikut Ngo-Hong-Kau
62. Ibumu, Tok-keng.... Paderi Siau-lim
63. Pertanggungan Jawab Paderi Siau-lim-si
64. Hampir Mengotori Kuil Suci
65. Akal Bulus Ngo-hong Kaucu
66. Tabir Misterius Terbuka Lebar (TAMAT)

21. Racun Bu-ing-cui-sim-jiu

2.5K 49 0
By JadeLiong

Apa boleh buat Jay-ih-lo-sat mundur ke samping, katanya: "Ksatria boleh dibunuh pantang dihina, secara sukarela Cayhe menerima gemblengan ini."

Pek-siu-thay-swe pindah sekopnya ketangan kiri, lalu berkata dengan suara berat: "Sambut pukulan ini!"

Kedua lutut rada ditekuk dan setengah jongkok, telapak tangan kanan tiba-tiba mendorong ke depan, segulung angin kencang seketika menerjang ke arah Ji Bun.

Sedikitpun Ji Bun tak berani lena, ia kerahkan sepenuh kekuatannya, begitu menarik napas, mulut berteriak ia songsong pukulan lawan.

"Daaar!" dahsyat luar biasa pasir berterbangan dan batu berloncatan, dan pohon sama berhamburan, beberapa tombak sekeliling gelanggang pepohonan sama tergetar, sungguh hebat dan mengejutkan bentrokan kedua kekuatan yang luar biasa ini.

Kontan Ji Bun merasakan pandangan berkunang-kunang, darah mengalir balik ke atas hampir menyembur dari mulutnya, namun ia tetap tak bergeming di tempatnya berdiri sekokoh gunung.

Sebaliknya Pek-siu-thay-swe tergeser empat kaki dari kedudukan semula, kulit daging mukanya berkerut, matanya memancarkan sinar-sinar tajam yang mengerikan, keringat bertetes-tetes, lama sekali baru dia kuasa berbicara: "Habis ludes! Lohu memang cari penyakit dan memungut malu sendiri, sejak kini gelar Pek-siu-thay-swe kuhapus dari permukaan bumi."

Sekali berkelebat, badannya melejit tinggi dan lenyap di dalam hutan.

Jay-ih-lo-sat sebaliknya berdiri melongo untuk sekian lamanya tanpa bersuara, hasil adu kekuatan ini sungguh di luar dugaannya, mimpipun tak pernah dia duga bahwa penilaiannya terhadap Ji Bun meleset begitu jauh.

Ji Bun sendiri juga amat haru, diam-diam ia meyakinkan diri sendiri dari hasil ujian barusan, ia percaya bahwa kemampuannya sudah cukup berkelebihan untuk bekal menuntut balas kepada musuh-musuhnya.

Dengan melongo Jay-ih lo-sat berkata: "Sahabat muda, Lwekangmu jauh di atas dugaanku."

"Ah, terlalu memuji," mulut Ji Bun menjawab, namun dalam hati ia membatin: "Memang masih banyak persoalan yang berada di luar dugaanmu."

Setelah tertegun lagi sejenak Jay-ih-lo-sat berkata: "Sahabat muda hendak kemana, atau kebetulan lewat di sini?"

Tergerak hati Ji Bun, sahutnya: "Cayhe ada urusan, sengaja hendak mengunjungi Hwecu kalian."

"O, kalau begitu marilah kuantar," langsung mereka terus berlari menuju ke markas Wi-to-hwe. Dalam hati Ji Bun rada kecewa karena tak sempat menguntit gadis baju merah Pui Ci-hwi sesuai rencananya tadi kesempatan itu mungkin sukar diperoleh lagi, kalau tidak menggunakan akal, apa lagi hendak membongkar semua teka-teki yang selama ini mengganjel hatinya, namun urusan sudah kadung berlarut, biarlah cari kesempatan lain saja.

