After Twilight

By VanadiumZoe

55K 6.5K 1.6K

Ketika membenci menjadi begitu mudah, ketika mengkhianati menjadi begitu benar dan ketika mencintai menjadi b... More

Bagian 1
Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 6
Bagian 7
Bagian 8
Bagian 9
Bagian 10
INTRO CHARACTER
Bagian 11
Bagian 12
Bagian 13
Bagian 14
Bagian 15
Bagian 16

Bagian 5

2.9K 399 112
By VanadiumZoe


Chanyeol tergesa-gesa melewati pintu ballroom, aula besar bergaya Victoria yang dipakai untuk pesta malam ini sudah penuh dengan para tamu undangan . Yang datang di pesta bukan hanya para pengusaha, tapi juga pejabat pemerintah, para model run way, sampai artis papan atas Korea Selatan. Pilar-pilar peyangga, lampu hias yang menjuntai dari langit-langit, semuanya tampak mahal dan mewah. Meja panjang sebelah kanan pintu ballroom menyajikan makanan lezat, wangi wine dari puluhan tahun silam menyeruak di penjuru ruangan. Para pramusaji berpakaian hitam putih hilir mudik membawakan gelas-gelas tinggi berisi wine di nampan mereka, karpet beludru merah marun menutupi lantai, serombongan orchestra memainkan music klasik dari ujung ballroom.

Chanyeol menyapukan pandangannya, dia menyeringai setelah menemukan Si Pemilik pesta mewah ini ada beberapa meter di depannya. Oh Sehun berdiri di sana, dia terlihat sangat tampan nyaris sempurna dalam balutan Armani hitam, kulit pucatnya berpendar keperakan di bawah cahaya lampu hias yang jatuh tepat di atas kepalanya, terlihat kontras dengan dagu runcing, mata hitam sepekat malam yang dingin tapi sangat memabukkan. Lilian berdiri mendampingi Sehun, mereka tengah ngobrol santai dengan beberapa tamu undangan. Chanyeol mengeratkan genggaman kedua tangan, lalu buru-buru mendekati Sehun, napasnya memburu kasar, merah padam. Chanyeol hampir melabrak Sehun, kalau saja Jongin tidak muncul tiba-tiba di depannya.

"Hi Presdir, kenapa datang terlambat? Aku jadi kesepian dan tidak punya pasangan."

Jongin tersenyum lebar, dia membawa gelas tinggi berisi wine di tangan kanan, sedangkan tangan satunya terselip di kantong celana. Jongin mengenakan Armani hitam, rambutnya tertata rapi, dia mengernyit lalu mengikuti arah pandang Chanyeol, ketika dia tidak mendapat respon apapun dari pria itu.

"Ah, Lilian Queen. Yang aku tahu dia model paling cantik di negara ini. Tapi aku mohon, Chanyeol, jangan mendamba Lilian. Aku lebih setuju kau menjalin hubungan dengan gadis tidak tahu sopan santun dan lamban seperti Ryu Ji, daripada dengan wanita yang sudah bersuami."

Kata Jongin panjang lebar, dia tidak pernah tahu Chanyeol baru saja menghembuskan napas panjang, memutar bola mata sekaligus tersenyum. Celotehan Jongin barusan, mampu meredam semua amarah Chanyeol yang hampir tumpah. Chanyeol benar-benar bersyukur punya saudara dan sahabat seperti Jongin. Temperamental, sangat rasional, dan bisa diandalkan untuk hal apapun. Termasuk untuk menjadi penasehat cinta, Jongin terkadang punya pendapat bijak untuk hal satu itu.

"Jaga bicaramu, Jongin. Aku tidak minat dengan Lilian, dia bukan tipeku."

"Baguslah. Eoh, kau mau minum sesuatu?"

Chanyeol menggeleng, tapi Jongin yang sok tahu justru memanggil pelayan, dia meraih satu gelas anggur dan berniat memberikannya pada Chanyeol. Namun ternyata Chanyeol sudah berjalan mendekati Sehun, Jongin kesal, dia meletakkan kembali gelas anggur di nampan salah satu pelayan, lalu bergegas menyusul Chanyeol.

"Selamat Oh Sehun, Shinhwa berhasil berkembang sangat pesat di bawah kepemimpinanmu."

Sehun tersenyum seraya menjabat uluran tangan Chanyeol, Lilian hanya membungkukkan kepalanya singkat.

"Terima kasih, Park Chanyeol. Hemelsky aku rasa jauh melebihi Shinhwa, ah terima kasih, kau...," Sehun menambahkan, Jongin baru saja bergabung bersama mereka.

"Kim Jongin, salah satu direksi Presdir Park Chanyeol." Jongin tersenyum menawan, dia melirik Lilian lalu tersenyum lagi.

"Tapi tetap saja aku merasa Tuhan tidak adil dan aku benar-benar iri denganmu, Oh Sehun."

"Kenapa bisa seperti itu?"

Sehun mengernyit lalu buru-buru melambaikan tangan, Lilian baru saja menunjuk ke arah pintu ballroom. Sepasang suami istri baru datang, mereka adalah Kim Suho dan istrinya Choi Jimin, pengusaha mobil yang tersohor. Sehun kembali pada Chanyeol, dia tidak pernah sadar dengan kemarahan yang berpendar dari balik mata kelabu Chanyeol yang memicing.

"Kau sukses, istrimu sangat cantik dan aku rasa sebentar lagi kalian akan dihadiahi bayi yang lucu. Sedangkan aku,"

Lilian tertawa pelan. "Aku rasa kau hanya terlalu pemilih, Park Chanyeol. Siapa yang tidak mau dengan pengusaha sukses sepertimu."

