After Twilight

Oleh VanadiumZoe

55K 6.5K 1.6K

Ketika membenci menjadi begitu mudah, ketika mengkhianati menjadi begitu benar dan ketika mencintai menjadi b... Lebih Banyak

Bagian 1
Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5
Bagian 7
Bagian 8
Bagian 9
Bagian 10
INTRO CHARACTER
Bagian 11
Bagian 12
Bagian 13
Bagian 14
Bagian 15
Bagian 16

Bagian 6

2.9K 411 63
Oleh VanadiumZoe





Pagi ini Jisoo bangun dengan kepala yang berdenyut, hordeng kamarnya sudah tersibak, sorotan kristal menyinggung matanya yang nyaris belum terbuka, menyilaukan tapi hangat. Jisoo mengernyit, mengerang tertahan, dia benar-benar tidak ingin bangun dan berniat kembali bersembunyi ke dalam selimut tebalnya. Jisoo mengenyampingkan fakta bahwa pagi ini dia tidur di kamarnya, meski kejadian terakhir yang terekam otaknya adalah dia masih berada di dalam mobil Park Chanyeol. Jisoo tidak mau repot-repot berpikir tentang bagaimana caranya dia sampai di ranjang tidur, pikirannya terlalu kusut, badannya terlalu remuk hingga membuat otaknya malas berputar. Dari balik selimut tangan Jisoo mengusap perutnya, agak nyeri, tapi untungnya pagi ini dia tidak mual.

"Jisoo, ayo cepat bangun dan bersiap."

Jisoo mengerjap lebih sering, menggeliat, sedikit memaki, lalu mencoba membuka matanya yang masih sepet. Jisoo terkesiap, dia baru sadar ibunya duduk di tepian ranjang, senyum wanita paruh baya itu mengembang, agak berlebihan.

"Ibu?"

"Cepat bangun, Jisoo, lalu bersiap. Ibu sudah menyiapkan air panas untuk mandi, pakaianmu dan sarapan."

Hyesun menyibak selimut Jisoo, lalu membantu Jisoo untuk duduk. Dia tidak ambil pusing Jisoo terdengar mengerang, wajah cantik putrinya juga tertekuk, dia tahu Jisoo tidak suka dipaksa bangun. Hyesun tersenyum seraya mengusap pipi pucat putrinya, Jisoo bingung, putri tunggalnya itu bahkan sampai mengernyit, lalu memperhatikannya dari kepala hingga kaki. Hyesun sudah rapi dengan dress gading di bawah lutut yang dibelikan Jisoo tiga tahun lalu, dilapisi mantel bepergian.

"Ibu mau pergi?"

"Iyah, ada urusan penting yang harus ibu kerjakan, jangan lupa pakai pakaian yang sudah ibu siapkan ya." Hyesun menyambar dress turquoise selutut bahan ringan yang dia siapkan di atas nakas. "Bagaimana, ini cantik sekali kan?"

"Dari mana Ibu mendapatkan dress itu?" Jisoo bingung, tapi matanya berbinar, dress itu memang sangat cantik. "Ini----sangat mahal." katanya, melirik label yang masih ada di dress itu.

"Ibu membelinya, khusus untukmu. Jadi cepatlah mandi dan bersiap."

"Tapi Bu, aku ini mau ke kantor bukan ke pesta, dress itu kurang cocok untuk dipakai di kantor."

Hyesun hanya tersenyum, lalu memamerkan blazer hitam yang terlipat rapi di atas nakas (tadinya ada di bawah dress). "Pakai ini sebagai luarannya, pokoknya pakai dress ini ya, ibu mohon padamu, sekali ini saja, eoh?"

Ragu tapi akhirnya Jisoo mengangguk, dia meletakkan dress itu di atas pangkuan. Hyesun senang sekali, dia mengecup puncak kepala Jisoo lalu berniat berlalu, tapi Jisoo menahan lengannya.

"Kemarin, siapa yang mengantarku pulang, Bu?" tanya Jisoo, agak ragu, dia benar-benar tidak ingat apa yang terjadi setelah puas menangis di mobil Chanyeol.

"Tentu saja kekasihmu, Park Chanyeol."

"Ap----apa?" Jisoo terkejut tanpa dibuat-buat, irisnya melebar, tapi Hyesun justru tersenyum, berbinar, terlihat sangat senang.

"Dia benar-benar pria baik dan bertanggung jawab. Ibu menyukainya, dia sangat menyayangimu, Jisoo. Sudah ya, ibu sudah terlambat, jangan lupa sarapan, ibu pergi." Hyesun kembali mengusap kepala Jisoo lalu buru-buru keluar dari kamar.

Jisoo masih diam beberapa menit di atas ranjang, dia meraba perutnya yang seketika nyeri. Tiba-tiba Jisoo merasa sangat sedih, matanya memanas dan lamat-lamat genangan bening terbentuk di ujung pelupuk. Jisoo mengusap lagi perutnya, lalu melirik perutnya yang kembali terasa nyeri, bahkan semakin nyeri ketika dia berpikir tentang Sehun. Bayangan perselingkuhannya bersama Sehun kembali memenuhi otak, bak roll coaster yang berputar cepat, mendatangi hatinya, mengejarnya. Rasa takut mulai menggerogoti keyakinan Jisoo, dia tidak punya persiapan apapun untuk menghadapi kenyataan bilamana perselingkuhan ini terbongkar. Jisoo benar-benar tidak tahu apa yang akan terjadi apabila Lilian, Edmund, bahkan ibunya tahu tentang bayi yang dikandungnya dan hubungannya dengan Sehun.

