Hati Budha Tangan Berbisa - G...

By JadeLiong

174K 3.6K 48

Wataknya dingin, angkuh, semua itu menjadikan jiwanya nyentrik. Untunglah di dalam lubuk hatinya yang paling... More

01. Pelajar Muda Berlengan Buntung
02. Perempuan Genit dari Thian-Thay
03. Tuduhan yang Sulit Dibantah
04. Jangan Sentuh Dia!!
05. Balasan Pengorbanan Darah
06. Pertemuan Tak Terduga
07. Jit-sing-po Tersapu Bersih
08. Pembunuh Berkedok Berjubah Sutera
09. Peresmian Perkumpulan Wi-to-hwe
10. Tamu Agung Wi-to-whe
11. Kehilangan Anting Kenangan
12. Kuil Mesum Siong-cu-am
13. Perebutan Sek-hud
14. Sam-Cay-Ciat. . . . . Penyelamat
15. Kakek Aneh di Dasar Jurang
16. Dari Celaka Dapat Rejeki Nomplok
18. Puteri dari Istana Ngo-lui-kiong
19. Racun Paling Dikenal, Jarang dan . . . Sama
20. Bu-lim-siang-koay
21. Racun Bu-ing-cui-sim-jiu
22. Dalang Penyerangan Wi-to-hwe
23. Jiwa Ksatria Tak Gentar Elmaut
24. Tuduhan Pembunuh dan Pemerkosa
25. Ayah Meninggal, Dendam Makin Membara
26. Kau, Tidak Takut Racun. . . . . .??
27. Rahasia Rumah Setan di Kay-hong
28. Wi-to-hwe Terima Syarat Barter
29. Salah Duga Terhadap Biau-jiu Siansing
30. Cinta dan Dendam Tak Bisa Berdampingan
31. Hmm, ...... Tidak Tahu Malu
32. Rahasia Wi-to-hwecu
33. Siapa Pembunuh Te-gak Suseng?
34. Te-gak Suseng Hidup Kembali .....??
35. Orang Desa Penagih Darah
36. Jejak Ibunda, Mulai Tercium
37. Pengkhianatan Kacung Keluarga
38. Kedok dan kemunafikan Sang Ayah ....??!!
39. Korban Ilmu Hian-giok-siu-hun
40. Lelaki Penderita Tanpa Daksa
41. Moyang Perguruan Racun
42. Murid Ban-tok-ci-bun
43. Misteri Perkumpulan Ngo-hong-kau
44. Duta Istimewa Ngo-hong-kau
45. Lorong Rahasia Ngo-hong-kau
46. Siapa Murid Angkatan ke 13 Ban-tok-bun?
47. Dua Generasi Terkubur
48. Silat Tinggi, Rendah Pengalaman
49. Pembantaian di Lembah Ciang-liong-kok
50. Bukan, Murid Angkatan ke 14
51. Malaikat Perempuan Penunggu Gunung
52. Keluar Dari Kurungan Jala Sutera
53. Rahasia Ngo-hong Kaucu
54. Penderitaan Puteri Musuh Besar
55. Keluhuran Budi Thian-thay-mo-ki
56. Misteri Danau Setan
57. Beberapa Misteri Mulai Terkuak
58. Pembasmi Jit-sing-po
59. Dendam Dibalas, Budi Pun Harus
60. Pemberian Thian-thay-mo-ki
61. Mati .... Bagi Pengikut Ngo-Hong-Kau
62. Ibumu, Tok-keng.... Paderi Siau-lim
63. Pertanggungan Jawab Paderi Siau-lim-si
64. Hampir Mengotori Kuil Suci
65. Akal Bulus Ngo-hong Kaucu
66. Tabir Misterius Terbuka Lebar (TAMAT)

17. Tabib Keliling Thian-bak-sin-jiu

2.6K 67 2
By JadeLiong

"Dik, aku ....... beberapa kali aku hampir terjun ke bawah menyusulmu," dengan malu-malu Thian-thay-mo-ki menunduk, mukanya yang pucat menjadi merah.