"Yah, itu benar. Kalau kau mau, malam ini pun kau bisa mendapatkan calon istri." Sehun menambahkan, lalu mereka semua tertawa, termasuk Jongin.

"Aku setuju." timpal Jongin.

"Sebenarnya aku sudah sangat ingin menikah, tapi aku takut, aku menghianati istriku setelah menikah, Oh Sehun."

Chanyeol menekan hampir semua kata-kata yang meluncur dari bibirnya, Sehun berdehem sebentar lalu tersenyum, dia mengusap jemari Lilian yang masih merangkul lengannya.

"Kenapa memikirkan hal seperti itu? Kalau kau mencintai istrimu, kau tidak akan menghianatinya." kata Lilian.

"Berarti kau tidak akan pernah menghianati istrimu, karena kau sangat mencintainya. Benar begitu, Oh Sehun?"

Sehun sedikit terkesiap, dia diam sebentar, balas melihat Chanyeol yang menatapnya kian tajam. Sehun tidak mengerti arah pembicaraan Chanyeol, tapi pria itu berhasil mengusiknya. Mereka tidak saling kenal secara pribadi, selama ini hubungan mereka hanya sebatas rekan bisnis. Ini kali pertama Sehun bicara hal semacam ini dengan Chanyeol, biasanya mereka hanya membahas masalah pekerjaan atau harga saham perusahaan, sama seperti ketika Sehun berbincang dengan rekan bisnisnya yang lain.

Jongin yang merasa situasi jadi tidak nyaman angkat bicara: "Hey, kenapa jadi membahas masalah seperti ini? Ya ampun, kita terlihat seperti sekumpulan wanita yang sedang bergosip."

Lilian tertawa tanpa bisa ditahan. "Yah, kau benar Jongin, hey, ayolah, kenapa membahas ini? Sehun sangat mencintaiku, kami berdua saling mencintai, jadi tenang saja, Park Chanyeol, suamiku ini tidak akan selingkuh di belakangku."

Lilian dan Jongin tertawa lagi, Sehun diam saja, dia masih memandangi Chanyeol yang kini sudah tersenyum tipis.

"Semoga saja, Lilian."

Chanyeol ikut tertawa bersama Jongin, dia menyambar satu gelas wine dari salah satu nampan pelayan lalu meminumnya hingga tandas. Malam semakin larut, pesta pun semakin meriah. Sehun dan Lilian sudah berlalu, menyapa tamu mereka yang lain. Jongin setia berdiri di sisi Chanyeol, dia memandangi Chanyeol lalu mengernyit, Jongin sadar dengan arah pandang Chanyeol saat ini, belum lagi dengan pilihan topik yang Chanyeol pilih saat berbincang dengan Sehun. Semuanya terasa aneh untuk Jongin. Selama ini yang dia tahu, Chanyeol terlalu malas membahas hal-hal tidak penting selain pekerjaan dan perkembangan perusahaan.

"Chanyeol, malam ini kau terlihat aneh."

Chanyeol diam saja, dia masih menatap Sehun dan Lilian yang terlihat sangat serasi, harmonis dan romantis. Chanyeol benar-benar muak.

"Apa kau baru saja ditolak Ryu Ji? Ah, gadis aneh itu membuatmu patah hati ya?"

Jongin cekikikan, Chanyeol melirik Jongin tajam, seketika dia teringat pada Jisoo yang terbaring lemah di rumahnya.

"Jangan banyak bertanya, Jongin, kau seperti perempuan. Kita pulang sekarang."

Chanyeol berbalik lalu tanpa kata tambahan dia melangkah keluar dari ballroom, meninggalkan Jongin yang sudah memaki dengan sumpah serapah di belakang sana.


~000~


Chanyeol memasuki rumah besarnya lalu bergegas menuju kamar tidur, di depan pintu Ruffier berdiri tenang seraya membungkuk hormat, dia mengatakan Jisoo sudah tertidur pulas di dalam kamar.

"Terima kasih, Ruffier, kau selalu bisa diandalkan."

"Sama-sama, Tuan Muda. Apa malam ini kau ingin tidur di kamarmu, atau aku perlu menyiapkan kamar yang lain?"

"Aku akan tidur di kamar yang lain, tolong siapkan semuanya."

Kata Chanyeol lalu masuk ke dalam kamarnya, Ruffier yang melihat itu hanya mengernyit, tersenyum samar lalu bergegas menuju kamar tidur di ujung selasar.

Chanyeol memasuki kamar tidurnya yang luas, tidak banyak perabotan di kamar itu. Hanya ada ranjang tidur ukuran besar di tengah ruangan, di atas kepala ranjang terdapat lukisan besar berbingkai keemasan. Dua kursi dengan sandaran tinggi ada di sisi kanan ranjang. Di ujung kamar ada sofa besar, menghadap layar TV LED 60 inch yang menempel di dinding. Kamar itu terlihat semakin mahal dengan dua lampu hias yang menjuntai mewah dari langit-langit, dikelilingi beberapa lampu kecil yang menyorot di sepanjang pinggir plafon.