~000~

Bagi Sehun semalam adalah malam terpanjang dan paling menyesakkan di sepanjang dia hidup, tidak ada batasan antara terjaga dan terlelap. Rasa kesal, marah, kecewa, menghantui Sehun hingga pagi, belum lagi pertengkarannya dengan Lilian, menambah kemarahan Sehun hingga semakin menggunung. Semalam Lilian menanyainya terus-terusan, penuh desakan dan tuntutan. Lilian sadar Sehun pulang ke rumah dengan membawa kemarahan, belum lagi luka di punggung tangannya. Jarak tipis yang sejujurnya kian tebal di antara mereka lamat-lamat kian tampak, harmonisasi itu kini jelas terlihat semakin basi dan bertele-tele. Sejak dulu Lilian yang keras kepala akan terus bertanya sebelum dia merasa puas dengan jawaban Sehun, Lilian akan terus menekan Sehun hingga pria itu mengakui apa yang sedang terjadi.

"Berhenti bertanya dan mengurusi apa yang aku kerjakan, Lilian."

"Aku hanya bertanya. Kau terlihat berbeda, kau seperti bukan Oh Sehun yang aku kenal."

"Memangnya selama ini kau mengenalku? Bukankah selama lima tahun kita menikah, kau hanya sibuk dengan pekerjaanmu sebagai model dan berkumpul bersama teman-teman brengsekmu itu?"

"Apa kau bilang?"

"Itu kenyataannya."

Sehun muntab, dia benar-benar tidak bisa lagi menahan kekesalannya pada Lilian. Sedikit banyak Lilian mengambil peran dalam perselingkuhan ini. Andai saja Lilian lebih perhatian, andai saja Lilian lebih mau mengerti tentang beban yang Sehun tanggung, andai saja Lilian lebih mementingkan rumah tangga mereka ketimbang karirnya sebagai model, mungkin perselingkuhan itu tidak pernah terjadi. Sehun memaki, dia muak dengan semua sandiwara yang dia mainkan, hingga pernikahannya dengan Lilian tampak bahagia dan baik-baik saja. Padahal mereka tahu pasti ada lubang menganga yang semakin besar dan tidak bisa lagi ditutupi.

Sehun menyeringai, Lilian memaku.

"Mulai sekarang, berhentilah bersikap seolah-olah kita baik-baik saja, Lili. Berhenti menutup mata, kau sangat tahu bagaimana hubungan kita yang sebenarnya. Bukan?"

"Sehun."

"Menjauh dariku. Aku muak."

Lilian berniat menahan lengan Sehun tapi pria itu segera menepisnya, wajah Sehun merah padam. Lilian membatu, Sehun menatapnya, tajam, dingin. Tak ada lagi tatapan hangat yang dulu selalu Lilian lihat di manik hitam pekat itu, tak ada lagi senyum menenangkan yang dulu membuat Lilian jatuh cinta pada Sehun. Sejujurnya Lilian juga sudah merasa hubungan mereka semakin jauh, semakin dingin, bahkan sebelum dia berangkat ke Paris. Dua tahun terakhir ini mereka hanya menjalankan apa yang sudah tergaris di jalan hidup mereka, mereka hanya sudah terbiasa satu sama lain, mereka hanya saling membutuhkan untuk masalah ranjang.

Mungkinkah apa yang Sehun katakan benar, mungkinkah semuanya sudah berakhir? Mungkinkah percikan cinta itu mulai padam? Mungkinkah debaran rasa yang dulu membuat mereka memutuskan untuk menikah sudah hilang?

Dan suara dentuman keras pintu kamar yang dibanting menutup pertengkaran mereka, Sehun memaki berkali-kali, menggema di sepanjang selasar. Dia menyambar guci di atas meja kayu berisi lily putih, membantingnya hingga pecah, berserakan di lantai marmer marun yang dingin.

Sehun mengerjap, menarik diri dari potongan kejadian semalam yang membuat paginya semakin buruk. Lilian membisu, dia pun terlalu malas memulai pembicaraan. Sehun lebih peduli pada penjelasan yang akan Jisoo berikan padanya, menurut Sehun, Jisoo sudah menghianatinya.

Dengan menahan semua sisa kemarahan semalam, Sehun berjalan cepat menelusuri lobi apartemen Jisoo, menggedor pintu seperti orang kesetanan. Tidak sampai lima menit pintu apartemen sudah terbuka, sosok pucat Jisoo muncul di muka pintu, gadis itu tampak berbeda dengan dress toska Oscar de la Renta selutut lengan pendek, blezar hitam tersampir di lengan kanan. Mata Jisoo membulat, dia sangat terkejut dan tidak siap dengan kedatangan Sehun sepagi ini. Mendadak Jisoo merasa mual, perutnya juga nyeri, dia memejam dua detik penuh. Jisoo terhenyak, Sehun menarik bahunya, mendorongnya hingga punggungnya membentur tembok di samping pintu.

"Sehun, apa yang kau lakukan?"

Jisoo merintih, Sehun geram, cengkraman Sehun di bahu sedikit menyakiti gadis itu.

"Jelaskan padaku apa yang sebenarnya terjadi antara kau dan atasanmu, Jisoo? Sudah berapa lama kau menjalin hubungan dengan Park Chanyeol di belakangku, jawab aku Ryu Jisoo!"

"Apa maksudmu?" Jisoo menahan nyeri di perutnya, dia bingung, tidak mengerti arah pembicaraan Sehun. Cengkraman Sehun di bahu kian erat, Jisoo sampai meringis.

"Jangan berlagak bodoh, Jisoo." Sehun tertawa sumbang, dia memperhatikan sekali lagi penampilan Jisoo. "Lihat dirimu, kau bahkan mengenakan pakaian seperti ini. Mau kencan?"

