(END) RAYHAN AND ANGELA

By matchamallow

18.1M 864K 75.1K

ISI MASIH LENGKAP!! ROMANCE DEWASA Seri ke 2 dari trilogi Sean-Rayhan-Daniel ANGELA PRAMOEDYA Sejak pertemuan... More

Keterangan
Part 1-Rayhan
Part 2- Angela
Part 3-Justin
Part 4 - Love Confession
Part 5-Dia...hanya Angela
Part 6 - The Promise
Part 7-Feeling Alone
Part 8-Birthday
Part 9 - Auction
Part 10-The Result
Part 11-Tempted and The First Kiss
Part 12-Wish I could say the same thing...
Part 13-The Truth
Part 14-Double Jeopardy
Part 15-Fallin Tears
Part 16-New Life
Intermezzo
Part 17-Angela
Part 18-Rayhan
PART 19-Desire
Part 20-(Private) My Promise
Part 21-The Feeling
Part 22-Reason
Part 23-This is What You Came For
Part 24-(Private) The Biggest Fear
Part 25 - Past and Present
Part 26 - Forgive but Not Forget
Part 27 - Second Chance
Part 28 - Do You Really Love Me?
PART 28.2 - DO YOU (REALLY) LOVE ME?
Part 29 - Crazy
Part 30 - The Painful Truth
Part 31 - Why?
Part 32 - We don't Talk Anymore
Part 33 - I'll Be Alright
Part 34 - Mourning Day
Part 35 - If Life is so Short
Part 36 - Imperfect
Part 37 - Pride and Prejudice
Part 38 - Heritage
Part 40 - Chasing You
Part 41 - Marry Me Please
Part 42 - (END) Take Me Home
Q/A serta Trailer Rayhan and Angela
Epilog dan Extra Part Rayhan & Angela

Part 39 - True Love is a Waiting

302K 18.1K 2.1K
By matchamallow

                  

Lost stars ~Adam Levine

Semoga klimaks cerita ini berkenan di hati.

2 parts to the end...

***

Meski Daniel sudah begitu berhati-hati menjaga tubuh Rayhan, perjalanan menuju rumah sakit sepertinya memperparah lukanya. Darah terus merembes membasahi pakaian Rayhan serta pakaiannya sendiri. Rayhan terluka di dada kiri dan Daniel hanya bisa berdoa semoga peluru itu tidak mengenai organ vital dalam tubuh sahabatnya itu.

Sesampai di UGD, para perawat dengan sigap mengambil alih tubuh Rayhan dan segera memasang infus pada lengannya. Dokter yang sedang bertugas jaga memeriksanya sebentar lalu menyuruh para perawat untuk memasangkan selang oksigen.

"Dokter, bagaimana dia?" Daniel langsung bertanya setelah dokter jaga tersebut selesai melakukan pemeriksaan.

"Kita coba menstabilkan kondisi pasien terlebih dulu. Ia kehilangan banyak darah."

"Apakah perlu transfusi?"

"Proses persiapan penyediaan darah tidak bisa langsung dilakukan. Mungkin nanti saat operasi berlangsung akan kita lihat perkembangannya. Untuk sementara infus bisa menggantikan darah yang terbuang. Semoga saja peluru itu tidak mengenai jantungnya. Itu akan sangat berbahaya."

Wajah Daniel pucat seketika. "Tentu saja dia masih bisa selamat bukan, dokter?"

"Kami sedang menyiapkan ruangan beserta tim operasi secepat mungkin. Bersabarlah, Pak."

Dokter itu meninggalkan Daniel yang hanya bisa berdiri diam di tengah ruang UGD yang begitu sibuk. Daniel segera menghampiri tempat Rayhan terbaring. Rayhan masih kehilangan kesadarannya. Daniel hanya bisa berharap semoga Rayhan tidak merasakan sakit dengan ketidaksadaran tersebut.

"Niel...."

Mata Rayhan yang tadinya terpejam tiba-tiba terbuka pelan dan menatapnya. Daniel langsung menghampirinya saat itu juga.

"Oh, God. Syukurlah. Apa kau sudah merasa baikan?" 

"Di...ngin." sahut Rayhan sambil menghirup napas panjang. "Niel..." ia menoleh kembali.

"Ya, Re. Aku ada di sini. Aku selalu ada di sampingmu."

"Mungkin...jika aku mati...dia tidak akan mengganggu Angela lagi." ucapnya sambil menatap Daniel sungguh-sungguh.

Ucapan Rayhan padanya memang masuk akal. Jika Rayhan meninggal maka tidak ada gunanya lagi bagi Tania atau siapapun untuk melenyapkan Angela.

Kecuali jika motif pembunuhan itu bukanlah sesuai dugaan mereka.

"Tidak! Tidak! Tidak! Re!! Jangan menyerah begitu saja! Aku tidak akan membiarkanmu seenaknya pergi! Kaudengar itu..."

Daniel tidak mendapatkan jawaban karena Rayhan sudah kembali tak sadarkan diri.

_____________________

Pada malam itu, Angela nekat pergi ke rumah sakit tanpa pengawalan seperti yang biasa ia dapat. Baru saja ia berhasil menenangkan diri setelah peristiwa sore tadi, lalu tiba-tiba Daniel malah meneleponnya dan memberinya kabar yang tak kalah mengejutkan.

