Saat gue sampai di rumah, Manda lagi sibuk di teras bertemankan lembaran kertas gambar tebal dan satu set watercolor dalam sebuah kotak cantik. Mata gue menyipit, sudah bisa menebak sudah barang tentu benda itu bukan berasal dari nyokap, atau tabungan Manda sendiri. Dia adalah tipe anak manis yang bakal jauh lebih memilih membelikan gue minuman isotonik daripada menyimpan sisa uang sakunya untuk membeli peralatan gambar baru. Jika dipikir-pikir, satu-satunya peralatan gambar yang Manda punya sebelum cewek itu berstatus sebagai mahasiswi hanya beberapa batang pensil dan selusin krayon tua yang dibeli kala dia masih duduk di sekolah dasar.
"Tadi kamu ketemu Adrian?" Gue langsung bertanya ketika perhatian Manda terpecah sejenak setelah dia mendengar suara langkah kaki gue di atas guguran daun-daun kering pohon jambu yang tumbuh di depan rumah.
"Kok kakak bisa tau?"
"Cat air bukan sesuatu yang akan Bunda hadiahkan untuk kamu." Gue tersenyum, lalu mata gue berpindah pada sebuah kartu berlukiskan siluet seorang gadis dalam gaun bernuansa violet yang terselip diantara lembaran kertas putih. Siluet itu indah, terkesan estetik karena guratan puisi pendek bermakna dalam disertai tulisan selamat ulang tahun di bawahnya. Sudah jelas, itu pasti dari Adrian.
"Iya."
"Dia bilang apa?"
Gue nggak langsung masuk, melainkan melepaskan ransel dari bahu dan meletakkannya begitu saja di atas bangku. Sekujur badan gue terasa lelah, persendiannya menjerit-jerit minta diistirahatkan sementara sisa debu dan keringat yang menempel dari aktivitas sepanjang hari membuat gue ingin buru-buru membasuh diri di kamar mandi. Namun entah kenapa, rasanya nggak apa-apa menunda segala kegiatan itu barang semenit hanya untuk melihat binar senang di mata Alamanda.
"Dia bilang selamat ulang tahun."
"He is really kind."
"Aku udah bilang ke kakak," Alamanda menghentikan gerakan tangannya yang semula sibuk menggoreskan kelabu granit pada kertas tebal di hadapannya. "Kak Adrian tuh emang baik. Kakak aja yang nggak mau percaya sama aku."
"Kamu bisa bilang begitu karena dia ganteng." Gue tertawa kecil seraya menyentuh ujung hidung Alamanda dengan jari telunjuknya, membuat senyum lebarnya langsung merekah. Mungkin konyol, tapi percayalah bahwa melihat senyum dari orang yang lo sayang bisa membuat rasa lelah lo seperti lenyap tanpa bekas.
"Cuma orang buta yang nggak bilang Kak Adrian ganteng."
"Tapi tetap saja, dia nggak seganteng itu."
"Meski begitu, Kak Adrian adalah laki-laki pertama selain Ayah yang bisa bikin Kak Lea senyum seperti kemarin malam. Iya kan?"
Ucapan Alamanda sempat membuat gue nyaris tercekat selama sepersekian detik, sebelum akhirnya gue menarik napas dengan gestur tak kentara diiringi senyum terpaksa. Satu hal yang nggak akan pernah gue mengerti dari adik gue sendiri adalah bagaimana dia punya hati yang begitu besar. Dia selalu punya ruang untuk memaafkan orang lain, nggak peduli seberapa besar kesalahan orang itu. Sejujurnya, gue adalah oposit dari karakternya. Gue bukan orang yang pemaaf. Ayah sudah membuat kesalahan yang meninggalkan lubang bukan hanya dalam hidup gue, tapi juga untuk Bunda dan Manda. Jenis kesalahan itu adalah sesuatu yang nggak akan pernah bisa gue maafkan sepanjang hidup.
Namun, merusak senyum yang ada di wajah Alamanda adalah hal terakhir yang ingin gue lakukan.
"Kak Lea?"
Gue menyahut dengan cepat. Agak sedikit kelewat cepat. "Iya?"
