ROSE QUARTZ

By renitanozaria

2.8M 302K 43K

[Completed] (sebagian chapters diprivat untuk followers, follow untuk membaca) Cerita ini bukan apa-apa. H... More

#00
#01
#02
#03
#04
#05
#06
#08
#09
ear:gas:m
#10
#11
#12
#13
#14
#15
#16
#17
#18
#19
#20
#21
#22
#23
#24
#25
#26
#27
#28
#29
#30
#31
#32
#33
epilog
Extra - Happy Now?
Extra - Crybaby
Extra - From Daddy With Love

#07

79.2K 8.6K 1.3K
By renitanozaria

"Lo nggak makan?" Adrian bertanya sesaat setelah dia selesai menyebutkan makanan yang akan dia pesan pada pramusaji yang berdiri di sisi meja mereka. Lea mengedikkan bahu, berusaha memasang wajah datar walau perutnya sudah keroncongan. Kepalanya bergerak dalam sebuah gelengan, membuat mata Adrian justru makin menyipit.

"Kenapa?" cowok itu bertanya lagi.

"You paid for the juice earlier. I have no money to pay for any dish, not in this kind of mall. Dan gue bukan cewek yang hobi ditraktir, jadi--"

"Your pride is sometimes kinda annoying."

Jika Adrian berkata seperti itu dua minggu yang lalu, mungkin Lea sudah sibuk mencak-mencak menyemburkan segala macam makian padanya. Tapi tidak. Cara Adrian bicara terkesan seperti seorang teman yang mengejek kebiasaan temannya, sesuatu yang mau tidak mau membuat Lea ikut menarik sebuah senyum tipis.

"Just finish it... quickly."

"Gue bisa keselek."

"Berarti lo lebih memilih liat gue kelaparan daripada keselek?"

"Just order anything, Lea."

Mata Azalea menyipit. "Lo jadi kedengeran kayak om-om yang lagi ngajakin cewek peliharaannya makan."

"Am I?" Salah satu alis Adrian terangkat. "Emang gue mirip om-om darimananya?"

"Nevermind."

"Pesan apa aja. Terserah lo. Kasian nih Mbak-nya nungguin disini." Adrian melirik pada pramusaji yang masih dengan setia berdiri bertemankan buku catatan. Pramusaji itu langsung menarik sebuah senyum tipis yang tidak kentara--meskipun sulit mengatakan kalau pramusaji tersebut merasa kesal. Azalea pikir justru sebaliknya. Pramusaji itu tidak bisa berhenti menatap pada Adrian. Bahkan dari jarak yang tidak lebih dekat ketimbang jarak antara sang pramusaji dengan Adrian, Azalea masih bisa mencium aroma parfum yang menguar dari tubuh cowok itu. Sandalwood... dan citrus. Sementara bau parfum paling akrab baginya hanyalah sisa keringat yang mengendap karena tidak mandi seharian.

"Enggak. Gue mau makan di rumah."

"To make it fair, just think of it as... Apa ya? Honor mungkin."

"Honor?"

"Gue menggambar lo. Lo tau, seniman mana pun akan selalu membayar model yang dia gambar. Maksudnya, jika model itu digambar tanpa consent dari model itu sendiri. Sama aja kayak lo berpose untuk majalah or whatever. In the end, you always get your paycheck."

"Tapi gue bukan model."

"Gue juga bukan redaktur majalah. Gue hanya mahasiswa seni dan desain yang menemukan inspirasi untuk tugas gue melalui lo." Adrian menyahut. "Ah ya, saat gue bilang gue nggak bisa makan sendirian, bukan berarti gue mau lo nemenin gue hanya untuk duduk diam dan menonton gue makan."

Azalea mendengus pelan. "Kita jadi kayak orang pacaran."

"Lo baper sama gue?"

Semburat merah menyebar dengan cepat di wajah Azalea. Gadis itu mencoba melarikan diri dari suasana yang entah bagaimana mulai terasa terlalu intens dengan membolak-balik buku menu sebelum beralih pada pramusaji yang masih setia berada di dekat mereka dan menyebutkan nama makanan yang dia pesan. Adrian mengamatinya, lalu secara tiba-tiba, tawanya pecah. Gelak yang mampu membuat Azalea berhenti bergerak dan kembali memandang padanya.

"Kenapa lo ketawa?"

"Karena lo lucu." mata hazel Adrian menatap Azalea dengan sorot jenaka. "So, it's true? Lo baper sama gue?"