Chanyeol berdiri di tepi ranjang, memandangi Jisoo yang tertidur pulas di bawah selimut tebal sewarna casper. Wajah Jisoo sangat pucat, cairan infus masih menjalari urat nadinya. Chanyeol memilih duduk di pinggiran ranjang, dia memandangi Jisoo kian lekat, mengusap punggung tangan Jisoo yang terbebas dari selang infus. Ada rasa sakit yang menyelinap ke dalam jantung, ketika Chanyeol mengingat tentang bayi yang tengah dikandung Jisoo. Seandainya saja dia menemukan gadis itu lebih dulu sebelum Sehun.

Chanyeol beranjak, dia menarik napas panjang dan dalam, lalu buru-buru meninggalkan Jisoo yang tetap tertidur, bersama berjuta rasa sakit yang menyesakkan. Chanyeol kecewa tapi dia tidak bisa mengacuhkan Jisoo, dia sakit tapi tidak bisa melepaskan Jisoo, dia sangat marah tapi tidak bisa menjauh dari Jisoo. Meski Jisoo sudah menjatuhkan hatinya pada pria lain, kenyataanya Jisoo juga telah membuatnya jatuh, tanpa tahu caranya untuk bangkit kembali.


~000~


Jongin memasuki kamar tidur, berdiri di belakang Rila yang belum menyadari kehadirannya. Rila duduk di kursi depan meja kerja Jongin, sibuk menatap layar leptop. Sesekali Rila terdengar tertawa pelan, matanya masih focus pada layar dan tetap tidak sadar Jongin sudah membungkuk, tepat di belakang punggungnya.

"Apa yang kau lihat?"

Rila terkesiap, dia menoleh dan hampir terjungkal, andai saja Jongin tidak mengapit tubuhnya di antara kedua lengan. Jongin merapat, dia menumpukan kedua tangan di ujung meja, matanya sibuk menatap layar leptop, tidak peduli pada Rila yang terkejut, wajah gadis itu bahkan bersemu merah jambu ketika pipi mereka tidak sengaja bersentuhan.

"Sejak kapan kau suka drama? Kenapa tidak melihatnya di TV? Leptopku terlalu kecil."

Jongin bicara panjang lebar, dia masih memperhatikan layar leptop, menahan sekuat tenaga untuk tidak melihat Rila. Jongin sangat takut dia akan melakukan hal yang membuat gadisnya merasa takut, meski karena hal itu Jongin serasa nyaris gila. Selama hampir satu tahun, Jongin menahan semua keinginannya untuk menyentuh Rila (dalam arti yang sebenarnya), demi membuat gadis itu tidak takut dan terbiasa lebih dulu dengan kehadirannya, dia tidak mau Rila meninggalkannya hanya karena dia memaksa gadis itu.

"Kau----kapan datang?"

Rila berdehem, membersihkan tenggorokannya yang seketika tersumbat. Lengan Jongin kian merapat, pria itu nyaris memeluknya, Rila semakin sulit bernapas. Akhir-akhir ini dan entah sejak kapan, Rila selalu merasa semua pasokan oksigen di sekitarnya menipis, tiap kali Jongin berada terlalu dekat dengannya.

"Baru saja." Jongin menegakkan tubuhnya. "Kau selalu saja tidak sadar dengan kehadiranku."

Jongin beranjak, Rila menarik napas lega. Jongin berdiri di belakang Rila, melepas jas, dasi dan kemeja. Rila berdiri dari kursi, berbalik, memberanikan diri untuk melihat Jongin. Rila mengerjap melihat pemandangan di depannya, Jongin ternyata sedang melepaskan singlet putih yang menjadi satu-satunya kain penutup di tubuh tegapnya yang berotot. Seketika peringatan tanda bahaya berdentam di kepala Rila, dia menjauh dari meja kerja Jongin, melangkah mundur. Jongin mendekat, Rila mencengkram kuat-kuat kedua tangan di sisi tubuhnya. Dia terhenyak, punggungnya membentur tembok kamar, pucat pasi. Jongin memenjarakan tubuh kurusnya di antara kedua lengan, jarak mereka sangat dekat, hanya sejauh jengkalan tangan.

"Apa kau masih takut padaku?"

Rila diam saja, dia tengah menahan rasa aneh yang berkecambuk di dalam dirinya. Bagaimana mungkin Rila berkeinginan menyentuh dada telanjang Jongin. Rila mengerjap, dia berpikir mungkin sekarang dia sudah gila.

"Apa aku sangat menakutkan? Apa kau belum juga terbiasa denganku, dengan pernikahan ini, dengan statusmu sebagai istriku?"

Rila mengerjap berkali-kali, dia benar-benar tidak tahu apa yang harus dia katakan. Benar terkadang Rila masih takut pada Jongin, tapi bukan dalam arti yang sebenarnya. Dulu dia selalu senang Jongin tidak ada, tapi sekarang dia merasa kesepian tiap kali Jongin pergi bekerja dan berharap pria itu cepat kembali.

"Apa satu tahun belum cukup bagimu untuk merasa terbiasa denganku?"

Jongin berhenti sejenak, dia menelusuri wajah Rila yang kian pias. Perih menyerang nadinya, saat melihat ketakutan di mata Rila, gadis itu masih saja belum bisa menerimanya, dia masih saja tidak menginginkannya. Akhir-akhir ini Jongin sempat berpikir mungkin pernikahannya dengan Rila adalah kesalahan. Mungkin selama ini dia sudah berlaku tidak adil pada Rila, mungkin selama ini dia sudah terlalu egois memaksa Rila untuk bertahan bersamanya, mungkin selama ini dia sudah terlalu kejam dengan mengurung gadis itu bersamanya dalam ikatan pernikahan paksa.

