ROSE QUARTZ

By renitanozaria

2.8M 301K 43K

[Completed] (sebagian chapters diprivat untuk followers, follow untuk membaca) Cerita ini bukan apa-apa. H... More

#00
#01
#02
#03
#04
#05
#06
#07
#08
#09
ear:gas:m
#10
#11
#13
#14
#15
#16
#17
#18
#19
#20
#21
#22
#23
#24
#25
#26
#27
#28
#29
#30
#31
#32
#33
epilog
Extra - Happy Now?
Extra - Crybaby
Extra - From Daddy With Love

#12

59.9K 7.5K 240
By renitanozaria


Gadis itu berlari membabi buta, seperti tubuhnya sudah lupa dengan apa yang disebut rasa sakit. Dengan caranya melaju yang seperti itu, Adrian berani bertaruh paru-paru Azalea pasti terasa seperti terbakar sekarang. Namun, dia sama sekali tidak berhenti. Adrian pun melakukan tindakan yang sama. Dia belari cepat. Kakinya yang panjang membuatnya mampu menyusul langkah Azalea dalam hitungan detik. Tetapi sebelum sempat meregap lengan gadis itu untuk membuatnya berhenti berlari, Adrian terlanjur terperangah tatkala menyaksikan sebuah bangunan besar yang terbakar secara masif beberapa puluh meter di depannya.

Lebih dari setengah bangunan toko buku besar itu telah terlahap oleh kobaran api. Lidahnya yang jingga menyala-nyala, menerangi langit yang mulai menggelap. Asap hitam membumbung tinggi di udara. Suasana terasa mencekam oleh massa yang berkerumun, beberapa jurnalis lalu-lalang tergesa menenteng kamera dan sirene mobil pemadam kebakaran terdengar menambah rumit keadaan.

Azalea masih berlari ketika mendadak tubuhnya limbung saat kakinya tidak sengaja menginjak tali sepatunya sendiri. Tali sepatu itu sudah pasti tidak diikat dengan erat, membuat simpulnya lepas ketika gadis itu berlari di sepanjang jalanan. Tanpa bisa dihindari, dia tersungkur ke atas aspal. Tangan dan lututnya menggores permukaan solid jalan, diikuti oleh rembesan darah beraroma karat yang merembes. Dia menggigit bibirnya kuat-kuat, mengabaikan rasa sakit yang menyengat. Dengan dramatis, Azalea kembali bangkit. Tangannya terulur berusaha menyibak kerumunan orang, tetapi sebelum dia bisa menghambur melewati barisan mobil pemadam yang terparkir di dekat bangunan toko buku, rengkuhan lengan Adrian telah lebih dulu menghentikan geraknya.

"You can't go there!" Adrian berseru sambil menahan tubuh Azalea kuat-kuat. Namun gadis itu terus saja meronta-ronta. Mulutnya mengeluarkan ceracauan histeris, dimana nama Alamanda terselip diantara kata-kata yang terlontarkan dalam nada tinggi. Orang-orang di sekeliling menatap pada mereka. Sebagian memandang prihatin, separuhnya mungkin menganggap Azalea sinting.

"LET ME GO!! MY SISTER IS IN THAT BUILDING!!" Untuk ukuran tubuhnya yang kurus, Azalea adalah gadis dengan tenaga yang tidak bisa dianggap sepele. Adrian sempat kesulitan menahan gerak liar dari tubuhnya. Kuku-kuku gadis itu terbenam pada kulit yang melapisi punggung tangannya, memaksa Adrian untuk melepaskan lengannya dari pinggul Azalea. Meski begitu, Adrian tidak menyerah, karena dia tau, jika dia melepaskan Azalea, gadis itu sudah pasti akan langsung berlari kencang mendekati gedung yang menunjukkan tanda-tanda akan roboh sebab pilarnya telah menghangus terkena jilatan api.

