After Twilight

By VanadiumZoe

54.9K 6.5K 1.6K

Ketika membenci menjadi begitu mudah, ketika mengkhianati menjadi begitu benar dan ketika mencintai menjadi b... More

Bagian 1
Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5
Bagian 6
Bagian 7
Bagian 9
Bagian 10
INTRO CHARACTER
Bagian 11
Bagian 12
Bagian 13
Bagian 14
Bagian 15
Bagian 16

Bagian 8

3K 384 63
By VanadiumZoe



Entah sudah pagi yang keberapa kali Sehun terjaga dan mendapati diri terbaring di sofa hitam ruang kerjanya, di kantornya, dalam keadaan nyaris mengenaskan. Dia terbaring dalam posisi telungkup dengan pakaian lengkap, matanya agak bengkak, wajah pucatnya semrawut, lingkaran hitam dan kantung mata menambah kadar tak wajar yang kini disandang Sehun. Tidak ada lagi pengusaha tampan nan berkharisma yang dulu memimpin Shinhwa Corporation, sekarang yang tersisa hanyalah sesosok manusia setengah mati.

Sehun mengerang lalu memaki, kepalanya berat seperti tertimpa balok kayu besar lalu dililit tali tambang, dan ketika dia mencoba mengerakkan kepalanya, maka ikatan tali tambang tak kasat mata itu semakin kencang, mencengkram otaknya hingga matanya serasa mau keluar. Sehun mengerjap lemah, bayangan sakit mulai mengejarnya lagi, sayatan kehilangan itu masih saja berdentam-dentam di dalam otak, meski tengkoraknya sudah terbenam dalam sisa alkohol, mual dan pening luar biasa. Sehun belum bisa, lebih tepatnya tidak bisa menerima kenyataan Jisoo sudah pergi dari kehidupannya. Meski tiga bulan sudah berlalu, Sehun tetap saja geming pada angan maya dan bersikukuh pada keajaiban cinta yang sudah jelas semu semata.

Ketukan pelan dan sosok Lee Minra muncul di muka pintu adalah satu-satunya hal nyata yang tertangkap oleh mata hitam Sehun yang kabur. Gadis itu datang bersama nampan berisi tiga gelas air hangat, teh pepermin dalam cangkir yang masih mengepul dan dua butir ibuprofen. Minra meletakkan nampan di atas meja kaca depan muka Sehun, lalu dia mendekati Sehun, membantu Sehun yang oleng untuk duduk bersandar. Minra memandangi wajah Sehun yang menyedihkan, dia selalu datang lebih awal, sejak tahu Sehun selalu bermalam di kantor setelah menghabiskan malam dengan bergelas-gelas wine. Minra berinisiatif memberi sedikit bantuan pada atasannya itu, selama Minra bekerja pada Sehun, pria itu selalu bersikap baik padanya. Minra benar-benar tidak tega dengan apa yang terjadi pada Sehun sekarang.

"Minumlah selagi hangat, Direktur." kata Minra, menyerahkan cangkir teh pepermin pada Sehun. "Apa Direktur suka lemon dan madu?"

Sehun geming, Minra duduk di sofa samping kanannya, gadis itu mengangsurkan gelas air hangat dan ibuprofen, setelah Sehun menghabiskan teh hanya dalam tiga tenggakan.

"Kalau Direktur suka, besok akan aku buatkan air lemon dan madu saja sebagai pengganti teh pepermin," Sehun baru saja menelan ibuprofen dan mengosongkan gelas ketiganya. "lebih cepat menghilangkan efek mualnya." tambah Minra cepat-cepat.

"Terserah kau saja, terima kasih."

"Sama-sama." Minra tersenyum. "Presdir Oh Junseok akan datang tiga jam lagi. Bila Direktur setuju, sebaiknya Direktur mencoba untuk sedikit olah raga, lari atau berenang misalnya, supaya saat Presdir Oh datang, Direktur terlihat lebih bugar."

Minra mengambil kembali nampannya dan bergegas hendak berlalu, namun langkahnya tertahan suara berat Sehun terdengar dari balik punggungnya.

"Lee Minra."

"Yah, Direktur."

"Pernahkah kau berpikir untuk melepaskan orang yang kau cintai?" Sehun mengerjap berkali-kali saat menanyakan hal itu, kepalanya masih terasa dihujani bola tenis, perutnya berputar tidak karuan.

"Pernah."

"Kapan?"

"Ketika aku sadar, kenyataan sudah memisahkan kami sejak awal." Minra menunduk lalu menghilang di balik pintu ruang kerja Sehun.

Sepeninggalan Minra, Sehun terpaku selama sepuluh menit, menimang ragu-ragu usulan Minra untuk olah raga. Minra ada benarnya, keadaan Sehun memang benar-benar kacau, seperti orang sakit yang sedang menunggu ajal. Di menit ke dua belas Sehun berdiri, oleng, berusaha melepaskan jas dan kemeja (menyisakan singlet putih), lalu terhuyung-huyung, mencoba menggapai private lift yang ada di samping kiri meja kerjanya, turun satu lantai menuju ruang pribadi yang dilengkapi treadmill dan kolam renang. Sehun memutuskan untuk lari di atas alat treadmill, dua kali dia hampir tersungkur ketika mencoba menaiki treadmill. Sehun memaki, dia benar-benar tidak bugar.