"Apa yang kau bicarakan? Aku tidak punya hubungan apapun dengan Chanyeol, kau tahu itu."

"Kemarin kau menginap di rumahnya kan?"

Jisoo terkesiap. "Dari mana kau tahu?"

"Jadi benar?"

"Dia hanya menolongku, itu saja."

"Omong kosong."

"Terserah. Aku lelah, aku ingin ke kantor." Jisoo berusaha melepaskan diri dari cengkraman Sehun, tapi pria itu menahannya.

"Eoh, jadi benar. Kau dan Chanyeol----sudah berapa lama?"

"Sehun."

"Sudah berapa lama? Jawab aku dan jangan mencoba mengelak, Jisoo?!" Sehun mengguncang bahu Jisoo, kuat, dia tidak peduli Jisoo kesakitan.

"Kenapa kau menghianatiku, Jisoo. Dasar rendah, jangan-jangan bayi itu bukan bayiku, bayi itu...,"

Kalimat Sehun tertahan, cengkraman di bahu lepas, Jisoo melayangkan satu tamparan keras di pipi Sehun. Air mata Jisoo meleleh, Jisoo sesak, jantungnya serasa ditikam belati tajam, berkali-kali, dia tidak menyangka Sehun akan mengatakan kalimat sekejam itu.

"Apa kau bilang? Kau pikir aku pelacur yang tidur dengan semua pria, begitu? Kau pikir aku serendah itu?"

Air mata Jisoo kian tumpah, Sehun diam, dia tampak menyesali kata-katanya. Sungguh Sehun tidak bermaksud mengatakan hal itu, dia hanya terbawa emosi yang sudah melibas habis kewarasannya.

"Yah, aku memang rendah, aku memang sampah. Aku wanita tidak tahu diri yang tidur dengan suami kakaknya sendiri, kau puas?"

Jisoo menyeka air matanya kasar, dia menghalau tangan Sehun yang ingin merengkuhnya. Peluh mulai membahasi wajah pasi Jisoo, perut gadis itu kian nyeri, keram, menohok hingga menekan hulu hati. Jisoo hampir beringsut di lantai, dia memejam, pandangannya agak gelap. Ketika Jisoo merasa kakinya kian lemas, ada tangan yang menariknya lengannya, Jisoo terkejut, dia menoleh.

"Berhenti menyakitinya, Oh Sehun."

Suara berat itu terdengar dingin, Jisoo mengerjap, dia tidak sadar tubuhnya sudah berada dalam rangkulan pria tinggi di depannya, samar nyeri di perutnya berkurang.

"Lepaskan dia, Park Chanyeol."

Sehun mencoba menarik Jisoo, tapi Chanyeol menghempaskan tangannya. Jisoo juga terlihat tidak ingin lepas dari rangkulan Chanyeol. Sehun geram, dia naik pitam.

"Aku tidak ingin membuat keributan lalu mengundang paparazzi, menjatuhkan harga diriku di surat kabar. Kau juga pasti tidak mau itu terjadi, bukan? Akan menjadi lelucon basi di pagi hari, kalau kita berdua terlibat baku hantam di depan apartemen salah satu stafku. Benar kan, Oh Sehun?"

Chanyeol tersenyum penuh kemenangan, dia mengeratkan rangkulannya di bahu Jisoo, lalu melirik Jisoo. Gadis itu diam saja, lalu tanpa kata tambahan Chanyeol mulai menarik Jisoo untuk mengikuti langkahnya. Sehun mengerang, dia memaki, Chanyeol dan Jisoo baru saja menghilang di ujung selasar, masuk ke dalam lift. Di dalam lift Jisoo melepaskan diri dari rangkulan Chanyeol, dia menatap pria itu waspada. Sisa gosip tentang sadomasokis masih mengusik Jisoo, dia bahkan merasa tidak perlu bertanya atau pun berterima kasih karena Chanyeol sudah menolongnya kemarin dan hari ini.

"Jangan berpikir lebih hanya karena aku memilih ikut denganmu, Park Chanyeol."

Chanyeol diam saja, dia memandangi Jisoo lekat, dingin, wajahnya yang kaku tak berekspresi apapun. Pintu lift baru saja terbuka, Chanyeol menyambar jemari Jisoo, tak peduli Jisoo terkejut lalu berontak, setengah diseret, Chanyeol membawa Jisoo menuju Ferrari putihnya terparkir. Jisoo memaki, dia memukul lengan Chanyeol bertubi-tubi, tapi pria itu justru menjejalkan tubuh kurus Jisoo ke dalam mobil, mengunci gadis itu di balik safe belt. Chanyeol duduk di belakang kemudi, lalu segera menghidupkan mesin mobil

"Kita mau ke mana? Aku tidak mau ikut denganmu." Jisoo panik, Chanyeol menginjak pedal dan melajukan mobil dengan kencang, meninggalkan pelataran apartemen.

"Park Chanyeol!" Jisoo berteriak tak tertahan.

"Hari ini kau harus ikut denganku."

"Apa? Aku tidak...,"

"DIAM!"

Jisoo bungkam secepat kilat, Chanyeol meliriknya tajam, gadis itu mencengkram safe belt ketika Chanyeol menambah kecepatan mobilnya. Sementara itu tanpa mereka sadari Sehun menyusul mereka, pria itu geram dan mengemudikan mobilnya dalam kecepatan penuh. Jarak mereka sangat dekat, Sehun mengernyit, dia baru menyadari jalan yang dipilih Chanyeol adalah jalan menuju rumah orangtua Lilian. Dan benar saja, kini mobilnya sudah ada di pelataran rumah Edmund, tak jauh dari mobil Chanyeol terparkir. Ragu tapi akhirnya Sehun turun dari mobil, dia masih sempat melihat Jisoo yang diseret Chanyeol sebelum menghilang di balik pintu rumah keluarga Queen yang kokoh dan besar.