Senyap sebentar sebelum Alamanda menjawab. "Maaf."
"Kenapa kamu minta maaf?"
"Karena lagi-lagi aku ngebawa-bawa Ayah."
Gue menatapnya, lalu mengulurkan tangan untuk menyentuh pipinya. Halus. Masih sama tembemnya seperti yang terakhir kali gue ingat. Dia nggak pernah berubah sedikitpun. Waktu seperti tidak berlaku untuknya. Alamanda selalu seindah dan selembut arti dari namanya.
And I know too well that you need to have courage to stay delicate in this rough world.
"Kenangan itu semu. Dia nggak punya wujud. Tapi dia selalu punya cara untuk mempengaruhi hidup kita, karena meski keadaan berubah, kenangan itu akan selalu tetap sama. Karena walau orangnya sudah nggak ada, kenangan itu nggak akan mudah terlupa."
Mata Alamanda yang bening terarah pada gue. Murni. Tanpa satupun gejolak emosi.
"Itu hak kamu untuk tetap ingat sama Ayah. Tapi kamu harus tau, sampai kapanpun dia nggak akan pernah kembali."
Alamanda terdiam. Gue mencoba menyunggingkan seulas senyum tipis dengan susah payah sebelum meraih tas punggung gue yang tergeletak di atas bangku. Kesenyapan melingkupi, namun sebelum gue melangkah sepenuhnya ke dalam rumah, suara Alamanda yang memanggil nama gue otomatis langsung membuat langkah kaki gue terinterupsi.
"Kak,"
"Hm?"
"Tadi Kak Adrian bilang, lusa kakak harus pergi ke dokter sama dia."
Oh. Pasti soal jahitan luka di depan telinga gue. Gue bahkan hampir lupa soal itu, meskipun setiap kali membasuh wajah, jari gue nggak berhenti menyentuh benang yang mencuat. Gue bersyukur lukanya bisa ditutupi rambut, karena kalau nggak, mungkin satu kampus sudah akan mencerca gue dengan ledekan yang bikin panas telinga.
"Oke."
Alamanda menanggapi ucapan gue dengan secuil gelak kecil yang terlompat dari mulutnya. Gue membisu sebentar di ambang pintu. Kadang, rasa lelah nggak hanya bisa dihilangkan dengan tidur atau istirahat. Gue balik memandangnya, lantas tersenyum sekali lagi sebelum benar-benar melangkah masuk ke dalam rumah.
***
Sebetulnya, Adrian tidak pernah suka berlama-lama berada di tempat sejenis rumah sakit atau ruang tunggu praktek dokter. Bau kloroform dan antiseptik yang menguar dari setiap jengkal ubin selalu membangkitkan memori buruk dalam sudut ingatannya yang tidak pernah ingin dia kenang. Samar, ada bayangan pada suatu malam dimana dia duduk menunggu diantara sekat tembok putih bersama kedua kakaknya. Wajah mereka diliputi bukan hanya ketegangan, namun juga kekhawatiran. Adrian merasa resah, berharap penantian itu segera berakhir dan dia bisa pulang ke rumah untuk bertemu kasurnya. Pada akhirnya, penantian itu selesai, tetapi dengan hasil yang tidak pernah Adrian inginkan.
Sejak hari itu, Adrian tidak pernah lagi melihat Papa. Beliau menjelma ke dalam sosok tubuh kaku berhiaskan sejumlah luka juga memar besar berwarna ungu gelap di sejumlah bagian tubuhnya. Mama menangis keras ketika Papa diturunkan ke liang lahat, sementara Adrian terdiam di sisi lubang, menatap nanar tanpa mengerti apa yang harus dia lakukan.
Adrian belum cukup dewasa untuk mengerti, tapi memori akan ruang tunggu dan bau antiseptik yang menggelitik indra penciuman tidak pernah gagal membuatnya merasa ngeri. Namun begitu, Adrian tidak bisa membiarkan Azalea pergi ke dokter sendirian. Adrian tahu bagaimana tidak enaknya berada di ruang tunggu hanya bertemankan kesunyian, jadi cowok itu tidak akan membiarkan Azalea mengalami situasi yang sama.