Sehun berhasil berlari di atas treadmill dalam kecepatan sedang, pikirannya memantul-mantul, lalu berlarian menerobos kenangan di ujung asa yang tertutup kekecewaan. Semakin cepat Sehun berlari di atas treadmill, semakin cepat pula potongan kenangan berlarian di dalam otaknya yang masih setengah pening (ibuprofen mulai bekerja tapi belum maksimal). Sehun berhenti berlari setelah empat puluh lima menit, dia menarik napas, keringat membahasi wajahnya, kepalanya terasa lebih enteng. Sehun berniat untuk berenang sebentar lalu mandi, tapi saat dia baru saja ingin menceburkan diri ke dalam kolam, suara berat yang terdengar nyaris sama dengan suaranya menepuk punggungnya.

"Inikah penerusku yang hebat itu?"

Sehun memejam dua detik penuh, sesungguhnya dia malas untuk berbalik, pria paruh baya yang kini tengah bertolak pinggang di belakang punggungnya, pasti hanya akan menyemburkan sumpah serapah yang membuat hidupnya semakin tidak waras.

"Kau mau membuat perusahaanku bangkrut, Sehun? Atau kau ingin aku menunjuk CEO baru dan memecatmu, begitu?"

"Pilihan kedua kedengarannya sangat menggiurkan."

"Oh Sehun!"

Sehun berbalik, Junseok murka, dia siap mencaci putra tunggalnya itu. Junseok yang temperamental, perfecsionis dan tidak kenal kata gagal, mulai hilang kesabaran dengan kinerja Sehun akhir-akhir ini. Beberapa kali Sehun mengabaikan kontrak bisnis bernilai ratusan juta won dan memilih untuk tidur, bahkan pagi ini nilai saham perusahaan mereka kembali anjlok. Memalukan.

"Aku muak, Ayah. Aku muak menjadi budakmu, aku muak menjadi alat kesuksesanmu, aku lelah menjadi putramu dengan semua perintahmu."

"CUKUP!" Junseok naik pitam, merah padam, napasnya memburu kasar. "Apa sekarang kau sedang menantangku? Apa kau benar-benar ingin mencoreng arang ke wajahku di depan mertuamu dan rekan bisnisku, begitu?"

Sehun diam saja, Junseok semakin meradang.

"Kau muak dan lelah menjadi putraku? Seharusnya sejak awal kau meminta ibumu untuk tidak melahirkanmu ke dunia ini. Bereskan semua kekacauan, secepatnya. Paham?"

Oh Junseok berbalik, rahangnya mengeras hingga gigi-giginya beradu, matanya memejam sebantar sebelum melangkah menuju lift, meninggalkan Sehun bersama semua perih yang mengiris nadinya karena kata-kata Sehun barusan.


~000~


Chanyeol tiba di rumah pukul setengah tujuh malam, pengusaha sibuk itu selalu berusaha untuk pulang lebih cepat, sejak dia menikah dengan Ryu Jisoo. Bukan semata karena Chanyeol terlalu bahagia dengan pernikahannya, atau karena dia selalu merindukan istrinya, melainkan karena sang istri yang tengah hamil lima bulan, kerap mengeluh perutnya sakit dan baru akan hilang kalau Chanyeol mengusapnya. Tiap kali Chanyeol menyadari fakta itu, tiap itu pula jantungnya berdetak kencang, semua darahnya naik dan berkumpul di pipi, senyumnya mengembang berlebihan dan tubuhnya serasa di suntik gas helium.

Chanyeol tersenyum, Jisoo tengah duduk di ruang utama bersama Ruffier, mereka asik ngobrol sampai wanita cantik itu terbahak-bahak. Kehadiran Ryu Jisoo di rumah besar nan mewah itu, berdampak sangat baik untuk seisi rumah. Chanyeol yang kaku, dingin, dan jarang tersenyum, kini terlihat lebih ramah dan selalu tersenyum. Di rumah dan di kantor. Jongin sampai bingung, pria temperamental itu menduga Chanyeol sudah tidak waras.

Ruffier juga begitu (bukan sering tersenyum, karena dari dulu Ruffier sudah sering tersenyum) pria paruh baya itu jadi sangat rajin memasak dan membuat kudapan. Perlu diketahui, Ryu Jisoo sangat doyan makan, dia bisa menghabiskan lima porsi makanan orang dewasa dalam satu kali makan. Kini bobotnya sudah naik lima kilogram. Jisoo terlihat semakin cantik dan seksi, setidaknya itulah pandangan Chanyeol tentang Jisoo akhir-akhir ini.

"Apa yang kalian bicarakan?"

Tawa Jisoo sedikit reda, dia menoleh, lalu tersenyum. Ruffier yang duduk di sampingnya berdiri, membungkuk pada Chanyeol bersama senyum ramahnya, seperti biasa.

"Tidak ada, hanya...,"

"Aku permisi dulu." kata Ruffier, dia sempat mengedipkan sebelah matanya pada Jisoo, saat wanita itu memintanya tetap tinggal.

"Sudah makan?" Jisoo membantu Chanyeol melepaskan jas kerjanya.

"Belum, kau?"

