ROSE QUARTZ

Av renitanozaria

2.8M 302K 43K

[Completed] (sebagian chapters diprivat untuk followers, follow untuk membaca) Cerita ini bukan apa-apa. H... Mer

#00
#01
#03
#04
#05
#06
#07
#08
#09
ear:gas:m
#10
#11
#12
#13
#14
#15
#16
#17
#18
#19
#20
#21
#22
#23
#24
#25
#26
#27
#28
#29
#30
#31
#32
#33
epilog
Extra - Happy Now?
Extra - Crybaby
Extra - From Daddy With Love

#02

106K 10.1K 910
Av renitanozaria

"Apa?" Gue bertanya diiringi pelototan galak sesaat setelah gue mengambil satu gigitan besar dari double cheese burger di tangan gue. Adrian tidak memberikan reaksi berarti, atau minimalnya tatapan sengit seperti yang gue duga. Cowok itu setenang telaga. Tangannya meraih sepotong chicken nugget, lantas memasukkannya ke mulut. Dia makan dengan rapi, kayak bangsawan. Berbeda dengan gue yang bertingkah layaknya kuli tambang baru masuk ke restoran ternama.

Tapi diam-diam, ada setitik rasa syukur dalam benak gue ketika mendapati Adrian membelikan makanan cepat saji dari restoran ayam goreng western yang sudah sangat populer--bukan cuma untuk gue, tapi teknisnya juga bahkan buat Faris. Nggak apa-apa sih, gue juga nggak merasa tersanjung atau apa sama sekali. Buat apa? Nggak guna.

"Kalau gue liat-liat, lo punya persamaan dengan Hana." Faris yang masih sibuk mengunyah french friesnya mendadak bicara masih dengan mata terbalut kacamata 3D. Dia lagi sibuk menonton film di perangkat home theaternya yang gue tau harganya sama sekali nggak murah. Cih, dunia memang benar-benar nggak adil. Kenapa orang-orang brengsek macam cowok-cowok ini justru mendapatkan kenikmatan hidup lebih banyak, sementara yang lain harus berjuang mati-matian bahkan cuma untuk memastikan ada nasi di meja makan?

"Oh ya?" gue bertanya dengan sarkasme yang kental, nggak berminat untuk tahu siapa Hana yang dimaksud oleh Faris. Mungkin salah satu dari cewek-cewek kecengan mereka? Atau mungkin teman yang kerap gue lihat nongkrong sama mereka di kantin teknik?

Well, gue nggak sesering itu pergi ke FT. Gue hanya pergi ke fakultasnya para cowok itu ketika gue butuh sesuatu, seperti menitipkan penganan ringan di kantinnya yang terhitung salah satu terbesar sekampus, atau menyendiri di perpustakaannya yang naman. Anak teknik nggak seambis anak dari fakultas lainnya kayak misalnya FMIPA. Perpustakaan disana cuma ramai menjelang ujian, atau oleh anak-anak yang lagi nyusun tugas akhir. Tempat yang sempurna untuk duduk diam, melamun dan merenungi kesalahan apa yang sudah gue buat sehingga hidup gue seperti nggak pernah bisa lepas dari yang namanya kesulitan.

Bukan berarti gue mengeluh. Hanya saja, kadang gue terlalu capek dengan keadaan. Gue nggak bisa terlihat rapuh di rumah, karena entah sejak kapan tanpa sadar gue telah mengambil peran sebagai satu-satunya yang bisa diandalkan dalam keluarga pasca kepergian bokap. Tapi lo tau, kadang, jadi yang terkuat itu nggak enak. Ada kalanya, orang yang terlihat nggak kenapa-kenapa justru adalah orang yang paling kenapa-kenapa.

"Makan lo kayak kuli." Faris berkomentar. Lagi. Setelah hampir dua puluh menit berada dalam ruangan yang sama, gue mulai merasa biasa dengan kata-katanya yang seringkali terasa menusuk telinga.

"Lo nyuruh gue makan. Gue makan. Nggak usah bawel, kecuali lo pangeran Inggris."

"Gue emang bukan pangeran Inggris, tapi gue bisa jadi pangeran hati lo." Faris berujar, lantas dia tertawa keras dengan nada tengil sesaat setelahnya. Gue melengos, mengalihkan pandang ke jendela besar di salah satu sisi tembok apartemen Faris. Langit sudah benar-benar gelap, dan temaram titik-titik cahaya lampu kota terlihat. Di balik kesuramannya karena tersaput debu, polusi dan kemacetan saban hari, Jakarta bisa terlihat cantik seperti penari yang baru bersolek.