Sepanjang jalan, diam-diam Ji Bun memperhatikan sekelilingnya, didapatinya bahwa situasi sekarang sudah jauh berbeda dengan pertama kali dia datang tempo hari, mulut lembah untuk memasuki markas besar kini sudah didirikan pos penjagaan, sepanjang jalan banyak tersebar pula petugas ronda, di sekitar markas besar tidak sedikit pula didirikan rumah-rumah gedung dengan denah yang cukup luas.

Agaknya Jay-ih-lo-sat mempunyai kedudukan tinggi di dalam perkumpulan, tanpa memberi laporan lebih dulu, dia langsung membawa Ji Bun masuk ke ruang pendopo. Setelah Ji Bun dipersilakan duduk, Jay-ih-lo-sat lantas mengundurkan diri.

Pikiran Ji Bun cepat bekerja, sebentar lagi ia harus mengorek keterangannya. Belum berhasil pikirannya menemukan putusan, tahu-tahu Wi-to-hwecu sudah muncul dari pintu sana.

Lekas Ji Bun berdiri menyambut, katanya sambil membungkuk hormat: "Cayhe menghadap Hwecu."

Wi-to-hwecu tertawa lantang, katanya riang: "Sahabat muda tak perlu banyak adat, silakan duduk."

"Terima kasih," sahut Ji Bun. Setelah masing-masing duduk, seorang pelayan kecil muncul menyuguhkan teh.

Wi-to-hwecu berkata pula: "Syukurlah sahabat muda suka berkunjung kemari lagi, aku senang sekali."

Tutur katanya ramah dan rendah hati lagi, ini menandakan bahwa dia sangat menghargai kedatangan Ji Bun, namun bagi penerimaan Ji Bun justeru kebalikannya, semakin dipikir ia merasa tingkah orang teramat ganjil, entah muslihat keji apa pula yang tersembunyi di balik keramah-tamahan ini, maka ia berdiri dan berkata: ''Kunjunganku yang tiba-tiba ini harap Hwecu tidak berkecil hati." Ia sudah berkeputusan untuk bicara blak-blakan, maka melanjutkan: "Hwecu, Cayhe mempunyai suatu permintaan yang mungkin kurang patut diajukan."

"Ada persoalan apa, silakan saudara katakan saja," sambut Wi-to-hwecu tersenyum.

"Cayhe ingin bertemu dengan komandan ronda perkumpulan kalian untuk bicara beberapa patah kata."

"Khu In maksudmu? Saudara kenal dia?"

"Pernah bertemu sekali."

"Itu gampang," kata Wi-to-hwecu lalu ia memukul genta kecil di samping tempat duduknya. Seorang laki-laki berpakaian hitam segera muncul di ambang pintu, serunya: "Ong Cap-yang berdinas siap menerima perintah."

"Panggil komandan Khu untuk menghadap!"

Laki-laki itu mengiakan sambil membungkuk terus mengundurkan diri. Tidak lama seorang laki-laki berperawakan sedang bermuka hitam memasuki ruang pendopo. Serunya: "Hamba Khu In menghadap hwecu!"

"Kemarilah."

Laki-laki muka itu mengiakan dan maju berdiri di depan sang Hwecu dengan tangan lurus kebawah.

Seketika Ji Bun dirangsang nafsu membunuh namun sekuatnya ia tekan gejolak hatinya sehingga lahirnya tetap kelihatan tenang dan wajar.

"Hwecu memanggil entah ada tugas apa?" tanya orang itu.

"Siauhiap ini ingin bertemu dengan kau."

"O," Khu In bersuara dalam mulut dengan nada heran, pandangannya pun penuh tanda tanya menatap Ji Bun, Kebetulan sorot mata Ji Bun juga menatapnya, terasakan sinar mata orang ini rada berbeda, namun bentuk dan perawakan tubuh serta dandanannya mirip sekali.

"Siauhiap ingin bertemu dengan aku?" tanya Khu In "Entah ada persoalan apa?"