"Sudah."

Chanyeol kecewa, Jisoo sibuk melipat jas di lengan kanannya.

"Mau kutemani?" kata Jisoo, kali ini dia melepaskan dasi di leher Chanyeol.

"Kau bilang sudah makan."

"Aku bisa makan lagi."

Jisoo tersenyum lalu menarik Chanyeol ke meja makan, dia meletakkan jas dan dasi Chanyeol di kursi samping pria itu, lalu dia sendiri memilih duduk di depan Chanyeol. Hubungan Jisoo dan Chanyeol terjalin sangat baik, Jisoo berusaha mati-matian berperan layaknya istri yang baik untuk Chanyeol, bahkan Jisoo tidak protes sama sekali pada keputusan Chanyeol yang melarangnya keluar rumah. Bagi Jisoo hanya dengan cara itulah, dia bisa membalas segala hal yang sudah Chanyeol lakukan untuknya.

Jisoo benar-benar tidak menyangka, Chanyeol sosok pria yang sangat baik, hangat dan penuh perhatian. Berbeda jauh dengan apa yang dulu dia pikirkan. Sadomasokis. Jisoo selalu tertawa mengingat itu. Jangankan melakukan kekerasan dalam hubungan seks, Chanyeol bahkan tidak pernah lagi menyentuhnya sejak malam itu. Chanyeol hanya sesekali memeluk dan memberi kecupan singkat di kening, tidak lebih. Chanyeol juga tidak pernah membahas tentang sosok ayah dari bayi yang dikandungnya, Chanyeol justru selalu menyebut bayi yang diperkirakan dokter berjenis kelamin perempuan itu, sebagai bayi mereka, calon putrinya. Jisoo selalu merasa perih menyayat nadinya, tiap kali Chanyeol mengatakan hal itu.

"Coba yang ini, aku dan Ruffier yang memasaknya."

Chanyeol tersenyum lebar, tangannya bergerak untuk mengusap puncak kepala Jisoo, wanita itu baru saja meletakkan potongan daging di atas piringnya. Chanyeol bahagia untuk semua yang dilakukan Jisoo selama tiga bulan ini, meski Chanyeol tahu dia belum sepenuhnya memiliki Jisoo. Chanyeol tahu hati dan pikiran Jisoo tidak bersamanya, tapi Chanyeol tidak peduli, baginya bisa menemukan Jisoo di jarak pandangnya saja, sudah lebih dari cukup.

"Kenapa memandangiku?" tanya Jisoo.

Chanyeol baru saja menyelesaikan makan malamnya, Jisoo sedikit salah tingkah, Chanyeol memandangnya tanpa jemu dan berlama-lama.

"Tidak apa-apa, aku hanya ingin memandangi istriku. Seharian tidak melihatmu, rasanya ada yang kurang."

Jisoo bersemu, dia menunduk, lalu terkejut, Chanyeol menarik tangannya. Pria itu membawanya menaiki anak tangga, menuju ruangan tepat di samping kamar tidur mereka.

"Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu."

Chanyeol menarik knop pintu, mempersilahkan Jisoo untuk melangkah lebih dulu ke dalam ruangan. Seketika mata Jisoo membulat, menatap takjub pada apa yang dipandangnya sekarang, Jisoo memandang Chanyeol sekilas sebelum memasuki ruangan lebih dalam.

Ruangan itu luas, hampir seluas kamar tidur mereka, didominasi warna peach dan cokelat muda, di sulap sedemikian rupa, hingga menjelma menjadi kamar bayi yang sangat cantik dan elegant. Lantai dilapisi permadani motif bunga warna cokelat muda, keset kaki berbulu warna putih di depan box bayi. Di sekeliling box bayi diberi kelambu peach bahan katun bermotif senada dengan permadani. Kamar itu juga dilengkapi perapian buatan yang diberi pagar pendek berpelitur kuning emas, patung Singa berada di sisi kanan dan kiri perapian. Boneka Jerapah besar, tinggi, hampir menyentuh langit-langit.

Jisoo menyentuhkan jemarinya pada box bayi, menelusurinya perlahan, menikmati bahagia yang kini menjalari hatinya. Jisoo mengusap perutnya, duduk di atas sofa peach samping box bayi. Jisoo memandang Chanyeol yang masih berdiri di ambang pintu. Pria itu tersenyum untuk kebahagian yang kini menghiasi wajah Jisoo lalu berjalan mendekat.

"Kau suka?" tanya Chanyeol, dia ikut duduk merapat di samping Jisoo.

"Ini sangat indah, Dia pasti menyukainya." jawab Jisoo seraya kembali mengusap perutnya.

Chanyeol menatap Jisoo kian lekat, mengecup kening, lalu menarik Jisoo untuk bersandar di dadanya. Chanyeol mengeratkan pelukan, dia memejam seraya menyandarkan kepalanya di atas kepala Jisoo. Sejujurnya Chanyeol masih sangat takut Jisoo berubah pikiran, lalu pergi dari kehidupannya, dia masih sangat takut Sehun akan mencuri Jisoo darinya. Selama tiga bulan ini Chanyeol mengurung Jisoo di rumah, Jisoo tidak boleh pergi keluar rumah atau mendapat kunjungan dari siapapun. Chanyeol hanya mengizinkan ibunda Jisoo yang datang berkunjung.