"She is in not there." Adrian berujar seraya mempererat cengkeraman tangannya pada tubuh Azalea. "Stop it, Azalea. She is not in there. Sekarang yang harus lo lakukan adalah bertindak waras."

Dalam sekali sentakan, Azalea menolehkan kepalanya pada Adrian. Selama sejenak, Adrian terkesiap. Dia tidak menebak Azalea akan menatapnya dengan pandangan seperti itu. Matanya basah, menyiratkan sorot terluka yang berbaur dengan sebersit perasaan asing. Ada kesan liar yang sempat tertangkap, seakan Azalea hampir kehilangan akal sehat.

"Lo nggak tau apa-apa, Adrian." bisiknya dalam suara parau yang terkesan pilu.

Adrian tidak tahu apa yang dia lakukan, namun pada detik berikutnya, kedua telapak tangannya telah berpindah pada sisi kiri-kanan wajah Azalea. Air mata mulai berjatuhan di pipi gadis itu ketika Adrian membungkuk, membuat matanya sejajar dengan mata Azalea.

"Believe me. She is not in there. Why would she be in there?"

"Because she told me she'll be there." Jari-jari Azalea mulai gemetar. "Dan karena pengamen itu bilang kalau ada orang yang terjebak di dalam. Perempuan. Lebih dari satu. Dia bisa aja adik gue, Adrian. Dia bisa aja adik gue! I have to save her!!"

"Stay here. She is okay. I'll call her." Adrian menghela napas, mencoba menghalau kekhawatiran yang perlahan-lahan merangkak memasuki batinnya. Cowok itu beranjak menjauh sedikit dari Azalea setelah memastikan gadis itu sudah lebih tenang dari sebelumnya, kemudian mengeluarkan ponsel dan mendial nomor Azalea yang tersimpan di daftar kontak.

Tidak ada dering, apalagi jawaban.

Masih belum menyerah, Adrian kembali mengulangi tindakannya.

Tetap saja sama. Tidak ada dering. Hanya ada pemberitahuan kalau nomor ponselnya tidak aktif. Kemudian senyap.

Setelah usahanya yang keempat gagal, Adrian memutuskan untuk tidak lagi mencoba. Untuk pertama kali dalam hidupnya, dia seperti bingung hendak berbuat apa, sementara beberapa meter dari tempatnya berdiri, Azalea memandangnya putus asa. Tidak. Tentu saja tidak. Alamanda baik-baik saja. Dia mungkin hanya lupa mengisi ulang baterai ponselnya. Atau mungkin dia sedang berada di sebuah tempat dimana ponsel tidak boleh dinyalakan.

Mungkin saja kan?

Alamanda pasti sedang baik-baik saja.

"She is in there. I told you, she is in there." Azalea berbisik berulang-kali seperti orang paranoid ketika Adrian datang mendekat.

"She is alright."

"Liar!" Azalea berujar panik. Gadis itu berbalik, berniat mendekati bangunan toko buku untuk berlari masuk ke dalamnya ketika suara gemuruh terdengar dari salah satu sisi atap gedung toko buku yang roboh. Debu berhamburan, membuat beberapa pemadam kebakaran melompat mundur untuk menghindari runtuhan material yang berjatuhan. Gerakannya seketika terhenti. Azalea membatu, seperti kakinya telah dipaku pada tempat dimana dia berdiri. Air mata mengaburkan penglihatannya, tapi apa yang terpampang di hadapannya sudah cukup jelas;

Siapapun orang-orang yang masih terjebak di dalam bangunan toko buku itu, mereka tidak mungkin selamat. Api telah merembet, menyebar dengan rata di seluruh bagian bangunan. Bahkan dari jarak yang cukup jauh, Azalea bisa merasakan panas yang menyengat kulitnya. Warna oranye menguarkan cahaya terang, lidahnya menjilati langit seperti tengah menuntut Tuhan. Sisa pilar yang belum runtuh mungkin hanya akan bertahan kurang dari setengah jam. Ketika api padam, mereka hanya akan menemukan tubuh-tubuh terpanggang diantara puing-puing yang hampir rata dengan tanah.