Pelan-pelan Ji Bun berdiri meninggalkan tempat duduknya, katanya dengan suara berat dan prihatin

"Sengaja aku kemari untuk menyatakan terima kasih akan hadiah yang kau berikan semalam."

"Apa?" Khu In melengak kaget, mukanya yang hitam menjadi semakin gelap dan mengunjuk rasa bimbang.

Ji Bun menarik muka, katanya dingin: "Perbuatanmu sungguh amat mengagumkan, sayang caranya kurang bisa dihargai."

Kedua biji mata Wi-to-hwecu memancarkan sinar yang berwibawa, katanya sekata demi sekata: "Komandan Khu, sebetul apa yang telah terjadi?"

Dengan heran dan bingung Khu In mundur selangkah, katanya: "Hamba tidak tahu apa yang dikatakan Siauhiap ini."

Ji Bun menyeringai tawar, katanya: "Hm, seorang laki-laki berani berbuat harus berani bertanggung jawab, kalau sudah berkepala harimau kenapa jadi berekor ular, aku yakin selamanya tak pernah bermusuhan denganmu, perbuatanmu kemarin tentu ada maksud tujuannya, maka sengaja aku kemari mohon penjelasan."

Wi-to-hwecu membentak bengis: "Komandan Khu, jangan kau lupa akan kedudukanmu dan peraturan perkumpulan, tiada persoalan yang harus dirahasiakan, sebetulnya apa yang pernah kau lakukan?"

Bertaut alis Khu In, katanya bingung: "Hamba betul-betul tidak tahu apa-apa."

"Masakah begitu?" sang Hwecu menegas.

"Kalau ada yang kurahasiakan, hamba rela dihukum sesuai peraturan perkumpulan."

"Saudara muda, persoalan ini tidak sulit untuk diselidiki dan dibikin terang, silakan duduk, mari bicara secara blak-blakan saja."

Ji Bun mendongkol, namun ia duduk kembali ke tempatnya, rasa benci dalam dadanya hampir saia meledak, kalau ia tidak kuatir akan situasi sekelilingnya, mungkin sejak tadi sudah melabrak muka hitam ini.

Kata Wi-to-hwecu lebih lanjut: "Saudara muda, sukalah kau ceritakan terus terang apa yang pernah kaualami, mungkin aku bisa bertindak menurut keadaan?"

"Belum lama berselang," demikian tutur Ji Bun, "Cayhe disergap seorang misterius berpakaian jubah sutera mengenakan kedok, hampir saja jiwaku melayang......"
Bergetar tubuh Wi-to-hwecu, serunya: "Orang berkedok berjubah sutera?"

Dengan nanar Ji Bun pandang muka orang, seolah-olah dia ingin meraba isi hati atau jalan pikiran Hwecu yang misterius ini, dari sorot matanya ia hendak meraba rasa kaget yang merangsang sanubarinya setelah mendengar keterangannya, agaknya persoalan takkan meleset terlalu jauh dari yang diduganya semula, maka dia menambahkan: "Betul, seorang berkedok yang mengenakan jubah sutera warna hijau. Apa Hwecu kenal dia?"

"Silakan saudara lanjutkan ceritamu."

"Setelah itu, di dalam hotel, kembali aku diserangnya secara menggelap, jiwaku hampir direnggut elmaut, penyerang gelap ini tetap orang berkedok berpakaian jubah sutera itu."

Serta merta matanya melirik kearah Khu In.

"Hah...... dan selanjutnya?"

"Kemarin malam, di sebuah kelenteng kira-kira seratus li dari sini, aku mengalami serangan ketiga yang hampir menamatkan jiwaku pula."

"Penyerangnya tetap orang berkedok berjubah sutera itu?"

"Kali ini bukan, tapi komandan ronda itu she Khu inilah."

Khu In mundur dua langkah dengan mata terbeliak dan mulut terbuka lebar, suaranya tidak terdengar, mukanya yang hitam menjadi merah padam.