"Ak----aku." Rila terbata, iris Jongin yang tajam namun hangat mengunci pandangannya.

Jongin memandangi Rila kian lekat, dia ingin sekali mengecup bibir Rila yang setengah terbuka, tapi Jongin menahannya, dia tahu jika dia melakukan itu, Rila akan meninggalkannya.

"Aku----hanya merasa takut, tiap kali kau memelukku terlalu erat."

"Apa?"

Rila memberanikan diri mendorong Jongin agar menjauh. Dia merasa susunan tulangnya hilang saat tangannya menyentuh dada Jongin, wajahnya bersemu, dia gugup setengah mati.

"Aku ambilkan piyama untukmu, kau bisa sakit nanti."

Rila baru saja hendak melangkah, tiba-tiba Jongin menahan lengannya dan di detik berikutnya dia sudah terperangkap dalam dekapan Jongin. Rila beku macam tumpukan salju di musim dingin, detak jantungnya hilang untuk lima detik penuh, wajahnya kaku, pucat, lalu lamat-lamat menghangat ketika telinganya mendengar detak jantung Jongin yang bertalu, memenuhi gendang telinganya.

"Apa ini... terlalu erat?"

Jongin membisikkan kalimat itu di telinga Rila, halus, lembut selayak beludru, memberikan sensasi menggelitik yang meremangkan bulu-bulu halus di sekujur tubuh Rila.

"Ti----tidak."

Jongin tersenyum, tanpa sadar dia menciumi puncak kepala Rila yang ada di bawah dagunya, berulang-ulang. Rila kian beku, dia kian sulit menarik napas, jantungnya memompa terlalu cepat. Jongin menelusuri helaian rambut panjang Rila yang sewarna madu, mengecup pipi dan bahu, lalu tanpa sadar mengeratkan pelukan. Tidak ada penolakan dari Rila, gadis itu sudah terlalu lemas dengan semua kecupan dan pelukan Jongin yang melumpuhkan. Setelah itu tidak ada lagi kalimat yang terucap di antara keduanya, mereka berdua membiarkan kesenyapan mengambil alih kesadaran mereka, berdiri merapat selama puluhan menit berlalu dalam rona bahagia yang samar sama-sama terlukis di hati keduanya.


~000~


Saat matahari sudah berada di puncak kepala, Jisoo baru membuka kedua mata, perlahan, mengerjap lemah, tubuhnya lemas dan dia tidak berniat untuk bangun. Namun pikiran itu hilang saat semua nyawa yang melayang di udara terkumpul sempurna. Jisoo mengingat semua kejadian sebelum pada akhirnya dia jatuh pingsan di lift, setelah mengirim pesan singkat pada Sehun. Kemarin Jisoo merasa perutnya sangat sakit dan setelah itu, Jisoo tidak ingat apapun lagi. Jisoo sadar dia terbaring dalam selimut tebal yang nyaman, dia juga sadar dia berada di tempat yang asing, bukan di kamarnya, bukan di atas ranjang tidurnya. Seketika Jisoo melebarkan matanya, menatap ke samping, jantungnya hampir melompat keluar, menatap seorang pria paruh baya berwajah eropa berdiri di sisi ranjang. Pria itu membungkuk hormat, tersenyum hangat dan ramah, lalu menyapa Jisoo yang justru hanya mampu mengerjap tanpa tahu apa yang harus dia lakukan.

"Selamat siang Nona Ryu Ji, semoga tadi malam tidurmu nyenyak. Nona butuh sesuatu?"

Jisoo tidak menjawab, dia berusaha untuk bangun, pria itu membantu Jisoo untuk duduk bersandar. Jisoo menatap sekilas punggung tangannya yang terasa mati rasa, di sana jarum besar menekan nadinya.

"Nona mau membersihkan diri terlebih dahulu, atau ingin langsung makan siang?"

Jisoo bingung bukan kepalang, tak tahu apa yang harus dia jawab, ini terlalu mengejutkan. Jisoo mengedarkan pandangan, menelusuri kamar luas bernuansa hitam putih minimalis, meski kesan mewah jelas tampak terlihat.

"Kau siapa? Dan ini di mana, kenapa aku bisa ada di sini?" tanya Jisoo pada akhirnya.

"Namaku Ruffier, aku bekerja untuk Tuan Muda Park Chanyeol. Kemarin Nona pingsan di dalam lift dan Tuan Muda Park membawamu kemari."

Seketika mata Jisoo mendelik, dia terkejut tanpa dibuat-buat. "APA?! Maksudmu, Presdir Park Chanyeol? Dia yang menemukanku di lift?"

"Benar, Ryu Jisoo."

Jisoo semakin terkejut, sosok menjulang Chanyeol memasuki kamar, berjalan tenang hingga berada di ujung ranjang. Jisoo ketakutan, tanpa sadar dia langsung berdiri, merangkul lengan Ruffier hingga pria itu maupun Chanyeol mengernyit.

"Nona Ryu." Ruffier berusaha melepaskan rangkulan Jisoo, tapi gadis itu geming.

Jisoo menatap Chanyeol waspada, dia juga baru sadar piyama besar yang dia kenakan sama dengan piyama yang Chanyeol kenakan. Jisoo mengerjap, dia mulai berpikir yang aneh-aneh. Mungkinkah semalam pria itu melakukan tindakan asusila? Jisoo menggeleng kuat-kuat, dia menjerit sejadi-jadinya ketika Ruffier melepas paksa rangkulannya.

"Jangan tinggalkan aku, Tuan."