Adrian nggak mengatakan apa-apa. Dia tetap bisu, meski matanya sesekali melirik gue. Gue sendiri juga nggak berniat mengajak dia bicara. Maka gue menikmati kesunyian itu, dan bagaimana dia bersikap seolah gue nggak ada. Gue berkonsentrasi menghabiskan gigitan demi gigitan dari makanan yang terhidang di atas meja, seraya menahan diri untuk mengerang kesakitan karena luka di sisi wajah. Gue harap, ketika gue pulang nanti nyokap dan Manda udah tidur. Jadi nggak perlu ada kepanikan yang dramatis.

Tepat saat gue sudah menelan gigitan terakhir burger, Adrian beranjak dari bangku yang dia duduki dan meletakkan sesuatu di atas meja. Sesuatu yang gue kenali sebagai ponsel gue. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Tidak ada satupun bagian keypadnya yang bolong. Benda itu nggak terlihat seperti ponsel butut yang gue ingat.

"Lo apain HP gue?"

"Satu ucapan "terimakasih" udah lebih dari cukup, sebenarnya."

"Gue nggak minta lo ngeganti casing HP gue!"

"Dan gue juga nggak ngelakuin itu atas permintaan lo."

"What a spoiled brat. Lo kira gue akan terima gitu aja, dengan lo yang melakukan ini-itu buat orang yang nggak benar-benar lo kenal? Kenapa? Merasa bersalah? Atau lo sedang mencoba memamerkan apa yang lo punya sekaligus menegaskan kalau gue dan lo ada di level yang berbeda?"

"Otak lo kayak otak sinetron, tong." Faris menimpali sambil membuka kacamata 3D-nya. Dia berdecak. "Tingkah laku lo berdua tuh dari tadi kayak kucing sama anjing. Kalau berantem jangan diperpanjang disini dong. Gue nggak punya tulang ikan."

"I did it not for your sake, but for mine." Adrian menjawab dengan nada casual, wajahnya masih setenang telaga. Tanpa riak. Tanpa gejolak. Membuat gue bertanya-tanya bagaimana dia bisa punya self-control sebagus itu. Atau mungkin dia hanya robot berwajah ethereal yang nggak bisa berekspresi.

"What?"

"Gue hampir nggak bisa menghubungi adek lo. Atau bokap lo. Atau nyokap lo. Menekan tombol keypad pake bantuan korek kuping bikin gue gregetan sendiri."

"Then give me back my original casing."

"Udah gue buang."

"Lo kok seenaknya sih?"

"Buat apa? Casing HP lo udah jadi saringan teh. Dan lagi, gue nggak pake Blackberry. Why do I have to keep that casing?"

Gue berpikir sejenak, lantas menjawab cepat. "I'll pay you back. But not now."

"Take your time." Adrian memiringkan wajah, matanya yang berwarna hazel memandang sebentar pada gue, lalu dia mengeluarkan ponselnya seperti sedang mengetikkan sesuatu disana. "Gue tau lo adalah orang yang sangat mengandalkan harga diri, meski jatohnya bikin lo terlihat keras kepala. Tapi gue hargai itu. I'll send you the number of my bank account."

"Thanks." sahut gue tanpa nada manis sedikitpun. "Di luar sikap arogan dan sok penting lo, ternyata lo cukup pengertian."

Adrian menarik seulas senyum miring yang begitu tipis. Satu ekspresi muncul, secara otomatis meruntuhkan hipotesis gue tentang dia yang mungkin hanya robot tanpa jiwa. Mungkin dia memang selalu sedingin itu sama orang-orang yang nggak selevel dengan dia.

"Karena perempuan itu memang sebenarnya nggak susah-susah amat buat dimengerti."

"Asik banget dah, bos."

Itu celetukan Faris. Tentu saja.

"Oh ya?"

Itu ucapan gue. Mengandung sarkasme yang juga masih kental. Pastinya.

"Perempuan itu paradoks." Adrian lagi-lagi menatap gue dengan lekat, lalu kemudian dia bicara lagi. "They hate feelings, but having too many feelings. They don't care what others think, but always trying to prove them wrong. They want to show men that they're independent and strong, but at the same time want to be cherished and protected."

"So deep, ma bro."