Dalam kebekuan, setetes air mata lagi-lagi jatuh. Tanpa dia sadari.

"Azalea,"

Kekuatan seperti meninggalkan sekujur tubuhnya, pergi entah kemana. Lututnya melemas, membuatnya tidak lagi punya kemampuan bahkan hanya untuk sekedar tetap bergeming di atas kedua kakinya. Tubuh Azalea luruh, lututnya mencium tanah sementara wajahnya masih diliputi oleh keterkejutan bersimbah air mata.

"Lea" Adrian mengulangi panggilannya.

"I HAD THE CHANCE TO SAVE HER!!!! BUT YOU TOOK IT FROM ME!!! YOU LIAR!!!" Nada suara Azalea naik dengan drastis, dari kata-kata lirih nyaris tanpa bunyi menjadi teriakan bernada tinggi yang membuat orang-orang kembali memberikan perhatian pada mereka. Adrian tidak mempedulikannya. Dia justru berjongkok di depan Azalea yang telah terduduk di atas aspal. Tangannya meraih jemari gadis itu, melihat goresan luka yang terukir di sana. Merah di atas putih. Begitu kontras. Mengingatkan Adrian pada sesuatu yang menyedihkan.

"She is okay."

"BIG LIAR!!! YOU'RE A LIAR!!!!" Gadis itu menjerit diiringi oleh air matanya yang turun semakin deras. "LEPASIN GUE, BANGSAT!!! LEPASIN GUE!!!!"

Adrian mengabaikan ucapan Azalea. Alih-alih melepaskan tangan Azalea seperti yang dia minta, Adrian justru merengkuhnya, membawa gadis itu ke dalam pelukan. Dia bisa merasakan bagaimana kepalan tinju Azalea mendarat di dadanya, berusaha keras mendorongnya untuk menjauh, namun Adrian tetap bersikap keras kepala. Dia tidak peduli. Dia tidak benar-benar tahu dimana Alamanda sekarang, namun entah kenapa... ada secercah bagian dirinya yang membenarkan ucapan Azalea. Bahwa Alamanda terjebak di dalam gedung toko buku itu. Bahwa kemungkinannya bertahan hidup bahkan kurang dari satu persen.

Pikiran itu mengalirkan pedih ke dalam benak Adrian. Perih yang kian bertambah seiring dengan isak tangis gadis dalam dekapannya yang mulai mengeras. Ada sakit yang menjalar ke sekujur tubuh tanpa Adrian tahu apa sebabnya. Sebagian dirinya ingin menegaskan pada Azalea kalau Alamanda baik-baik saja, namun sebagian lagi khawatir jika dia tidak mampu menjaga ucapannya.

Jadi Adrian hanya diam. Dia membiarkan hiruk-pikuk manusia di sekitarnya dan tangis gadis dalam pelukannya mengisi kesunyian. Detik demi detik berjalan, seolah tidak mau menunggu. Tapi Adrian bersumpah, bahwa selama lebih dari dua puluh tahun masa hidupnya, dia tidak pernah mengira kalau waktu bisa berjalan selambat itu.

***

Gue masih duduk di kursi ruang tunggu rumah sakit ketika Adrian datang dengan sebuah kantung plastik berisi beberapa jenis obat. Cowok itu terlihat lelah. Jelas saja. Jarum pendek jam sekarang sudah menunjuk pada angka sebelas. Sudah hampir tengah malam, dan Alamanda masih tidak ada dimana-mana. Ponselnya tidak aktif. Tidak ada kabar apa-apa. Bunda sudah menelepon teman-teman yang mungkin akan dia datangi, dan hasilnya tetap nihil. Mungkin ada satu titik terang, dimana teman terdekat Alamanda pun turut menghilang.