"Enggak juga, sih. Cuma..." Azalea berpikir sebentar, sempat terlihat ragu meski pada akhirnya dia membiarkan kata-kata itu terlontar. "Gue nggak pernah hangout sama teman gue sebelumnya. Apalagi cowok. Satu-satunya makhluk lawan jenis yang pernah jalan bareng gue hanya bokap. Dulu."

"Dulu?"

Senyum di wajah Azalea berubah pahit. "He is no longer around."

"I'm sorry to hear that." Wajah Adrian dialiri oleh perasaan simpati. "I lost my father too, a long time ago."

"It's not like what you think, Adrian." Azalea menggigit bibirnya. Sikap yang membuat Adrian mau tidak mau langsung mengerutkan dahi. Mata cowok itu tertuju pada bagaimana gestur tubuh Azalea berubah tidak nyaman dengan jari yang bergetar samar dan saling memuntir satu sama lain sesaat setelah mereka mulai membicarakan tentang sosok Ayah. "He went away with another woman."

"Oh."

Apa yang mengemuka kemudian merupakan sesuatu yang tidak Adrian sangka, apalagi inginkan. Keheningan menyeruak, menenggelamkan mereka dalam kesunyian. Meski pikiran mereka tentu tidak pernah sunyi. Entah kenapa, Azalea menyesal sudah memulai pembicaraan tentang ayahnya. Manda selalu percaya bahwa akan ada suatu masa dimana ayah mereka akan kembali, tapi tidak dengan Azalea. Dia tidak mau percaya itu. Dia tidak bisa memberikan kesempatan kedua agar lelaki itu bisa menghancurkan dirinya dengan purna. Lagi. Pria itu belum mati, tapi bagi Azalea dia sudah lama binasa.

Kesenyapan diantara mereka baru terpecah ketika minuman diantarkan. Adrian langsung meraih gelasnya, begitupun Lea. Setelah menelan satu-dua teguk, Adrian berdehem untuk mencairkan suasana.

"I'm sorry, I didn't mean to."

"Ini salah gue. I brought him up first." Azalea balik tersenyum. "Sori, gue membuat suasananya jadi jelek. Now you know why I don't have any friend."

"Gue kira gue temen lo?"

"I guess you are the first?"

"Jadi karena itu lo ngerasa baper sama gue?"

"Stop with that baper things. Baper bukan berarti gue suka lo. Maksud gue, bukan berarti juga gue nggak suka sama lo. Lebih tepatnya, bukan seperti yang akan orang lain bayangkan. You're nice. I consider you as my friend. My first friend, I'll say so. Tapi jangan harap gue bakal bertingkah seperti kebanyakan cewek-cewek di kampus yang mengejar-ngejar lo setengah mati."

"Kalau gue harus bilang, kalimat cewek-cewek di kampus yang mengejar gue setengah mati agak terlalu berlebihan."

"Lo buta apa gimana? Almost every girl in our university is crazily craving for you."

"Which is funny."

"Kenapa?"

Pembicaraan antara Adrian dan Lea terpotong ketika seorang pramusaji mendekat dengan nampan berisi hidangan di atasnya. Dengan cekatan, pramusaji tersebut menurunkan satu-persatu piring, membalas ucapan terimakasih yang Adrian lontarkan dengan senyum manis sebelum kembali melangkah riang ke balik konter. Lea berusaha keras menahan diri untuk mencebikkan bibirnya. Dia tahu Adrian memang menawan, tapi pramusaji perempuan itu bertingkah seperti seorang anak kecil yang baru mendapat hadiah sekarung gulali--ketika pada faktanya dia hanya mendapatkan satu ucapan terimakasih. Dan jika Lea perlu menambahkan, itu sangat wajar dilakukan oleh customer manapun atas dasar kesopanan.

"Pertanyaan lo tadi," Adrian seperti mengingatkan sejenak setelah dia menelan suapan pertamanya. "Gue nggak bercanda. Itu lucu. Gimana bisa cewek-cewek itu mengejar gue, mengharapkan gue punya hubungan romantis dengan mereka ketika mereka bahkan nggak tau gimana sebenernya gue dan kejelekan-kejelekan yang gue punya."

"Because you're handsome as hell."

Gerakan tangan Adrian berhenti sebentar. Kepalanya terangkat, membuat matanya menatap lurus pada Lea. Sebuah tindakan yang seperti punya kemampuan menghipnotis, karena begitu sadar tengah ditatap, Lea langsung berhenti mengunyah.

"Kenapa?" Lea bertanya lagi, tidak bisa bertahan terlalu lama di bawah tatapan jenis pandangan yang Adrian arahkan.