"Faris, sekali lagi lo ngomong gue lempar lo pake toples kerupuk ya?" Adrian akhirnya bicara. Dan gue harus mati-matian untuk nggak tertawa. Gila. Gue nggak mungkin tertawa dengan bocah-bocah arogan ini. Mereka adalah musuh bagi orang-orang yang ingin mewujudkan masyarakat tanpa hedon dan kumpul kebo seperti gue.

"Mana tas gue? Gue harus balik sebelum gue kehabisan angkot."

"Lo nggak akan pulang naik angkot."

Gue mendengus tanpa sadar. "Lo terlalu banyak ngatur. Sekarang lo mau jadi kayak semacam pahlawan? Nganterin gue pulang? Gitu? Sori ya, tapi gang ke rumah gue nggak muat dilewatin mobil."

"Gue udah panggilin taksi buat lo." Dia melirik arloji yang melingkari pergelangan tangannya. "Paling juga lima menit lagi taksinya sampai di depan lobi."

"Gue nggak tau apa lo lupa atau nggak sadar, tapi gue nggak punya cukup duit buat bayar taksi."

"Gue yang bayar."

Gue menyipitkan mata. "Lo ini demen banget memamerkan uang yang lo punya ya? Which is harus gue koreksi kalau itu uang bokap lo. Bukan uang lo."

"Kalau lo nggak mau menerima dengan sukarela, anggap aja itu hutang." Adrian membalas tanpa nada kesal sedikitpun. Suaranya selalu sehalus beludru. Agak sedikit menakutkan. Dia jadi terkesan seperti ketenangan yang datang sebelum badai. "Dan untuk koreksi, argumen lo salah. Bokap gue udah meninggal lama banget."

Ada secercah rasa bersalah menghantam di ulu hati gue.

"Ayo turun ke lobi." Adrian berkata lagi, tidak membiarkan kesunyian berkembang lebih jauh. "Tas lo aman. Biar gue yang bawa."

"Are you trying to hit on me or something? Atau lo merasa bersalah?"

"Tanpa bermaksud menyinggung lo, Azalea, lo berpikir terlalu jauh. Am I trying to hit on you? Not really. Modus basa-basi dan sok perhatian bukan apa yang bakal gue lakuin untuk ngedapetin orang yang gue suka. I did this simply because you're a lady. I have to treat you like a lady." Adrian beranjak masuk ke kamar lain yang berada di seberang kamar Faris, lalu keluar dengan ransel gue tersampir di pundaknya yang lebar. "Lagipula, gue nggak bisa ambil resiko untuk membiarkan lo turun sendirian dengan ransel seberat ini. Kalau lo pingsan lagi dan terluka jauh lebih parah, siapa yang akan disalahkan? Gue."

Untuk pertama kalinya, gue tidak mampu membalas.


***


Hampir satu minggu berlalu sejak kejadian terakhir antara Lea dan Adrian. Mereka nggak ketemu lagi setelah itu, selain karena Adrian sibuk menyelesaikan tugas-tugas kuliahnya, juga karena Lea kelihatannya nggak minat lagi meminta bantuan Adrian. Hanya saja, ada sesuatu yang berbeda hari ini. Setelah mengantar Aries ke kampusnya--diiringi gerutuan pelan cewek itu karena rambut hasil catokannya yang membuatnya bela-belain bangun pagi rusak akibat guyuran gerimis--Adrian mampir ke FISIP yang jaraknya tidak jauh dari FIB.

Dia mampir bersama Edgar, yang katanya sih ada urusan dengan salah satu anak FISIP. Adrian sendiri udah bisa nebak kalau alasan Edgar datang ke FISIP adalah buat nemuin salah satu teman terdekatnya Rinjani. Hana dan Rinjani emang temenan, tapi nggak sedekat itu hingga Edgar perlu informan kedua agar dia bisa tau apa yang Rinjani suka dan tidak suka, pokoknya segala amunisi yang bakal dia perlukan untuk menggaet hati cewek itu dengan seefektif mungkin.

Adrian memilih duduk di pelataran depan FISIP sementara dia menunggu Edgar selesai dengan urusannya. Soalnya nggak minat juga sih masuk ke dalam. Adrian punya trauma tersendiri sama cewek-cewek FISIP yang biasanya super ganas tiap kali ngeliat sesuatu yang rada bening dikit. Bahkan ssetelah melipir duduk di tangga depan gedung FISIP, masih ada aja cewek yang sibuk larak-lirik. Kelewat ganteng itu kadang lebih banyak nggak enak daripada enaknya.