Inilah limpahan isi hati yang murni, cinta sejati. Ji Bun amat menyesal, dia merasa tidak patut menerima cinta murni ini, tiada apa-apa yang pernah dia berikan kepadanya, malahan rasa cinta sedikitpun tiada, bahwa belakangan ini ia mau bergaul sama dia hanya ingin memperalatnya demi mencapai tujuan menuntut balas keluarganya. Kini Ji Bun betul-betul malu diri ia merasa bahwa perbuatan dan tujuannya teramat hina dan kotor, ia ingin membeber kenyataan ini dan mohon maaf. Malah iapun ingin memeluknya, serta membisiki bahwa untuk selanjutnya ia akan memberi balasan setimpal akan cinta kasih besarnya.

Akan tetapi ia tidak berbuat sejauh itu, pikiran lain lekas sekali membuatnya tenang kembali, yaitu lengan kirinya itu, tangan berbisa, jika benar apa yang dikatakan si orang tua aneh, maka selama hidup dirinya takkan ada kesempatan lagi untuk main cinta dengan perempuan.

Seperti disayat dan ditusuk sembilu rasa hatinya, sungguh ia tidak habis mengerti kenapa semua ini bisa terjadi, apakah ia harus menyalahkan ayahnya?

"Dik, bagaimana kau bisa tetap hidup?" tanya Thian-thay-mo-ki kemudian.

Ji Bun lantas ceritakan pengalamannya, namun soal tangan kirinya tetap dia rahasiakan. Lalu dia bertanya:

"Cici, kau pernah dengar orang yang bernama Toh Ji-lan?"

"Belum pernah dengar, tapi bisa kita selidiki."

"Kemana Jit-sing Kojin?"

Thian thay-mo-ki mengertak gigi, katanya :

"Hampir saja aku diperkosa olehnya, untung tanda perguruanku menyelamatkan aku." Ia lantas menceritakan kejadian terakhir yang dialaminya. Lalu katanya pula. "Dik, menurut hematku, Jit-sing kojin pasti sekongkol dengan Biau-jiu Siansing."

"Mengapa kau berpendapat demikian??"

"Kenyataan amat jelas, Bu-cing-so dan Siang-thian-ong telah mengawasi Biau-jiu Siansing dengan ketat, betapapun tinggi Ginkangnya jangan harap bisa lolos dari pengawasan kedua bangkotan lihay itu, namun Jit-sing-kojin justeru muncul pada saat yang menentukan, dia sengaja memancing kemarahan Bu-cing-so untuk melabraknya sehingga Biau-jiu Siansing mendapat kesempatan untuk lari."

"Analisamu memang masuk akal, namun kedua bangkotan tua itn sama-sama tak berani turun tangan secara gegabah, agaknya merekapun menguatirkan sesuatu, sebetulnya gabungan kekuatan mereka cukup berlebihan untuk membereskan seorang Biau-jiu Siansing, namun mereka tetap ragu-ragu, dari percakapan mereka agaknya rela untuk gugur bersama Sek-hud, terang sekali di dalam hal ini ada latar belakang, yang tidak kita ketahui."

"Ya, akupun, seperasaan, cuma kita tak habis. pikir."

"Menurut pendapatmu, dapatkah kedua bangkotan itu menyandak Biau-jiu Siansing?"

"Tidak mungkin, Ginkang Biau-jiu Siansing tidak bernama kosong."

"Menurut kabar Sek-hud menyimpan rahasia pelajaran ilmu silat, Biau-jiu Siansing kalau berhasil mempelajarinya, ditambah kepandaian sendiri yang, sudah begitu tinggi, mungkin tiada jago kosen yang dapat menandinginya."

"Mungkin, namun pihak Wi-to-hwe tidak akan berpeluk tangan," dengan cekikikan Thian-thay-mo-ki lalu menambahkan: "Dik, marilah kita turun gunung mencari makanan."

Baru sekarang Ji Bun juga merasakan perutnya keruyukan, laparnya setengah mati, sahutnya:

"Ya, tiga hari tidak makan, perutkupun sudah berontak."

Mereka lantas berlari turun dari Pek-ciok-kong, di bawah gunung ada sebuah kampung di mana mereka mendapatkan sebuah warung lalu pesan makanan ala kadarnya.

"Dik," kata Thian-thay-mo-ki penuh perhatian, "kemana tujuan kita selanjutnya?"

Berpikir sebentar baru Ji Bun menjawab:

"Kita menuju ke Cinyang saja."

"Mencari Biau-jiu Siansing maksudmu?"

"Disamping minta kembali anting-anting, sekaligus kita cari jejak Jit-sing-kojin."

"Ya, jadi bekerja menurut rencana semula?"