"Apa lo juga berpikir sama seperti cewek-cewek itu?"

"Gotta admit, your look is... a little above average."

Adrian justru menarik salah satu ujung bibirnya, menciptakan sebentuk seringai yang membuat rona merah lagi-lagi menjalari pipi Azalea.

"Oke, gue menyerah. Lo emang ganteng."

Senyum Adrian terkembang sepenuhnya. "Thanks." cowok itu berujar sebelum kembali bergerak memotong makanan yang berada di atas piringnya. Azalea terdiam sebentar, menekuni wajah menyenangkan pemuda itu sebelum berpura-pura menekuri butir-butir nasi paprika di hadapannya.

"Anyway, you are not an awkward person." Tiba-tiba Adrian bicara lagi. "Lo tadi bilang, kalau lo bukan orang yang punya banyak teman. Gue rasa itu bukan kesalahan lo."

"Enggak. Itu salah gue. Sejak gue kecil, gue nggak suka berada diantara banyak orang." Azalea mengaku dengan senyum tipis yang terkesan jenaka mekar di wajahnya. "Berbeda dengan Manda. Adik gue itu... dia easy going banget. Gampang bergaul sama orang baru. She has the ability to see beauty in everything. Dia juga jago gambar, sementara gue? Paling banter cuma bisa bikin gambar legendaris sejuta umat."

"Gambar legendaris sejuta umat?"

"Lo nggak tau?" Azalea justru balik bertanya, yang dibalas Adrian dengan gelengan terpatah.

"Belum pernah denger."

Tawa Azalea pun pecah. "Nanti deh kapan-kapan gue kasih tau."

"Kalau bisa sekarang, kenapa harus kapan-kapan?"

"Karena gue suka bikin orang lain penasaran. Apalagi kalau orangnya lo."

"Dari awal, lo emang udah bikin gue penasaran."

Azalea mencibir. "Gue meragukan itu."

"Oke, mungkin awalnya enggak." Adrian terkekeh. "I mean, lo aneh banget. Kita nggak pernah kenal sebelumnya. Kemudian nggak ada angin nggak ada hujan, lo mendadak nongol. Lo maksa gue bertemu dengan adek lo. Gue nggak pernah nyaman berada di dekat cewek, lo tau. Kecuali beberapa cewek dan cewek-cewek paling cantik sedunia yang ada di rumah. Sejujurnya, lo sempat bikin gue takut."

"Takut? Emang gue nyeremin?"

"Banget. Faris bahkan bilang kalau lo lebih serem dari sundel bolong."

"Udah pernah denger sih. Jadi nggak kaget." Azalea menukas dingin.

"Jangan marah sama Faris. Dia memang hobi bercanda. Tapi ya, awalnya gue berpikir lo itu psikopat. Gimana enggak? Dandanan lo super badass, ditambah lagi ransel yang bikin lo keliatan kayak tentara mau melaju ke medan perang. Atau kayak psikopat lagi mengangkut mayat korbannya sebelum menemukan tempat yang pas buat membuang mayat itu."

"Lo kebanyakan nonton film." Gadis itu berucap dengan nada geli.

"Yah, tapi setiba-tiba kehadiran lo, semendadak itu juga lo menghilang. Gue jadi penasaran. And I saw something different in you compared to another girls."

"Is it bad?"

"It is... complicated. Selama ini, gue suka membayangkan cewek sebagai panorama. Atau warna. Bukan berarti gue mengibaratkan cewek sebagai benda atau objek, tapi karena setiap cewek punya kesan yang berbeda. Keindahan yang nggak pernah serupa. Gue nggak tau lo kenal sama pacarnya Jeviar atau nggak, tapi pada dia, gue melihat kesan biru. Tenang seperti danau yang ditinggali setengah lusin angsa, namun juga dalam sampai-sampai nyaris nggak kebaca. Beda lagi untuk teman gue yang lain. Dia menguarkan merah. Penuh energi. Berapi-api. Nyaris nggak ada masa dimana dia jadi melankoli. Meski terkadang merah itu bisa menggelap, tapi merah tetap merah. Keceriaannya nggak akan pernah punah."

"Dan apa yang lo temukan pada gue?"

Ada senyum samar bermain diantara bibir Adrian sebelum cowok itu menjawab dengan sebuah kalimat singkat. "You are a rainbow."

Kata-kata itu membuat Azalea terdiam.