Kakaknya terkena tembakan dan kini ada di rumah sakit?

Tubuhnya seketika gemetar dan Angela terpaksa menutup mata sambil menghirup napas dalam-dalam berupaya agar tidak pingsan di tempat saat itu juga. Ia berusaha tenang kembali meski airmatanya tidak bisa berhenti mengalir karena ia tidak kuat membendungnya. Belum lama ayahnya meninggalkan Angela dan kini Angela terancam menghadapi hal yang sama kembali? Angela masih trauma...Ia tidak akan sanggup kehilangan orang-orang yang dicintainya lagi.

Tenangkan dirimu, Angela...

Kakaknya belum tentu dalam kondisi yang buruk. Rayhan terlihat baik-baik saja saat terakhir Angela melihatnya.

Angela menggigit bibir agar tangisannya terhenti sambil menyeka airmatanya dengan punggung tangan. Ia tidak boleh histeris, apalagi pingsan. Tante Rahma kemungkinan besar akan syok mendengar kabar tersebut melebihi dirinya dan Angela memerlukan dirinya yang kuat untuk mendampingi wanita itu.

"Kak Daniel..." Angela beserta Tante Rahma segera menemukannya di depan ruang operasi seperti yang ditunjukkan oleh bagian informasi. Lampu ruang bedah masih menyala tanda kegiatan operasi masih berlangsung.

Di sana juga sudah ada  dua orang lagi teman kakaknya yang selalu bersama mereka. Angela masih mengingatnya dengan jelas.

Saat Daniel berbalik, Angela tercengang karena kemeja Daniel dipenuhi bercak darah. Tante Rahma bahkan terkesiap sambil mengetatkan pegangannya pada Angela.

"Tante...tidak apa-apa?" tanya Angela dengan cemas.

Tante Rahma menutup mulut dan hidungnya dengan tisu yang sejak tadi dibawanya. Ia terdiam sebentar lalu mengangguk-angguk. "Tidak apa-apa...Ayo." jawabnya sambil melangkah kembali.

Angela tahu bahwa Tante Rahma juga berusaha menguatkan diri. Tidak banyak ibu yang bisa tenang menghadapi situasi semacam itu.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Angela pada Daniel.

"Entahlah. Sudah beberapa jam lalu Re masuk ke sana." sahut Daniel. "Tim dokter sedang berupaya mengeluarkan peluru tersebut."

"Apakah Re akan baik-baik saja?" tanya Tante Rahma. Pertanyaan itu juga pertanyaan yang ingin diajukan Angela.

Daniel hanya mengatupkan bibirnya. Ia memalingkan wajah seakan kebingungan untuk menjawab pertanyaan tersebut.

"Njel."

Perhatian mereka bertiga teralihkan oleh kedatangan Justin bersama seseorang yang tidak mereka kenal. Justin tadi menghubunginya dan Angela menceritakan secara singkat bahwa ia sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit dan bagaimana ia bisa ada di sana.

"Njel, anak buah gue sudah berhasil nangkap pembunuh bayaran tadi dan sekarang dia sudah ada di kantor polisi."  jelas Justin saat berhenti di depan mereka bertiga.

"Lalu apa ia mengakui siapa yang menyuruhnya?" Daniel lebih dulu bertanya.

"Dia mengaku bahwa ada seseorang yang membayarnya, tapi itu bukan Tania. Kemungkinan itu adalah perantara atau makelar dan kepolisian sudah menyelidikinya juga. Kebetulan Bapak ini adalah salah satu polisi yang ikut menangani kasus tersebut." Justin menoleh pada seorang laki-laki paruh baya yang bersamanya. Laki-laki itu tidak mengenakan seragam polisi, tapi mengenakan kemeja biasa dan jaket hitam.

"Saya di sini untuk kepentingan laporan dokter mengenai korban. Tapi sebelumnya saya ingin bertanya beberapa hal kepada kalian, Nona Angela Pramoedya dan Tuan Daniel Wiraatmaja sebagai saksi yang berada di tempat kejadian berlangsung. Bisa kalian ikut saya ke ruangan kantor yang sudah disediakan rumah sakit ini sekarang?" jelasnya setelah memperkenalkan diri.

Daniel dan Angela mengangguk bersamaan.

Sebelum mereka melangkah, seorang wanita yang berpakaian serta mengenakan tutup kepala biru muncul dari balik pintu ruang operasi. Semua menegakkan tubuh dengan antusias dan mendekati perawat tersebut bersamaan.

"Dokter mengatakan pasien kemungkinan akan memerlukan transfusi darah. Adakah keluarganya atau orang lain di sini yang memiliki golongan darah A+ seperti pasien dan bersedia mendonorkan? Hanya untuk berjaga-jaga."

Ketujuh orang yang ada di lorong itu saling berpandangan satu sama lain.

"Saya memiliki golongan darah 0+. Apa mungkin bisa?" tawar Sean. Sepengetahuannya golongan darah tersebut bersifat universal.

"Saya bersedia." Justin mengajukan diri sebelum perawat tersebut menjawab tawaran Sean. "Saya memiliki golongan darah yang sama."