Jisoo terus meronta di dalam genggaman Chanyeol, dia benar-benar bingung kenapa Chanyeol membawanya ke rumah Edmund. Sosok Edmund muncul dari ruang utama, Chanyeol tersenyum seraya membungkuk, mau tidak mau Jisoo berhenti meronta, dia ikut tersenyum dan berniat memeluk Edmund, tapi Chanyeol menahannya, genggaman pria itu kian erat.

"Selamat datang, Park Chanyeol. Aku benar-benar tidak menyangka kaulah pria itu, putriku sangat beruntung."

Chanyeol dan Edmund tertawa pelan, Jisoo beku di samping Chanyeol, dia masih tidak paham dengan situasi yang ada. Dan semua ketidakpahaman Jisoo semakin sempurna, ketika mereka sampai di ruang utama. Jisoo terbelalak, ibunya ada di sana, duduk berdampingan dengan Minshi dan Lilian. Mereka bertiga tersenyum lebar, bahagia, Lilian bahkan tidak tahan untuk tidak memeluk Jisoo, wanita cantik itu membisikkan kata selamat, Jisoo semakin bingung. Edmund mempersilahkan Jisoo dan Chanyeol duduk di satu sofa yang sama, Jisoo sempat melihat Chanyeol, tapi pria itu hanya tersenyum seraya mengusap puncak kepalanya.

"Hari ini aku datang kemari, untuk membahas hubunganku dan Jisoo."

"Apa?"

Kalimat Chanyeol tertahan, Sehun datang, semua orang menatap pria itu, tapi Sehun buru-buru tersenyum, mengatakan ada barang yang tertinggal.

"Tidak masalah Sehun bergabung, dia bagian dari keluarga Jisoo kan?" kata Chanyeol, dia tersenyum pada Sehun, senyum yang terasa menghina dan sinis untuk Sehun. Dengan berat hati Sehun duduk juga di ruangan itu, dia memilih tempat di sebelah Edmund.

"Aku ingin melamar Jisoo untuk menjadi istriku." kata Chanyeol.

"Apa?!"

Jisoo tak mampu menahan keterkejutan, detak jantungnya serasa hilang, dia menganga, kakinya sampai lemas, dia melihat Chanyeol nyaris tanpa berkedip. Begitu pula dengan Sehun, pria itu mengerang tertahan, menahan luapan rasa takut hingga lututnya gemetar, tangannya mengepal. Sehun ingin sekali menghentikan Chanyeol, tapi dia tak punya cukup alasan untuk melakukan itu. Sehun merasa ditikam dari belakang.

"Aku sangat mencintainya, aku ingin dia menjadi istriku." Chanyeol berpaling pada Jisoo ketika mengucapkan kata istriku, dia menahan diri untuk tidak mencium Jisoo saat mendapati wajah gadis itu kaku, pias, karena terlalu terkejut. Di mata Chanyeol, saat ini Jisoo terlihat lucu dan cantik dalam waktu yang bersamaan.

"Aku ingin meminta persetujuan dari kalian semua."

"Kalau Jisoo setuju, ibu juga setuju." kata Hyesun.

"Benar, kami setuju kalau Jisoo setuju. Yang penting kau belum menikah, maksudku, kau belum...,"

"Tenang saja, Tuan Queen, aku belum menikah, aku belum punya istri, hanya Jisoo yang aku punya. Kau bisa tanya pada Sehun, benar kan, Oh Sehun?"

Dari atas sofa yang dia duduki, Sehun mengepal kuat, merah padam, jantungnya bergemuruh, dia sakit, takut. Sayangnya Sehun tidak bisa berbuat apapun, dia hanya mampu menahan semua kecemasannya seorang diri, dia hanya mampu memandangi detik-detik malaikat hatinya direbut pria lain.

"Bagaimana Jisoo, apa kau mau menerima lamaran Chanyeol?" kata Edmund.

Jisoo kelu, dia bingung setengah mati, genggaman Chanyeol kian erat. Jisoo tetap diam padahal semua orang menunggu jawabannya. Dia tidak melihat ke arah Sehun sama sekali, Jisoo merasa kedua matanya memanas, dia menatap ibunya dan juga Edmund yang sangat bahagia. Jisoo ingin sekali mengatakan Sehun adalah kekasihnya bukan Chanyeol, tapi dia tahu semua kenyataan pahit itu, hanya akan menghancurkan dirinya lebih parah. Semua penghianatan itu hanya akan membunuhnya lebih kejam lagi.

"Jisoo, katakan sesuatu, Sayang." Edmund bicara lagi, Jisoo masih bungkam, setengah mati dia menahan air mata agar tidak tumpah.

Sehun tidak tahan lagi, dia hampir saja beranjak dan melayangkan bogeman pada Chanyeol andai saja suara Jisoo tidak terdengar.

"Aku setuju. Aku----menerima lamaran Chanyeol."

Jisoo menunduk, setetes air mata jatuh tepat di atas punggung tangan Chanyeol yang menggenggam jemarinya. Chanyeol menoleh, dia tahu Jisoo menahan sakit, dia tahu Jisoo terdesak, tapi sayangnya Chanyeol tidak peduli. Dia harus memiliki Jisoo apapun caranya, dia harus memisahkan Jisoo dari Sehun apapun resikonya. Hyesun memeluk Jisoo senang, dia mengusap sisa air mata di pipi pucat Jisoo, semua orang menyangka itu air mata bahagia.