"Ryu Ji."

"Yah?"

"Bisakah kau berjanji untuk tetap bertahan bersamaku hingga akhir?"

Jisoo memaku, dia tidak tahu apa yang harus dia katakan. Jisoo tidak tahu sampai kapan dia bisa bertahan sebagai istri Park Chanyeol, dia tahu pasti kemana hatinya mengarah, dia tahu pasti tidak ada rasa apapun untuk Chanyeol selain rasa balas budi.

"Tidak apa-apa kalau kau tidak bisa berjanji. Aku saja yang berjanji, aku janji akan bertahan bersamamu sampai akhir apapun resikonya. Aku akan menjagamu dari siapapun yang ingin mencurimu dariku."

Jisoo memejam, rangkulan Chanyeol kian erat. Dia kembali merasa bersalah pada Chanyeol, dia kembali merasa tidak berlaku adil pada pria sebaik Chanyeol. Tapi mau bagaimana lagi, perasaan tidak bisa dipaksakan. Jisoo berpikir dia akan semakin menyakiti Chanyeol, bila hari ini dia berbohong pada pria itu.


~000~


"Bisa kau jelaskan padaku, apa yang terjadi, Sehun? Ada apa denganmu, kenapa kau seperti ini?"

Lilian muntab, Sehun baru saja pulang ke rumah dalam keadaan setengah teler. Sikap pria yang sudah dia nikahi selama lima tahun itu, kini sangat berbeda, Lilian bahkan seperti tidak mengenal Sehun.

"Jangan banyak bertanya, Lili, aku pusing. Pekerjaan menekanku, kau jangan menambahnya, lebih baik kau urusi saja urusanmu sendiri."

Sehun membanting pintu kamar mereka hingga meninggalkan dentuman keras di belakangnya, Lilian memejam, dia semakin tidak tahan pada sikap Sehun yang menurutnya sudah keterlaluan. Pria itu jarang pulang, mabuk-mabukan dan mengabaikan pekerjaan. Sehun bahkan pernah datang di pertemuan bisnis dengan banyak pengusaha (termasuk ayahnya) dalam keadaan setengah mabuk.

"Pekerjaan katamu? Pekerjaan yang mana? Mabuk-mabukan sampai pagi, kau bilang sebagai pekerjan, begitu?"

Sehun diam saja, Lilian semakin kesal.

"Aku istrimu, Sehun. Aku berhak tahu apa yang kau kerjakan di luar sana. "

Lilian mengikuti Sehun yang berdiri di depan ranjang, pria itu melempar asal jas dan kemeja ke lantai. Mata hitam Sehun merah menyala, dia menatap Lilian tajam, seringai dingin terulas di ujung bibir tipisnya.

"Sejak kapan?"

"Apa?"

"Aku tanya, sejak kapan kau menjadi istriku?!"

Sehun berteriak, Lilian terkesiap.

"Sejak kapan, hah?! Sejak kau sibuk dengan pekerjaan dan meninggalkanku, sejak kau menolak kedatanganku padahal aku sudah susah payah meluangkan waktu dan mengunjungimu ke Paris. Sejak kau hanya sibuk mengurusi apa aku bisa memenangkan tender besar atau berapa harga saham perusahaanku hari itu. Lalu untuk apa sekarang kau repot-repot bertanya tentang keadaanku? Kemana saja kau selama lima tahun ini, Lilian?"

Sehun menyambar bahu Lilian lalu menghempaskannya, punggung Lilian membentur tembok di belakangnya. Sehun tidak peduli Lilian merintih, dia mengurung Lilian di antara lengan. Wajah Sehun kian padam, kemarahan sudah menghisap kesadaran dan membakar ubun-ubunya.

"Kau bahkan mengubur anganku untuk memiliki anak, kau menghancurkan impianku untuk dapat pelukan hangat dari istriku tiap kali aku pulang bekerja. Aku hanya mengharapkan seorang istri yang peduli padaku, bukan super model terkenal yang sangat sibuk. Lalu apa sekarang kau masih pantas menyandang predikat sebagai istriku, Lili?"

Lilian beku, matanya mulai kabur, butiran kristal mendatangi kedua pelupuk. Lilian memandangi iris hitam Sehun, ada luapan kecewa berpendar dari sana dan itu sangat menyakitinya. Lilian tidak tahu bahwa selama ini dia telah menyakiti Sehun, Lilian selalu berpikir semuanya baik-baik saja, semuanya masih sama seperti dulu. Tapi ternyata tidak begitu.

"Jangan pernah menanyakan hal apapun lagi padaku. Kita urus saja urusan kita masing-masing, kau paham?"

Sehun berbalik, dia hendak keluar dari kamar. Namun baru lima langkah dia berhenti, Lilian memeluknya dari belakang.

"Sehun." Lilian mengeratkan pelukannya, meluapkan semua ketidaktahuannya, selama ini dialah yang membuat semuanya menjadi beku. "Aku tidak bermaksud...,"

Kalimat Lilian terputus, Sehun melepaskan rangkulannya, kasar dan tanpa kata, lalu berjalan keluar dari kamar begitu saja. Lilian tercenung, tangannya yang gemetar terkepal kuat, dia tahu malam ini Sehun kembali akan tidur di kamar yang berbeda. Lilian sakit, terpuruk, dia takut kehilangan Sehun, sangat takut, meski Lilian menyadari saat ini pun dia sudah kehilangan Oh Sehun.