"Baiklah, kalau begitu ikut saya untuk melakukan tes terlebih dahulu." perawat itu segera berjalan ke arah kanan lorong dan Justin mengikutinya.

Angela hanya bisa terpana tanpa berkata-kata menyaksikan Justin yang mengikuti perawat dengan tenang sampai tak bisa melihatnya lagi setelah berbelok di koridor.

Sungguh Angela tidak menyangka bahwa Justin akan mau membantunya hingga sejauh itu.

"Ayo, Angela." Tepukan pelan di bahunya membuat Angela tersadar. Daniel menganggukkan kepala dan Angela teringat bahwa petugas polisi tadi sudah menunggunya.

_______________

"Aku....yang telah membuat Kak Re celaka."

Angela menggumamkan hal tersebut setelah keluar dari ruang dokter bersama dengan Daniel. Mereka baru saja selesai memberikan segala informasi yang terjadi pada polisi tentang sore yang naas itu.

"Jangan menyalahkan dirimu, Angela. Yang ingin mencelakaimu adalah Tania. Rayhan hanya berusaha menjagamu karena ia merasa bertanggung jawab. Ia yang telah memasukkan Tania ke dalam lingkaran keluarga kalian." sanggah Daniel.

"Kalau saja saat itu aku diam di tempat sesuai perintahnya dan tidak menyambutnya keluar gedung. Mungkin keadaannya akan berbeda."

"Reaksimu adalah hal yang wajar. Kau terlihat begitu gembira bertemu dengannya. Apa kau sudah tidak membencinya lagi, Angela?"

Angela menggeleng pelan. "Tidak..."

Daniel tersenyum sambil mengacak-acak rambut Angela yang mulai berantakan. "Karena selama ini kupikir kau agak mirip dengannya."

"Mirip? Dengannya?" Angela mengerutkan kening.

Daniel mengangguk. "Dengan Re. Sesudah akhirnya menyadari bahwa Tania yang telah memfitnahmu, ia masih tetap bimbang antara perasaan benci dan bersalahnya. Re ingin tetap membencimu sebagai balas dendam atas perceraian orangtuanya, tapi di saat yang sama aku tahu bahwa ia juga tertarik padamu."

"Apa benar ia tertarik padaku yang menyedihkan ini?" Angela tertawa miris. "Jika Kak Daniel mengatakannya hanya untuk menghiburku..."

"Tidak. Ia benar-benar menyukaimu. Apa dengan pengorbanannya saat ini kau masih tetap ragu?"

"Aku...tidak tahu....aku bingung..." Angela menggeleng.

"Dengar Angela, Re tidak tahu ini dan aku hanya menceritakannya padamu. Saat sadar, Re selalu bisa mengendalikan diri dan menutupi masalahnya. Hanya saja di suatu malam saat sedang mabuk ia pernah keceplosan dan mengakui padaku bahwa ia menyukaimu tapi ia masih terikat pernikahan sehingga tidak bisa mencarimu ke Sydney."

"Benarkah?" Angela merasa tak percaya, tapi itu terasa masuk akal jika menjadi alasan mengapa Kakaknya tidak pernah mencarinya sekalipun selama empat tahun. Dan setelah bertemu, tiba-tiba mengucapkan cinta padanya.

Daniel mengangguk. "Meski tingkahmu amat konyol empat tahun lalu dan sama sekali bukan tipe wanita lemah lembut yang biasa disukai Re, tapi kau berhasil menarik perhatiannya, Angela. Kau senang?"

Angela memalingkan wajah untuk menyembunyikan airmatanya. "Seandainya Kak Re tidak sedang terbaring di sana saat ini, aku bisa mengatakan iya."

Daniel terdiam menunggu Angela mengusap airmata. Ia ingin memasukkan tangannya ke saku jas seperti yang biasa ia lakukan. Tapi ia baru tersadar bahwa ia hanya mengenakan kemeja. Itupun sudah penuh dengan noda darah. Penampilan mereka berdua sungguh acak-acakan. "Jika Re sembuh, apa kau akan bersedia menerimanya kembali? Karena sesungguhnya ia sudah kehilangan kepercayaan diri dengan keadaannya saat ini."

Angela mengangguk pelan. "Sebenarnya aku tidak pernah membencinya,"

Ia menghirup napas dalam-dalam sebelum melanjutkan.

"Aku membenci diriku yang tidak bisa melupakannya. Apapun yang pernah ia lakukan...aku tidak pernah bisa membencinya...tapi aku berpura-pura benci dan menjauh darinya karena...karena sesungguhnya aku tidak bisa menahan diri jika berdekatan dengannya. Aku pasti akan bertingkah memalukan...dan ia akan tahu kalau aku masih sama seperti dulu. Aku tidak bisa membiarkan dia tahu bahwa aku masih memujanya setelah penghinaan yang ia tujukan padaku."

"Aku tidak pernah bisa membencinya...meski aku ingin..."

Angela memberinya tatapan paling sendu yang pernah Daniel lihat dari seorang wanita. Ia menyentuh wajah Angela dengan sebelah tangannya.

"Karena cintamu begitu besar padanya, Angela. Aku...tidak pernah melihat orang lain yang bisa mencintai sepertimu."

"Tapi Kak Re tidak pernah menganggap bahwa apa yang kurasakan sejak dulu padanya adalah cinta." isak Angela.