"Kukira secara hormat kita mohon bertemu dulu, jelaskan maksud kedatangan, kalau mereka sengaja main gila baru kita pakai kekerasan."

"Baiklah, kita bekerja menurut keadaan nanti."

o0o

Pada jalan raya di selatan kota Cinyang berdiri sebuah gedung kuno yang angker. Hari itu, dua muda-mudi mendatangi gedung kuno yang jarang dikunjungi orang karena terkenal sebagai rumah setan, mereka adalah Te-gak Suseng dan Thian-thay-mo-ki. Menghadapi daun pintunya yang tertutup rapat itu Ji Bun mengerut kening, katanya :

"Cici, gedung ini tak salah lagi?"

"Tak salah, aku masih ingat betul."

Ji Bun segera maju menggedor pintu, namun lama sekali tak terdengar penyahutan dari dalam, kemball Ji Bun menggedor pintu dengan gelang besi yang tergantung di pintu itu, begitu keras suaranya, kecuali orang tuli saja yang tidak mendengar. Namun tetap tiada reaksi.

Setelah ditunggu lagi sebentar, tiba-tiba sebuah suara bertanya:

"Kalian mau apa?"

Waktu Ji Bun berpaling, dilihatnya orang yang bicara adalah laki-laki yang berpakaian kasar dengan jubah kusut, tangan memegang kelintingan, di punggung menggeblok sebuah peti obat, di atas peti obat tertancap sebuah panji kecil di mana tertulis sebaris huruf yang berbunyi "mengobati berbagai penyakit yang sukar disembuhkan", kiranya orang ini adalah tabib kelilingan.

Thian-thay-mo-ki lantas menjawab:

"Kami hendak mengunjungi pemilik rumah ini."

Terbelalak biji mata tabib kelilingan itu, katanya:

"Apa, kalian hendak mengunjungi pemilik gedung ini?"

"Tidak salah!" sahut Ji Bun.

"Kalian kenal baik dengan pemilik gedung ini, atau ...."
"Ya, kenalan lama," kata Ji Bun.

"Ha ha ha ha "tiba-tiba tabib kelilingan itu terkial-kial sampai terbungkuk-bungkuk, sambil membunyikan kelintingnya, tabib itu terus putar badan dan tinggal pergi.

Melihat kelakuan tabib keliling ini agak ganjil, Ji Bun tahu urusan pasti tidak beres, sekali gerak segera dia memburu ke depan dan mengadang, katanya:

"Tunggu sebentar sahabat!"

Dengan kaget dan melongo tabib kelilingan itu menyurut selangkah, tanyanya:

"Apa-apaan kau ini?"

"Kenapa saudara tertawa?"

"Tadi tuan bilang kenal baik dengan penghuni gedung ini, maka aku merasa geli."

"Memangnya apanya yang lucu?"

"Sudah lama gedung ini tiada penghuninya, di kota Cinyang gedung ini sudah terkenal sebagai rumah setan ....."

Berubah air muka Ji Bun, teriaknya:

"Apa? Rumah setan?"

Dengan rasa jeri tabib kelilingan itu ke pintu gedung kuno itu, katanya:

"Betul, rumah setan. Setelah matahari terbenam, yang bernyali kecil tiada yang berani lewat jalanan."

"Omong kosong, di dunia ini mana ada setan atau memedi segala, itu hanya pandangan dan pendapat orang-orang bodoh belaka."

"Tuan, agaknya kau orang sekolahan, dalam ajaran Nabi toh tidak dikatakan beliau menyangkal adanya setan, beliau hanya mengatakan tidak suka berbincang tentang setan, barusan tuan ada bilang kenal baik dengan pemilik gedung ini, lalu bagaimana kau harus memberi penjelasan?"

Ji Bun kememek tak mampu menjawab, katanya kemudian setelah melenggong:

"Terus terang Cayhe berkunjung kemari karena mendengar ketenarannya, baru pertama kali ini aku ke kota ini."

Mendapat angin tabib kelilingan tidak memberi kelonggaran, katanya mendesak:

"Mendengar ketenarannya, ketenaran nama siapa?"

Akhirnya Ji Bun naik pitam, katanya dingin:

"Apa saudara hendak mengorek keterangan dariku?"

