ROSE QUARTZ

By renitanozaria

2.8M 301K 43K

[Completed] (sebagian chapters diprivat untuk followers, follow untuk membaca) Cerita ini bukan apa-apa. H... More

#00
#01
#02
#03
#04
#05
#06
#07
#08
#09
ear:gas:m
#10
#11
#12
#13
#14
#15
#16
#17
#18
#19
#20
#21
#22
#23
#24
#25
#26
#27
#29
#30
#31
#32
#33
epilog
Extra - Happy Now?
Extra - Crybaby
Extra - From Daddy With Love

#28

52.7K 6.2K 1.2K
By renitanozaria

Satu bulan.

Dua bulan.

Dan tanpa terasa, hampir setahun sudah berlalu sejak percakapan terakhir antara Azalea dan Adrian di atas rooftop sebuah gedung tak bernama. Adrian tidak pernah melupakan hari itu, saat-saat terakhir dimana dia menjemput senja bersama seorang gadis untuk pertama kalinya. Momen dimana ada sepercik harap yang terbersit, ingin bahwa untuk sekejap saja, walau hanya sekejap saja, waktu bisa melambat. Namun waktu tentu saja tidak pernah mau berkompromi. Dia terus berjalan. Dan semakin lama dia berjalan, semakin banyak yang dia ambil.

Belum satu tahun, namun ada banyak yang berubah. Bukan hanya bagi Adrian, tapi bagi teman-temannya yang lain. Kebanyakan tentu saja bertema romansa. Dinamika patah hati dan menemukan cinta yang lain. Lihat saja Dio dan Hana yang mungkin tidak akan punya keberanian menatap mata satu sama lain hari ini. Atau canda yang lama mendingin antara gadis itu dengan Edgar. Atau Raya yang kini menghilang tidak ada kabar, lenyap diantara guguran salju negeri matahari terbit. Orang selalu bilang bahwa masa adalah obat. Sesuatu yang menyembuhkan.

Tetapi mereka lupa bahwa masa juga bisa sangat destruktif. Dia mampu mengikis memori dari sudut terdalam kenangan. Atau mengubah seseorang yang pernah sangat berarti menjadi orang asing.

Adrian kesepian. Pada tiga bulan pertama, Azalea memang menepati janjinya. Gadis itu tidak menghilang. Malah justru, Adrian adalah pihak pertama yang melanggar kesepakatan mereka. Dia tidak bisa menahan diri untuk mengekori Azalea setiap sore, memandang punggungnya dari kejauhan, lalu membayangkan apa yang mungkin sedang gadis itu pikirkan. Lalu boom! Seperti trik sulap seorang pemain sirkus yang menghilangkan kelinci dari topi, gadis itu lenyap begitu saja. Pintu rumahnya tertutup rapat. Bangunan itu kosong. Lantas perlahan beku tanpa jejak.

Adrian tidak pernah lelah mencarinya. Masih dalam kesunyian. Di bawah bayang diam. Lalu pada suatu titik, dia menyerah. Dia membiarkan rutinitas harian menelannya bulat-bulat. Membiarkannya tetap sibuk, walau dengan hampa. Kemudian di akhir hari, dia akan terlelap dengan nama Azalea yang masih bergema dalam sudut terdalam lengkung tengkoraknya.

Sesekali dia masih mencoba menikmati hidup. Pergi dengan Jeviar, Faris dan teman-temannya yang lain. Tetapi dadanya seperti telah berlubang. Rongga kosong yang tak mungkin dapat terisi, kecuali dengan kehadiran gadis itu. Liang hitam yang semakin hari kian membesar. Hanya tinggal menunggu waktu sampai liang itu menelan diri Adrian sepenuhnya.

Mereka bilang orang bijak adalah orang yang paling sering terluka dan orang yang paling banyak tersenyum adalah orang yang paling kesepian. Mungkin saja betul. Tapi tidak selamanya luka dan kesepian ada untuk membuat seseorang menjadi lebih baik. Ada saatnya dimana luka dan kesepian membuat seseorang menjadi terlampau emosional dan egois. Juga biasanya, tidak ada yang menyadari bahwa orang tersebut memiliki luka dan terjebak sepi sampai terlalu terlambat untuk menyadarinya.