Chanyeol melepaskan genggamannya, dia berdiri, menerima kata selamat dan pelukan hangat dari Edmund. Pria paruh baya itu meminta Chanyeol untuk menjaga Jisoo dengan baik. Sedangkan Sehun tetap duduk di sofa, membeku bersama belati yang telah mengoyak hatinya, hancur tak tersisa. Dunia terasa sunyi, Sehun hanya memandangi Jisoo yang kini dipeluk Lilian. Dia tidak rela, Jisoo miliknya dan selamanya akan tetap seperti itu. Cepat atau lambat Sehun akan mengambil Jisoonya kembali, apapun resiko yang akan dia tanggung. Termasuk, pernikahannya.

~000~

Antara percaya dan tidak percaya, antara mimpi dan nyata. Awalnya Jisoo pikir ini mimpi, tapi kemudian dia sadar semua nyata ketika rasa sakit itu menikam jantungnya, menyesakkan paru-parunya. Park Chanyeol melamarnya, Jisoo dan pria yang tidak dikenalnya dengan baik itu (Jisoo hanya kenal sebatas predikat Chanyeol sebagai Presiden Direktur di tempat dia bekerja), akan mengikat janji suci pernikahan dalam satu minggu ke depan. Jisoo mengerjap berkali-kali, dia menyesali keputusan tiba-tiba yang dia ambil, bagaimana mungkin dia menerima lamaran Chanyeol dengan begitu mudah?

Jisoo hanya berpikir dia tidak punya pilihan lain selain menerima lamaran Chanyeol. Belum lagi ada Sehun di sana, Jisoo merasa kalau tadi dia tidak ikut bicara, kekasihnya itu akan bertindak nekat yang bisa jadi berakibat fatal. Jisoo belum siap perselingkuhannya dengan Sehun terbongkar, dia tidak bisa membayangkan betapa hancurnya hati orang-orang yang dia sayangi bila skandal memalukan itu akhirnya terkuak.

Jisoo memandang jalanan kota dari balik kaca mobil yang buram, udara semakin beku, sebentar lagi musim dingin akan datang. Tak ada kalimat yang terucap sejak Chanyeol membawanya pergi dari kediaman Edmund, pria itu berdalih ada pekerjaan yang harus dia selesaikan. Jisoo tidak tahu kenapa dia nurut saja Chanyeol membawanya, dia tahu Sehun murka karena tindakannya ini. Tapi masalahnya perutnya sakit tiap kali dia mencoba melihat Sehun dan perutnya akan baik-baik saja, bila dia merapat pada Chanyeol, apalagi ketika pria itu menggenggam tangannya.

Jisoo berpaling saat mobil berhenti, lampu hijau untuk pejalan kaki baru saja menyala, coat-coat tebal memenuhi zebra cross. Chanyeol menatap lurus ke depan, tak ada senyum di wajahnya yang jumawa, ekspresinya datar, tak terbaca.

"Aku butuh penjelasan." kata Jisoo, dia memutar badan, menunggu Chanyeol yang masih bungkam. Lampu hijau menyala, mobil mereka kembali melaju dalam kecepatan sedang di jalanan kota yang tidak terlalu ramai.

"Presdir Park Chanyeol, tolong katakan sesuatu, jangan membuatku bingung. Lelucon ini benar-benar tidak lucu."

"Apa yang harus aku jelaskan, Ryu Ji? Aku melamarmu dan kau menerimanya, lalu bagian mana yang harus aku jelaskan padamu? Dan ingat, lamaran ini bukan lelucon."

Chanyeol berpaling ketika mengatakan kalimat terakhirnya, rahangnya mengeras, mata kelabunya lebih gelap. Jisoo bergidik, dia bungkam setelah itu. Jisoo tidak punya kata sanggahan, karena kenyataannya memang dia yang menerima lamaran Chanyeol.

"Aku putuskan kau berhenti bekerja dan istirahat total sampai hari pernikahan,"

"Ap----apa, berhenti bekerja?"

"Kau akan tinggal di apartemen bersama ibumu, beliau yang akan membantu mengawasimu untukku."

"Tunggu dulu,"

"Kau tidak boleh pergi sendirian, ibumu akan selalu bersamamu dan...,"

"Tidak mau! Memangnya kau siapa, kau tidak berhak mengaturku."

"Kau calon istriku."

"Tapi bukan berarti kau bisa mengaturku seenaknya. Kau...,"

"Aku menyiapkan empat body guard untuk menjagamu, mereka akan menemanimu ke mana pun kau pergi."

"Yak! Aku bukan buronan."

"Aku hanya berjaga-jaga, jangan sampai ada pria lain yang mencuri calon pengantinku."

"Kau...,"

"Sekarang kita ke rumahku, mencoba gaun pengantin. Kau tidak boleh keluar rumah sampai aku selesai bekerja, jika butuh sesuatu kau bisa minta pada Ruffier. Setelah semua urusanku selesai, aku akan mengatarmu ke apartemen."

"Ya Tuhan ini gila."

Jisoo mengerang tertahan, mereka baru saja memasuki pelataran rumah Chanyeol yang luas. Chanyeol mematikan mesin mobil, dia melepas safe belt lalu mencondongkan tubuhnya, merapat pada Jisoo, sigap Jisoo mundur hingga punggungnya membentur pintu mobil.

"Aku tidak suka dibantah, berhenti bicara dan turuti semua kata-kataku. Paham?"