Jisoo kembali merangkul Ruffier, dia tidak ambil pusing darahnya naik ke selang infus karena bergerak terlalu keras. Chanyeol kesal bukan kepalang, Jisoo bahkan lebih memilih Ruffier ketimbang dirinya.

"Nona Ryu Ji? Tanganmu?"

Ruffier melihat darah yang kian menaiki selang infus, buru-buru dia keluar dari kamar, memanggil dokter. Ruffier mengabaikan Jisoo yang berteriak memanggil namanya di belakang sana, langkah Jisoo tertahan Chanyeol yang berdiri geming di depannya. Tak sampai lima menit, Ruffier dan seorang dokter laki-laki yang ditugaskan mengawasi keadaan Jisoo selama 24 jam datang, memberi tindakan medis pada Jisoo. Sang dokter pada akhirnya melepas jarum infus, Jisoo terus memaksa agar tidak diinfus lagi, gadis itu mengeluh tangannya pegal dan mati rasa.

"Jangan pergi, Tuan Ruffier."

Jisoo lagi-lagi menahan lengan Ruffier yang baru saja hendak keluar kamar bersama dokter. Ruffier mengernyit, menatap Chanyeol sekilas lalu kembali melepaskan rangkulan Jisoo.

"Nona Ryu, aku tahu wajahku ini sangat tampan. Tapi maaf sekali, kau terlalu muda untukku."

"Apa?"

Ruffier menahan senyum, Chanyeol semakin kesal, dia bertolak pinggang, geram dengan sikap Jisoo yang semakin berlebihan.

"Tuan Ruffier, bukan itu, maksudku...,"

"Tinggalkan kami, Ruffier." kata Chanyeol, matanya memicing tajam, Jisoo panik.

"Baik, Tuan Muda."

"Jangan pergi, Tuan Ruffier...." Jisoo semakin mengeratkan rangkulan di lengan Ruffier, dia ketakutan setengah mati. "...jangan tinggalkan aku bersama pria sadomasokis ini, Tuan, aku mohon." kata Jisoo tanpa sadar.

"APA? SADOMASOKIS?!"

Ruffier dan Chanyeol berteriak hampir bersamaan. Ruffier menahan tawa, Jisoo mengangguk yakin, sedangkan Chanyeol terdengar mengumpat tertahan, dia tidak menyangka Jisoo memiliki pemikiran seperti itu. Chanyeol melepaskan rangkulan Jisoo di lengan Ruffier lalu memerintahkan Ruffier untuk keluar, dia menahan lengan Jisoo yang ingin ikut keluar dari kamar. Jisoo meronta tapi tenaganya kalah kuat, Chanyeol menghempaskan tubuh Jisoo hingga kembali ada di atas ranjang. Jisoo gemetar, bekas jarum infus sedikit menyusahkannya, tangan kanannya kebas nyaris mati rasa.

"Apa yang ingin kau lakukan padaku?"

"Menurutmu?" Chanyeol mulai mendekat, membungkuk seiring Jisoo yang memudurkan tubuhnya. "Apa yang akan pria sadomasokis lakukan, kalau hanya berdua dengan seorang gadis?"

Jisoo gemetar, dia menelan salivanya susah payah. Chanyeol semakin dekat, memandang Jisoo yang memucat, ekspresinya setengah kesal setengah menahan tawa. Wajah ketakutan Jisoo benar-benar terlihat lucu di mata Chanyeol, tapi dia juga kesal karena tuduhan tak berdasar gadis itu padanya. Bagaimana mungkin Jisoo berpikir, dia mengidap penyakit psikologis sekelas sadomasokis?

Jisoo menjerit tertahan, tubuhnya sudah terbaring di atas ranjang, Chanyeol menumpukan berat badannya di kedua lengan yang mengurung Jisoo. Jisoo mengerjap, memandang Chanyeol yang geming tepat di depan wajahnya, jarak mereka hanya sejauh jengkalan tangan. Chanyeol menelusuri wajah cantik Jisoo, bibir tipis merah muda gadis itu yang setengah terbuka, hampir saja membuat Chanyeol hilang kendali.

"Aku peringatkan, Presdir, jika kau melakukan sesuatu yang buruk aku akan menuntutmu. Aku tidak peduli meski kau presiden direktur sekalipun, jadi jangan macam-macam, aku janji akan...,"

Kalimat Jisoo tertahan, Chanyeol tiba-tiba mengecup keningnya, lembut, hangat. Chanyeol menarik napasnya, dia menahan mati-matian untuk tidak mencium Jisoo lagi, Jisoo mengerjap berkali-kali.

"Bukankah seharusnya aku yang menuntutmu, untuk tindakan kurang menyenangkan yang sudah kau lakukan padaku, Nona Ryu?"

"Apa?"

"Kau lupa dengan tuduhanmu padaku? Kau menuduhku mengidap sadomasokis, tanpa bukti. Aku akan menuntutmu, kau akan didenda dan masuk penjara."

"Apa? It----itu----,"

"Kau punya bukti?"

Jisoo mengerjap, dia tidak punya bukti, kabar kabur di kantor saja buktinya.

"Aku memang tidak punya bukti, tapi gosip di kantor----"

"Gosip?" Chanyeol mendengus kesal, dia menekan kening Jisoo dengan jari telunjuknya. Geram. Bagaimana mungkin Jisoo percaya gosip murahan seperti itu.

Jisoo menyeringai, rasa takut itu perlahan pudar, berganti rasa kesal bukan kepalang dengan alasan yang tidak begitu Jisoo pahami. Kehamilan membuat Jisoo tidak bisa memahami dirinya sendiri, emosinya naik turun, perasaannya selalu berubah-ubah.