"Gue jujur. Gue nggak sedang berniat ngegombal atau apa, karena gue nggak lagi mencoba mencuri hati lo. Gue nggak punya maksud menjadikan lo pacar gue atau apa. Dan gue yakin lo pun begitu."

"Gue tau... hanya saja, lo terdengar terlalu to the point."

"Karena memang itu yang gue lihat." Adrian memajukan kursinya sedikit. "Buat gue, pelangi itu bukan cuma warna. Merah, biru, hijau, ungu, putih atau abu-abu, mereka bukan cuma warna. Ada kesan yang ditampilkan. Karena itu merah sering dikaitkan dengan keberanian dan putih dikaitkan dengan kesucian kan?"

"But still, I can't understand. How could I be like a rainbow?"

"Because you have that most damaged parts of your soul, yet they still shine like gold." Azalea seperti lupa caranya bernapas. "Do you know what parts?"

Hening sejenak, sebelum kata-kata teruntai dari mulut Azalea dengan susah payah.

"Tell me."

"Your eyes. Your eyes are sad eyes. But they still have the ability to stole my words."

Gadis itu menatap Adrian. Lekat. Dan berani. Seperti merah. Tapi ada luka pada irisnya yang cokelat gelap. Serupa biru. Dan jiwanya tersepuh oleh debu kelabu, dengan satu sisi yang memaksa membenci, dan sudut lain yang tetap menyayangi. Bahkan menyimpan rindu. Azalea adalah sosok penuh ambigu.

Kemudian, akhirnya Azalea menunduk setelah dia tidak menemukan apa yang dia cari. Kebohongan. Dusta. Canda. Tidak ada satupun dari itu yang berkelebat dalam mata Adrian. Hanya ada kejujuran yang membuat hati Azalea terasa tertohok lebih dalam.

"Thanks."

"Ingetin gue buat menghubungi lo akhir minggu ini." Seperti biasa, Adrian melompat pada topik yang lain.

"Emangnya ada apa?" Dahi Azalea berlipat. "Kalau lo mau nagih utang yang waktu itu, kayaknya belum bisa deh. Sori, tapi tabungan gue belum cukup. Gue boleh minta waktu lebih banyak?"

Reaksi pertama Adrian adalah tertawa. Keras.

Azalea merengut. "Kenapa lo malah ketawa?"

"Maksud gue bukan itu."

"Terus apa?"

"Benang di jahitan luka lo harus dilepas. Lukanya cukup dalam, jadi dokter perlu menjahitnya pake benang sintetis."

"Soal hoodie lo yang waktu itu, gue minta maaf." Azalea mendadak teringat pada bagaimana merahnya hoodie Adrian kala dia melihat cowok itu sesaat setelah terbangun di apartemen Faris. Juga bau karat dan logam yang tercium begitu pekat, bahkan dari jarak yang tak bisa dibilang dekat.

"Lo terlalu banyak minta maaf."

"Kan emang gue salah."

"You're a lady, Azalea Pramudita. Lo nggak seharusnya minta maaf untuk sesuatu yang berada di luar kuasa lo, atau kesalahan yang nggak lo lakukan."

"Kenapa gue jadi penasaran sama nyokap lo ya."

"Kok bisa?"

"Karena lo begitu baik. Too nice that you're almost too good to be true. Kebanyakan cowok ganteng biasanya hobi mainin perempuan, tapi lo beda. It takes a queen to rise a gentleman."

"Ketika lo tinggal di rumah yang penuh dengan perempuan dan harus bertanggung jawab atas mereka sejak lo masih kecil, lo bakal ngerti. Bukan berarti gue bertanggung jawab secara materi, tapi yah, bokap meninggalkan ruang kosong di rumah begitu dia meninggal. Mau nggak mau, gue harus mengisi ruang kosong itu."

"Bokap lo udah lama pergi?"

"Sangat lama. Dulu pas gue masih kecil. He was a great man. He taught me that I have to be responsible to my mom and sisters. Kadang gue berpikir dia jahat. Dia terlalu mempercayai gue, sehingga pergi begitu saja sebelum gue benar-benar yakin gue sanggup bertanggung jawab sama nyokap dan kakak-kakak gue."

"Bokap lo pasti bangga."

"I hope so."

Keduanya berpandangan, kemudian tertawa. Terlihat seperti fragmen dalam film yang terkesan begitu bahagia. Mungkin karena ada rasa nyaman. Atau sebab mereka berpikir pernah berada dalam satu keadaan. Apapun itu, Adrian tidak pernah benar-benar tertawa selepas sekarang ketika dia pergi dengan seorang gadis. Bahkan dengan Aries. Semuanya terlupakan. Selama sebentar, hanya ada mereka. Hanya ada Adrian dan Azalea disana.