Tabib itu terbahak-bahak, katanya:

"Terlalu berat ucapan tuan, Cayhe sudah biasa keluntang ke utara dan kelantung ke selatan, semua berkat bantuan para sahabat, pengetahuan dasar seorang kelana sudah kupahami betul, mungkin ucapanku tadi memang salah, harap dimaafkan, maksudku bahwa mungkin tuan salah alamat, terus terang seluruh kota Cinyang ini tiada yang tidak kukenal, jangan kata rumah, sampai siapa dan berapa banyak penghuninyapun sudah apal diluar kepalaku, mungkin bisa kubantu mencarikan siapa sebetulnya yang hendak tuan kunjungi?"

Baru saja Ji Bun hendak menjawab, tiba-tiba Thian-thay-mo-ki menyeletuk:

"Kalau demikian tuan tentu bukan orang sembarangan, mohon tanya siapa gelaran tuan?"

"Aku yang rendah sering dipanggil Thian-bak-sin-jiu (tangan sakti bermata dewa), seorang kroco belaka, harap nona tidak mentertawakan."

"Thian-bak-sin-jiu?"

"Betul, apa nona pernah dengar gelaranku ini?"

"Baru pertama kali ini."

"He he he, hi hi hi, sudah kukatakan aku ini kaum kroco, mana mungkin Lihiap ini tahu akan gelaranku."

"Jadi tuan punya pandangan tajam untuk menentukan penyakit orang, sekali periksa serta raba, penyakit orang pasti dapat disembuhkan?"

"Ah, tidak, tidak, penglihatanku hanya menen¬tukan nasib orang, soal kesaktian tanganku ini me¬mang sulit untuk menyembuhkan orang."

"Jadi pandanganmu juga bisa melihat nasib orang,"

"Ya, betul, di samping seorang tabib, aku yang rendah ini juga bisa meramal, he he, kepandaian rendah dan nama kosong belaka."

Thian-thay-mo-ki cekikikan, katanya:

"Bagus sekali, kami kakak beradik tak menemukan orang yang kami cari, tentunya tuan juga bisa meramalnya dengan baik?"

"Ai, ai, itu soal nujum, tapi aku bisa juga melakukannya."

"Baiklah, coba lihat nasib kami dengan nujummu," ujar Thian-thay-mo-ki, lalu ia mendekati undakan batu dan duduk di tempat yang teduh di bawah pohon.

Sebetulnya Ji Bun merasa sebal melihat tingkah laku Thian-thay-mo-ki yang jalang ini, mungkin itulah sebabnya kenapa selama ini tak pernah timbul rasa simpatik apalagi cinta terhadap perempuan yang satu ini.

Thian-bak-sin-jiu menjinjing peti obatnya terus meletakkannya di atas undakan batu, lalu mendudukinya sebagai kursi, katanya kemudian dengan sungguh-sungguh:

"Cukup asal nona katakan siapa orang yang kalian cari, tanpa kuramalkan, mungkin aku bisa memberi petunjuk."

Ji Bun tidak sabar, selanya:

"Cici, masih ada urusan lain yang harus kita kerjakan."

Thian-bak-sin-jiu mengerling sambil tertawa penuh arti, katanya:

"Tuan ini, bukan ku suka membual, untuk menjelaskan urusan apapun, bila bertemu dengan aku, pasti semua urusan akan beres."

Dengan kedipan mata Thian-thay-mo-ki memberi isyarat, kepada Ji Bun supaya sabar, lalu dengan riang ia berkata:

"Kalau demikian, sungguh beruntung kami dapat bertemu dengan tuan. Ada dua soal mohon, diberi petunjuk."

"Boleh nona katakan saja."

"Pertama mencari orang, kedua mencari barang!"

Dengan jari-jarinya Thian-bak-sin-jiu mengelus jenggot-kambingnya, katanya sambil geleng-geleng lalu memutar kepala:

"Harap katakan satu persatu saja."

"Berapa ongkosnya untuk ramalanmu?"

"ltu bergantung dari orang yang kau cari dan barang apa yang hendak kau temukan."

"Jadi taripnya disesuaikan dengan sesuatu yang hendak diramalkan itu?"

"He he, begitulah......."

"Kalau tuan bisa nujum, nah silakan meramalkan apakah orang yang hendak kami cari bisa diketemukan?"

Thian-bak-sin-jiu menarik tangannya ke dalam dengan bajunya yang longgar, mulutnya berkomat-kamit, mata melek-merem, sesaat lamanya baru dia berkata:

"Yang dicari laki-laki atau perempuan?"

"Laki-laki!"