Seiring dengan waktu yang berlalu, perlahan hujan yang mulanya hanya gerimis berubah menjadi deras. Adrian memutuskan bangkit dari tangga, beranjak menuju selasar. Saat baru duduk disana, matanya langsung tertuju pada Azalea yang muncul dengan terburu-buru dari lorong. Cewek itu tampak lelah, meski tidak terlihat sepucat seperti yang terakhir kali Adrian lihat. Rambutnya tergerai, agak kusut pada ujungnya. Berbeda jauh dengan rambut kebanyakan mahasiswi FISIP yang kerap dicatok-dikeriting-hingga diberi berbagai macam warna.

Lalu mendadak, langkah kaki Azalea berhenti begitu saja kala pandangannya tertancap pada sesuatu. Adrian mengekori arah matanya, mendapati seekor anak kucing pincang yang terseok-seok menuju tempat teduh terdekat. Gadis itu terlihat berpikir sebentar sebelum meletakkan ranselnya di lantai, bersandar pada pilar gedung. Kemudian, dia berlari menyongsong hujan.

Derai air yang serupa tirai rapat membuat tubuhnya basah kuyup seketika. Menunjukkan apa yang mulanya tidak terlihat dengan terang-terangan. Adrian menghela napas, langsung beranjak dari bangku dan berjalan mendekati ransel Lea yang masih teronggok. Tidak sampai sepuluh detik kemudian, Lea telah berlari ke arahnya, dengan anak kucing di tangan. Entah terkena apa, tapi kaki anak kucing itu terlihat seperti patah.

Lea tampak terkejut melihat Adrian ada disana, tapi tidak lama.

"Kalau lo mau nagih sekarang, gue belum bisa ngegantiin duit lo." ujar Lea dengan gigil yang nyata dalam suaranya.

"Gue nggak disini buat nagih utang. When I said 'take your time', I really meant it." Adrian menyahut jengah, matanya menatap ke arah lain, seperti enggan memandang pada Lea.

Lea mengernyitkan dahi, tapi tidak langsung bertanya. Gadis itu justru meletakkan anak kucing di tangannya ke lantai terlebih dahulu dengan begitu hati-hati. Suara ngeong lirih yang sopran terdengar, menimpali suara deras dari hujan yang berderai.

"Terus ngapain lo disini?" cewek itu bertanya lagi, masih tanpa keramahan.

"Nemenin temen gue." Adrian berucap, kali ini sembari membuka jaketnya, lalu sebelum Lea bisa bicara lagi, Adrian sudah menyodorkan jaket itu padanya tanpa mau menatap.

"Gue nggak butuh itu."

"Mungkin lo berpikir begitu. Tapi gue tau lo butuh ini. Banget."

"Maksud lo?"

"Cover yourself."

Ucapan Adrian sontak membuat Lea menatap pada tubuhnya sendiri. Wajahnya terasa terbakar seketika. Astaga, gimana bisa dia lupa kalau dia memakai kemeja putih hari ini? Rembesan basah dari hujan yang membuatnya kuyup menciptakan ilusi seperti dia hanya memakai kain transparan. Bahan kemeja itu melekat di tubuhnya serupa kulit kedua, memperlihatkan pakaian dalam yang dia kenakan.

Dengan muka merah padam, Lea meraih jaket Adrian, memakainya dengan cepat. "Ma-kasih." katanya kaku.

Adrian tidak menjawab. Cowok itu sempat memandang Lea sejenak sebelum berlalu pergi, meninggalkan Lea disana bersama seekor anak kucing yang mengeong kedinginan dan rasa malu yang menggunung. Gadis itu menggigit bibir, mengepalkan tangannya yang basah oleh tetes air dari rambutnya.




Bersambung. 

Fortsett å les

You'll Also Like

190K 2K 53
Cuma berisikan rekomendasi novel, cerita wattpad yang seru menurut sudut pandang yang bikin lapak ini. Mohon maaf kalo ada penulis yang merasa berisi...
4.9K 771 32
Pernahkah kamu bertanya, mengapa kita ada di sini? (Was) #1 - hajoon #1 - the rose [ Why We Here ; DAY6's ] ©2020, Nyctoscphile (200320ㅡ210828) All R...
1.6M 168K 31
[Sudah terbit, untuk pemesanan novel bisa WA ke nomor : 0857 9702 3488 dan e-book sudah tersedia di Google Play] SEQUEL SATU ATAP DAN GARIS TANGAN ...
1.1M 54.5K 48
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...