Sejenak Wi-to-hwecu menepekur, lalu katanya: "Hal ini tidak mungkin."

Ji Bun tertawa dingin, katanya: "Tentu Hwecu punya alasan dalam hal ini."

"Ya. ada dua alibi untuk menyangkal tuduhanmu. Pertama, kemarin malam komandan Khu menghadiri sebuah rapat yang kupimpin sendiri, setapakpun dia tidak meninggalkan sidang, sudah tentu tak mungkin dia pergi ke kelenteng sejauh seratus li untuk membunuh Siauhiap. Kedua, menurut laporan Jay-ih-lo-sat yang membawa Siauhiap kemari, katanya Siauhiap kuat beradu pukulan dan mengalahkan Pek-siau-thay-swe, ini membuktikan bahwa kepandaian silat Siauhiap jauh lebih tinggi dari komandan Khu, terang komandan Khu takkan mampu menyerang saudara bukan?"

Kedua alasan ini kedengarannya masuk akal, namun Ji Bun sendiri sudah mempunyai pendapat dan bukti-bukti yang nyata, maka iapun tak mau mundur, katanya dingin: "Apa Hwecu sudi mendengar bukti-bukti yang akan kuajukan?"

"Ya, sudah tentu, silakan terangkan."

"Pertama, sebelum turun tangan orang itu memperkenalkan diri sebagai Komandan ronda perkumpulanmu, apalagi perawakan dan bentuk rupanya sama. Kedua, ada saksi dan korban lain pada waktu itu."

"Siapa?"

"Para korban itu adalah murid: Ngo-liu-kiong, yang menjadi saksi adalah Thian-thay-mo-ki dan Thong-sian Hwesio."

"Siapa itu Thong-sian Hwesio?"

"Aku sendiri belum tahu."

Wi-to-hwecu mengawasi Khu In, namun Khu In menggeleng dengan kebingungan, setelah menepekur pula sejenak akhirnya Wi-to-hwecu berkata kepada Ji Bun: "Saudara muda, mungkin ada orang yang menyamar komandan Khu?"

Pihak sana menyangkal tuduhannya dengan berbagai alasan, Ji Bun menjadi tidak sabar lagi, mendadak ia berdiri, katanya penuh emosi: "Cayhe masih punya bukti-bukti lain."

"Saudara masih ada bukti?" Wi-to-hwecu menegas.

"Ya, buktinya ada di tubuh komandan Khu ini."

"Di badanku?" teriak Khu In melongo sambil menuding hidung sendiri.

Wi-to-hwecu juga berdiri, katanya serius: "Bukti apa, coba tunjukkan,"

"Harap komandan Khu tanggalkan ikat kepalanya."

Seketika Khu In unjuk rasa gusar, namun dihadapan sang Hwecu ia tidak berani marah. Wi-to-hwecu memberi isyarat pelahan.

Apa boleh buat, Khu In melepas ikat kepalanya.

Ji Bun terbelalak dan tertegun di tempatnya, ternyata di atas jidat dan pinggir kuping komandan Khu tiada kelihatan codet bekas luka-luka, masih segar dalam ingatannya, laki-laki muka hitam yang memperkenalkan diri sebagai komandan ronda Wi-to-hwe ini pernah panik waktu Thian-thay-mo-ki membongkar kedoknya sebagai orang berkedok yang menyaru ayahnya dan ingin membunuhnya itu, di atas kuping sampai jidatnya ada codet luka memanjang yang kelihatan jelas, namun codet itu sekarang sudah lenyap. Sungguh kejadian aneh luar biasa.

"Saudara muda, silakan tunjukkan di mana?" tanya Wi-to-hwecu.

