(END) RAYHAN AND ANGELA

matchamallow tarafından

18.1M 864K 75.1K

ISI MASIH LENGKAP!! ROMANCE DEWASA Seri ke 2 dari trilogi Sean-Rayhan-Daniel ANGELA PRAMOEDYA Sejak pertemuan... Daha Fazla

Keterangan
Part 1-Rayhan
Part 2- Angela
Part 3-Justin
Part 4 - Love Confession
Part 5-Dia...hanya Angela
Part 6 - The Promise
Part 7-Feeling Alone
Part 8-Birthday
Part 9 - Auction
Part 10-The Result
Part 11-Tempted and The First Kiss
Part 12-Wish I could say the same thing...
Part 13-The Truth
Part 14-Double Jeopardy
Part 15-Fallin Tears
Part 16-New Life
Intermezzo
Part 17-Angela
Part 18-Rayhan
PART 19-Desire
Part 20-(Private) My Promise
Part 21-The Feeling
Part 22-Reason
Part 23-This is What You Came For
Part 24-(Private) The Biggest Fear
Part 25 - Past and Present
Part 26 - Forgive but Not Forget
Part 27 - Second Chance
Part 28 - Do You Really Love Me?
PART 28.2 - DO YOU (REALLY) LOVE ME?
Part 29 - Crazy
Part 30 - The Painful Truth
Part 31 - Why?
Part 32 - We don't Talk Anymore
Part 34 - Mourning Day
Part 35 - If Life is so Short
Part 36 - Imperfect
Part 37 - Pride and Prejudice
Part 38 - Heritage
Part 39 - True Love is a Waiting
Part 40 - Chasing You
Part 41 - Marry Me Please
Part 42 - (END) Take Me Home
Q/A serta Trailer Rayhan and Angela
Epilog dan Extra Part Rayhan & Angela

Part 33 - I'll Be Alright

294K 18.9K 1.9K
matchamallow tarafından

I'll Be Allright - Anggun

***

"Papamu kujadwalkan masuk ICU besok siang, Rayhan."

Angela mendengar suara seseorang dari dalam kamar rumah sakit saat ia baru saja akan membuka pintu. Ia nekat kembali ke rumah sakit pada pukul sembilan malam tanpa tante Rahma, ibunda Rayhan karena tidak bisa tidur dengan tenang memikirkan keadaan ayahnya. Setelah dipikir-pikir ia tidak peduli jika harus bertemu lagi dengan kakaknya.

Saat pulang tadi ia memang bercakap-cakap sebentar dengan tante Rahma bahwa ayahnya terkena penyakit yang serius dan sudah berlangsung dalam jangka waktu lama. Namun tante Rahma menolak menjelaskan lebih lanjut mengenai seberapa parah keadaan ayahnya dan mengatakan akan mengajaknya menemui dokter besok untuk mendapat keterangan lengkap.

"Aku tidak bisa menandatanganinya. Aku tidak tahu bagaimana reaksi Papa jika aku setuju memindahkannya ke ICU."

Angela mendengar suara kakaknya dan membuka pintu pelan-pelan agar tidak mengganggu.

"Meski terlihat baik, tapi kondisi papamu memburuk. Saya tidak bisa membiarkannya begitu saja."

"Apakah dengan membawanya ke ICU, dokter bisa menjamin akan membuatnya selamat?" tanya Rayhan. Angela melihat kakaknya berbicara dengan seorang lelaki paruh baya berjas putih yang kelihatannya adalah seorang dokter. Beberapa perawat berlalu lalang di sekitar mereka. Ada yang mengecek kondisi infus ayahnya, ada pula yang mencatat sesuatu.

"Dengar, Rayhan. Kami semua di sini adalah dokter, bukan Tuhan. Sebenarnya tidak ada yang seorang pun dokter yang bisa memberikan jaminan kehidupan ataupun vonis kematian pada pasiennya. Kami hanya bisa mengupayakan yang terbaik, sekecil apapun harapan yang ada." jelas sang dokter dengan sabar. "ICU memiliki peralatan yang lebih lengkap dan ruangan yang steril. Jelas itu lebih baik untuk Papamu."

Rayhan menggeleng.