Dan teman itu adalah teman yang tadi pagi dia bilang mau dia temani pergi ke toko buku.

Gue nggak tahu gue harus gimana. Rasanya ada nyeri yang menyebar hingga seluruh tubuh tanpa pusat yang pasti. Dada gue terlalu sesak, seperti dipenuhi berton-ton batu-bata. Gue terlalu sakit, bahkan hanya untuk menangis. Gue nggak bisa pulang, sebelum gue mendapat kepastian bahwa tidak ada satupun dari empat korban yang tiga jam lalu dievakuasi dari lokasi kebakaran--setelah api berhasil dipadamkan--adalah adik perempuan gue.

Enggak.

Gue harus percaya sama Adrian. Alamanda nggak ada disana. Dia mungkin ada di suatu tempat. Mungkin dia tersasar sama temannya dan ponsel mereka kehabisan daya. Alamanda akan pulang. Besok pagi, dia akan menyapa gue sambil nyengir dan meminta maaf karena sudah membuat semua orang khawatir. Siapapun empat korban itu, mereka semua adalah orang asing buat gue. Bukan seseorang yang gue kenal.

Gue tersadar oleh sensasi perih yang mendadak menusuk telapak tangan gue. Kepala gue tersentak, lantas terkesiap begitu menyadari bagaimana sekarang Adrian tengah berjongkok di depan gue yang masih duduk di kursi ruang tunggu. Dengan telaten, cowok itu menyapukan alkohol menggunakan kapas, membersihkan luka yang dipenuhi oleh bercak darah kering.

"Lo bisa pulang." katanya dengan suara rendah, lantas dia mendongak sedikit. Matanya mengunci mata gue, menenggelamkan gue dalam lautan hangat karamel barang sejenak. "Gue bakal stay disini. Nanti kalau ada kabar, gue bakal langsung kasih tau lo."

Gue membisu. Bukan karena gue marah padanya. Gue justru berterimakasih, sebab kalau bukan karena Adrian, gue mungkin sudah melakukan tindakan yang sangat bodoh tadi sore. Dia benar. Alamanda nggak mungkin berada di dalam toko buku itu. Tapi gue nggak bisa menemukan tenaga lebih, bahkan hanya untuk mengucapkan satu-dua kalimat singkat.

"Gue bisa antar lo pulang dulu. Atau telpon taksi."

Masih senyap. Gue hanya balik memandangnya dengan iris yang kosong.

"Azalea?"

Gue menelan ludah, berusaha mengumpulkan kekuatan untuk bicara.

"Gue nggak bisa pulang sebelum gue memastikan kalau nggak ada satupun dari empat korban itu adik gue."

"I'll do it for you."

Gue menggelengkan kepala dengan gerakan lemah. "Enggak. Gue sudah banyak merepotkan lo. Lo pulang aja. Keluarga lo pasti udah nyariin lo."

"I told my mom and she is understand."

"Adrian,"

"Oke, kalau lo nggak mau pulang." Adrian menarik napas, di bibirnya tertarik sebuah senyum tipis nan muram yang terkesan dipaksakan. "Stay here. Lo belum makan malam. Lo harus makan. Gue nggak akan lama. Jadi jangan kemana-mana, oke?"

Gue terlalu capek untuk berargumen, jadi gue mengangguk sekenanya. Melihat respon gue, Adrian langsung beranjak. Cowok itu berjalan menjauh menyusuri koridor rumah sakit yang sepi, terkesan horror karena pilar dan dinding yang dicat dengan warna serupa. Putih yang pucat. Seperti sakit. Ditingkahi bau antiseptik yang membuat kepala berdenyut. Gue benci tempat ini.

