DIA (BANYAK DIHAPUS)

By qiaqiya

3.5M 228K 3.8K

"Dia adalah sekretaris Dirjen yang aku kenal saat acara penandatanganan kesepakatan kerjasama antara perusaha... More

prolog
bag 1
bag 2
bag 3
bag 4
bag 5
bag 6
bag 7
bag 8
bag 9
bag 10
bag 11
bag 12
bag 13
bag 14
bag 15
bag 16
bag 17
bag 18
bag 19
bag 20
bag 21
bag 22
bag 23
bag 24
bag 25
bag 26
bag 27
bag 28
bag 29
bag 30
bag 31
bag 32
bag 33
bag 34
bag 35
bag 36
bag 37
bag 38
part 39
part 40
part 41
part 43
part 44
part 45
part 46
part 47
part 48
part 49
part 50
part 51
part 52
part 53
part 54
part 55
part 56
part 57
part 58
epilog
extra part (1) - satria
extra part (2) - sasti
extra part (3) - wedding's life
extra part (4) - surprise
extra part (5) - Satria Jr
spesial part

part 42

41K 2.7K 44
By qiaqiya

Sembari menunggu makanan datang Sasti mencoba mencari informasi mengenai penyakit yang didiagnosa oleh dokter, meski pemeriksaan lab akan dilakukan besok untuk diagnosa yang lebih pasti.

Mata Sasti membaca dengan teliti hasil pencarian yang ia dapatkan dari Google, sesekali jari telunjuk Sasti menyentuh layar handphonenya untuk menggeser artikel tersebut sehingga Sasti bisa membacanya sampai selesai.

Sesekali ia menarik nafas lalu menghembuskannya perlahan, perasaannya tak menentu saat membaca setiap kata yang ada di artikel kesehatan tersebut.

"Sebagian besar kasus penyakit ini disebabkan oleh infeksi virus, tetapi infeksi bakteri dan jamur juga dapat menyebabkan menderita penyakit ini. Tergantung penyebabnya, penyakit ini dapat sembuh dalam beberapa minggu atau bahkan dapat mengancam jiwa. Jika anggota keluarga atau orang terdekat Anda menderita penyakit ini, segera mencari perawatan medis karena pengobatan awal yang dilalukan dapat mencegah komplikasi yang lebih serius."

Sasti menarik nafas panjang sebelum ia melanjutkan membaca artikel tersebut di dalam hatinya.

"Komplikasi penyakit ini bisa menjadi parah jika tanpa pengobatan dan semakin besar risiko kejang dan kerusakan saraf permanen, termasuk gangguan pendengaran, kesulitan mengingat, kerusakan otak, kejang, gagal ginjal, syok, atau bahkan berujung kematian."

Tiga kata terakhir dalam paragraf tersebut benar-benar menusuk hati Sasti, seketika kepalanya berdenyut keras sontak membuat tangan kanannya tergerak untuk memijit pelipisnya.

Dan gerakan Sasti tersebut disadari oleh Satria, lelaki itu berjalan mendekati Sasti lalu duduk di sebelahnya.

"Kepala kamu pusing?" tanya Satria lembut.

Sasti menggeleng pelan, "engga kok."

Melihat tangan kirinya yang sedang memegang handphone dengan layar yang penuh tulisan mengundang rasa ingin tahu Satria, "kamu lagi baca apa?"

"Hmm.. ini artikel soal penyakit yang dokter diagnosa" jawab Sasti kembali melanjutkan membaca artikel tersebut.

"Sas..." Satria menutup layar handphone Sasti dengan telapak tangannya, membuat mata Sasti beralih dari yang semula menunduk ke arah handphone berganti menjadi menatap Satria yang duduk di sebelahnya.

"Jangan dilanjutin bacanya kalau itu cuma memperburuk kondisi kamu" ucap Satria pelan.

Sasti segera menarik handphonenya dari bawah tangan Satria, "aku baik-baik aja Sat, aku harus baca, aku harus cari tahu sendiri tentang penyakit yang kemungkinan besar diderita sama anak aku" balas Sasti sembari menekankan kata kemungkinan besar.

Tatapan tajam Sasti ke arah Satria memudar, ia kembali menatap layar handphonenya membaca setiap kata yang ada di paragraf pada artikel kesehatan tersebut. Selesai dengan artikel yang satu, Sasti kembali mencari artikel yang lain. Saking seriusnya Sasti dengan artikel yang ia baca, dirinya tak menyadari kalau Satria sedang menatapnya lekat, menatap penuh kelembutan dengan senyuman yang perlahan tercetak dibibir tipis lelaki itu.