Iris abu-abu itu serasa menguliti lapisan kulit Jisoo yang pias, dia memaku, wajah Chanyeol terlihat seram, mengeras, menahan luapan emosi yang tidak Jisoo pahami. Lamat-lamat Jisoo menganggukkan kepalanya, Chanyeol kian menghimpit tubuhnya, jarak mereka hanya tersisa sejauh helaan napas. Jisoo terkejut Chanyeol menarik tengkuknya, dia siap menjerit kalau Chanyeol melakukan hal tidak senonoh seperti kemarin. Tapi ternyata Jisoo salah, Chanyeol hanya mengecup keningnya, lembut, hangat nan dalam. Jisoo memejam, tangannya terkepal kuat di depan dada. Ada rasa yang tak bisa Jisoo jabarkan menelusup ke relung hati, perutnya juga benar-benar nyaman ketika Chanyeol mengusapnya. Alih-alih menyudahi, Jisoo justru ingin Chanyeol terus menciumnya dan mengusap perutnya, dia bahkan merasa sangat tidak rela saat Chanyeol menjauh.

Chanyeol melepaskan safe belt yang mengurung Jisoo, dia membuka kunci pintu. Chanyeol tersenyum tipis pada sosok Ruffier di luar mobil yang bahkan tidak disadari Jisoo, dia membuka pintu mobil, lalu Chanyeol memerintahkan Jisoo untuk turun. Jisoo yang bingung dan terasa terhipnotis oleh tatapan Chanyeol hanya mampu menuruti, di menit berikutnya Ferrari Chanyeol sudah melaju kencang meninggalkan pelataran. Jisoo berdiri macam orang linglung di samping Ruffier, pria tua itu tersenyum senang. Dia berpikir pasti Park Chanyeol berhasil melamar Jisoo, itu berarti semua usahanya dalam mengatur segala sesuatu untuk lamaran pagi ini tidak sia-sia.

"Nona Ryu, kau, terlihat sangat cantik dengan gaun itu."

Jisoo tersadar, dia menoleh, tersenyum kikuk seraya memperhatikan gaunnya.

"Terima kasih."

"Berarti pilihanku boleh juga ya." kata Ruffier pelan, nyaris seperti gumaman, lalu tertawa.

"Kau bilang apa?"

"Tidak ada, Nona. Mari kita masuk ke dalam, gaun pengantinmu sudah siap."

Jisoo meragu, dia ingin menolak lalu melarikan diri dari rumah Chanyeol, tapi sepertinya itu akan berakhir sia-sia. Empat body guard yang tadi disinggung Chanyeol, kini sudah berdiri tak jauh dari Jisoo, mereka membungkuk hormat, saling berkomunikasi melalui ear phone yang terpasang di telinga. Ruffier kembali meminta Jisoo untuk masuk, senyum pria itu membuat Jisoo menurut tanpa sadar, mereka berjalan beriringan sebelum kemudian menghilang di balik pintu.

~000~

Sehun membanting ponselnya di lantai, belum selesai masalah Jisoo, kini masalah lain yang menyangkut perusahaan ikut-ikutan menghantamnya. Sehun mengerang, wajah pucatnya merah padam, napasnya memburu kasar, dia baru saja mendapat laporan harga sahamnya anjlok. Beberapa calon pembeli menyatakan batal dan beralih pada perusahaan kompetitor yang menjual baja jauh lebih murah. Kepala Sehun berdentam-dentam, serasa mau pecah. iPhone hitam Sehun yang tergeletak di atas meja kerja bergetar, dia memaki, nama sang ayah terpajang di layar depan, Sehun tahu pasti apa yang akan mereka bahas sebentar lagi. Sehun menarik napas panjang dan dalam lalu menerima panggilan itu, suara dingin sang ayah seketika memenuhi indra pendengaran Sehun, mendadak dia ingin sekali menjadi tuli.

"Ya, Ayah."

"Bereskan semua kekacauan ini, Sehun. Jika sampai besok harga saham belum membaik, kita akan merugi. Paham?"

"Aku tahu."

Sambungan telepon itu diputus sepihak, Sehun mengeraskan rahangnya, dia ingin sekali meluapkan kelelahannya untuk semua tuntutan sang ayah yang ditaruh di atas kedua bahunya. Sejak kecil Sehun sudah dibebani banyak hal oleh Oh Junseok, bahkan sampai hal-hal yang belum pantas ditanggung bocah umur belasan. Sehun harus mengusai lima bahasa asing, nilai sekolahnya harus di atas angka delapan, setiap harinya Sehun harus mengikuti pelajaran tambahan hingga menyita habis waktu bermainnya. Dia harus terus belajar tanpa keluhan, Oh Junseok tidak mengenal kata gagal, sejak kecil Sehun akan selalu mendapat marah dan makian bila dia mengecewakan sang ayah. Menjadi anak tunggal dari ayah yang kaya raya dan ambisius ternyata tidak semudah yang orang-orang pikirkan, Sehun bahkan pernah berpikir mungkin hidupnya akan terasa lebih indah, jika dia terlahir dari keluarga biasa saja, bukan dari salah satu pengusaha terkaya di negerinya.

Sehun melayangkan kedua soket hitamnya pada pemandangan kota, dari balik dinding kaca tebal lantai dua puluh. Langit kian kelabu, menurut prakiraan cuaca, salju segera tumpah di atas bumi gingseng yang kian makmur, dingin, beku. Sebeku hati Sehun, ketika kenyataan tentang Jisoo menampar kesadarannya. Dulu Sehun bisa membagi setengah bebannya pada Jisoo, dulu dia bisa sedikit melupakan semua hal memusingkan dan tertawa lepas bersama belahan jiwanya. Tapi kini sudah tidak bisa, satu-satunya gadis yang mengerti akan dirinya, pada akhirnya memilih untuk pergi, meninggalkannya sendirian, membuang cintanya yang tanpa peri selayak sampah. Sehun terpuruk.