Mereka langsung bertolak ke tempat praktek dokter keluarga Adrian sesaat setelah shift Lea di kafe tempatnya bekerja part-time selesai. Kalau boleh jujur, Adrian bukan orang yang suka menunggu. Namun entah mengapa, duduk berjam-jam di sudut kafe sambil menyedot iced americano terasa menyenangkan. Adrian bisa melihat bagaimana Azalea merengut sedikit ketika ada pelanggan yang begitu menyebalkan nan cerewet, atau bagaimana helai anak rambut Azalea jatuh membingkai sisi-sisi wajahnya tatkala dia berkonsentrasi menuliskan nama customer pada cup kopi yang akan disuguhkan.
Gadis itu seperti spektrum dalam cakram warna pelangi. Penuh dengan gejolak emosi. Juga aliran inspirasi yang seolah tidak pernah berhenti. Empat jam memperhatikan Azalea bekerja menciptakan banyak gambaran karya dalam benak Adrian.
Meski begitu, lima belas menit pertama duduk di ruang tunggu diwarnai oleh kesunyian. Azalea terlihat lelah, jadi Adrian membiarkan gadis itu menyandarkan kepalanya ke dinding sambil menatap pada langit-langit. Napas terhembus pelan dari mulutnya, sementara titik-titik keringat muncul diantara pori-pori kulit di pelipisnya. Adrian terdiam sejenak sebelum lantas memutuskan mengeluarkan ponsel. Dia bisa saja mengeluarkan sapu tangan dari saku jaketnya, tapi Azalea seperti sedang tenggelam dalam lamunannya sendiri. Mungkin gadis itu perlu waktu untuk berpikir, jadi Adrian tidak ingin mengganggu.
Cowok Idola Idaman Wanita (6)
Parama SW sent a photo
Parama SW : Cakep nggak bos
Edgar D. S : Kayak kenal mukanya
Edgar D. S : Anak UPH bukan sih?
Faris Rafandra : Ini mah pacarnya Axel
Edgar D. S : Iya anak UPH kan
J. Mahardika : Oh ini
Parama SW : Emang lo kenal?
J. Mahardika : Dulu pernah nyoba ngegebet
J. Mahardika : Pas itu kan dia sempet masuk kampuscantik di ig
Faris Rafandra : Ngegebet sih ngegebet tapi sadar kasta juga kali bos
Faris Rafandra : Mana mau cewek macem Kalina sama cowok kaya lu
J. Mahardika : Eh sori-sori ya
Edgar D. S : Pacarnya cakep kali, Jev
Edgar D. S : Bokapnya si Axel kan tajir banget gila mainnya aja udah sampei Dubai
J. Mahardika : Kalina nggak mau sama gue sih dia yang rugi
Parama SW : Alah kentut sapi, sama Axel dia udah diajak liburan sampe Santorini
Parama SW : Lah sama lo? Mentok-mentok juga nasgor kambing depan kampus
J. Mahardika : Aku emang nggak bisa ngasih materi tapi aku bisa ngasih kebahagiaan
Faris Rafandra : Najis banget sih
J. Mahardika : Karena memang begitulah cinta, bosque
J. Mahardika : Cinta itu buta
Edgar D. S : Cinta tuh nggak buta kali
Edgar D. S : Bisa bedain mana bemper Honda Beat sama bemper Honda Jazz
J. Mahardika : Biarin
J. Mahardika : Yang penting ada Raya yang menerima aku apa adanya
Edgar D. S invited Hana to the chat.
Hana joined the chat.
Parama SW : Demi jenggot Aphrodite.
J. Mahardika : Aphrodite cewek nyet. Dia nggak punya jenggot.
Parama SW : Suka-suka gue lah, sampah.
J. Mahardika : Tompel kucing
Hana : Haloh
Faris Rafandra : Edgar sejak kapan lo jadi pengkhianat
Dio Alvaro : Hm
Parama SW : Eits
J. Mahardika : Eits (2)
Adrian : Eits (3)
Dio Alvaro : Ngga usah bct
J. Mahardika : Ampun pak dokter
Parama SW : Jangan suntik aku
Edgar D. S : Bukan gue sumpah
Edgar D. S : Hana!! Lo pasti belum nge log-out Line gue dari laptop lo kan?!!!!!