Tetapi ada seseorang yang menyadari itu. Dan dia membantu Adrian untuk tidak kehilangan dirinya. Orang itu adalah Aries.

"Adrian, why do you love that pinky color too much?"

Suara itu terdengar, membuat Adrian berhenti menyapukan kuas berlumur cat di tangannya pada permukaan kanvas. Cowok itu melirik dari tepian kanvas, pada seorang gadis berambut sebahu yang sedang tiarap di atas karpet. Sejumlah diktat dan buku catatan yang terbuka tersebar di hadapannya. Dia memutuskan untuk pindah dari rumah dan menyewa sebuah unit apartemen pada gedung yang sama dengan Faris sekitar dua bulan lalu, dan sejak saat itu, Aries kerap datang. Mereka tidak melakukan apa-apa. Hanya saling menemani. Terkadang Adrian melukis dan Aries mengerjakan tugas kuliahnya. Seperti saat ini.

"It's not a pinky color, Aries."

"Hm. Terus apa dong?"

"Warna ini punya nama." Adrian tertawa kecil, dan mata gadis itu kembali terbayang dalam benaknya. "Namanya rose quartz."

"Biasanya cowok nggak suka warna merah muda kayak gitu."

"Buat mereka yang belajar seni, nggak ada yang namanya warna cewek atau warna cowok. Semua warna bisa dipakai untuk mengekspresikan keindahan."

"Ganteng dan seniman. Kadang gue merasa lo lebih mirip karakter novel yang muncul ke dunia nyata," Aries terkikik, lantas dia bangkit dari posisi tengkurapnya. Matanya menatap Adrian dengan penuh binar. "It is easy for you if want to get a girlfriend. Bukan berarti gue menyuruh lo. Tapi coba liat temen lo yang satu itu. Si playboy cap kardus."

"Faris?"

"Yes, that piece of shits."

Adrian tertawa. "Jangan menjudge Faris kayak gitu."

"Tapi betulan deh, gue bisa bilang kalau dia mungkin adalah cowok paling brengsek yang pernah ada. Maksudnya... dari semua temen-temen lo yang lain, kayaknya cuma dia kelakuannya gitu. Setiap makhluk bernama perempuan pasti pernah dia ajak tidur barang."

"He is the loneliest amongst us."

"Kenapa cowok-cowok kayak kalian pada hobi banget ngerasa kesepian sih?"

"Because we lost something too precious." Adrian menghembuskan napas dengan perlahan. "Earlier, you told me about getting new tattoo. Where and why?"

"Disini." Aries menunjukkan pergelangan tangan kirinya. "Tepat di atas nadi."

"Gambar sayap?"

"Nah, I'm not that kind of those tumblr girls."

"Terus apa?"

"Claretta. My middle name."

"Aries Claretta Arundati. What a pretty name."

"But still, the prettiest name to you will be no other than Azalea Pramudita."

Telak. Satu sahutan Aries membuat Adrian hampir kehilangan kata-kata. Aries masih menatapnya, lalu dia mengeluarkan tawa sumbang begitu Adrian tetap saja beku dalam kebisuan. Gadis itu menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, lantas mengedikkan bahu.

"Jangan merasa bersalah gitu. Gue nggak menyindir. Atau ngeledek. Walaupun gue sempat merasa jadi korban PHP lo berbulan-bulan lalu." Lantas, gadis itu menyambung. "Tapi dia tuh cewek macam apa sih?"

"Maksudnya?"

"Apa yang dia punya sampai-sampai lo nggak bisa membuka hati lo untuk orang lain?"

Beberapa bulan lalu, Aries menyatakan perasaannya pada Adrian. Bahwa dia tidak pernah bisa melupakan cowok itu. Memang, Adrian mengakui bahwa mereka sempat pergi keluar bersama. Satu-dua kali menyusuri jalan setapak taman di bawah sorot deretan lampu taman di akhir pekan. Adrian pernah menganggap Aries menarik. Tapi bukan untuk dijadikan pacar, melainkan teman. Sampai kemudian dia bertemu gadis aneh bernama Azalea yang memaksanya untuk bertemu orang yang gadis itu sebut adiknya.

Seperti yang sudah bisa ditebak, tentu saja Adrian menolak.