~000~


"Kalau Jisoo setuju, kami pasti akan datang."

Chanyeol mengakhiri panggilan telepon, lalu dia meloloskan satu napas panjang yang terdengar berat nan menyesakkan. Chanyeol menimang dalam ragu, untuk menyampaikan apa yang dia bicarakan dengan Edmund pada Jisoo. Ajakan untuk makan malam, terdengar sangat menakutkan untuk Chanyeol. Lagi-lagi dia mendesah berat, Chanyeol benar-benar cemas akan ada hal buruk yang terjadi jika Jisoo dan Sehun kembali bertemu.

"Hey, kau terlihat sangat cemas, ada apa?"

Chanyeol menoleh, dia sempat lupa ada Jongin di ruang kerjanya. Mereka tengah duduk berhadapan, membahas masalah pekerjaan, sebelum dia mengambil jeda karena Edmund meneleponnya.

"Tidak juga, aku baik-baik saja."

"Jangan berbohong padaku, Chanyeol, tidak mempan. Meski kau selalu tersenyum sejak kau menikah dengan Ryu Ji dan semakin terlihat bahagia karena istrimu hamil, tapi aku tahu kau sangat ketakutan."

"Cih! Kau seperti Cenayang."

"Tapi aku benar kan?"

"Tidak sepenuhnya." Chanyeol kembali focus pada berkas-berkas di atas meja.

"Aku tidak tahu apa yang kau takutkan, tapi aku lebih tidak paham lagi kenapa kau harus setakut itu. Jisoo tidak akan meninggalkanmu, dia hamil, dan kebanyakan dari kaum mereka, akan bertahan pada pernikahan kalau sudah punya anak."

Chanyeol diam saja, dia memilih untuk fokus pada pekerjaan dan menutup pembicaraan yang membuatnya serasa mengidap penyakit Anxiety Disorder. Chanyeol melirik Jongin yang sudah sibuk membahas pembangunan apartemen mewah mereka yang baru, dia menghela pikirannya. Seandainya saja Jongin tahu yang sebenarnya, pria itu tidak akan berpendapat seperti itu.


~000~


Chanyeol tersenyum, matanya menangkap sosok Jisoo di dalam walk in closet miliknya, sibuk memilah pakaian yang akan dia kenakan malam ini. Chanyeol memutuskan untuk menerima ajakan Edmund untuk makan malam, dia merasa sudah sedikit keterlaluan karena mengurung Jisoo lima bulan ini. Chanyeol mengabaikan kecemasan hatinya dan meyakinkan diri, semuanya akan tetap terkendali.

Senyum Chanyeol kian lebar, dia mengendap-endap sampai berdiri di belakang Jisoo. Chanyeol mengulurkan tangannya, mengabaikan Jisoo yang terkejut dan mengambil kemeja yang baru saja ingin digapai wanita itu.

"Terlalu tinggi ya?"

Jisoo mengangguk, lalu melirik kemeja yang kini ada di tangan Chanyeol. "Mau pakai itu?"

"Tidak masalah."

Chanyeol mengamati kemeja biru langit kotak-kotak yang ada di tangan lalu memakainya, dia membiarkan Jisoo membantunya mengancingkan kemeja, lalu melapisinya dengan sweater warna senada. Chanyeol menunduk, dia mencium puncak kepala Jisoo yang berada tepat di bawah dagu.

"Terima kasih. Sejak kita menikah, aku merasa berubah menjadi pria yang sedikit manja."

Chanyeol tersenyum, jarinya sudah menelusuri pipi Jisoo yang sekarang sudah semakin chubby. Chanyeol mendekatkan wajahnya, dia ingin mencium Jisoo tapi Jisoo sigap menghindar. Mereka terdiam beberapa saat, Chanyeol menelan kekecewaannya, Jisoo tahu itu. Hening melingkupi mereka, Chanyeol memilih berlalu, tapi langkahnya terhenti, Jisoo menahan lengannya.

"Chanyeol----maafkan aku."

"Tidak masalah. Bersiaplah, jangan terlalu lama, kita tidak boleh terlambat."

Jisoo mengangguk, buru-buru dia memilih dress putih selutut tanpa lengan lalu melapisinya dengan mantel bepergian warna cerulean, sementara Chanyeol menunggunya di beranda seraya mengusir semua rasa kalut yang kembali membayanginya. Sesuai rencana mereka berdua makan malam di rumah Edmund bersama semua anggota keluarga, termasuk ibunda Jisoo. Musim semi membentang dihadapan, bunga-bunga mulai bermekaran, tapi tidak dengan hubungan Jisoo dan Chanyeol. Hubungan mereka masih sama seperti dulu, meski kandungan Jisoo sudah memasuki bulan ke tujuh.