"Karena cinta sejati memerlukan waktu yang panjang untuk pembuktiannya, Angela." ujar Daniel. "Dan kau sudah membuktikannya sekarang."

Angela memandang Daniel dengan takjub.

Ia mengangguk pelan.

"Bagus. Aku sangat mengharapkan suatu saat kalian bisa bersama. Tidak ada wanita lain yang lebih baik baginya selain dirimu. Sejak dulu aku selalu khawatir jika suatu saat Re jatuh cinta dan menikah. Karena sesungguhnya aku menginginkan perhatian Re tetap hanya padaku. Tapi jika gadis yang menjadi pasangan hidupnya adalah Angela, aku merelakannya."

Angela mengangguk-angguk kembali. Ia memandang Daniel dengan takjub.

Apakah benar itu adalah ucapan dari seseorang yang mengatakan tidak akan pernah menikah untuk selamanya?

Saat mereka kembali, ternyata proses operasi ternyata sudah selesai dilakukan. Tapi Tante Rahma, Sean dan Budi masih ada di sana.

"Di mana Kak Re?" tanya Angela dengan khawatir.

Tante Rahma menunjuk ruang ICU di sebelah mereka yang kebetulan berdampingan dengan ruang operasi.

"Keadaannya masih kritis, jadi dokter belum memperbolehkan kita masuk. Mereka mengatakan peluru itu terkena paru-paru dan untungnya tidak mengenai perikardium jantung. Tante tidak begitu paham..."

"Dokter bedah mengatakan meski hanya terkena paru-paru, tapi tetap saja hal itu mengancam nyawanya. Pendarahannya begitu banyak dan sekarang hanya tergantung apakah tubuh Rayhan bisa kuat atau tidak untuk kembali pulih." tambah Sean pada mereka berdua. Di saat genting semacam ini ia tidak menunjukkan permusuhannya pada Daniel.

"Di mana Justin? Apa ia jadi mendonorkan darahnya?" tanya Daniel.

"Aku tidak tahu. Kemungkinan jadi dan jika benar berarti ia sedang melakukan pemulihan." sahut Sean.

"Nak Daniel. Mungkin kau hanya perlu pulang sebentar dan beristirahat. Kau pasti lelah setelah mengurus semua ini sejak sore tadi." Tante Rahma memberikan saran.

Daniel sebenarnya tidak ingin meninggalkan tempat itu, tapi ia melihat penampilannya yang lusuh dan kotor hingga akhirnya mengangguk. "Aku akan kembali kemari besok siang."

____________________

Pagi itu, setelah selesai makan di sebuah kafetaria yang terdapat di rumah sakit, Angela mengantarkan Tante Rahma ke poliklinik karena wanita itu terlihat begitu pucat. Tante Rahma mendapat suntikan vitamin dan beberapa obat anti depressan.

"Tante kalau kau lelah, kau bisa pulang untuk beristirahat sebentar. Aku akan menunggu Kak Re di sini hingga Tante kembali." Angela tahu bahwa wanita yang selalu bersamanya itu sedang tertekan dan sedih meski terlihat tenang.

"Seorang ibu tidak mungkin meninggalkan anaknya dalam keadaan semacam itu, Angela." Tante Rahma tersenyum. "Hanya Re satu-satunya yang tersisa dari hidupku."

Angela juga meneriakkan hal yang sama dalam hatinya. Ia tidak memiliki siapapun lagi di dunia ini. Jika kakaknya pergi maka tidak ada lagi yang tersisa untuk dicintainya. Angela sudah bisa membayangkan kehidupannya yang hampa hingga akhir hayat.

Oh, Tuhan...

"Kau sendiri tidak merasa lelah, Angela?" Tante Rahma bertanya balik.

"Aku ingin ada di samping Kak Re." Angela menjawab sambil menggeleng. "Lagipula situasi tidak aman untukku pergi ke mana pun saat ini sendirian."

"Benar...kau harus selalu berhati-hati sebelum pelakunya tertangkap." Tante Rahma menggenggam tangannya. Angela mengangguk dan mereka berjalan kembali dalam diam menuju ruang ICU.

Angela melihat Daniel dan Justin sudah hadir di sana saat mereka kembali.

Dan karena mereka berdua sudah datang, Sean dan Budi pamit pulang. Mereka mengatakan untuk segera menghubungi mereka kapanpun jika memerlukan bantuan. Angela dan Tante Rahma hanya bisa mengucapkan terimakasih.

"Bagaimana keadaan Re? Apa sudah ada perkembangan?" tanya Daniel setelah Sean dan Budi pergi.

"Masih nihil. Dokter mengatakan kondisinya masih sama." jelas Angela.

Daniel melihat ke ruang ICU kembali dan mengumpat setelahnya. "Jika sampai terjadi sesuatu pada Re dan polisi tidak berhasil menemukan pelakunya, aku bersumpah akan membunuh orang yang telah menyebabkan semua ini dengan tanganku sendiri!"

"Kak Daniel..." Angela menenangkannya.

"Sepertinya itu tidak perlu." potong Justin setelah tadi sempat menyingkir untuk menerima telepon dari ponselnya. "Pelakunya sudah tertangkap. Petugas kepolisian kemarin baru saja memberitahukan padaku."