"Karena dia adalah dia."

"Seistimewa itu?"

"Semua orang itu istimewa, Aries."

"Buat lo hanya dia yang istimewa."

Adrian tersenyum penuh pengertian. "Sebelum gue ketemu dia, gue sudah pernah punya orang lain di luar keluarga gue yang gue anggap istimewa. And she is my bestfriend's ex girlfriend."

"Hah, siapa?"

"Namanya Raya."

"You're crazy."

"Tapi gue nggak melakukan apapun untuk merusak hubungan mereka, anyway. Because both of them didn't deserve that. He is my bestfriend, after all."

"Tetap nggak mengubah fakta bahwa untuk lo, gue nggak istimewa."

"You're special."

"As your friend."

"Exactly."

"Kenapa hanya sebagai teman?"

"Karena gue bukan orang yang tepat untuk lo."

"Sinting."

"Kenapa lo bilang begitu?"

"Ini pertama kalinya gue ditolak dua kali oleh cowok yang sama."

"Tapi itu nggak mengubah fakta kalau lo cantik. Lo pintar. Dan lo cewek yang punya kelas. Jadi, jangan merasa kalau lo ditolak karena kekurangan yang lo punya. Alasannya bukan itu."

"Oh, tenang aja. Gue bukan tipe orang yang gampang menyerah."

Senyum Adrian kian merekah. "Thankyou."

"Makasih karena gue nggak menyerah sekarang?"

Cowok itu menggeleng. "Makasih untuk jadi tetap teman gue walaupun sudah dua kali ditolak."

"Kampret lo."

Hening sejenak. Lalu keduanya berpandangan. Kemudian semudah itu, tawa mereka meledak. Renyah, ringan dan memenuhi ruangan.

***

Azalea tidak pernah mengira kalau dia akan mengerti terlalu banyak hal tentang bunga, dan bagaimana rekah dari setiap jenisnya memiliki makna yang berbeda. Sesuatu yang tidak disengaja, lebih tepatnya. Dia sengaja pergi dari Jakarta. Bukan karena dia ingin menjauhi Adrian, tapi karena ada terlalu banyak tempat di kota itu yang membawa ingatannya pada Alamanda. Azalea ingin menyembuhkan diri, melepaskan perasaannya dari nyeri.

Awalnya, dia tidak tahu harus melakukan apa. Sampai kemudian seorang kenalannya dari satu fakultas meminta bantuannya untuk menjadi model dari beberapa produk di situs e-commerce yang tengah orang itu rintis. Satu tawaran berganti ke tawaran lain. Lalu salah satu dosen terdekatnya memberikan rekomendasi pada seseorang hingga dia mendapatkan kesempatan menjadi penulis freelance sebuah portal berita pada kanal politik internasional. Kini dalam mengisi harinya, Azalea mengambil kerja paruh waktu di sebuah florist yang terletak tidak jauh dari tempatnya tinggal bersama Bunda.

Semuanya berlangsung seperti air yang mengalir. Bunda masih bekerja, tapi tidak lagi terikat pada sebuah perusahaan. Beliau menekuni hobi lamanya membuat kue, menjualnya ke sejumlah toko dan menyimpan apa yang tersisa untuk mereka sendiri. Begitu mudah. Tanpa tuntutan. Seperti hidup hanya dijalani karena memang harus dijalani. Tetapi tentu saja, Azalea tidak ingin hidup yang seperti itu. Dia tidak lagi pergi ke kampus, tapi di sela-sela masa untuk mencoba berdamai dengan semua yang sudah terjadi, gadis itu tidak absen menekuri lembar demi lembar buku untuk mengisi otaknya. Tawaran menjadi photo model dalam skala kecil masih terus mendatanginya, dan meskipun Azalea tidak pernah menganggapnya serius—kelihatannya perlahan namun pasti, hal tersebut mulai beranjak menuju tahap yang lebih serius.

Hari demi hari berlalu. Hitungan bulan merangkak, nyaris melewati bilangan satu tahun. Dan di setiap hari yang terlewati, tidak pernah satu kalipun Azalea tidak merindukan Adrian. Dia merindukan laki-laki itu. Sangat. Tetapi tentu saja, ini bukan waktu yang tepat untuk kembali. Dia belum menjadi seseorang yang dia janjikan.