Chanyeol meraih jemari Jisoo dalam genggaman erat, mereka baru saja memasuki beranda rumah Edmund yang hangat, dia mengeratkan genggaman seraya menarik Jisoo merapat ke arahnya saat pintu berpelitur putih bersih di depan mereka terbuka. Jisoo terkejut, begitu pula sosok pria pucat di depan mereka, selama dua detik penuh pandangan mereka bertemu, meluapkan sejuta rasa yang sayangnya tidak lagi diizinkan untuk naik ke permukaan. Buru-buru Chanyeol merangkul bahu Jisoo hingga memangkas tautan mata yang membuat Chanyeol merasa sakit, dia mengusap bahu Jisoo seraya tersenyum pada pria yang masih mematung di depannya.

"Lama tidak berjumpa, bagaimana kabarmu, Sehun?"

"Seperti yang kau lihat, nyaris mati." jawab Sehun, dia melirik Jisoo setelah menyelesaikan kalimatnya.

Jisoo menunduk, dia menggerakkan tangannya, mencengkram sweater Chanyeol dan berharap sesi basa basi yang membuatnya tercekat ini cepat berlalu.

"Jisoo Sayang, kau sudah datang."

Jisoo menghembuskan napas lega, dia menarik Chanyeol untuk mendekat pada Edmund, melewati Sehun begitu saja.

"Paman Edmund, aku sangat merindukanmu."

Edmund memeluk Jisoo sekilas saja karena terhalang perut Jisoo yang sudah besar, dia mengusap puncak kepala Jisoo lalu melirik perut wanita itu.

"Apa bayimu sehat? Kau juga baik-baik saja kan?"

"Yah, Chanyeol menjagaku dengan sangat baik." Jisoo mengeratkan rangkulannya di lengan Chanyeol. Jisoo tidak berbohong, dia sangat mengakui Chanyeol menjaganya dengan baik.

"Iya, aku percaya itu. Chanyeol bahkan mengurungmu di rumah selama lima bulan terakhir ini dan tidak boleh ada yang mengunjungimu selain ibumu." Edmund melirik Chanyeol.

"Maafkan aku Tuan Queen, aku hanya menjalankan apa yang dokter katakan padaku. Kandungan Jisoo sangat lemah, aku tidak mau terjadi hal buruk, itu saja."

"Yah, aku tahu itu."

"Jisoo?"

Lilian muncul dari ruang makan, dia menghambur memeluk Jisoo dari samping. Wanita cantik itu tampak pucat dan lelah, Jisoo khawatir dan sempat ingin bertanya, tapi tertahan saat Minshi dan Hyesun memanggil mereka untuk segera makan malam. Jisoo duduk di antara Chanyeol dan ibunya, berhadapan dengan Sehun dan Lilian. Beberapa kali Jisoo melirik pasangan itu dengan dahi berkerut, mereka berdua terlihat kaku dan dingin, tidak seperti yang biasa Jisoo lihat selama ini.

"Sejak mualnya hilang, Jisoo makan banyak sekali." Chanyeol mengusap puncak kepala Jisoo ketika mengucapkan kalimatnya, Jisoo terkesiap lalu tersenyum malu-malu, pipinya merah jambu.

"Yah, aku selalu merasa lapar."

Semua orang tertawa, kecuali Sehun. Dari balik iris hitamnya yang gelap, Sehun menatap muak, marah, untuk tawa bahagia Jisoo dan Chanyeol.

"Sepertinya calon putriku sangat kuat." tambah Chanyeol.

"Bayinya perempuan, Jisoo? Benarkah?" tanya Lilian, antusias.

"Yah, Lilian, bayi kami perempuan." jawab Chanyeol, yakin.

Sehun mencengkram tangannya kuat-kuat di bawah meja, Chanyeol mengusap perut Jisoo yang buncit, dia benar-benar tidak tahan. Sehun memejam, ini terlalu sakit, Jisoo dan Chanyeol terlalu menyakitinya.

Edmund mengajak Chanyeol untuk melihat koleksi barang antik miliknya di ruang depan setelah makan malam selesai, sementara Jisoo asik ngobrol bersama Lilian di sofa tak jauh dari ruang makan. Lilian sibuk mencarikan nama dan menyebutkan beberapa brand ternama baju bayi yang akan diburunya untuk calon keponakan, wanita itu terlihat sangat senang. Jisoo jadi lupa untuk menanyakan hal yang sempat membuatnya kepikiran, lebih tepatnya Jisoo berusaha untuk melupakan dan tidak bertanya tentang Sehun. Dia tidak mau menyakiti Chanyeol dan Lilian lagi.

"Arrgghhh!" Jisoo meringis, dia mengusap perutnya yang agak nyeri.

"Jisoo, kau kenapa?"

"Perutku, bisakah----kau panggil Chanyeol?"

Lilian cemas, buru-buru dia berlalu untuk memanggil Chanyeol. Sementara Jisoo semakin mengusap perutnya, dia menunduk, tak sadar Sehun sudah berdiri di dekatnya.

"Kau bahagia, Jisoo?"

Jisoo terkesiap, buru-buru dia beranjak dari sofa, perutnya semakin nyeri.

"Sehun?"

"Apa kau bahagia bersama Chanyeol?"

Suara Sehun terdengar serak, sesaat mereka saling pandang tapi buru-buru Jisoo menghindar, perutnya semakin melilit saat dia menatap Sehun.