"Em, soal mencari orang, ..... kalian harus menuju ke arah barat, kira-kira 10-an li jaraknya, orang yang dicari pasti dapat diketemukan."

"Jadi dalam kota Cinyang ini, kami tak bisa menemukan orang yang dicari itu?"

"Menurut ramalan memang demikian."

"Apa tepat dan dapat dipercaya?"

"Ramalanku selamanya tepat seratus persen, belum pernah meleset."

"Baiklah, berapa harus kubayar!".

"Sepuluh tahil perak, tiada mahal bukan?"

"Tidak, murah sekali."

Ji Bun tidak sabar lagi, dia berpaling ke arah lain.

Thian-bak-sin-jiu tertawa lebar, katanya pula:

"Ramalan kedua, soal mencari barang?"

"Betul, tolong usahakan, apakah barang, yang hilang itu bisa ditemukan kembali?"

Kembali Thian-bak-sin-jiu melek-merem dan tekuk-tekuk jarinya sambil komat-kamit, setelah sekian lama, tiba-tiba dia, berseru heran:

"He. Aneh!"

Alis Thian-thay-mo-ki menegak, tanyanya:

"Apanya yang aneh?"

"Menurut ramalan, barang yang hilang itu bukan milik nona."

Tergerak hati Ji Bun, pikirnya, mungkin tabib ini memang pandai meramal, anting-anting itu memang bukan milik Thian-thay-mo-ki, hal ini ditebaknya dengan tepat.

Thian-thay-mo-ki tersenyum, ujarnya:

"Tebakan tuan memang betul, manjur benar ramalan tuan, apakah barang itu bisa diminta kembali?"

"Barang itu sudah ketemu pemiliknya, tak usah dicari lagi."

"Apa, sudah dimiliki orang?"

"Ya, aku hanya bilang menurut ramalanku."

"Jadi barang itu sudah tak bisa kami temukan lagi?"

"Ramalanku tak pernah meleset, kalau salah sejak kini aku mengasingkan diri saja."

"Tuan memang pandai meramal, mohon tanya siapa nama besar tuan?"

Thian-bak-sin-jiu terkekeh-kekeh, katanya:

"Nona hanya bergurau saja."

Ji Bun tak sabar lagi, tukasnya,

"Cici, hayolah pergi saja."

Thian-bak-sin-jiu tiba-tiba menghadapi Ji Bun, sambii miringkan kepala dia melirik beberapa kali, akhirnya ia unjuk rasa prihatin, lalu katanya:

"Tuan ini, maaf kalau aku bicara terus terang, tuan kejangkitan penyakit jahat yang sukar diobati."

Ji Bun tersirap, Thian-thay-mo-ki berjingkat kaget. Ji Bun kaget karena ahli nujum ini tahu akan penyakit tangan berbisanya, sedang Thian-thay-mo-ki hanya melongo karena tidak tahu duduk persoalan.

Ji Bun pura-pura tenang, katanya dingin:

"Perkataan tuan sukar dipercaya, aku sehat walafiat, segar bugar tidak merasakan apa-apa, dari mana datangnya penyakit?"

"Tuan sendiri maklum, kenapa harus berpura-pura."

"Sungguh aku tidak mengerti apa yang kau maksudkan."

"Selamanya kuyakin pada pandangan kedua biji mataku ini, malah aku berani bilang, kalian bukan kakak dan adik kandung, benar tidak?"

"Pengetahuan cetek begini tak perlu dibuat heran."

"Tapi penyakit yang mengeram dalam tubuh tuan ini, menentukan nasib hidup tuan dimasa depan, tuan harus terus membujang kalau ingin hidup lama."

Sudah tak kuasa Ji Bun menahan perasaannya roman mukanya berubah, agaknya perkataan orang tua aneh dibawah jurang Pek-ciok-hong itu memang benar, hatinya menjadi hambar, bahwa tabib ini sekali pandang lantas tahu akan rahasia dirinya, hal ini sungguh amat aneh, namun juga menakutkan, apalagi kalau rahasia dirinya ini bocor dan menjadi rahasia umum, akibatnya tentu amat besar, mungkinkah orang ini punya maksud tertentu dengan mengatur muslihat bohong belaka?

Dengan pandangan penuh tanda tanya Thian-thay-mo-ki mengawasi Ji Bun, dari sikap dan perubahan air muka Ji Bun, ia yakin bahwa ucapan tabib kelana ini memang bukan bualan, keruan hatinya ikut hampa, bingung dan tak habis mengerti, betulkah tabib kelana ini pandai meramal atau hanya ......"