"Tania sudah tertangkap?" Daniel merasa tak percaya karena semua terjadi begitu cepat.

"Bukan Tania. Tania menyerahkan diri dan melaporkan segalanya. Pelaku sebenarnya adalah ayah Tania sendiri, Arnata Wijaya."

"Apa?!" Mereka bertiga serentak mengucapkannnya.

"Apa tidak mungkin jika Tania hanya berpura-pura dan menjadikan ayahnya sendiri sebagai kambing hitam? Aku tahu sendiri bagaimana Tania." sanggah Angela.

"Petugas polisi tadi tidak memberikan keterangan lengkap, tapi mereka mengharapkan kehadiran kalian berdua di sana." ucapan Justin merujuk pada Angela dan Daniel.

Angela menoleh pada Daniel lalu pada Tante Rahma dengan kebingungan. Jika mereka berdua pergi berarti mereka harus meninggalkan Tante Rahma sendirian.

"Kalian berdua pergilah. Aku akan ada di sini sampai kalian kembali." tawar Justin.

"Kalau begitu tidak ada masalah lagi. Ayo kita berangkat, Angela." ajak Daniel.

Angela yang masih merasa tidak percaya mendekati Justin. "Tin...Gue mau ngucapin terimakasih sama lo atas semua ini." Ia menatap Justin. "Seharusnya lo nggak perlu repot ngelakuin semua ini, Tin. Lo udah banyak berkorban." bisik Angela pelan sambil menahan airmatanya.

Justin mendekatinya dan mencium pipi Angela. "Pengorbanan gue ngga sebanding sama pengorbanan dia yang berani mempertaruhkan nyawa buat lo, Njel. Gue ngaku kalah."

Angela tidak bisa berkata-kata. Ia hanya bisa terpana menatap Justin yang tersenyum di hadapannya dengan begitu tulus.

"Raihlah kebahagiaanmu, My Angel." tambah Justin kembali sambil menepuk bahunya.

My Angel...

Sebutan yang diberikan oleh Justin untuknya dan akan selalu Angela kenang sebagai bagian dari masa remaja dan persahabatan mereka yang indah.

______________________

Seorang wanita kurus berusia sekitar pertengahan lima puluhan menghampiri Angela dan Daniel sesaat setelah mereka selesai berbicara pada salah seorang petugas kepolisian. Wanita itu tadinya duduk di sebuah kursi panjang yang dekat dengan meja sang petugas.

"Angela Pramoedya?" tanyanya ragu-ragu.

Angela yang kebingungan hanya mengangguk. "Apa aku mengenalmu?"

"Kita tidak pernah bertemu. Aku ibu dari Tania."

Angela dan Daniel terbelalak bersamaan. Daniel langsung memajukan tubuhnya untuk melindungi Angela.

"Aku tidak bermaksud buruk. Dan mungkin kalian tidak akan mempercayai apa yang kuucapkan terutama setelah apa yang kaualami, Angela." lanjut wanita itu dengan cemas.

"Tentu saja kami tidak dapat langsung mempercayaimu, Nyonya. Syukurlah kau sadar akan hal itu. Apa yang ingin kausampaikan? Apa kau ingin membela putrimu?" sahut Daniel dengan sinis.

"Tania hanyalah korban dari semua ini. Ia terpaksa menjadi seperti itu karena ancaman dari suamiku, ayah Tania sendiri." ungkapnya dengan cemas. Ia menatap Angela dan Daniel bergantian.

Di satu sisi Angela merasa kasihan karena wanita itu terlihat tidak berpura-pura. Tapi di sisi lain, ia juga sudah pernah tertipu oleh kesan pertama Tania.

"Suamiku tahu bahwa ayahmu, Ryan Pramoedya sakit dan ia memaksa Tania untuk mendekati Rayhan kembali padahal mereka telah putus sejak lama. Ia memerlukan banyak uang untuk karirnya dalam bidang politik dan entah kenapa beberapa tahun ini begitu terobsesi terhadap hal itu. Dulu dia adalah seorang suami dan ayah yang baik."

"Jika memang benar, lalu kenapa putrimu malah mendukung rencana busuk itu?" sahut Daniel kembali.

"Tania begitu menyayangiku. Saat itu aku berada di rumah sakit karena penyakit jantung yang kuderita. Suamiku tidak mau menghabiskan uang lagi untuk pengobatanku yang sia-sia. Tania memohon padanya tapi tidak berhasil. Beberapa waktu kemudian ayahnya setuju dengan syarat Tania harus bersedia untuk membantu rencananya. Tapi Tania tidak menyangka ayahnya akan berbuat nekat menghabisi nyawa orang sehingga ia muncul dan melaporkan diri."

"Jangan mudah percaya padanya, Angela. Mungkin saja satu keluarga ini adalah spesies ular berbisa."

Angela merasa bimbang. Ia menatap Daniel dan wanita itu bergantian.  Wanita yang berargumen di hadapannya yang begitu lusuh. Beberapa helai rambut mencuat dari ikatan rambutnya dan wajahnya terlihat lelah. Wanita itu adalah seorang ibu. Alangkah menyedihkan jika memang yang diucapkan oleh wanita itu adalah kejujuran.