Ji Bun tidak menjawab, codet itu bisa saja ditutupi dengan keahlian seseorang yang pandai merias, tapi satu hal tak mungkin dipalsukan, yaitu laki-laki muka hitam itu pernah kena serangan tangannya yang beracun tanpa kurang suatu apa, dan kini tibalah saatnya dia membongkar segala persoalan. Kalau langkah terakhir ini berhasil, walau menyadari dirinya berada di dalam sarang harimau, terpaksa dia harus berjuang mati-matian mempertahankan hidup. Secepat kilat mendadak ia menerjang ke arah Khu In serta melancarkan serangannya yang jahat beracun.

Wi-to-hwecu tidak menduga Ji Bun bakal turun tangan, ia berteriak kaget, "He, kau?"

Ditengah teriakan kaget inilah, "blang," Khu In jatuh terkapar, kaki tangan berkelejetan sebentar terus lemas lunglai tak bergerak lagi.

"Saudara berani membunuh orangku di sini?" bentak Wi-to-hwecu.

Kalut pikiran Ji Bun, semua harapannya gagal total, kenyataan komandan khu ini tidak kuat menahan serangannya, apakah dirinya harus berterus terang untuk menuntut balas? Ataukah menolong jiwanya untuk mengatur rencana lebih lanjut? Cepat sekali ia ambil berkeputusan, obat penawar dikeluarkan terus dijejalkan kemulut komandan Khu, lalu menutuk beberapa Hiat-to lagi, baru kemudian berkata dengan mengertak gigi: "Dia tidak bakal mati, Cayhe hanya menjajalnya untuk yang terakhir."

Setajam pisau sorot mata Wi-to-hwecu menatap muka Ji Bun, sekian lama dia diam saja. Ji Bun menduga orang mungkin bisa turun tangan namun orang tetap berpeluk tangan saja, hal ini membuatnya bingung malah.

Kini sudah terbukti bahwa Khu In bukan orang yang beberapa kali membokong dirinya, apakah asal usul sendiri sudah diketahui pihak lawan, masih merupakan teka teki pula. Memang siapakah orangnya yang menyaru Khu In? Apa tujuannya hendak membunuh dirinya?

"Saudara muda, tiada persoalan lagi bukan?" tanya Wi-te-hwecu penuh kesabaran.

Ji Bun menarik napas panjang, sahutnya: "Cayhe amat menyesal dan mohon maaf."

"Syukurlah kalau urusan bisa selekasnya dibikin terang, kejadian ini tak perlu dipersoalkan."

"Terima kasih akan keluhuran Hwecu."

"Tadi saudara ada menyinggung orang berkedok? Apa sangkut pautnya dengan komandan Khu?"

"Pembunuh kemarin malam yang memperkenalkan diri sebagai komandan ronda itu, di pinggir jidatnya ada bekas luka yang mirip benar dengan codet di jidat orang berkedok itu, oleh karena itu Cayhe terpaksa harus menjajalnya."

"O, kiranya begitu, baiklah, kutanggung didalam waktu singkat teka teki ini pasti dapat dibongkar."

Tergerak pikiran Ji Bun, katanya: "Apakah Hwecu sudah tahu siapa orang berkedok itu?"

"Sedikit banyak sudah dapat kuraba juntrungannya."

Berdegup jantung Ji Bun, salah satu dari orang berkedok itu adalah ayah kandungnya, seorang yang lain adalah samaran, lalu siapa yang dimaksud dengan ucapan Wi-to-hwecu dari kedua orang itu? Kalau dirinya bertanya lebih lanjut, mungkin menimbulkan curiga orang.

Sementara itu Khu In sudah mulai siuman sambil merintih lemas, tak lama kemudian pelan-pelan dia merangkak bangun.

"Komandan Khu," kata Wi-to-hwecu sambil mengulap tangan, tiada persoalan, kau boleh silakan istirahat."

Khu In melirik ke arah Ji Bun, setelah memberi hormat. ia mengundurkan diri.