Tapi gue harus tetap menunggu sampai semuanya clear. Sampai gue mendapat kepastian bahwa empat korban itu tidak punya hubungan apapun dengan gue sama sekali. Sebetulnya selain gue dan Adrian, sudah ada beberapa keluarga lain yang datang setelah merasa kehilangan anggota keluarga mereka. Hampir semuanya panik. Tetapi ada juga yang hanya menunjukkan wajah dingin. Kemudian pihak rumah sakit mengambil sampel tubuh kami untuk kepentingan identifikasi jasad-jasad yang ditemukan. Namun entah dimana mereka berada sekarang. Mungkin ada yang sudah pulang. Atau memutuskan menunggu di kantin rumah sakit yang lebih nyaman.

Gue menghela napas panjang, membiarkan oksigen yang masuk terasa seperti menggores dinding paru-paru gue. Tungkai gue terasa pegal, dan ada denyut samar di lutut yang gue tebak mungkin memar yang timbul karena benturan dengan aspal. Gue sudah pasti terlihat sangat kucel sekarang, namun pada keadaan kayak gini, siapa yang masih peduli pada penampilan? Waktu berjalan lambat, seperti merangkak di atas lintas refleksi. Gue mencoba membuang masa dengan memperhatikan telapak tangan gue yang penuh dengan tempelan band aid beraneka warna. Salah satu yang merah muda tanpa sadar membuat gue nyaris tersenyum.

Pada keadaan biasa, mungkin gue akan langsung menolak apa yang Adrian lakukan. Apalagi dengan warna band aid yang benar-benar girly seperti ini. Tapi, gue justru menerima semua tindakannya dengan senang hati. Bahkan ketika gue menyuruhnya pergi, ada bagian dari diri gue yang menginginkan dia tetap tinggal. Dia adalah satu-satunya orang lain yang peduli dengan gue, terlihat dari bagaimana dia tetap rela menunggu di rumah sakit meskipun matanya jelas telah digelayuti oleh kantuk.

"Jangan melamun." sebelum gue bisa tenggelam lebih jauh dalam pikiran gue, suara Adrian telah kembali terdengar. Dia meletakkan sebuah kantung plastik di atas pangkuan gue. Isinya kotak sterofoam dengan aroma harum yang tidak kentara. Ada hangat yang merambat dari sana. Tidak hanya sampai disitu, tangannya ikut terulur. Secara refleks, gue mendongak, hanya untuk mendapati secangkir teh hangat berada disana.

"Makasih." Gue menjawab, dengan ragu menerimanya. Satu teguk mengalir. Hangat. Dalam sekejap, gue bersyukur karena Adrian ada disana, karena kalau enggak, gue mungkin sudah hampir kehilangan kewarasan.

"You love her so much, don't you?" Adrian tiba-tiba bertanya saat gue sedang makan.

Gue membiarkan nasi di mulut turun ke perut terlebih dahulu sebelum menjawab, "She is my only sibling, Adrian. Gue yakin, lo pun akan bersikap begini pada kakak-kakak perempuan lo."

Diam sebentar. Adrian seperti tengah memikirkan sesuatu.

"Kenapa?" Gue menangkap kegelisahannya. "Kalau mau ngomong, ngomong aja."

"Enggak apa-apa. Lo makan dulu aja."

Gue sempat mengernyit heran padanya, tapi tidak berasumsi lebih jauh dan kembali memusatkan perhatian pada sisa makanan yang tinggal setengah. Menit-menit selanjutnya berlalu dalam keheningan. Gue sibuk menyuapkan makanan ke mulut dan sesekali menyeruput teh, sementara Adrian menatap pada lantai seakan sedang mencoba menghitung berapa banyak partikel debu yang tercecer disana.

"Lo sebenarnya kenapa?"

Adrian terkesiap. Dia seperti bingung. Ada keraguan membayang selintas di kedua matanya, tapi lantas napasnya terhela. Panjang. Dengan suara rendah yang mirip bisikan, dia mulai berucap sementara tangannya bergerak merogoh saku pakaian yang dia kenakan. Mengeluarkan ponselnya.