Lonceng di pintu mendadak berdenting sesaat setelah pintu digeser. Secara refleks, Azalea menoleh hanya untuk melihat seorang cowok tinggi berjalan masuk. Cowok itu tampan dan sangat tinggi. Bahkan mungkin lebih tinggi dari Adrian. Azalea tersenyum ramah, kemudian menyambut cowok itu dengan kalimat standar yang kerap diucapkan penjaga toko kepada pelanggan.

"Hm, ada mawar hitam nggak?"

Azalea hampir tertawa. "Oh, kalau mawar hitam nggak ada."

"Yah, sayang banget. Enggak ada bunga apa kek gitu yang warnanya hitam-hitam?"

"Emang mas-nya mau dateng ke pemakaman?"

"Enggak juga, sih. Mau gue kasih ke seseorang."

"Perempuan?"

Mata cowok itu menyipit. Dia tampan, Azalea menilai. Dan entah kenapa, wajahnya yang bergaris keras terasa seperti familiar. "Semua cewek tuh emang cenayang ya? Ngaku deh, satu kaum kalian tuh pasti bisa baca pikiran semua kan?"

"Enggak, mas. Cuma nebak. Soalnya jarang ada cowok yang ngasih bunga ke cowok lagi."

"Iya juga sih."

"Kalau untuk cewek, kenapa nggak kasih baby's breath aja? Atau red rose?"

"Masalahnya, dia tuh cewek dengan karakter kelewat kelam. Nggak pantes dikasih baby's breath. Lebih pantes devil's breath sekalian aja kali ya. Ada nggak?"

"Enggak ada, mas." Azalea merasa geli melihat ekpsresinya yang benar-benar clueless. "Kalau dia perempuan berkarakter kuat, kenapa nggak dikasih gladiol aja?"

"Gladiol?"

Azalea meraih setangkai bunga. "Warnanya memang putih. Tapi bunga ini berarti karakter yang kuat."

"Oke itu aja."

"Mau dibikin buket?"

"Boleh. Tapi bagusnya dicampur bunga apa ya?"

"How about pink roses?"

Cowok itu mencibir. "Tuh cewek nggak ada aura princessnya sama sekali. Nggak pantes dikasih mawar. Apa lagi mawar merah muda."

"Mawar merah muda artinya secret admirer. Sama seperti mas-nya kan? Diam-diam mas-nya mau beliin dia bunga?"

Wajah cowok itu sontak memerah. "Hng... yaudah... kasih mawar merah muda juga nggak apa-apa."

"Perlu kartu ucapan, mas?"

"Boleh, deh."

"Tulisannya?"

"Happy birthday. Dari Petra."

"Oke."

Petra. Kali ini, namanya juga terasa familiar. Namun, Azalea tidak banyak bicara. Dia melakukan apa yang perlu dia lakukan. Butuh waktu cukup lama, tetapi cowok itu menunggu dengan sabar. Matanya berganti menatap pada Azalea, lalu pada layar ponselnya, kemudian pada rak-rak penuh bunga. Dia berdecak ketika akhirnya Azalea menghampirinya lagi dengan buket bunga yang sudah selesai dikerjakan, disertai satu simpul pita cantik dan kartu ucapan.

"Saya mau satu tangkai bunga itu?" katanya tiba-tiba sambil menunjuk pada satu arah. Azalea tercekat tiba-tiba.

"Bunga alamanda?"

"Yah, bunga alamanda."

Azalea lantas berbalik, meraih setangkai sebelum kembali bergerak menghampiri cowok itu lagi.

"Jadi totalnya berapa?"

Azalea menyebut serangkaian kata. Cowok itu membayar. Lantas menolak kembalian.

"Simpan buat kamu aja. Ah ya, kamu bisa ambil bunga alamanda itu untuk kamu."

"Kenapa?"

"You're a pretty girl. But your eyes... they seem too sad. Kamu tahu, kesedihan itu seperti bunga alamanda. Terlalu banyak kesedihan akan meracuni hidup kamu. Tapi kalau kamu memaknai kesedihan dengan tepat, dia akan menjadi obat yang membuat kamu menghargai hidup itu sendiri." Lalu cowok itu tersenyum. "Btw, kamu kenal siapa saya nggak sih?"