Edgar D. S : Log out sekarang juga!!!!!!!
Hana : Rempong amat sih kayak nenek-nenek lagi belanja kolor
Edgar D. S : Gue kick ya
Hana : Gaes
Hana : Mau liat foto masa kelamnya si Batak nggak?
Faris Rafandra : Bole-bole
Parama SW : Mana coba, seksi nggak
Edgar D. S : EH NYET
Hana : Apa setan
Hana changed the group name to Perkumpulan Para Ajudan.
Hana changed the group picture.
Parama SW : Anjrit itu foto jaman kapan
Hana : Para ajudanku
Faris Rafandra : Ada dua orang tak diundang disana
J. Mahardika : Ada dua orang tak diundang disana (2)
Hana : Dua orang itu pernah jadi crush aku
Hana : Mas Sapta Buldog dan mas Rey.
Hana : Mas Rey dimana ya sekarang
Dio Alvaro : Kok nggak ada guenya
Hana : ...
Hana : Kamu jarang foto soalnya
Edgar D. S : KAMU
Edgar D. S : Muntah boleh nggak
Hana : Rama, mangap. Katanya Batak mo muntah
Edgar D. S : Btw kok nggak ada guenya
Hana : Lo mah bukan ajudan gue
Edgar D. S : Apa?
Hana : Peliharaan
Edgar D. S : Kalau gitu Dio juga dong
Hana : Dio mah
Hana sent a photo
Dio Alvaro sent a photo
Hana : Maap salah kirim sticker
Parama SW : WAGWAWWWWWWW
Faris Rafandra : Yo, salah kirim juga nggak yo
J. Mahardika : WKWKWKWK MUNTAH DARAH
Dio Alvaro : Enggak ;)
Adrian : Gas teros
Parama SW : Mana foto Edgar
Edgar D. S : Hana, kalau lo share fix sih lo gue santet
Hana : Astagfirullah, musyrik kamu
Hana sent a photo
Edgar D. S : Anjing
Hana : Ampun bosque
Parama SW : Uwaw
Faris Rafandra : Kacamatanya legendaris amat nyet
Edgar D. S sent a photo
Edgar D. S : Makan tuh calon imam lo
Hana : ...
Dio Alvaro : KENAPA GUE JADI KORBAN
Parama SW : Pose legendaris ketua BEM FK
J. Mahardika : Lagi main engklek ya
Hana : Gemes kok
Hana : Lucu
J. Mahardika sent a photo
J. Mahardika : Faris sang pengendali musang
Faris Rafandra : EH KERAK ETALASE GLODOK, KOK GUE KENA SIH
J. Mahardika : Lucu
J. Mahardika sent a photo
J. Mahardika : Biar adil
Parama SW : Adil palelu
Parama SW : Adrian sih, mau foto aib kayak apa juga masih aja ganteng
Adrian : Ya ampun itu foto lama banget.
"Azalea Pramudita."
Suara suster yang memanggil nama Azalea membuat perhatian Adrian sepenuhnya teralih dari layar ponsel. Cowok itu menoleh secara refleks pada gadis di sebelahnya, sementara Azalea beranjak berdiri. Wajah gadis itu terlihat memucat, dan Adrian bisa membaca sorot enggan yang tersirat di wajahnya kala mereka berjalan melewati ambang pintu masuk ruang praktek dokter. Dokter menyapa keduanya, kemudian berbasa-basi sebentar sebelum menyuruh Azalea berbaring di atas ranjang. Tanpa disuruh, Adrian menyertai dan berdiri di sisi ranjang sementara dokter terlihat mempersiapkan alat-alat yang dibutuhkan dibantu oleh seorang asistennya.
Senyap sejenak, hingga gelak samar Adrian membuat keheningan itu retak.
Kening Azalea langsung berkerut. "Apanya yang lucu?"
"Muka lo."
"Muka gue kenapa?"
"Gue nggak nyangka kalau seorang Azalea Pramudita bisa setakut ini ketika dibawa ke dokter."