"Dua dari korban sudah diidentifikasi. Satu berdasarkan rekam gigi. Satu lagi berdasarkan cincin yang dia pakai. Tinggal dua lagi. Kita tau kalau Manda dan temannya belum ngasih kabar apapun sampai sekarang," Adrian mengawali dengan terbata. "Salah satu dari dua korban yang belum diidentifikasi memakai aksesoris. Kalung. Dengan liontin yang menurut gue nggak bisa dikatakan pasaran."

"Adrian..." Ketakutan lagi-lagi kembali menelusup memasuki batin gue. "Gue nggak ngerti lo ngomong apa."

"Is this thing familiar to you?" Adrian berkata sambil menunjukkan layar ponselnya, dimana sebuah gambar tampak terpampang. Menilik dari pencahayaan, sudah jelas gambar itu diambil tidak sampai satu jam yang lalu. Benda itu adalah seuntai kalung yang telah menghitam, dengan liontin yang juga sudah terbakar. Tapi bentuknya masih bisa terlihat jelas karena materialnya yang terbuat dari logam. Perpaduan dari dedaunan dan lima kelopak bunga, juga sebuah inisial huruf. Huruf A.

Gue tercekat, seolah selama sepersekian detik, gue lupa bagaimana caranya untuk bernapas. Gue menolak untuk percaya. Tapi mengingat bagaimana bentuk itu terasa begitu familiar buat gue, terlalu menyedihkan rasanya untuk menyangkal. Secara refleks, gue bangkit dari kursi. Adrian mengikuti.

"Azalea."

"Itu bohong." Gue melangkah mundur, menjauhinya. Air mata kembali menetes, lagi-lagi tanpa bisa gue sadari. "Itu semua bohong."

"Azalea."

Matanya terarah pada gue dengan jenis sorot yang amat gue benci. Sorot mengasihani. Perih itu terasa menyengat, seperti derajat sakitnya telah naik tingkat. Gue mengepalkan tangan gue yang gemetar dengan kuat hingga buku jari gue memutih.

"ITS A LIE!!!!!"

"Azalea,"

Gue tidak menjawabnya. Sebagai gantinya, gue justru berbalik, berlari menyusuri koridor menuju ruangan kemana mereka membawa jasad-jasad dari lokasi kejadian. Adrian bohong. Itu semua nggak mungkin. Gue harus memastikannya dengan mata kepala gue sendiri.

Derap langkah kaki gue terasa berisik diantara keheningan tengah malam rumah sakit. Beberapa suster yang sempat berpapasan dengan gue menatap terkejut, mengira kalau gue adalah orang sinting yang baru saja melarikan diri dari rumah sakit jiwa. Hanya beberapa meter di belakang gue, Adrian menyusul. Langkah kakinya yang lebar dan cepat adalah sebentuk ketidakadilan, karena sebelum gue bisa melangkah melewati ambang pintu ruangan, dia telah tiba lebih dulu disana. Hanya butuh sedetik buatnya mengulurkan lengannya, memblokir jalan gue untuk melintasi ambang pintu.

"Minggir, Adrian."

"No, you shall not see her."

"Dia hanya orang asing. Dan gue hanya perlu memastikan."

"Nggak."

"Adrian!"

"Gue bilang nggak!" Adrian berseru keras, matanya menatap gue tegas.

Gue meninju lengannya, mencoba sebisa gue untuk menyingkirkan penghalang itu dari sana. Namun Adrian terlalu kuat. Dia seteguh arca candi, sama sekali tidak bergeser dari tempatnya berdiri.

"Adrian!"

"Apa?!"

Ada sebagian kecil dari diri gue yang terkejut karena sejujurnya, selama ini gue nggak pernah mendengar Adrian bicara dengan suara yang begitu tegas, apalagi dengan nada yang tinggi.