"Honestly, you're so familiar."

Cowok itu nyengir. "Saya nggak tau apakah kamu pura-pura nggak tau atau emang beneran nggak tau. Nama saya Mahesa. Mungkin kamu pernah dengar nama Mahesa D. Petra. Saya bilang gini bukan buat nyombong, cuma plis, jangan bilang siapa-siapa kalau saya beli bunga buat cewek. Oke?"

"Oke."

Mahesa D. Petra.

Oh, dia pembalap ganteng yang terkenal itu.

Cowok itu tersenyum, namun sebelum berlalu, dia membisikkan sebuah kalimat. "Seize the day, okay? Because you'll never know that its now or never."

Satu kalimat yang membuat Azalea tercengang.

Seize the day.

Because you'll never know that its now or never.

Azalea menyentuh dadanya pelan. Ada nyeri merambat disana. Rindunya pada Adrian.

***

"Life is indeed a motherfucker."

Sambil menyelipkan batang rokok ketiganya diantara bibir, Jeviar melontarkan sejumlah makian ke udara. Seperti malam-malam lainnya, malam ini mereka pergi bertiga. Adrian, Jeviar dan Faris. Mereka berada di balkon apartemen Adrian, di bawah langit hitam Kota Jakarta sembari menatap pada titik-titik kecil aktivitas manusia di kejauhan. Begitu jauh. Begitu samar. Dan tanpa rasa peduli.

"That's why, virgins shouldn't be that proud of their virginities because in the end, nobody dies a virgin." Faris terkekeh. "Because life fucks all of us."

Adrian tidak ikut merokok. Tapi entah sejak kapan, alkohol menjadi pelariannya. Dia kerap minum sendirian di akhir pekan, membiarkan zat memabukkan itu mengaliri sistemnya hingga dia melupakan namanya sendiri. Namun tidak pernah nama gadis itu. Bahkan matanya... senyumnya... suaranya masih begitu segar dalam ingatan Adrian.

"Gue hampir lupa kalau cewek itu emang susah dimengerti." Jeviar bergumam, matanya memerah dan jelas sekali kurang tidur. Tanpa perlu dia bercerita, Adrian sudah tahu apa yang terjadi. Cowok itu pasti habis bertengkar dengan ceweknya—seorang gadis bernama Salwa. Raya sudah lama sekali jadi sejarah. Dan kini jejaknya pun kabur oleh jarak.

"Gue bilang juga apa, nggak usah pacaran segala, ler."

"It's better. Daripada lo yang wara-wiri ke tiap fakultas mencari mangsa. Dasar predator kampus."

"Gue bukan predator."

"Kalau semua maling ngaku, penjara udah penuh dari kapan tahun."

"Brengsek."

"Karena gue brengsek, makanya gue mau temenan sama lo, taik."

Adrian mencermati percakapan itu sebelum kembali menelan seteguk-dua teguk isi dari botol yang ada di tangannya. Kerongkongannya terasa terbakar. Tapi dia tidak peduli. Ada kesedihan yang diam-diam terbit dalam hatinya. Dia tahu waktu selalu meminta sesuatu dari semua orang. Entah itu kebahagiaan, kesedihan, atau orang terkasih. Namun, Adrian tidak pernah mengira bahwa mereka akan berakhir seperti ini. Bukan hanya dirinya dan gadis itu.

Melainkan juga teman-temannya.

Adrian membenci masa. Segalanya berubah karena putaran jarum jam yang menolak untuk beristirahat, bahkan hanya sejenak. Dan apa yang dulu pernah terasa menyenangkan pun tidak lagi mereka miliki.

Pada suatu titik dimana asap nikotin terasa menyesaki paru-parunya lebih dari yang seharusnya, Adrian memutuskan meninggalkan balkon. Membiarkan Faris dan Jeviar berdua diantara kepulan tabun serta makian kotor. Merutuki hidup memang selalu menyenangkan, karena menyalahkan yang lain jauh lebih mudah daripada menyalahkan diri sendiri.

Cowok itu baru saja duduk di sofa ruang tengah tatkala bel pintu apartemennya berdering. Dengan sedikit malas, dia beranjak. Seraut wajah milik Aries adalah apa yang dia dapati setelah pintu dikuak.