"Aku sudah menyampaikan kebenaran pada kalian karena aku memperjuangkan putriku yang sudah menderita di atas semua ini. Dan aku tidak akan menyalahkan kalian jika tidak mempercayainya." tambahnya lagi dengan raut pasrah.

"Nona Angela dan Tuan Daniel." petugas kepolisian yang kemarin ditemui mereka di rumah sakit muncul di balik pintu ruangan. Ia menoleh sesaat pada ibu Tania lalu kembali memusatkan perhatian pada mereka berdua. "Ikut saya."

Angela dan Daniel mengangguk lalu mengikuti petugas polisi tersebut melintasi lorong. Sebelum pergi, Angela sempat menoleh ke belakang. Ia melihat wanita itu kembali duduk di kursi panjang yang tadi ditempatinya.

"Tania muncul pagi ini dan melaporkan bahwa ia yang telah melakukan kejahatan terencana itu bersama ayahnya. Ia juga mengakui bahwa selama ini ia bersembunyi dengan hidup berpindah-pindah di Indonesia." jelas sang petugas polisi sepanjang perjalanan mereka di lorong.

"Wanita tadi...Ibu Tania...Ia mengatakan bahwa suaminya yang memaksa Tania untuk melakukan semua itu? Apa itu benar?" tanya Angela.

"Angela...kau memikirkan semua ucapannya?" Daniel mengerutkan alis.

Petugas polisi itu berbalik menghadap mereka sambil membuka sebuah pintu. "Menurut catatan medis, wanita itu memang benar pernah menjalani operasi by pass jantung dua kali seperti pengakuannya. Jadi kemungkinan apa yang diucapkannya benar. Tapi tentu saja kami tidak boleh memutuskan sembarangan dan harus menyelidikinya sedetail mungkin."

Angela hanya mengangguk-angguk mendengarkan penjelasan tersebut.

Mereka masuk ke sebuah ruangan seperti ruang rapat di mana terdapat sebuah meja besar yang berbentuk persegi panjang dengan beberapa kursi yang mengelilinginya.

"Tunggulah di sini. Kami akan membawakan Tania." ujarnya sambil meninggalkan Daniel dan Angela.

Beberapa menit kemudian, Angela kembali melihat wanita itu, mimpi buruknya, Tania...setelah empat tahun lamanya insiden mereka terjadi. Tania menatapnya juga dengan matanya yang cekung lalu duduk di hadapan mereka. Ia terlihat jauh lebih kurus meski masih tetap terlihat cantik seperti dulu.

Suasana hening untuk beberapa saat karena tidak ada satupun dari mereka yang memulai pembicaraan.

"Tania..." Angela hampir tidak percaya ia berani bersuara. "Apa benar kau melakukan semua ini demi ibumu?"

Tania mendongak dan menatapnya tajam. "Aku tidak akan mengatakan padamu hanya untuk meminta belas kasihan, Angela. Kau tahu, aku benar-benar membencimu." semburnya.

"Sial! Kau sungguh wanita berdarah dingin! Pasti kau akan sangat gembira mengetahui Rayhan sekarang sedang berada di ambang kematiannya bukan?"

"Kak Daniel!!" Angela merasa tidak sanggup mendengar kata-kata itu. Meski itu hanya spontanitas yang diucapkan karena Daniel sedang emosi, tapi Angela tidak akan bisa menerima jika kakaknya sampai pergi dari dunia ini.

"Itu tidak benar, bukan?" Tanpa diduga, Tania terlihat terkejut. Seketika wajahnya pucat setelah mendengar kata-kata Daniel.

"Belum! Tapi Re sedang sekarat dan jika terjadi sesuatu padanya aku tidak akan tenang jika kalian sekeluarga tidak merasakan hal yang sama!" bentak Daniel.

"Aku....aku tidak pernah bermaksud menyakiti Rayhan." Tania menggeleng. "Aku kembali kemari karena Mama mengatakan bahwa Papa telah bertindak terlampau jauh dengan menyewa pembunuh bayaran dan sialnya itu mengenai Rayhan, bukan Angela seperti yang direncanakan Papa. Aku...tidak akan pernah menyakitinya."

"Kau sudah menyakitinya, Tania!" sanggah Daniel kembali.

"Tidak! Aku benar-benar menyayanginya! Aku menginginkannya! Aku mencintainya!" bentak Tania

Daniel dan Angela terkejut dengan reaksi keras Tania.

"Saat Papa merencanakan agar aku mendekati Rayhan demi harta keluarga Pramoedya, aku sebenarnya tidak mendukungnya. Alasan utamaku untuk kesembuhan Mama...tapi sesungguhnya jauh di dalam hati kecilku, aku mengharapkan Rayhan bisa jatuh cinta padaku lagi. Dan aku tidak perlu menjalankan rencana Papa...karena jika Rayhan menikahiku karena cinta, segalanya akan berjalan dengan lancar." Mata Tania menerawang jauh saat menceritakannya.

"Saat dulu kami bersama, ia begitu baik padaku. Apa saja yang kuminta ia selalu memberikannya. Bahkan ia tidak keberatan saat aku pergi bersama teman-teman priaku. Kadang aku ingin ia sedikit lebih posesif padaku. Aku ingin Rayhan melihatku sebagai sesuatu yang berharga dan patut diperjuangkan. Akhirnya aku memutuskan untuk meninggalkannya karena kupikir ia akan marah dan memaksaku kembali. Tapi ternyata tidak...dan aku tidak tahu bagaimana cara kembali padanya. Saat mencoba menjalankan rencana Papa dan Rayhan membawaku ke rumahnya, aku begitu gembira sehingga terlena untuk melanjutkan." seulas senyuman muncul di bibir Tania.