Thian-bak-sin-jiu berdiri sambil memanggul peti obatnya, katanya kepada Thian-thay-mo-ki:

"Nona, seluruhnya 20 tahil perak."

Cemberut muka Thian-thay-mo-ki, katanya:

"Tuan betul-betul minta uang?"

"Penghidupanku memangnya dari hasil ini."

"Usaha hidupmu pasti tidak hanya tukang nujum saja bukan?"

"Ya, obatku inipun sudah dikenal oleh segenap penduduk kota Cinyang ini."

Terpaksa Thian thay-mo-ki keluarkan sekerat emas sambil berkata: "Nah, tuan terimalah," dengan mengerahkan sedikit tenaga ia lemparkan uang emasnya itu.

Tergopoh-gopoh Thian-bak-sin-jiu maju menerimanya, tapi tiba-tiba ia menjerit keras terus mendeprok jatuh terduduk, uang emas itu terbuang jauh, dengan merintih-rintih dia memijat telapak tangannya, lalu dengan menggelundung sambil merangkak ia menghampiri uang emas itu, setelah berdiri lagi dengan menyeringai, tawa tidak meringis tidak dia berkata kepada Thian-thay-mo-ki: "Terima kasih nona!"

Sikapnya mirip sekali dengan orang-orang melarat umumnya yang dapat rejeki, cepat sekali dia sudah berubah sikap dan berkata kepada Ji Bun:

"Tuan, tiada penyakit yang tidak tersembuhkan di dunia ini, semua itu tergantung jodoh dan Hokki, selamat bertemu pada lain kesempatan."

Habis berkata sambil menggoyang-goyang kelintingannya segera ia melangkah pergi.

Bayangan orang sudah lenyap di pengkolan sana, namun dalam telinga Ji Bun masih terkiang kata "tiada penyakit yang tak terobati di dunia ini, semua itu bergantung jodoh dan Hokki saja" mungkinkah tabib kelana ini pandai menawarkan racun? Gerak-gerik orang ini memang tak ubahnya seperti tabib kelilingan, namun tutur katanya sangat mencurigakan.

"Dik, tabib ini amat mencurigakan," demikian kata Thian-thay-mo-ki, "kukira dia sendiri penyamaran Biau-jiu Siansing."

"Ya, mungkin sekali, kenapa tadi kubiarkan dia pergi."

''Marilah kita menuju ke barat menemuinya seperti ramalannya tadi," Thian-thay-mo-ki berpen¬dapat, "kalau dia betul Biau-jiu Siansing adanya, tentu dia menunggu kita disana "

"Kalau dia hanya menipu saja?" tanya Ji Bun. "Belum terlambat kita kembali ke sini dan geledah gedung setan ini."

Begitulah mereka lantas keluar menuju ke barat, kira-kira sepuluh li jauhnya, tempat yang ditunjuk ternyata adalah tegalan liar yang tak dihuni manusia, hanya sebuah jalan kecil lurus langsung ke arah barat. Sekian lama mereka celingukan tak melihat bayangan seorangpun, setelah berunding, akhirnya mereka maju lagi puluhan tombak jauhnya, namun tetap tidak melihat bayangan seorangpun.

"Agaknya kita memang ditipu," ujar Ji Bun gegetun.

"Ah, kenapa kau begini tak sabar, tuh lihat, bukankah di atas gundukan tanah sana ada orang?"

"Belum tentu dia orang yang hendak kita cari."

Sementara itu jarak mereka sudah semakin dekat. Nah, itulah dia, orang tua bungkuk!" teriak Ji Bun, semangatnya seketika berkobar. "Hayolah cepat."

Dua sosok bayangan melesat bagai panah meluncur. Memang betul orang yang duduk di atas gundukan tanah adalah orang tua bungkuk yang pernah mereka lihat di Pek-ciok-hong yaitu Biau-jiu Siansing.

Dari kejauhan Ji Bun menyapa sambil angkat sebelah tangan:

"Maaf, tuan menunggu terlalu lama."

Biau-jiu Siansing tertawa, katanya:

"Ah, tidak, Lohu juga baru datang."

"Tuan memang tabib kelilingan yang pintar...."

"Pujian, pujian! Kalian bisa mencariku ke gedung setan di kota Cinyang, patut dipuji juga."