"Aries?"

"You smell so bad."

Adrian tertawa. "I know."

"Boleh gue masuk?"

"Ada Jeviar dan Faris. Dan tentu aja, boleh." Adrian membuka pintu lebih lebar, lalu berjalan dan membiarkan Aries mengikutinya sampai ke ruang tengah.

"What happened?"

Adrian menggelengkan kepalanya. "Nope. Just want to drink."

"It's not good for your health."

"It's not good for my physical health. But it helps my mental health."

"Adrian,"

"Hm? Kenapa? Lo punya tugas banyak?"

"Lo bisa merindukan dia sebebas yang lo mau. Lo bisa menolak gue sekeras yang lo bisa. Tapi tolong, jangan hancurkan diri lo sendiri. Why can't you just love yourself?"

"How sweet. What you don't know is, Aries, love is another form of self-destruction." Adrian berdecak. "If it shall destroy me. Then let it be."

"Adrian,"

"Apa?"

Aries menggigit bibirnya. Lalu matanya yang kini berkaca-kaca menatap Adrian. Dalam dan lekat. "I love you."

"I know. But I'm so sorry, I love her."

"Gue tau. Tapi bisa nggak... lo buka hati lo sedikit aja. Untuk gue."

Adrian membisu.

"Apakah dia mengambil terlalu banyak tempat di hati lo sampai-sampai nggak ada ruang tersisa buat orang lain?" Aries bertanya. "You even leave your home. You leave your dearest mother. Your sisters. For the sake of being alone."

"Aries, if you're going to lecture me about my life, honestly, I have no other choice but to show you the way out."

"I love you. Can you feel that?"

"Get ou—"

Ucapan Adrian terputus ketika Aries mencondongkan tubuh, membuat bibir mereka saling bersentuhan. Rasanya seperti ada medan listrik tak kasat mata yang merambat pada detik pertama. Mereka saling terdiam, hingga akhirnya Aries bergerak lebih dulu. Adrian terperangah. Kepalanya terasa pening, sesak oleh alkohol, kerinduannya pada Azalea dan bibir gadis lain yang kini berada di atas bibirnya. Lalu, sebelum dia bisa berpikir dengan jernih, dia melakukan apa yang tidak akan pernah dia lakukan dalam keadaan sadar.

Dia membalas ciuman gadis itu. 







Bersambung. 

[][][]

a/n : MUAHAHAAHAHAHAHA 

Gais 

Maafkan daku wkwkwk 

Duh sumpah gue greget banget ngetik kalau udah nyampe yang ginian muehehehe 

Oke, gue akan membalas pertanyaan kayak ada yang nanya 

"kenapa mereka harus bertemu kalau nggak bakal bersatu?" 

well, darl, every people in your life are either blessings or lessons. some of them mean to stay. some of them mean to go. tapi still, endingnya masih sangat rahasia wkwkwk 

Hm dan soal aries, dia nggak jahat. she is just a girl that fall in love with someone. dia nggak akan ngelakuin hal ekstrem macem kayak di sinetron sinetron because i dont like it that way. 

Oke dah. 

Sekian dari saya renita teti melaporkan. 

Sampai jumpa di chapter selanjutnya. 

((btw kalo kalian mau karya-karya gue naik cetak, banyak-banyakin doa ya wkwkwkwk)) ((enggak ini bukan kode)) ((bukan kok)) ((cuma mau minta doanya aja)) ((okok))

ciao. 

Continue Reading

You'll Also Like

1.6K 121 14
pernahkah kalian mendengar plastic Surgery atau dikenal dengan istilah operasi plastik? ya, operasi plastik untuk mempercantik diri. Dan ini dialami...
328K 47.5K 34
R: 16+ (Terdapat beberapa umpatan kasar dan adegan ciuman) PART LENGKAP ✓ #1 BADASS LOVE SERIES *** Memiliki paras menawan, tubuh indah, serta daya...
1.5M 94.2K 17
-----SPLASH----- Pekerja keras, rajin, dan mudah bergaul. Begitulah Malki menurut setiap orang. Namun tidak untuk Sacha. Semenjak kembalinya Sach...
998K 48.3K 47
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...