Setelah berhadapan langsung dengan musuh besarnya, sungguh berat rasa hati Ji Bun untuk tinggal pergi begitu saja, betapapun dia harus mencari keterangan sebagai ancang-ancang untuk rencananya yang akan datang, namun bagaiman ia harus berkata? Setelah dipikir bolak balik, akhirnya ia mendapat akal, tanyanya: "Hwecu, bolehkah Cayhe mengajukan sebuah pertanyaan lagi?"

"Boleh saja, ada persoalan apa, boleh saudara utarakan. Silakan duduk."

Kembali mereka duduk menyanding meja, setelah menghirup seteguk air teh, pelan-pelan Ji Bun berkata: "Cayhe seorang keroco dalam Bulim, namun di sini Hwecu menyambutku sebagai tamu terhormat, hal ini sungguh membingungkan diriku."

Wi-to-hwecu tergelak-gelak, katanya: "Saudara, mungkin inilah yang jodoh, terus terang aku amat mengagumi watak dan kepolosan hatimu."

"Gelaranku terlalu jelek didengar, orangpun anggap sepak terjangku nyeleweng badanku cacad lagi......."

"Saudara, badaniah jangan disejajarkan dengan hatiniah, soal nama dan gelarankan hanya sebutan kosong belaka. Yang penting perbuatan atau prilaku."

"Dalam hal ini, Cayhepun teramat rendah untuk dikatakan berperilaku baik, sungguh tak berani aku terima pujian Hwecu yang berkelebihan ini....."

"Saudara terlalu rendah hati....."

Percakapan ini berarti sia-sia, Wi-to-hwecu memang pandai berdiplomasi, dirinya terang takkan unggul berdebat, mungkinkah ia memang belum tahu asal usul dirinya?

Tapi persoalan lain seketika menggejolak sanubarinya pula, dengan sikap wajar segera ia bertanya: "Apakah Hwecu kenal orang yang bernama Siangkoan Hong?"

Bergetar badan Wi-to-hwecu, matanya menatap Ji Bun sekian lamanya, katanya: "Kenal, bukankah dia pernah mendapat pertolongan saudara, setiap waktu setiap saat dia tidak pernah melupakan budi kebaikanmu itu."

Kembali diluar dugaan Ji Bun, terus terang pembicaraan secara blak-blakan ini meyakinkan dirinya bahwa orang memang belum tahu akan asal usul dirinya. Maka ia bertanya lebih lanjut: "Harap tanya, di manakah dia sekarang?"

"Karena ada kesulitan maka sementara dia harus mengasingkan diri, untuk hal ini harap saudara suka maklum."

"O, tentunya dia juga seorang anggota Wi-to-hwe?"

"Betul, dia seorang anggota kehormatan."

"Kabarnya isterinya direbut dan puteranya dibunuh oleh Jit-sing-pocu Ji Ing-hong, apa benar?"

Terpancar sinar kebencian yang menyala dari mata Wi-to-hwecu, namun cepat sekali sudah lenyap pula, katanya sambil manggut-manggut: "Betul, memang ada kejadian itu."

"Belakangan ini kudengar berita yang tersiar di kalangan Kang-ouw, kabarnya Jit-sing-po sudah hancur berantakan?"

"Saudara kira itu perbuatan Siangkoan Hong?"

"Setelah tahu ikatan permusuhan kedua pihak, mau tak mau Cayhe harus berpikir demikian."

"Apa maksud dan tujuan saudara menanyakan hal ini?"

"Hanya tanya sambil lalu saja."

Berpikir sebentar, Wi-to-hwecu berkata: "Bicara sejauh ini, biarlah kuberitahu kepada saudara, bahwa saudara dipandang tamu terhormat oleh perkumpulan kami, juga karena ada hubungannya dengan Siangkoan Hong."

"O," baru sekarang Ji Bun paham, soal tamu terhormat sudah terjawab sekarang, cuma kedudukan Siangkoan Hong terang cukup tinggi di dalam Wi-to-hwecu, bila perlu biarlah kelak memaksanya keluar untuk membuat perhitungan.