"Biarin gue lewat."

"Gue bilang nggak."

Gue nggak menjawab. Tetapi tangan gue yang bergerak. Sebuah tamparan mendarat di pipinya. Keras, karena rona merah langsung menjalari kulitnya yang putih dalam waktu singkat. Matanya terarah pada gue.

"Biarin gue lewat." Gue mengulangi kata-kata gue dengan gigil yang nyata. Perpaduan dari rasa takut, khawatir dan tangis yang tertahan. Namun Adrian tetap bergeming.

"Nggak." masih saja menjadi jawabannya.

Gue nggak punya pilihan lain. Tangan gue kembali terangkat, tapi kali ini dia tidak membiarkannya mendarat di tempat yang gue sasar. Jemari tangannya yang lain menangkap pergelangan tangan gue, mencengkeramnya dengan kuat tanpa bisa gue lepaskan. Gue hampir tidak bisa bergerak, dan baru berpikiran untuk menendang tulang keringnya tatkala secara mendadak, dia menarik gue ke dalam pelukan. Tangannya mendekap gue, melingkar di sekeliling tubuh gue dengan erat.

"Remember her as your sister, not as a corpse." bisiknya, seiring dengan rengkuhan lengannya yang mengetat. Gue mencoba berontak. Tapi gue sudah tidak punya lagi sisa kekuatan. Akhirnya gue menarik napas di dadanya, membiarkan irama detak jantungnya memenuhi telinga.

Pelukannya terasa hangat. Seperti menjanjikan rasa aman. Seolah bermaksud menyembuhkan.

Tapi itu semua sia-sia. Malam ini adalah sebuah kesalahan. Awal dari mimpi buruk pada hari-hari yang akan datang.

Dan untuk yang kesekian kalinya, air mata gue kembali jatuh. 







Bersambung. 

[][][] 

a/n : Sebenernya gue udah posting ini tadi, tapi karena error, yaudah deh gue posting ulang. Maafkan atas semua kekurangan dan typo yang ada. sadly, its time for us to say goodbye to Alamanda. Ah ya, nanti akan ada saatnya juga kok Azalea ketemu atau ngumpul sama Para Ajudan. Dan Aries, dia masih punya peran di cerita ini. Wkwkwk. Intinya, tunggu aja. 

Dan Jogja juga beberapa kota di jalur pantura bakal muncul sih di cerita ini. Jogja is my first love. Jogja itu romantis. Sebenernya dulu sempet niat ambil TPWK UGM tapi dilarang sama bokap karena udah milih ITB dan Undip ((padahal nilai sbmptn  aq cukup, babeh)) ((yaudalaya)) ((intinya aku kangen jogja))

Oke deh. 

Anyway di content multimedia ada Aileen. 

eh ya gue nonton K2 episode 4. 

Sebel. 

Kenapa bagian berantem para pria telanjang, bagian pentingnya harus disensor. 

kenapa. 

Ciao. 

Continue Reading

You'll Also Like

1.6M 168K 31
[Sudah terbit, untuk pemesanan novel bisa WA ke nomor : 0857 9702 3488 dan e-book sudah tersedia di Google Play] SEQUEL SATU ATAP DAN GARIS TANGAN ...
328K 47.5K 34
R: 16+ (Terdapat beberapa umpatan kasar dan adegan ciuman) PART LENGKAP ✓ #1 BADASS LOVE SERIES *** Memiliki paras menawan, tubuh indah, serta daya...
190K 2K 53
Cuma berisikan rekomendasi novel, cerita wattpad yang seru menurut sudut pandang yang bikin lapak ini. Mohon maaf kalo ada penulis yang merasa berisi...
1.6K 121 14
pernahkah kalian mendengar plastic Surgery atau dikenal dengan istilah operasi plastik? ya, operasi plastik untuk mempercantik diri. Dan ini dialami...