"Tapi..." mendadak senyum itu hilang dan ia kembali menatap Angela dengan penuh kebencian. "Kenapa kau harus muncul di antara kami berdua, Angela? Kau menggodanya seperti seorang pelacur murahan! Kau terang-terangan menawarkan dirimu di depan Rayhan dan itu membuatku jijik! Padahal Rayhan berkali-kali menolakmu tapi kau tetap percaya diri dengan wajahmu yang pas-pasan dan tingkahmu yang memalukan itu. Aku tidak pernah bertemu dengan wanita jalang yang gigih sepertimu, Angela!!"

"Hentikan ucapanmu itu, Tania!!" Daniel berdiri dari kursinya tapi terhenti karena Angela menahannya dengan sebelah tangan.

Ia menoleh pada Angela dan mendapati gadis itu menatap Tania tanpa berkedip. "Aku ingin mendengarnya, Kak Daniel."

"Dan kautahu apa yang paling kubenci dari semua itu?" Tania melanjutkan ucapannya tanpa mempedulikan Daniel. "Rayhan terpengaruh pada rayuanmu, gadis sialan! Ia memang selalu mengatakan tidak tertarik padamu tapi aku tahu ia selalu memperhatikanmu secara diam-diam. Awalnya aku berpikir itu hanya ketakutanku saja sampai aku tidak sengaja melihatnya menciummu malam itu!"

Ciuman?

Angela ingat bahwa kakaknya pernah menciumnya di pipi. Demi Tuhan! Tania cemburu hanya karena melihat kakaknya menciumnya di pipi? Dan itu terjadi tepat sehari sebelum pertengkarannya dengan Tania. Jadi kejadian itulah yang membuat Tania berulah.

"Ya, benar...itulah yang menjadi penyebab mengapa aku membuat perkara untuk memfitnahmu." Tania mengangguk. Ia seakan-akan bisa membaca apa yang Angela pikirkan.

"Aku begitu gembira saat rencanaku berhasil membuatmu pergi dari rumah. Tidak ada lagi pengganggu. Dan ia menikahiku meski karena terpaksa. Aku begitu optimis saat menjalani masa-masa awal pernikahan kami karena tekadku untuk membuatnya kembali mencintaiku seperti dulu sehingga ia akan melupakan janji perceraian itu. Tapi kau tahu apa yang terjadi? Ia memperlakukanku begitu sopan dan tidak pernah mendatangiku sekalipun selayaknya seorang suami. Sampai setahun berlalu dan ia malah meminta kembali janjiku untuk bercerai."

Tania menggeleng sambil menatap Angela dengan pandangan jijik.

"Meskipun kau tidak ada di rumah itu tapi kau sudah mengunci hatinya. Aku tidak mengerti apa yang dilihatnya darimu. Sudah jelas-jelas kau jauh dari kata cantik. Kau juga gadis yang kasar, ceroboh, urakan dan bodoh, aku...benar-benar membencimu..."

"Kurasa sudah cukup untuk hari ini." Petugas polisi tadi kembali muncul dari balik pintu dan menyuruh anak buahnya membawa Tania kembali.

Tania berdiri dari kursinya sambil memberikan kata-kata penutup pada Angela. "Jangan pernah sekalipun berpikir aku melakukan ini karenamu. Aku melakukannya hanya demi Rayhan, meski aku tahu ia mungkin tidak akan pernah kembali padaku."

Angela terdiam menahan napas menyaksikan petugas itu menuntun bahu Tania untuk membawanya keluar ruangan. Tania tetap terlihat angkuh meski ia berada dalam posisi sebagai tahanan.

"Tania." ujar Angela sambil berdiri dari kursinya. Tania menghentikan langkahnya namun ia tidak menoleh.

"Kau tahu...Saat kau begitu perhatian padaku, aku sangat bahagia. Sejak kecil aku memimpikan memiliki seorang kakak perempuan dan saat itu aku sempat menemukan sosoknya pada dirimu."

Tania tetap bergeming di tempatnya.

"Aku...pernah menyayangimu dan itu bukan kepura-puraan." ucap Angela.

Karena tidak ada seorang pun yang berbicara lagi, polisi akhirnya melanjutkan membawa Tania. Meskipun Tania pernah memberikan luka padanya, ia kini sadar bahwa di balik itu Tania mungkin menjalani kehidupan yang lebih pahit darinya.

Tidak ada orang yang benar-benar jahat di dunia ini. Begitu pula sebaliknya.

Yang ada hanyalah orang-orang yang tidak bahagia.

Angela tidak tahu apakah filosofi Socrates itu kemungkinan benar.

_________________________

Angela mandi dan berganti pakaian dengan secepat kilat di kamarnya sementara Daniel menunggu di ruang tamu bawah. Urusan mereka di kantor polisi telah usai hanya untuk hari ini dan masih akan berlanjut lagi di kemudian hari. Sebetulnya ia ingin langsung kembali ke rumah sakit, tapi Daniel menganjurkan padanya untuk membersihkan diri sebentar.