Kembali Wi-to-hwecu berkata: "Selain itu boleh kujelaskan juga, bahwa sasaran Siangkoan Hong hanya Ji Ing-hong saja, tiada sangkut paut orang lain....!"

Ji Bun melengak, tanyanya tak sabar: "Jadi maksud Hwecu, yang menghancur leburkan Jit-sing-po bukan Siangkoan Hong?"

"Ya, memang bukan."

"Kepandaian Jit-sing pocu dan Jit-sing-pat-ciang anak buahnya itu semua tinggi, memangnya siapa yang mampu membunuh mereka?"

"Sampai detik ini, peristiwa itu masih teka-teki, tapi Ji Ing-hong memang harus menerima ganjarannya setimpal dengan perbuatan-perbuatan jahatnya, tidak sedikit dia menanam permusuhan."

Ji Bun mengumpat dalam hati.

Tiba-tiba sebuah suara serak tua yang kuat terdengar berkata dari ambang pintu: "Bu-ing-cui-sim-jiu."

Kaget dan berubah air muka Ji Bun, mendadak ia melonjak berdiri. Dilihatnya seorang laki-laki tua kurus kering muncul di depan pintu, dia bukan lain adalah Cui Bu-tok yang pegang kekuasaan hukum di Wi-to-hwe, pernah semeja dalam perjamuan tempo hari dengan Ji Bun.

Tiada racun yang tidak dikenal, dan tiada racun yang tak bisa ditawarkan oleh Cui Bu-tok, ia merupakan tokoh dan ahli dibidang permainan racun masa kini, namun selama hidup ia tidak pernah mencelakai orang dengan racunnya.

Wi-to-hwecu mengerut alis, tanyanya: "Cui-ciangling, ada keperluan?"

Latihan batin Ji Bun masih belum matang, terlalu gampang dirangsang emosi, lekas dia tenangkan diri dan duduk kembali di tempatnya.

Cui Bu-tok memberi hormat, katanya: "Lapor Hwecu, bolehkah hamba duduk berbicara dengan Ji-siauhiap ini?"

"Boleh saja, silakan masuk."

Dengan langkah lebar Cui Bu-tok memasuki ruang pendopo, setelah dekat ia angkat tangan memberi hormat kepada Ji Bun, katanya: "Siauhiap, selamat bertemu."

"Sama-sama," sahut Ji Bun memanggut, "Tuan ada petunjuk apa?"

"Cui-ciangling, apa tadi yang kau serukan?" tanya Wi-to-hwecu dengan tatapan tajam.

"Hamba tadi bilang Ji-siauhiap ini telah berhasil meyakinkan Bu-ing-cui-sim-jiu yang hanya pernah kudengar dalam dongeng."

"O, Bu-ing-cui-sim-jiu?" sorot mata Wi-to-hwecu yang memancar tajam ke arah Ji Bun.

Hati Ji Bun amat kaget, kecuali orang aneh dibawah jurang Pek-ciok-hong dan orang yang menyaru Khu In, kini tambah seorang lagi yang mengetahui rahasia dirinya. Urusan sudah sejauh ini, berdebat tiada artinya, maka dia manggut-manggut sambil mengiakan.

Kata Cui Bu-tok sambil mengawasi Ji Bun: "Ada beberapa patah kata ingin kusampaikan, harap Siauhiap tidak berkecil hati."

"Ada omongan apa, silakan berkata."

"Murid-murid kita yang menjadi korban di Jing-goan-si tempo hari, semua juga terkena racun Bu-ing-cui-sim-jiu."

Tersirap darah Ji Bun, katanya: "Jadi kau menyangka......"

"Tidak, tidak," sahut Cui Bu-tok goyang tangan, "Siauhiap jangan salah paham, semua korban di Jing-goan-si itu terbunuh oleh racun yang dicampur dalam makanan, malah bukan semuanya, terbunuh oleh Bu-ing-cui-sim-jiu, namun......."

"Namun bagaimana?"