~000~

Jisoo duduk ditepian ranjang tidur Chanyeol, sudah pukul sebelas malam tapi Chanyeol belum juga pulang, itu berarti dia juga belum bisa pulang ke apartemen. Jisoo memaki, kesal bukan kepalang. Dia lelah, ngantuk, muak, tapi tidak bisa berbuat banyak, Chanyeol mengurungnya di rumah pria itu. Setelah mencoba gaun pengantin, Ruffier mengajaknya berkeliling rumah yang luasnya hampir dua kali lipat dari rumah Edmund, tadinya Ruffier ingin menunjukkan taman bunga mawar di halaman belakang, tapi cuaca tidak mendukung. Jisoo menarik napas, panjang dan dalam, kembali memikirkan semua kejadian yang terjadi begitu cepat dan tanpa pernah dia duga sebelumnya. Sejenak Jisoo memandangi ponsel dalam genggaman, Sehun tidak menghubunginya sama sekali.

Sehun marah padanya? Yah... mungkin saja. Atau bisa jadi sekarang Sehun justru gembira, karena mampu terbebas dari beban perselingkuhan tanpa usaha apapun.

Jisoo menunduk, menggenggam ponselnya erat-erat. Bayangan hari-hari yang dia lalui bersama Sehun memenuhi benak, membelai lembut, lalu terbahak-bahak setelahnya, menertawakan dirinya yang kini terpuruk dalam penyesalan. Jisoo meremas perutnya yang seketika sakit, nyeri, serasa melilit. Dia memejam, merintih tertahan, hingga tanpa sadar Jisoo memanggil Sehun disela-sela rintihannya. Namun rasa sakit itu justru semakin menderanya, peluh sudah membasahi wajah Jisoo yang pias, dia semakin tidak tahan.

"Ryu Ji?"

Jisoo mendongak, sosok jangkung Chanyeol berdiri di depannya, pria itu menunduk. Jisoo bergeser, dia menahan sekuat tenaga rasa sakit di perutnya, dia baru sadar Chanyeol tidak tahu prihal kehamilannya, pria itu tidak boleh tahu.

"Aku mau pulang."

Chanyeol diam saja, dia hanya memandangi Jisoo lekat. Ada satu pertanyaan yang ingin sekali Chanyeol tanyakan pada gadis itu, tapi dia memilih bungkam, dia memilih menunggu Jisoo yang mengatakan hal itu duluan.

"Park Chanyeol!"

"Ada yang ingin kau katakan padaku?"

"Kau brengsek! Seharian ini kau memperlakukan aku seperti tawanan."

Jisoo berdiri, tiba-tiba kepalanya berputar, dia terhuyung-huyung dan hampir saja beringsut di lantai, Chanyeol sigap merangkul bahunya.

"Aku panggil dokter...,"

"Aku mau pulang."

Jisoo merintih lagi, Chanyeol menggiringnya kembali duduk di atas ranjang. Tanpa sadar dia mencengkram lengan Chanyeol guna meredam rasa sakit di perutnya, sekaligus menahan pria itu untuk memanggil dokter. Chanyeol tidak boleh tahu dia hamil. Jisoo memejam, dia sangat berharap perutnya cepat membaik.

"Perutmu sakit?"

Jisoo membuka kedua mata, tangan besar Chanyeol mengusap perutnya dan ajaib, sakit di perutnya berangsur hilang. Jisoo mengerjap, kini sakit di perutnya benar-benar sudah hilang, tangan Chanyeol masih berada di atas perutnya. Jisoo agak terkejut, Chanyeol berpaling, hingga jarak mereka menjadi sangat dekat, hidung mereka nyaris bersentuhan.

"Masih sakit?"

Jisoo bungkam, dia masih terlalu menikmati usapan lembut Chanyeol di perutnya.

"Ryu Ji?"

"Ti----tidak."

Jisoo menjauhkan tangan Chanyeol dari perutnya, dia mengerjap kuat-kuat untuk mengembalikan kesadarannya.

"Aku mau pulang." kata Jisoo.

Chanyeol diam saja, dia menggenggam jemari Jisoo lalu membawa gadis itu keluar dari kamarnya. Tak ada lagi kata yang terucap di antara mereka, sampai Chanyeol mengantarkan Jisoo ke apartemen.

~000~

Jisoo mengerang, dia pening, kepalanya serasa diikat tali tambang, berdenyut. Jisoo duduk di tepi ranjang tidurnya, dia meraba perutnya, perutnya sakit lagi. Semua hal yang terjadi hari ini begitu cepat, membuat pikirannya bergerak tidak normal. Bagaimana mungkin dia lupa sedang hamil, lalu menerima lamaran Chanyeol tanpa memikirkan hal itu. Dia hamil, dua bulan. Jisoo tidak mungkin membatalkan pernikahan, dia benar-benar tidak punya alasana untuk membatalkannya. Tapi dia juga tidak punya cara yang masuk akal untuk bisa mengelabui Chanyeol, pria itu tidak boleh tahu dia sedang hamil.

Haruskah dia memberitahu Chanyeol tentang kehamilannya? Tapi bagaimana kalau Chanyeol marah dan membongkar skandalnya bersama Sehun?