"Brengsek! Kau yang sudah melakukan hal tidak menyenangkan, Tuan Park yang terhormat. Kau membawaku ke rumahmu tanpa izin, mengurungku di kamarmu dan sekarang kau hampir...,"

"Hampir apa?"

Jisoo menahan dada Chanyeol yang menumpukan tubuhnya dengan kedua siku, memangkas jarak mereka hingga hanya tersisa sejauh helaan napas.

"Hampir menidurimu, begitu?"

"Aku janji akan membunuhmu, kalau kau berani melakukannya."

Chanyeol hanya tersenyum, dia sangat menikmati ketakuan Jisoo yang terlihat lucu, meski gadis itu berekspresi marah. Pipi Jisoo merah, gadis itu terlihat semakin cantik di mata Chanyeol. Dia berniat untuk menakuti Jisoo dengan cara pura-pura ingin menciumnya, tapi lain yang direncanakan lain pula yang didapat. Chanyeol salah besar, bibir mereka justru tidak sengaja bersentuhan, mereka diam selama dua detik, dan saat itu juga Chanyeol merasa tidak bisa lagi menahan diri. Chanyeol tidak peduli Jisoo memukul dan mendorong dadanya kuat-kuat, Chanyeol justru menghimpit tubuh Jisoo yang masih berusaha melawan, tanpa melepaskan ciumannya.

Jisoo terus meronta, dia sudah meneteskan air mata, mendorong bahu Chanyeol sekuat yang dia bisa, memekik, memanggil nama Ruffier berkali-kali saat Chanyeol sedikit melonggarkan ciumannya.

"Ada ap----"

Ruffier yang datang tergopoh-gopoh tertahan di depan pintu, dia berdehem melihat Chanyeol yang sudah menindih Jisoo. Ruffier mengernyit, lalu dengan sopan meminta Chanyeol berhenti.

"Tuan Muda, Nona Ryu masih sakit, pesan dokter kau tidak boleh...,"

Chanyeol mengerang lalu melepaskan tautan bibirnya, memandang sekilas Jisoo yang menatapnya penuh benci.

"Siapkan pakaiannya, Ruffier, dia akan pulang sebentar lagi." katanya, sementara dia beranjak dari atas tubuh Jisoo. Chanyeol keluar kamar tanpa kata tambahan, meninggalkan Jisoo yang sudah duduk seraya menyeka sisa air mata di pipinya yang pasi.

Di mobil Jisoo diam seribu bahasa, dia melemparkan pandangan ke luar jendela, berbalut dress tartan pendek warna merah. Jisoo masih mengingat tindakan tidak senonoh Chanyeol beberapa saat lalu, dia benci pria itu tapi tidak bisa melawan saat Chanyeol memaksa untuk mengantarnya pulang. Jisoo berencana akan mengundurkan diri dari kantor besok pagi, dia sudah tidak punya alasan untuk tetap bekerja di sana.

"Maaf, aku tidak sengaja melakukannya."

Suara berat Chanyeol mengalun, Jisoo diam saja, dia masih sibuk memandang tetesan air langit yang mulai membahasi ibu kota. Bau tanah menyeruak, trotoar basah, jalanan aspal lebih licin, hitam mengkilap-kilap.

"Ryu Ji."

Jisoo menoleh, matanya berembun, tiba-tiba Jisoo merasa sangat sedih, dia merasa sangat tidak berarti, merasa rendah.

"Semua laki-laki sama saja. Kau pasti menganggapku sebagai gadis murahan yang akan sukarela menyerahkan tubuhnya padamu, lalu setelah itu kau akan membuangku seperti sampah, benar kan?"

Jisoo berpaling lagi, dia mengusap perutnya yang terasa agak nyeri. Hujan turun semakin lebat, langit kelabu, beku, air mata kian tak terbendung mengalir membasahi pipi Jisoo yang pucat. Jisoo terisak, dia takut, kalut, Jisoo tidak mengerti kenapa dia harus sesedih ini. Tiba-tiba dia merasa sangat gelisah, menyadari fakta Sehun akan meninggalkannya cepat atau lambat. Sehun tidak menghubunginya, ataupun membalas pesan terakhir yang dia kirimkan. Jisoo tidak bisa lagi menahan kesedihannya, dia merasa dicampakkan. Jisoo tersedu sedan. Chanyeol menepikan mobil di bahu jalan, memandangi Jisoo yang kian menangis dalam diam. Kedua tangan Chanyeol mencengkram kuat, menahan diri untuk tidak memeluk gadis itu.

Detik berlalu dalam kesenyapan, tangisan Jisoo timbul tenggelam di sela tetesan air langit yang kian tumpah. Sunyi yang menyayat nadi menyelimuti mereka selama puluhan menit, sampai Jisoo berhenti menangis dan akhirnya tertidur. Chanyeol memundurkan sandaran kursi dengan hati-hati, dia melepaskan mantel yang dia kenakan lalu menutupi tubuh Jisoo yang terlihat kedinginan. Chanyeol mengulurkan tangannya, mengusap sisa air mata di pipi Jisoo, sejuta rasa asing yang datang tiba-tiba kian mendominasi hati. Chanyeol tidak bisa lagi melihat Jisoo semakin tersiksa karena hubungannya dengan Sehun, dia harus melakukan sesuatu untuk gadis yang sudah berhasil mencuri seluruh perhatian dan dunianya.