"Boleh aku tahu sebenarnya apa yang terjadi pada Papa?" Angela akhirnya mengeluarkan suara.

Rayhan dan dokter tadi menoleh pada Angela. "Angela, sejak kapan kau ada di sini?"

"Mengapa Papa harus masuk ICU? Papa pasti akan baik-baik saja, bukan?! Tolong katakan padaku bahwa Papa tidak apa-apa!!" Angela bertanya dengan panik.

Rayhan dan dokter tadi hanya terdiam seakan kebingungan untuk menjelaskan padanya.

"Angela...kaukah itu?"

Suara ayahnya membuat Angela tidak mengindahkan mereka lagi. Ia bergegas menuju ke samping tempat tidur dan menggenggam tangan ayahnya kembali. "Pa...untunglah kau sadar. Katakan padaku bahwa apa yang kudengar tadi tidak benar. Papa hanya sakit biasa. Papa pasti sembuh, bukan?" Angela berbisik di telinga ayahnya.

Ayahnya mengangkat tangannya yang berada di genggaman Angela dan mengelus pipinya. Ia tak menjawab apapun dan hanya menggelengkan kepala.

"Aku tidak mengerti, Pa. Kenapa kau tidak menjawab saja pertanyaanku tadi? Jangan membuatku semakin kebingungan dengan semua ini. Kumohon, Pa." rengek Angela dengan suara pelan.

"Kau tidak perlu cemas, Angela...Kematian bukanlah akhir...dari segalanya, Nak..." ayahnya membuka suara.

Angela menggeleng. "Tidak..."

"Semua manusia...pasti akan menghadapinya...nanti."

Angela menggeleng semakin keras. "Tidak! Tidak! Tidak, Pa! Aku tahu tentang semua itu, tapi Papa tidak boleh meninggalkanku sekarang! Papa pernah berjanji bahwa Papa tidak akan meninggalkanku! Jika Papa berani meninggalkanku itu berarti Papa tidak sayang padaku! Angela percaya selama ini bahwa hanya Papa satu-satunya orang yang menyayangi Angela. Papa tidak boleh pergi sekarang! Tidak boleh!"

Tenggorokan Angela terasa tercekat karena menahan untuk tidak berbicara keras-keras. Ia tidak ingin orang lain tahu tentang kelemahan hatinya. "Jika kau pergi, tidak ada yang menyayangiku lagi...tidak ada, Pa..." bisik Angela.

"Papa...tidak akan...meninggalkanmu." Ayahnya menggeleng pelan.

Angela yang melihatnya perlahan-lahan tersenyum sambil mengangguk-angguk. Ia merasa lega.

"Mamamu juga tidak pernah...meninggalkanmu...Lihatlah...ia sekarang ada di sini juga...dan tersenyum pada kita...aku bisa melihatnya..." ayahnya tersenyum dan memejamkan mata. Sepertinya obatnya mulai bekerja dan ia tertidur kembali.

Angela berhenti tersenyum.

Banyak yang mengatakan bahwa saat seseorang mendekati ajal maka mereka akan sering meracau. Dan ayahnya sekarang melakukan hal itu. Entah kebetulan atau tidak.

"Tidak..." Angela menegakkan tubuh sambil menggeleng kembali. "Tidak, Pa. Kau tidak boleh mengatakan hal tadi lalu seenaknya tidur begitu saja!!" tanpa sadar ia mengguncang pelan tubuh ayahnya. "Dengarkan Angela, Pa. Angela belum selesai berbicara..."

"Angela! Hentikan!!" Rayhan menarik tubuh Angela menjauh.

"Lepaskan aku!! Aku belum selesai berbicara dengan Papa!! Lepaskan!!" Angela meronta-ronta mencoba melepaskan diri. Rayhan akhirnya melepaskannya di sudut ruangan yang terjauh.

"Berhentilah bersikap seperti anak kecil, Angela!!" bentak Rayhan. "Apa yang kaulakukan tadi tidak akan membantu apapun! Malah kau bisa mencelakakan Papa karena ulahmu!"

"Aku?! Aku tidak membantu?! Bagaimana denganmu, Kak?! Apa saja yang sudah kaulakukan?!" Angela mendorong Rayhan dengan penuh kemarahan.