Hyesun masuk ke dalam kamar lalu mengusap bahu Jisoo, gadis itu tersentak, lalu buru-buru tersenyum. Hyesun duduk di samping Jisoo, tangan tuanya yang halus dan penuh sayang mengusap kepala Jisoo, menelusuri helaian rambut panjang Jisoo yang tergerai. Ada luapan kebahagian berpendar dari mata Hyesun, tapi sayangnya terasa seperti sembilu bagi Jisoo, gadis itu semakin bersalah melihat bahagia di mata ibunya.

"Ibu, jika aku melakukan kesalahan apa Ibu akan memaafkanku?"

"Apa?"

"Apa Ibu akan tetap menganggapku sebagai putrimu?"

"Kau belahan jiwaku, kau adalah alasanku untuk tetap hidup, Jisoo. Mana mungkin aku menganggapmu bukan putriku lagi."

"Tapi kesalahanku sangat berat, Ibu."

"Jisoo?"

Jisoo menggenggam tangan Hyesun kuat-kuat, jantungnya memompa cepat, dia sudah tidak tahan menahan beban penghianatan itu seorang sendiri. Jisoo takut, cemas, dia ingin seseorang menolongnya. Dan sang ibu, Jisoo rasa adalah pilihan yang tepat.

"Aku hamil. Aku hamil dengan Sehun."

"Ap----apa?" Hyesun terperangah.

"Aku tahu ini salah, tapi----aku mencintainya, Ibu."

Hyesun lemas, dia kehilangan kata-katanya. Tetesan bening mulai berjatuhan dari sepasang mata hitam Jisoo yang sayu, dia memandangi ibunya bersama sakit dan sesal yang memukuli jantungnya.

"Jisoo, katakan ini tidak benar?"

Jisoo semakin menangis, lamat-lamat dia mengangguk. Hyesun terhuyung, dia tampak sangat kecewa. Air mata Hyesun jatuh, dia memandangi Jisoo, dia benar-benar tidak bisa mempercayai aib yang baru saja terungkap.

"Bagaimana mungkin, Jisoo. Tega-teganya kau melakukan ini pada keluarga Tuan Edmund, terlebih Lilian, di mana otakmu? Dan Sehun, dia kakak iparmu, dia suami kakakmu Lilian." Hyesun murka, merah padam, menahan marah dan malu, hingga dia tidak punya lagi muka untuk kesalahan fatal yang dilakukan putrinya.

"Maafkan aku, Ibu. Maaf...,"

Jisoo semakin tersedu sedan, bahunya bergetar hebat. Hyesun menarik Jisoo ke dalam pelukannya, mereka sama-sama menangis. Hyesun kehabisan kata-kata, tak tahu lagi harus bereaksi seperti apa. Jika tidak ingat Jisoo adalah putrinya, sumber napasnya di dunia, mungkin Hyesun sudah menampar Jisoo dengan tangannya. Memukuli gadis itu sampai sadar, semua yang dia lakukan adalah kesalahan besar.

"Apa Chanyeol tahu tentang ini? Siapa saja yang tahu kau hamil, Jisoo?"

"Chanyeol tidak tahu, hanya Sehun yang tahu."

"Pernikahanmu dengan Chanyeol tidak boleh batal, kau harus...,"

Jisoo melepaskan pelukan Hyesun. "Ibu?"

"Jisoo, dengarkan Ibu. Kau harus tetap menikah dengan Chanyeol, aib ini tidak boleh terbongkar. Kau harus membuat Chanyeol melakukannya di malam pertama kalian, dengan begitu kau bisa memanipulasi usia kandunganmu, kau paham?"

"Ibu?"

"Apa, Jisoo? Memangnya kau punya alasan yang tepat untuk membatalkan pernikahan? Atau kau berniat memberitahu semuanya pada Chanyeol, begitu?"

"Aku tidak tahu." Jisoo kembali menangis.

"Bagaimana kalau Chanyeol justru membongkar semuanya saat kau mengaku? Ibu----ibu tidak tahu apa yang akan Tuan Edmund lakukan padamu dan juga Sehun."

"Sehun?"

"Yah, Tuan Edmund pasti akan menghancurkan Sehun. Belum lagi Lilian, apa kau sudah memikirkan dampak yang akan Lilian terima? Bagaimana sakitnya Lilian dihianati oleh adiknya sendiri, pikirkan itu, Jisoo."

Jisoo mencengkram kuat pinggiran ranjang, tubuhnya membungkuk, menahan semua sesak yang mendera jantungnya, air mata semakin tak bisa Jisoo bendung, dia menangis. Seluruh tubuh Jisoo bergetar, kesedihan sudah menjalar di tiap aliran darahnya, menyayat dan menghancurkan di tiap urat nadinya. Hyesun memeluk Jisoo, membiarkan putrinya menangis dalam pelukan. Ibunya benar. Bila kisah cinta terlarang ini terbongkar, maka akan ada banyak hati yang terluka, terpuruk, tenggelam dalam nestapa tanpa peri. Jisoo mencoba berteriak, tapi teriakkannya terhisap oleh air mata. Jisoo meratap, meluapkan semua penyesalan, penyesalan yang takkan sanggup dimaafkan oleh dirinya sendiri.

-

TBC



Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

248K 36.9K 68
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
502K 37.4K 59
Kisah si Bad Boy ketua geng ALASKA dan si cantik Jeon. Happy Reading.
621K 36.1K 43
Karena Awan, Karen diterbangkan, kemudian dijatuhkan. Karen yang sibuk dengan trauma cinta di masalalu, akhirnya menumbuhkan rasa di hatinya untuk Aw...
1.8K 94 5
Sejak awal dia tahu, dialah yang salah. Sakura sadar dialah yang membiarkan dirinya sendiri masuk kedalam lubang yang sama. A SasuSaku fanfic by Raiz...