***

Ganteng-ganteng Goblok (6)

Faris Rafandra changed the group name to Atlet Goyang Dribble.

Edgar D. S : Ini maksute apa ya mas

Parama SW changed the group picture.

Edgar D. S : Uwaw bola basket

J. Mahardika : Wey gila lo ya pada

J. Mahardika : Tar kalau cewek gue liat

J. Mahardika : Disangkain grup aneh-aneh

Parama SW : Songong ya yang punya cewek

Faris Rafandra : Buat apa ganteng kalau punya cewe cuma satu

J. Mahardika : Lelaki setia punya selera

Edgar D. S : Alah setia dahak Dobby

Parama SW : Dobby?

Edgar D. S : Dobby nya Harry Potter

Adrian : Gila-_-

Parama SW : Gila-gila tapi lu juga doyan

Adrian : Kaga

Parama SW : Bullshit

Parama SW : Dulu juga lo nete ke mak lo

Adrian : Kurang-kurangin sih tingkah laku kalian tuh

J. Mahardika : Aku ga ikutan, beb

Adrian : Najis

J. Mahardika : Gausah sok jual mahal

J. Mahardika : Dulu sebelum ada Aries ama Azalea juga lo suram

J. Mahardika : Btw lo masih utang penjelasan ke kita-kita

Adrian : Azalea dan Aries cuma temen

Faris Rafandra : Buset bos, kalau mau friendzone-in orang liat-liat sikon juga keles

Faris Rafandra : Dua-duanya galak

Faris Rafandra : Lo mau modar dihajar dua fakultas?

Adrian : Lo lebay

Dio Alvaro changed the group picture

Dio Alvaro : Biar inget akhirat

Faris Rafandra : There is only one God

Parama SW : And His name is Death

Edgar D. S : And what do we say to Death?

J. Mahardika : Not today

Dio Alvaro : Lagian kenapa juga harus foto nenen yang dijadiin ikon grupnya

Parama SW : Deh, salah fokus ya lo

Parama SW : Itu foto cewek kali

Faris Rafandra : Dio cuma fokus ke melonnya doang

Dio Alvaro : Terserah

J. Mahardika changed the group name to Cowok Idola Idaman Wanita

J. Mahardika : Biar bener dikit.

Dio Alvaro : Sama aja sih, masih najis juga

J. Mahardika : Jangan suka gitu, sayang

Faris terkekeh. Jarinya bergerak di atas layar ponselnya yang lebar, hendak mengetikkan kata demi kata pada chatroom tersebut. Namun sebelum dia bisa menekan tombol send, ponselnya sudah lebih dulu berbunyi. Keningnya langsung terlipat dalam, terutama kala dia menyadari milik siapa nomor telepon yang kita tercetak di layar ponselnya.

Itu nomor Aries. 





Bersambung. 

[][][] 

a/n : Long time no see wkwk 

Kemaren gue dikepung tugas so yah 

Maafkan juga chap ini rada boring. 

Situasi membuat Adrian jadi terkesan PHP gitu yha sama Aries hm memang sesungguhnya tidak ada manusia yang sempurna tapi ya mo bagaimanalagi cowok ganteng emang nggak bisa dibikin penasaran. 

Chapter ini mostly percakapan ringan antara Adrian-Lea. Hehehe. Akan ada masanya Lea ketemu lagi sama ayahnya, tapi situasinya rumit. and it will be a heartbroken moment for Lea, Manda and.... also Adrian. 

More things about Aries will come up, anyway. 

Ah ya, makasih buat yang udah vote dan comment. Makasih banget yaww. 

Doain bisa selesai sebelum November ok 

Ciao. 

(BTW di konten mulmed ada visualisasi Faris lol) 

Continue Reading

You'll Also Like

227K 52.3K 23
This works is protected under copyright laws of Indonesia. =============================== "Jadilah pantai ku, kelilingi aku, tetaplah di samping ku...
359K 39K 22
Milo Sayaka mulai merasa tersisih saat sahabat yang selalu menjadi bayang-bayangnya akhirnya memiliki tambatan hati. Setelah belasan tahun ia selalu...
887K 136K 132
8 Mahasiswa dan 8 Mahasiswi penuh drama yang kebetulan tinggal di kompleks kostan bernama, "Kost Boba" milik Haji Sueb. Moto Kost Boba Boy. "Aibmu ad...
1.1M 54.1K 48
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...