Aku tak pernah menyesal bertemu denganmu Sas, aku juga tak pernah menyesal dulu menciummu, aku tak pernah menyesal membiarkan perasaan ini tumbuh saat aku berpikir kamu telah menikah, mungkin sekarang belum waktunya tapi apakah kita bisa bersatu nanti? batin Satria dengan mata yang lekat menelusuri setiap inci wajah Sasti.

Deg! Jantung Satria berdesir melihat setiap perubahan ekspresi wajah Sasti yang sedang serius dengan handphonenya. Sasti yang kadang mengerutkan keningnya karena bingung, lalu ekspresi wajahnya berubah datar, lalu berubah lagi penuh dengan kesedihan.

Aku . . . bahkan aku tak menyesal dulu menyuruh Ayasha untuk menggugurkan kandungannya, kalau saja Ayasha tidak menitipkan bayinya kepadamu mungkin kita tidak akan bertemu bukan? tambah Satria masih tetap di dalam hatinya.

Ayasha yang duduk di depan Sasti dan Satria merasa muak melihat pemandangan didepannya, atau lebih tepatnya ia muak melihat bagaimana Satria memandang Sasti. Pandangan memuja, pandangan yang siapapun melihatnya pasti akan tau kalau lelaki itu tergila-gila dengan perempuan yang sedang ia lihat.

Dulu pandangan itu hanya untuknya, tapi sekarang pandangan itu bukan lagi milik Ayasha, melainkan milik perempuan yang merawat bayinya. Ayasha menghela nafasnya.  Kalau saja dulu aku tak memberikan Naresh kepada Sasti mungkinkah hal seperti ini akan tetap terjadi batin Ayasha yang bertanya-tanya.

Ayasha memilih memejamkan matanya, melihat Satria dan Sasti membuat kepalanya menjadi pening. Ditambah lagi dengan diagnosa yang dikeluarkan oleh dokter mengenai keadaan Naresh.

Kenapa harus Naresh? Kenapa harus anakku?

Ketukan di pintu kamar membuat Ayasha kembali membuka matanya, dilihatnya seorang perempuan masuk ke dalam dengan kedua tangan yang penuh oleh kantong plastik berwarna putih.

"Selamat malam pak" ucap perempuan tersebut sambil mengangguk sopan ke arah Satria.

"Taruh makanannya di meja sini Rin" perintah Satria kepada sekretarisnya.

Dibantu Sasti dan juga Ayasha, Arin pun mengeluarkan makanan yang Satria pesan lalu menatanya di meja.

"Ini kamu engga salah Sat pesen makanan sebanyak ini?" tanya Sasti yang heran melihat banyaknya makanan yang dibawa oleh sekretarisnya Satria.

"Kamu kan engga makan dari kemarin Sas, jadi aku sengaja pesen yang banyak" jawab Satria dengan santainya.

Sasti menatap Satria sambil menggelengkan kepalanya tak percaya mendengar jawaban yang Satria lontarkan. Sedangkan Ayasha, ia menatap Satria pilu, lagi-lagi Sasti yang dipikirkan oleh lelaki itu.

"Saya permisi pak" Setelah menata makanan di meja, Arin pun pamit hendak pulang.

"Loh, kamu ikut makan aja. Ini banyak banget loh makanannya" Sasti berinisiatif untuk mengajak sekretarisnya Satria untuk makan bersama mereka.

Namun Arin menolak dengan sopan, "Maaf bu, saya pulang saja lagi pula saya sudah janji bertemu dengan teman-teman waktu sekolah."

"Ohh, mau reuni ya? Wahh seru dong ya. Hati-hati ya kalau begitu" ucap Sasti sambil mengantar Arin hingga ke depan pintu kamar.

"Iya bu, makasih ya bu" Arin pun pamit undur diri, lalu Sasti menutup pintu kamar dan kembali masuk ke dalam.

"Kamu sekretarisnya bukan diajak makan Sat, basa basi gitu, terus ucapin terima kasih udah anterin makanan" tegur Sasti yang melihat sikap cuek Satria.

Satria mengerutkan keningnya mendengar ucapan Sasti, "dia anterin makanan karena aku yang suruh, lagian kan dia emang kerja sama aku."

"Ya aku tau dia kerja sama kamu, tapi apa susahnya bilang makasih sih? hargai sedikit orang lain."