~000~


Sehun mondar mandir di depan pintu apartemen Jisoo, dia kesal karena Jisoo mengganti password pintu. Sehun mulai menggedor pintu, keras, berkali-kali. Dia marah, Jisoo tidak bisa dihubungi. Sehun semakin kesal saat tahu hari ini Jisoo tidak masuk kerja (Sehun menelepon ke kantor Jisoo, mengaku sebagai saudara Jisoo). Sehun bersiap mengeluarkan amarahnya ketika pintu akhirnya terbuka. Im Hyesun berdiri di depan pintu, agak terkejut, Sehun juga terkejut, tidak menyangka sosok ibunda Jisoo yang menyambutnya.

"Tuan Muda Oh, maaf aku ada di kamar mandi, jadi terlambat membuka pintu."

"Ah, maafkan aku, Bibi Ryu, aku pikir Jisoo yang akan membuka pintunya." Sehun tersenyum kaku, otaknya berputar cepat, mencari alasan paling masuk akal untuk kedatangannya ke apartemen Jisoo di jam kerja seperti ini.

"Kau mencari Jisoo?"

"Tidak. Maksudku, Lilian yang memintaku datang, hanya untuk memastikan keadaan Jisoo. Dia takut Jisoo...,"

"Jisoo baik-baik saja, Oh Sehun."

Sehun dan Hyesun berpaling bersamaan, menatap terkejut pada sosok Chanyeol yang berjalan mendekat. Pria itu menggendong Jisoo dengan kedua tangan, mata Sehun melebar, dia mengepalkan tangannya. Jisoo tertidur pulas dalam gendongan Chanyeol, gadis itu merangkul pundak Chanyeol, bersandar di bahu pria itu. Sehun kesal bukan kepalang, bagaimana bisa Jisoo bersama Park Chanyeol, setahu Sehun kekasihnya itu takut pada Chanyeol.

Chanyeol tersenyum seraya menundukkan kepalanya singkat pada Hyesun, lalu berkata : "Bibi pasti ibunda Jisoo? Aku Park Chanyeol, maaf kemarin Jisoo kelelahan jadi menginap di rumahku."

"APA?!" Sehun tidak mampu menahan keterkejutannya. Jisoo menginap di rumah Chanyeol, bagaimana bisa? pekik Sehun dalam hati.

Hyesun mengernyit, dia melihat Sehun, bingung dengan reaksi Sehun yang dirasa Hyesun sedikit berlebihan. Setahu Hyesun hubungan Sehun dan Jisoo tidak dekat, Hyesun kembali pada Chanyeol, pria itu lagi-lagi mengajaknya bicara.

"Bibi Ryu, apa aku boleh masuk?" Chanyeol mengeratkan rangkulannya, Jisoo menggeliat, gadis itu menyembunyikan wajahnya di sela leher. Chanyeol mengerjap, dia beku, buru-buru Chanyeol mengendalikan diri, menarik napas panjang berulang-ulang.

"Eoh, tentu saja, ayo masuk. Tuan Muda Oh, silahkan."

Chanyeol buru-buru masuk ke dalam apartemen, dia merebahkan Jisoo di dalam kamar, menarik selimut hingga sebatas dada. Sementara di luar kamar, Sehun berdiri memaku, rahangnya mengatup begitu rapat, menahan luapan emosi saat Chanyeol mencium puncak kepala Jisoo sebelum keluar dari kamar. Chanyeol berjalan santai menuju sofa carmine di ruang depan, dia tersenyum sopan pada Hyesun yang baru saja menyajikan dua cangkir teh hangat untuknya dan Sehun lalu duduk di hadapan mereka berdua.

"Silahkan diminum, terima kasih banyak, Tuan Park."

"Panggil saja aku Chanyeol."

"Ah, tapi, kau kan atasan Jisoo, jadi...,"

"Tidak masalah, disini aku datang sebagai Park Chanyeol, bukan presiden direktur Jisoo. Jadi Bibi tidak perlu sungkan."

"Ah, iyah, baiklah. Kemarin ada yang meneleponku, kalau tidak salah namanya Tuan...,"

"Ruffier." Chanyeol mengingatkan, dia meraih cangkir tehnya, menyesapnya perlahan, tak lupa Chanyeol melirik Sehun, lalu tersenyum penuh kemenangan dari balik cangkir tehnya.

"Yah, Tuan Ruffier, dia meneleponku. Dia bilang kau mengajak putriku liburan ke Jepang dan Jisoo kelelahan. Maafkan putriku, apa dia sering menyusahkanmu?"

Chanyeol meletakkan cangkir tehnya di atas meja kaca, tersenyum sopan. "Tidak juga, dia hanya sedikit kekanakan kalau kelelahan, Bibi tenang saja."

Hyesun tertawa pelan, mengiyakan ucapan Chanyeol. "Yah, dia memang seperti itu. Tiap kali Jisoo terlalu mengantuk atau terlalu lapar, dia memang sedikit manja."

Chanyeol dan Hyesun tertawa, tapi tidak dengan Sehun. Pria itu meletakkan cangkir tehnya dengan sedikit bantingan, bunyi benturan antara pantat cangkir dan piring kecil di bawahnya menghentikan tawa Chanyeol dan Hyesun, mereka kini menoleh pada Sehun. Sehun menatap Chanyeol tajam, dadanya naik turun, merah padam, menahan kemarahan yang sangat dipahami Chanyeol, tapi sayangnya Chanyeol tidak peduli, dia justru sangat senang karena Sehun tidak bisa berbuat apapun untuk menghentikannya.