"Angela, apa kau sudah selesai?" Daniel mengetuk pintu kamarnya.

Angela baru saja selesai mengancingkan celana jeansnya dan segera bergegas membuka pintu. "Sudah." jawabnya mantap.

"Bagus. Karena kita harus kembali sekarang juga." Daniel melangkah dengan cepat menuju tangga. Angela melihat raut wajah panik Daniel dan ia merasakan ada sesuatu yang terjadi.

"Ada apa, Kak?" tanyanya sambil ikut menuruni tangga dengan tergesa-gesa.

"Aku tidak ingin memberitahumu, tapi kau pasti akan selalu bertanya. Keadaan Re semakin memburuk. Itu yang dikatakan oleh ibunya di telepon tadi sambil menangis."

Angela merasa limbung mendengarnya.

Ia berusaha tenang dan memakai alas kakinya dengan benar di undakan teras meski ia begitu gugup.

Seandainya keajaiban itu ada...

Tapi dalam hidupnya Angela tidak pernah menemukan keajaiban.

Orang-orang yang ia cintai satu persatu meninggalkannya. Pertama ibunya, lalu ayahnya...padahal Angela begitu optimis agar sesuatu yang indah akan datang. Tapi yang terjadi selama ini hanya sebaliknya.

Ayah dan ibunya....

Mereka seperti Jack dan Rose yang hanya pernah merasakan sekejap kebahagiaan dan akhirnya terpisahkan oleh maut.

Leonardo dan Kate...

Sepasang ikan yang pernah ia buang dan Angela mengingatnya juga. Betapa ia menyesal telah menyingkirkan mereka yang ia sayangi. Seperti ia menyingkirkan kakaknya saat itu.

Seandainya saja ia mau mendengarkan penjelasan kakaknya...

Hanya saja sekarang sudah terlambat...

Daniel melajukan mobilnya begitu cepat di jalan tol, sehingga Angela hampir tidak menyadari bahwa mereka telah sampai. Keluar dari mobil, Daniel menariknya berlari menuju lift.

Mereka sampai di depan ruang ICU di mana Tante Rahma sedang menangis sementara Justin memeganginya.

"Apa yang terjadi?" tanya Daniel.

Angela melirik ruang ICU yang tampak dipenuhi oleh beberapa perawat dan dokter yang mengerubungi tempat kakaknya terbaring. Mereka terlihat sibuk dan pemandangan itu hanya membuat jantung Angela berdetak semakin cepat.

"Denyut nadinya baru saja menghilang di monitor."

Ucapan Justin membuat Daniel dan Angela terbelalak.

"Justin, kau jangan bergurau." ancam Daniel.

"Aku tidak bergurau. Perawat yang mengatakan padaku tadi saat aku bertanya." sahut Justin setengah menghela napas.

Daniel kehilangan kata-kata selanjutnya.

Angela merasa akan kehilangan kesadarannya. Ia hampir tidak bisa merasakan kakinya yang menapak lantai dan pernapasannya terasa sesak seketika. Keajaiban memang tidak pernah datang...

"Mungkin kita memang harus merelakannya seperti saat merelakan Ryan dulu." gumam Tante Rahma di sela-sela tangisnya.

Merelakan...

Angela menoleh ke ruang ICU lagi dan menguatkan diri untuk menatap pemandangan itu. Tanpa sadar ia melangkahkan kakinya ke depan jendela kaca.

Merelakan orang terakhir yang dicintainya di dunia ini pergi untuk selamanya?

Seperti Rose yang merelakan Jack untuk pergi?

Dan mempercayai bahwa setelah badai berlalu akan ada kehidupan baru yang lebih indah?

Benarkah?

"Tidak boleh...."

Gumaman itu membuat ketiga orang yang ada di belakang Angela menatapnya.

"Kau dengar itu, Kak! Kau tidak boleh pergi!" Angela meninggikan suaranya.

"Kaupikir aku akan merelakanmu seperti saat aku merelakan Papa? Tidak akan! Aku...tidak akan pernah memaafkanmu jika kau benar-benar pergi! Karena kau tidak pernah memberikan kebahagiaan padaku. Apa kau tidak sadar bahwa selama ini yang kauberikan padaku hanya penderitaan?"

Saat Angela selesai mengucapkan kata-kata itu, air mata sudah membasahi seluruh wajahnya. Ia menemukan dirinya ada dalam pelukan Daniel dan Angela akhirnya menangis sejadi-jadinya...menumpahkan airmata sepuasnya tanpa mempedulikan apapun.

Aku sudah bersabar menunggumu.

Untuk mengakuiku sebagai seorang wanita.

Untuk mengakui bahwa yang kutawarkan padamu adalah cinta yang sesungguhnya.

Karena cinta sejati adalah penantian.

True love is a waiting...

***

Continue Reading

You'll Also Like

2.2M 18.7K 43
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
4.8M 176K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...
1M 48.2K 38
Kalluna Ciara Hermawan memutuskan untuk pulang ke kampung Ibu nya dan meninggalkan hiruk pikuk gemerlap kota metropolitan yang sudah berteman dengan...
348K 14.1K 33
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...