"Tahukah kau, apa yang terjadi padaku?" Sehun menyambar pergelangan Jisoo. "Aku sakit Jisoo, aku nyaris mati. Seharusnya hari itu kita pergi, tapi kau lebih memilih menikah dengan Chanyeol,"

"Lepaskan aku," Jisoo panik, dia sangat takut ada yang melihat mereka, tapi Sehun geming, pria itu malah membingkai kedua bahunya.

"Kau jatuh cinta pada Chanyeol?"

"Sehun lepas, hubungan kita sudah berakhir."

"Jawab aku. Kau jatuh cinta pada Chanyeol? Kau sudah tidak mencintaiku lagi?"

Setetes air mata jatuh di pipi pucat Jisoo, matanya terperangkap dalam manik hitam Sehun. Jisoo ingin sekali berbohong tapi dia tidak bisa. Jisoo menunduk, air matanya jatuh lagi, dia sesak dan perutnya kian sakit.

"Kau mencintaiku, iya kan?"

"Sehun, aku mohon."

"Aku tahu, Jisoo. Kau mencintaiku." mata Sehun berkabut, dia ingin sekali memeluk Jisoo sekali saja, meluapkan semua kerinduan yang kian hari, kian membunuhnya.

"Maafkan aku, aku... aarrghh...,"

Jisoo merintih, bayinya menendang sangat keras, menohok ulu hati. Sehun panik, Jisoo sesak, keringat dingin mulai membasahi wajah Jisoo yang sudah pucat pasi.

"Jisoo, kau," kalimat Sehun terputus, Jisoo memanggil seseorang, dan itu bukan namanya.

"Chanyeol. Park Chanyeol!"

Rangkulan Sehun terlepas begitu saja, Chanyeol datang tergesa-gesa dan segera mengambil Jisoo dari Sehun. Jisoo semakin merintih, Chanyeol membawanya ke ruang depan. Sehun memaku, setetes air mata jatuh di pipinya yang pucat, rahang Sehun mengeras, dia mencoba meredam semua rasa kecewa yang berkecambuk di dalam dada. Sehun dan Jisoo tidak pernah tahu, sejak tadi sosok Lilian berdiri beku tak jauh dari sana. Lilian mengepalkan tangannya kuat-kuat, air mata sudah menggantung di ujung pelupuk, dia merasakan kesedihan yang tak bertepi, mengiris urat nadi. Getir, perih, menyesakkan.


~000~


Pulang kerja Jongin menelusuri kamarnya yang luas dan dia was-was, Rila tidak ada di kamar. Biasanya gadis itu hanya berkutat di dua tempat, dapur dan kamar. Jongin sudah mencari di dapur, Rila tidak tampak, di beranda belakang juga tidak terlihat. Jongin cemas, takut kalau-kalau Rila melarikan diri darinya. Jongin menarik napas panjang dan dalam berulang-ulang, sejak dia bertemu Rila, Jongin kerap merasakan kecemasan berlebih, buah dari ketakutan akan kehilangan sosok gadis yang sangat dia cintai. Kemudian Jongin melirik ruangan di sudut kamar, walk in closet. Jongin tersenyum, dia benar-benar lupa untuk mengecek ruangan itu.

Jongin tersenyum lebar seraya hendak menyapa Rila, tapi seketika suaranya tersendat dan dia terbelalak. Tepat di depannya Rila tengah memilih pakaian, berbalut handuk pendek yang hanya menutupi dada sampai seperempat paha, rambut panjang gadis itu masih setengah basah. Jongin mengerjap, otak laki-lakinya berdengung, meski sudah satu tahun hidup bersama, tapi baru kali ini Rila bertindak ceroboh yang bisa jadi berakibat fatal. Jongin menelan saliva susah payah, dia ingin sekali keluar dari ruangan itu, tapi kakinya justru mendekati Rila. Rila berbalik dan terkejut bukan main karena Jongin sudah berdiri di depannya, mata pria itu berkabut, Rila mencengkram dress kuning di depan dadanya kuat-kuat.

"Jong."

Jongin mendekat, Rila terpojok di pintu lemari. Napas Jongin memburu cepat, dalam hati dia berjanji hanya akan mencium Rila dua kali lalu keluar dari ruangan itu. Rila beku saat Jongin menciumnya, lebih dari dua kali, ada sedikit lumatan yang membuat Rila lemas dan sekujur bulu di tubuhnya meremang. Mereka saling pandang, Jongin terlihat sangat tersiksa dan Rila tahu itu.

"Maafkan aku, Rila. Aku----tolong hentikan aku, kalau kau tidak menginginkannya."

Suara Jongin serak, berat, dia menahan mati-matian hormon testosterone yang semakin menertawakannya. Rila mengerjap, dia ingin sekali mendorong Jongin dan lari dari pria itu, tapi otaknya berkata lain, Rila justru memejamkan matanya. Mereka kembali berciuman. Rila tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya, dia hanya merasa tidak bisa membohongi dirinya sendiri dengan pura-pura tidak menginginkan Jongin. Dan pada akhirnya, sore itu, Jongin dan Rila merayakan malam pertama mereka yang sudah tertunda selama satu tahun lamanya.