"Gue bukan takut."
"Terus apa?"
"Pokoknya gue nggak takut!" Azalea membantah dengan nada jengkel, namun gurat-gurat kedongkolan di wajahnya langsung lenyap tak berbekas kala Adrian merengkuh pergelangan tangannya tiba-tiba, mengangkat jari-jarinya ke udara.
"Kalau lo nggak takut, kenapa lo harus gemetar kayak gini?"
Azalea menggigit pelan bibir bawahnya. "Dingin."
"Mana ada orang kedinginan yang keringetan?"
"Terserah lo." dengusnya pelan.
"Nggak apa-apa kalau lo ngerasa takut. Wajar. Karena itu juga kebanyakan orang nggak suka disuruh pergi ke dokter kan?" Adrian menatap Azalea sebentar, lalu senyumnya tertarik. "Tapi seharusnya lo nggak perlu takut."
"Gimana gue nggak ngerasa takut? Lo nggak liat sih jarum-jarum gede yang tadi terpajang di atas nakas."
"Karena gue ada disini."
Azalea hampir tersedak, tapi dia tidak punya kesempatan mengucapkan apa-apa karena dokter sudah kembali masuk didampingi oleh aistsennya yang membawa baki. Dokter itu bicara sejenak, sebelum dia berpindah ke sisi ranjang yang berseberangan dengan Adrian. Hidung Azalea membaui aroma alkohol yang kuat, lalu ada tarikan pada benang jahit di sisi kepalanya. Nyeri menyebar, membuat Azalea secara refleks menggenggam balik tangan Adrian dengan erat.
Genggaman itu sempat terasa menyakitkan, tapi Adrian tidak melepaskan. Cowok itu justru balik merengkuh jari-jari tangan Azalea dengan jarinya, matanya menatap pada gadis itu seperti meyakinkan bahwa nyeri itu akan segera berlalu. Dan memang benar. Tidak butuh waktu lebih dari sepuluh menit hingga dokter berhasil menarik lepas benang sintetis tersebut sepenuhnya. Setelah mengoleskan antiseptik pada luka jahit di sisi wajah Azalea dan menutupnya dengan kasa streril, dokter berujar kalau prosedurnya sudah selesai. Azalea hanya perlu menebus painkiller yang mungkin akan dia butuhkan sementara lukanya mengalami penyembuhan sepenuhnya.
Perjalanan pulang dipenuhi oleh keheningan, namun bukan jenis keheningan canggung yang tidak nyaman. Mereka saling diam tidak karena malas berbicara satu sama lain. Adrian fokus menyetir, sementara Azalea tampaknya terlihat terlalu lelah dan terlalu dalam tenggelam dalam lamunan. Sejujurnya, Adrian menghargai momen-momen itu. Saat-saat dimana mereka diam namun tetap merasa nyaman satu sama lain. Masa dimana Adrian menyadari bahwa dalam kesunyian justru ada lebih banyak makna yang terdengar.
"Gue bisa jalan sendiri ke rumah. Lo pasti capek. Mending lo pulang sekarang." ujar Azalea begitu mobil berhenti di mulut gang menuju rumahnya.
"Come on," Adrian terkekeh jenaka sembari tetap melepas seatbelt sebelum mendorong pintu mobilnya sampai terbuka. Tindakan cowok itu kontan membuat Azalea membuang napas pendek, lantas mengikuti apa yang Adrian lakukan. Jarak dari mulut gang ke rumahnya tidak jauh sebenarnya. Hanya beberapa ratus meter. Tetapi penerangan yang minim membuat gang tersebut jadi terkesan menyeramkan.
"Sebenernya lo nyadar nggak sih kalau lo terlalu baik?" Azalea bertanya begitu sementara mereka berjalan beriringan dalam gelap.
"Maksudnya?"
"Lo bersikap terlalu manis pada semua orang. Terutama cewek. Gue tau lo nggak berniat memberikan harapan atau apa, tapi setiap cewek pasti ngerasa baper dengan apa yang lo lakuin ke mereka."
"Termasuk lo?"