"Marilah kita bicara soal itu, tentunya kau sudah tahu maksud kedatangan kami?"

"Karena sek-hud bukan?"

"Aku sendiri tiada minat mendapatkan sek-hud, tuan tak usah mungkir dengan urusan lain."

"Ucapanmu bikin Lohu heran dan tak mengerti."

Ji Bun mendengus, jengeknya:

"Cayhe kagum akan gerak gerik dan kepandaian silatmu........."

"Hal itu tak perlu kau katakan, aku tidak suka dipuji ...."

"Lekaslah tuan kembalikan saja, tiada keinginan lain kecuali kuminta kembali barangku itu?"

"Em, kau semakin ngelantur, sebetulnya barang apa yang kau minta?"

"Anting-anting batu pualam itu."

Bergetar sekujur badan Biau-jiu Siansing, teriaknya dengan penuh haru:

"Apa? Apa katamu?"

"Anting-anting batu pualam itu."

"Kan....anting-anting itu hilang?" ucapan ini amat lucu, Ji Bun melengak malah.

Cepat Thian-thay-mo-ki menyela:

"Apa maksud perkataan Cianpwe barusan?"

Biau-jiu Siansing tergelak-gelak, sahutnya:

"Bukankah dia memperbincangkan anting-anting pualam itu?"

"Betul, tuan menegas anting-anting itu hilang, apa maksudmu?"

"Kalau tidak hilang, kenapa dicari kian kemari, bukankah persoalannya cukup jelas?"

"Jadi kau juga tahu akan anting-anting itu?"

"Orang sebagai diriku, barang berharga apa yang tidak kuketahui?"

"Cayhe memohon dengan hormat," tukas Ji Bun, "harap kau suka kembalikan."

"Apa, anak muda, kau kira Lohu yang mencurinya?" teriak Biau-jiu Siansing. "Berdasar apa kau berani menuduh Lohu?"

Ji Bun tertegun bahwasanya bayangan yang merebut anting-anting dari tangannya itu tidak dilihatnya jelas bentuknya, hanya menurut dugaan dan rabaan Thian-thay-mo-ki saja sehingga dia mencari Biau-jiu Siansing yang gerak-geriknya memang mirip dengan pencuri itu, terang persamaan ini belum meyakinkan untuk dibuat tuduhan, memang tidak sedkit orang yang mungkin memiliki Ginkang sehebat itu, namun kepandaian mencuri setinggi itu rasanya sukar dicari keduanya. Maka Ji Bun lantas menjawab:

"Berdasarkan gerakan dan caranya."

"Cara bagaimana anting-anting itu lenyap?

"Direbut dari tanganku."

"O, rada ganjil kejadian ini."

"Tuan tak usah mungkir, lekaslah kembalikan, demi mengejar kembali anting-anting itu, aku takkan segan-segan turun tangan dengan keji."

"Bicara soal cara dan kepandaian, kau anak muda ini belum apa-apa dibandingkan aku, dihadapan Lohu jangan kau takabur, ketahuilah, dengan kedudukan dan ketenaran Lohu, tidak sudi aku melakukan cara serendah itu, apalagi mungkir."

"Tapi barusan kau bilang tahu akan seluk anting-anting itu?"

"Kenapa harus heran, bukankah kau pernah menolong puteri keluarga Ciang dari Kayhong yang ditawan Cip-po-hwe, karena merasa hutang budi, dia memberi anting-anting sebagai tanda mata ......."

Kejut dan berubah air muka Ji Bun. "Kau juga tahu akan hal itu?" suaranya gemetar.

Continue Reading

You'll Also Like

8.7K 291 40
Setiap huruf yang tertera nyaris meliuk tidak beraturan, seakan si penulis surat sedang tercekam rasa takut dan ngeri yang luar biasa, demikian tak...
My sekretaris (21+) By L

General Fiction

227K 2.2K 18
Penghibur untuk boss sendiri! _ Sheerin Gabriella Gavin Mahendra
14.1K 206 18
Cerita Silat Pemberontakan Taipeng adalah lanjutan dari Pedang Naga Kemala ( Giok Liong Kiam ) Pemberontakan yang di lakukan Raja lalim mengumpulkan...
260K 694 55
FOLLOW AKUN INI DULU, UNTUK BISA MEMBACA PART DEWASA YANG DIPRIVAT Kumpulan cerita-cerita pendek berisi adegan dewasa eksplisit. Khusus untuk usia 21...