~000~


Bagi Lilian, tidak ada yang lebih menyakitkan daripada dihianati oleh dua orang yang sangat dia sayangi, melebihi dia menyayangi dirinya sendiri. Lilian masih mencoba menyangkal kenyataan pahit yang membuatnya terpuruk dalam nestapa tanpa peri, dia masih membayangkan apa yang dia dengar hanyalah kebohongan ataupun sandiwara semata. Tapi semuanya justru dibenarkan oleh Sehun, malam itu, ketika mereka sampai di rumah, Sehun membeberkan semuanya.

Satu tamparan keras Lilian layangkan ke pipi Sehun, dadanya naik turun, butiran bening sudah berjatuhan dari sepasang mata hazelnya yang memerah. Hatinya tersayat sembilu, perasaannya remuk redam, Lilian kehilangan barisan kalimat caci maki yang ingin sekali dia luapkan pada Sehun. Lilian terhuyung, bahunya gemetar, tulangnya lemas lalu menghilang, dia beringsut di lantai begitu saja. Kenyataan ini di luar perkiraannya, dia hanya sempat berpikir hubungan mereka hambar karena keadaan, bukan karena orang ketiga. Dan kenapa Sehun harus memilih Jisoo, kenapa harus adiknya, kenapa harus gadis yang menjadi setengah bagian dari hidupnya.

Sehun masih berdiri di tempatnya, dia mencengkram kuat tangannya, memandangi Lilian yang tersedu sedan karena penghianatannya. Sehun sadar dia telah menyakiti wanita yang dulu begitu dicintainya, wanita yang dulu begitu dipujanya, wanita yang dulu diyakini Sehun sebagai cinta sejati yang akan menemaninya menghabiskan sisa hidup di dunia ini. Sehun tidak tahu pasti sejak kapan percikan api cinta itu padam, dia tidak tahu kapan hatinya sadar dia tidak lagi mencintai Lilian lalu jatuh cinta pada Jisoo.

"Lilian." Sehun susah payah melafalkannya. Dia tahu sebaris kalimat maaf bisa semakin menyakiti Lilian, apalagi kalimat yang kini tertahan di ujung kerongkongan, tapi dia juga tahu bertahan hanya akan memperburuk keadaan.

"Kita,"

"Tidak. Aku tidak mau mengakhirinya." Lilian menyeka air mata, lalu mencoba berdiri di atas kedua kakinya yang gemetar. "Kita perbaiki semuanya, kita mulai lagi dari awal."

"Apa?"

"Jisoo sudah melanjutkan hidup bersama Chanyeol, dia bisa. Kenapa kita tidak?"

"Lili?"

"Aku akan melakukan apapun yang kau mau, aku akan menjadi istri seperti yang kau inginkan."

Lilian menahan semua sakit yang kian menyayat dan menghancurkan hatinya, tiap dia meluncurkan kata permohonan pada Sehun. Dalam hati dia memaki, seharusnya dia menjambak Sehun, seharusnya dia memukuli Sehun sampai mati. Tapi Lilian tidak bisa, dia tidak bisa hidup di dunia ini tanpa Sehun.

"Aku tidak bisa." kata Sehun.

Air mata Lilian meleleh lagi, dia membuang harga diri. Dia tidak mau kalah, dia tidak mau kehilangan Sehun dan membiarkan pria itu merebut Jisoo dari Chanyeol. Dia tahu Sehun, pria itu akan melakukan apapun untuk mendapatkan yang dia inginkan.

"Kita bisa melakukannya, Sehun. Aku tidak mau cerai atau apapun itu, sampai kapanpun."

Lilian menarik tengkuk Sehun, lalu menciumnya bersama lelehan air mata yang kembali mengalir dari kedua sudut matanya. Ciuman itu kasar, penuh rasa sakit dan kekecewaan, Lilian tidak peduli meski Sehun berusaha menghentikannya. Malam ini dia harus berhasil menahan Sehun, atau dia akan kehilangan pria itu untuk selamanya. Dan pada akhirnya Sehun yang pening dan penat dengan semua beban yang ditanggungnya, membalas ciuman Lilian, tak kalah kasar dan terburu-buru. Sehun meraih tubuh Lilian dan setengah membantingnya ke ranjang. Gairah, ketakutan dan kemarahan sudah menguasai Sehun sepenuhnya.

Mereka tahu ini tidak benar, apa yang mereka lakukan ini akan semakin memperkusut situasi yang sudah kacau. Kenyataan yang lebih pahit membentang di depan sana, kenyataan yang siap meyakiti mereka lebih dalam lagi, dari apa yang mereka rasakan sekarang.

-

TBC

Continue Reading

You'll Also Like

76.5K 14.3K 58
--Pemenang Wattys 2022 (Fiksi Sejarah)-- Blurb: Anggita yang bekerja di stasiun radio S di Surabaya, diminta atasannya untuk merancang program drama...
932K 45.1K 40
Alzan Anendra. Pemuda SMA imut nan nakal yang harus menikah dengan seorang CEO karena paksaan orang tuanya. Alzan kira yang akan menikah adalah kakek...
21.9K 2.6K 14
[COMPLETED] Sebuah perjalanan menemukan seseorang. Dia bukan memilihku, tapi aku yang ingin dipilihnya. -Ara ⚠ - short story - contain lot of cheesy...
128K 10K 87
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...