Azalea bersyukur karena cahaya yang hampir tidak ada membuat Adrian tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Jika iya, cowok itu pasti sudah akan mencecarnya karena wajahnya yang kini semerah tomat.
"Jangan terlalu PD."
"Gue nggak kepedean. Gue cuma nanya."
"Gue nggak baper."
"Kalau gitu, lo seharusnya nggak perlu salting."
"Gue nggak salting."
Salah satu sudut bibir Adrian terangkat, membentuk senyum geli yang tak tampak. "Oke deh. Lo nggak baper. Lo nggak salting."
"Tapi gue serius." Azalea berujar lagi. "Lo harus berhenti bersikap terlalu baik kayak gitu. Nanti lo malah dijudge yang enggak-enggak. Lo bisa aja dibilang cowok PHP. Atau cowok genit yang sok baik."
"Gue nggak peduli."
"Apa?"
"Selama gue tau gue bukan cowok PHP atau gue bukan cowok yang bersikap baik sama orang karena ada udang di balik batu, gue nggak peduli." Adrian menyahut. "Kind words cost nothing, Lea. Enggak ada perbuatan baik yang sia-sia."
"Tapi sikap lo kelewat manis."
"Karena emang seperti itulah seharusnya laki-laki memperlakukan perempuan. Gue udah pernah bilang, perempuan itu berharga. Mereka tercipta untuk dijaga. Makanya ada pepatah yang bilang kalau perempuan itu tiang negara. Juga ada ungkapan tentang surga berada di bawah telapak kaki ibu." cowok itu menerangkan. "Karena perempuan itu emang istimewa. Dan pantas diperlakukan dengan istimewa juga."
"Apa lo nggak takut bakal ada banyak cewek yang baper sama lo?"
"Itulah kenapa makanya gue nggak punya banyak teman cewek." Dalam gelap, Azalea bisa menebak bahwa Adrian sedang tersenyum sekarang. "Gue hanya benar-benar dekat dengan mereka yang gue yakin nggak akan mengartikan sikap baik gue sebagai sesuatu yang lebih."
Azalea tidak menjawab. Bukan hanya karena cahaya dari teras rumahnya sudah tampak, tapi juga karena dia tidak tahu harus berkata apa. Seperti malam kemarin lusa, Adrian mengantarnya sampai ambang pintu. Bunda sepertinya sudah tidur karena hanya Alamanda yang keluar. Mereka sempat saling mengobrol meski tidak lebih dari dua menit, kemudian Adrian pamit pulang karena dia khawatir ibu dan kedua kakaknya sudah menunggu.
"Adrian," Azalea memanggil sebelum Adrian benar-benar berbalik pergi. "Makasih ya."
Dalam keremangan, tarikan bibir Adrian dalam bentuk sebuah senyum terlihat begitu menawan. "Anytime, Lea." katanya, sebelum dia berbalik dan berjalan masuk kembali ke kegelapan gang.
Azalea tetap terdiam disana, memandang punggung Adrian yang membentuk siluet indah pada ketiadaan cahaya sementara cowok itu beranjak makin jauh ke dalam gang yang kelam. Gadis itu menunduk sebentar, menarik napas seolah itu bisa membantu meredakan jantungnya yang berdegup kencang seperti genderang yang ditabuh. Oh, dear. Azalea membawa tangannya ke dada, menempatkan jarinya di atas bagian dimana detak jantungnya berada.
Salahkah dia jika ada yang tidak baik-baik saja dengan hatinya?
Bersambung.
[][][]
a/n : Wkwkw anjir kutidak menyangka hari ini akan berhasil ngepost satu chapter lagi.
Oke deh, maaciw buat yang udah komen sebelumnya okok buat yang nanya gue dapet artwork nya darimana, gue dapetnya dari Deviantart. Manipulasi yang bisa Renita lakukan hanya sebatas photoshop ok, mungkin someday gue bakal ambil course bikin artwork digital because I love aesthetic work that much butttt untuk yang sekarang itu bukan bikinan gue. okeoke.
Makasih sudah baca, vote dan komen.
Yang ada di konten mulmed adalah Batak aka Edgar
See you in the next chap
Luv
Ciao.