"Racun yang khusus hanya merangsang jantung ini, adalah ramuan dari resep yang telah lama lenyap, sulit untuk meracik racun hebat ini ternyata Siauhiap malah sudah meyakinkan Bu-ing-cui-sim-jiu, sungguh merupakan keajaiban."

"Kabarnya tiada racun yang tidak bisa kau tawarkan?"

"Kecuali racun yang satu ini," sahut Cui Bu-tok. "Bolehkah Siauhiap perkenalkan nama perguruanmu?"

Sejenak Ji Bun terdiam, lalu menjawab: "Untuk ini maaf tidak bisa kuterangkan."

Mendadak seorang laki-laki setengah umur berpakaian jubah biru tergopoh-gopoh datang dan berdiri di luar pintu, suaranya kedengaran gugup gemetar,

"Congkoan Ko Ling-jin ada urusan penting memberi laporan kepada Hwecu."

Wi-to-hwecu memandang ke arah Ko Ling-jin, katanya: "Ada urusan penting apa?"

"Ada serombongan orang menyerbu ke atas gunung?"

"Apa, ada orang menyerbu kemari?"

"Betul."

Mendadak Wi-to-hwecu berdiri, Cui Bu-tok ikut berdiri.

"Orang-orang macam apa mereka?"

"Ngo-lui-kiong-cu, Tin-kiu-thian In Ci-san memimpin 50-an anak buahnya datang menuntut balas......."

"Menuntut balas? Selamanya perkumpulan kita tidak bermusuhan dengan Ngo-lui-kiong, permusuhan apa yang mereka tuntut?"

"Mereka datang dengan garang, pos terdepan sudah bobol, murid-murid kita sudah ada puluhan yang gugur........"

Dingin sorot mata Wi-to-hwecu, serunya bengis: "Apakah Tio-tongcu tidak kuat menghadapi mereka?"

"Tio-tongcu sudah gugur pada saat pos terdepan dibobol musuh."

"Apa, Tio-tongcu telah gugur?"

"Ya, semua murid-murid yang bertugas di sana seluruhnya gugur."

"Begitu gawat?"

"Kedua Ho-hoat agung (pelindung) juga sudah datang membantu, namun tetap tak dapat membendung serbuan musuh."

"Berapa sih kemampuan Tin-kiu-thian In Ci-san?"

"Ada dua orang yang memiliki kepandaian luar biasa diantara anak buahnya......"

"Hm. Cui-ciangling," seru Wi-to hwecu.

Cui Bu-tok melangkah maju seraya memberi hormat, sahutnya: "Hamba siap menerima tugas."

"Perintahkan untuk siap tempur, kumpulkan untuk kelompok bendera merah putih dengan seluruh hulubalangnya untuk maju ke depan laga bersamaku, yang lain tetap bertugas di pos masing-masing."

Cui-ciangling mengiakan dan segera mengundurkan diri, sebelum pergi dia melirik sekilas ke arah Ji Bun.

"Ko-congkoan," seru sang Hwecu pula.

Continue Reading

You'll Also Like

STRANGER By yanjah

General Fiction

278K 31.6K 36
Terendra tak pernah mengira jika diumurnya yang sudah menginjak kepala empat tiba-tiba saja memiliki seorang putra yang datang dari tempat yang tak t...
591K 4.9K 17
WARNING 18+ !! Kenzya Adristy Princessa seorang putri terakhir dari keluarga M&J group yang diasingkan karena kecerobohannya. Ia hanya di beri satu...
18.3K 291 15
Siau Cap-it-long seorang pencuri hebat. Ada pihak-pihak tertentu yang memfitnah dan memakai namanya untuk tindak kejahatan sehingga reputasinya menja...
904K 9.1K 24
Elia menghabiskan seluruh hidupnya mengagumi sosok Adrian Axman, pewaris utama kerajaan bisnis Axton Group. Namun yang tak Elia ketahui, ternyata Adr...