Satria menatap datar Sasti, lalu memalingkan wajahnya menghadap ke makanan yang ada di atas meja. Tangan kirinya pun terulur membuka satu bungkusan, dan tangan kanannya mengambil sendok lalu ia makan dengan lahap tanpa memperdulikan Sasti yang berdecak melihat tingkah Satria.

Bossy! Batin Sasti yang tak suka.

--

Vito berjalan dengan tergesa-gesa menyusuri lorong lantai 6 menuju kamar VIP yang Sasti tempati, pikiran dan hatinya gelisah tak menentu. Jantungnya yang berdegup lebih cepat membuatnya tangannya mulai mengeluarkan keringat dingin.

Di depan pintu kamar, Vito tak langsung membukanya. Tangannya memang sudah memegang handle pintu siap untuk membuka, namun tidak dengan hatinya. Vito menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan, mencoba mengontrol detak jantungnya barulah ia membuka pintu tersebut.

Vito melangkah masuk ke dalam dengan senyum mengembang di wajahnya, namun senyum itu seketika sirna saat melihat Sasti yang tengah duduk di sofa sedang membuka mulutnya siap menerima sendok yang diarahkan ke mulutnya oleh lelaki yang tak asing lagi baginya.

"Sas . . ." suara Vito terdengar parau saat memanggil Sasti.

"Ehh.. Vit kamu udah sampe" Sasti yang terkejut dengan kemunculan Vito secara tiba-tiba membuatnya sedikit gugup.

Sasti langsung berdiri dan menghampiri Vito yang masih diam berdiri.

Vito terus mengarahkan tatapan tajamnya ke arah Satria, kenapa lelaki itu bisa ada disini batinnya.

"Ayok ikut duduk" Sasti pun menggamit lengan Vito mencoba mengajaknya untuk duduk di sofa.

Vito mengalihkan tatapan tajamnya dari Satria ke arah Sasti, berubah menjadi tatapan yang lembut penuh kerinduan. Tak segan Vito melayangkan kecupan di kening Sasti, hingga dia tersadar dengan pakaian rumah sakit yang Sasti kenakan.

"Kamu kok pake baju pasien?" tanya Vito tanpa menutupi kebingungannya.

"Eng.. aku.. "

"Tadi pagi Sasti pingsan terus sempat di rawat di kamar ini makanya dia pake baju pasien" Ayasha melanjutkan kata-kata Sasti yang menggantung.

Vito yang tak mengenal Ayasha hanya menatap sekilas ke perempuan itu, matanya kembali menatap ke arah Sasti yang terdiam di sampingnya.

"Kenapa kamu engga hubungin aku Sas?" tanya Vito yang terlihat meminta penjelasan.

"Aku.. aku engga mau ngerepotin kamu Vit makanya aku engga ngehubungin kamu" jawab Sasti pelan, ia sendiri sebenarnya bingung ingin menjawab apa. Karena seharian ini ia benar-benar lupa dengan Vito, yang ada dipikirannya hanya Naresh.

Vito menghela nafasnya saat mendengar jawaban Sasti, "Sejak kapan kamu itu ngerepotin aku?" tanya Vito lembut sambil membelai kepala Sasti.

Sasti diam tak menjawab, ia hanya menunduk tak berani menatap Vito. Entah kenapa ia merasa takut, ia juga merasa bingung dengan situasi saat ini.

"Naresh mana?" Vito yang mengedarkan pandangannya tak melihat sosok kecil Naresh.

"Hmm.. Naresh ada di ICU Vit, di lantai 4" jawab Sasti pelan.

"ICU?!" Vito terkejut bukan main saat mendengar jawaban Sasti.

"Naresh di ICU pun kamu engga ngasih tau aku?" terdengar nada kekecawaan dari ucapan Vito.

"Aku.. aku panik Vit, jadi aku bener-bener lupa untuk hubungin kamu" jelas Sasti.

Vito menggelengkan kepalanya, ia tak terima dengan penjelasan Sasti. Sasti bisa lupa untuk menghubunginya tapi kenapa Satria bisa ada disini bersamanya? Kenapa lagi-lagi lelaki itu berada di dekat Sasti? batin Vito yang tak habis pikir.

Melihat Satria hari ini pun membuat dirinya teringat kembali dengan pertemuan pertamanya dengan Sasti setelah mereka berpisah cukup lama, di café itu Sasti sedang bersama Satria. Lelaki itu benar sepupunya Ratna atau ? Vito mencoba membuang jauh pikirannya itu.