"Jisoo sedang tidak sehat, kau justru mengajaknya liburan. Apa kau hanya memikirkan kesenanganmu dan tidak memikirkan kesehatannya?" Sehun angkat bicara, nadanya sangat ketus dan tidak bersahabat.

Hyesun yang bingung hanya mampu mengernyitkan dahi, Sehun dan Chanyeol beradu pandang dalam aura suram yang membuat suasana seketika menjadi kaku.

"Kau tenang saja, aku sangat memperhatikan Jisoo, tidak ada yang terlewat. Lagipula aku tidak sanggup menyakitinya, aku tidak pernah tega membuat Jisoo sedih dan terluka, Oh Sehun."

Gigi Sehun beradu, kepalan tangannya semakin kuat. "Kau tidak berhak melakukan apapun pada Jisoo, dia bukan milikmu."

"Jisoo juga bukan milikmu, kau tidak lupa itu kan?"

"Hey, ada apa dengan kalian?" kata Hyesun, dia mulai cemas melihat Chanyeol dan Sehun yang terlihat siap beradu tinju.

"Bibi Ryu, dia....,"

"Aku tahu dia, Tuan muda Oh." Hyesun tersenyum, dia melirik Chanyeol. "Dia kekasih putriku, benar kan, Park Chanyeol?"

Chanyeol terkejut tapi dia buru-buru mengangguk. Sehun terperanjat, dia ingin bicara, tapi sayangnya Chanyeol sudah lebih dulu menyela.

"Aku harus pergi sekarang, ada pekerjaan yang harus aku selesaikan. Bila terjadi sesuatu, Bibi harus segera menghubungiku."

Chanyeol berdiri, membungkuk hormat lalu segera mohon diri, dia tidak peduli pada aura kemarahan Sehun yang berpendar nyata di belakang sana. Chanyeol bersiul di sepanjang langkahnya menelusuri koridor apartemen, dalam hati dia sangat yakin, sebentar lagi Sehun pasti akan menyusulnya. Dan benar saja tak sampai sepuluh langkah, Sehun sudah memanggilnya, menarik bahunya kasar dan langsung melayangkan tinju ke wajahnya.

"Brengsek kau, Park Chanyeol."

Chanyeol terhuyung, dia mengusap pipinya yang sedikit nyeri, menyeringai, lalu berdiri tegak di depan Sehun.

"Apa kita punya masalah, Oh Sehun? Setahuku kita tidak sedang terlibat kontrak kerjasama dan kita juga bukan teman dekat yang sedang bertengkar. Hemelsky bukan saingan Shinhwa, lalu apa masalah kita?"

"Apa maumu?"

"Maksudmu?"

"Kenapa Jisoo bisa bersamamu?"

"Ah, Ryu Jisoo." Chanyeol tertawa, mata abu-abunya menajam, merajam Sehun yang menatap tak kalah sengit darinya. "Memangnya kau tadi tidak dengar ya? Dia kekasihku, Jisoo calon istriku. Kau paham?"

"Bajingan!"

"Kau bisa tanyakan langsung padanya kalau kau mau, lagipula kenapa kau sangat tidak terima dia menjadi kekasihku. Memangnya kau siapa? Kakaknya? Temannya? Atau... kekasih gelapnya?"

"Park Chanyeol!"

Sehun siap kembali melayangkan tinjuannya, tapi kali ini Chanyeol menangkisnya.

"Aku hanya mengizinkan kau memukulku satu kali, Sehun. Dan ingat, suka tidak suka, Jisoo akan tetap menjadi milikku, kami akan menikah."

Sehun terkesiap, lalu dia tertawa, agak dipaksakan. Pandangannya masih menghunus tajam, tapi Chanyeol bisa merasakan kekalutan dari si pengusaha hebat itu.

"Jangan pernah bermimpi menangkap dua Rusa, hanya dengan satu panah, Oh Sehun. Kalau kau belum bisa melepaskan istrimu, jangan pernah berharap kau bisa mendapatkan Jisoo. Cam kan itu."

Chanyeol berlalu, Sehun memaki di belakang sana. Dia melayangkan tinjuan keras ke dingin apartemen yang dingin. Darah kental merembes dari buku-buku Sehun, perih, sakit, tapi Sehun merasa hatinya lebih perih dan tersakiti. Dia marah karena tidak bisa menyangkal fakta brengsek yang membuatnya tidak berkutik di depan Chanyeol, dia tidak menyangka Jisoo menjalin hubungan dengan pria lain di belakangnya. Sehun tidak akan membiarkan Chanyeol merebut Jisoo darinya, Jisoo miliknya dan selamanya akan selalu begitu.

-

TBC

Continue Reading

You'll Also Like

155K 15.4K 39
" Pada akhirnya akan selalu ada hal baik yang menerpa kita setiap harinya, biarlah takdir yang mengubah dan biarkan waktu yang menentukan , jangan ka...
502K 37.4K 59
Kisah si Bad Boy ketua geng ALASKA dan si cantik Jeon. Happy Reading.
197K 9.7K 32
Cerita ini menceritakan tentang seorang perempuan yang diselingkuhi. Perempuan ini merasa tidak ada Laki-Laki diDunia ini yang Tulus dan benar-benar...
305 110 5
-Aku adalah benci yang sesungguhnya, yang harus dihapuskan dari dunia- Choi Soobin dan Park Yoona. Ke-2 nya memiliki sisi yang berkebalikan. Soobin s...