"Aku mau lihat Naresh sekarang bisa apa engga?" tanya Vito kemudian.

"Ehmm.. ayok kita ke bawah tapi aku engga tau suster ijinin atau engga soalnya jam besuk udah abis" balas Sasti.

"Abisin dulu makanan kamu Sas" Satria yang sedari tadi diam angkat suara saat melihat Sasti yang hendak keluar dari kamar bersama Vito.

"Nanti aja Sat, lagian aku udah kenyang kok" ujar Sasti dengan tersenyum.

Sasti pun keluar bersama Vito meninggalkan Satria berdua bersama Ayasha.

Satria menatap kepergian Sasti dan Vito dengan perasaan campur aduk, ia merasa selalu dibelakang lelaki tersebut.

--

Pintu lift yang akan membawa Sasti dan Vito turun ke lantai 4 menutup, sedangkan lift disebelahnya yang baru saja naik dari lantai dasar terbuka pintunya. Ratna keluar dari dalam lift tersebut dengan cepat lalu setengah berlari ia segera menuju kamar VIP yang sudah diberitahukan nomornya oleh Satria melalui sms.

Sepanjang perjalanan rasa khawatir menyelimuti Ratna, kenapa Naresh bisa masuk ICU? Kasihan sekali anak itu batin Ratna yang terenyuh.

Setelah menemukan kamar yang dimaksud Ratna langsung masuk tanpa mengetuk pintu, "mas . ." seru Ratna saat melihat wajah Satria.

"Ehh.. mba.. mba Ayasha?!" Ratna tak bisa menutupi keterkejutannya saat melihat wajah yang ia kenal sedang bersama sepupunya.

Ratna menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "Kok mba Ayasha bisa ada disini? Mba apa kabar?" tanya Ratna menyapa mantan kekasih sepupunya itu.

"Hai Nana, mba baik kok. Nana sendiri kabarnya gimana? Pangling loh mba liat Nana" jawab Ayasha begitu ramah kepada Ratna.

"Nana baik kok mba, mba kemana aja? Kok baru keliatan sekarang?" tanya Ratna yang begitu penasaran dengan kepergian Ayasha, atau lebih tepatnya kenapa Ayasha dan Satria yang dulu dikenal sebagai pasangan saling mencintai di keluarga besar mereka namun tiba-tiba hubungan keduanya kandas begitu saja sesaat sebelum keberangkatan Satria ke Amerika.

"Panjang ceritanya Na hehehe" Ayasha terkekeh mendengar pertanyaan Ratna.

"Ohh iyaa... Naresh gimana keadaannya?" tanya Ratna yang kembali teringat dengan tujuan utamanya datang ke rumah sakit ini.

"Baik kok Na, tapi lagi tidur. Nana kalau mau jenguk coba aja ke lantai 4, ada Sasti sama pacarnya di bawah" jawab Ayasha.

Mendengar kata pacar membuat Ratna terdiam ia sedang berpikir maksud ucapan Ayasha, hingga akhirnya . . . "Ohh Vito ya maksudnya?" tanya Ratna kemudian.

"Iyaa kayaknya namanya Vito" jawab Ayasha.

"Yaudah Nana coba turun ke bawah yaa, dah mba dah mas" tanpa menunggu jawaban Satria maupun Ayasha, Ratna langsung pergi keluar dari kamar tersebut.

Kenapa bisa ada mba Ayasha disini? lagi Ratna menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Teringat dengan ucapan Ayasha yang mengatakan kalau Sasti bersama Vito dibawah membuatnya berdecak sebal. Ada Vito dan Mba Ayasha muncul, makin ruwet!!

--

21/08/2016






Continue Reading

You'll Also Like

1.1K 67 24
"Terima kasih untukmu, Na Jaemin. Seseorang yang rela mengukir kisah dengan seseorang sepertiku, meskipun hanya sekilas. Aku merindukanmu.."
88.9K 6.3K 27
(Belum sempat direvisi, masih acak-acakan. Gomen). Haruno Sakura harus menerima kenyataan bahwa dia adalah takdir dari seorang manusia setengah vampi...
1.8M 73.9K 22
[Telah diterbitkan oleh Namina Books. Tersedia di Toko Buku Online dan Google Play Store] Link PlayStore: https://play.google.com/store/books/details...
25.5K 2.1K 34
Sabia Maisadipta begitu terobsesi pada cowok yang dikenalnya saat kegiatan Ospek. Mas Ganteng, begitu panggilan sayang Bia untuk mahasiswa Fakultas E...