Rayhan hanya terpaku menatapnya tanpa membalas.

"Jika kau sudah melakukan sesuatu yang berguna, mengapa Papa masih ada di sana?! Jawab aku!!" Angela menunjuk tempat tidur.

Rayhan berbalik dan menyisiri rambutnya dengan frustrasi lalu sejenak kemudian kembali menghadap Angela. "Dengar, Angela. Aku tahu kau sedih. Tapi bisakah kau tenang dan tidak bertingkah dramatis seolah-olah kau adalah yang paling menderita di sini? Semua orang bersedih, Angela! Bukan hanya dirimu." sahut Rayhan.

Angela ternganga tak percaya mendengarnya. "Aku tidak bersikap dramatis, sialan! Kakak tidak akan mengerti apa yang kurasakan karena kakak tidak pernah kehilangan! Orang sepertimu yang memiliki segalanya dalam hidup tidak akan pernah mengerti!"

Angela berbalik dan berlari keluar ruangan. Ia mendengar suara Rayhan yang memanggilnya tapi Angela tidak peduli. Angela hanya ingin mencari tempat untuk bersembunyi dan menangis sepuasnya seperti yang biasa ia lakukan. Ia memang sering bertingkah kekanak-kanakan akhir-akhir ini. Angela mengakuinya dalam hati. Tapi itu terjadi karena ia tidak pernah mendapatkan apa yang diinginkannya padahal ia selalu bersabar.

Ia sudah menjadi anak yang baik sejak umur lima tahun agar mamanya tidak selalu bersedih, tapi mamanya pergi meninggalkannya lebih dulu sebelum Angela sempat melihatnya bahagia. Ia sudah menunggu selama empat tahun untuk menjadi cantik dan mandiri agar diakui oleh kakaknya, tapi kakaknya sudah menjadi milik orang lain saat ia berhasil. Mengapa kehidupan seakan tidak pernah mengasihaninya? Dan sekarang ia harus berhadapan dengan risiko akan kehilangan orang yang ia cintai lagi?

Ini semua hanyalah mimpi buruk yang akan segera berakhir. Angela mempercayai itu. Sebentar lagi ia akan terbangun dan mendapati dirinya ada di tempat tidurnya yang nyaman di Sydney lalu menerima telepon ucapan selamat pagi dari ayahnya seperti biasa. Ini semua adalah mimpi...

Tapi seberapa besarpun Angela mencoba meyakinkan dirinya, ia tetap menyadari dengan pedih bahwa ini adalah kenyataan. Dinding yang disentuhnya, lantai yang dipijaknya, langit-langit...semua yang ada di sekitarnya terasa nyata. Dan ayahnya memang benar terbaring di sana tadi.

"Angela..."

Seseorang memanggil namanya sehingga Angela menoleh. Ternyata dokter yang tadi bersama dengan mereka di kamar. Angela terpaksa cepat-cepat menghapus airmatanya dengan telapak tangan dan bersikap normal.

____________________

"Perkenalkan, saya dokter yang selama ini menangani ayahmu. Biasanya ayahmu memang melakukan check up dan perawatan di Singapura, tapi untuk keperluan biasa ia berkonsultasi pada saya." Dokter tadi menyerahkan teh hangat beraroma peppermint dalam gelas karton pada Angela. Angela menerimanya sambil melihat sekeliling. Mereka ada di sebuah kantor dengan dinding kaca dan Angela dapat melihat beberapa dokter dengan pakaian berbeda sedang duduk santai di ruangan sebelah.

Ia menoleh kembali pada sang dokter yang sibuk membuka berkas untuknya.

"Entah kenapa dulu ayahmu jarang melakukan medical check up sehingga ia baru mengetahui bahwa ia menderita kanker setelah kedapatan bahwa penyakit itu sudah mencapai stadium akhir. Ia mengetahui itu sekitar tujuh tahun yang lalu, Angela." Dokter itu menunjukkan map berisi tulisan-tulisan yang tidak Angela mengerti, tapi memang tertera nama ayahnya dan tahun yang disebutkan di sana. "Kanker yang diderita ayahmu tidak berkumpul, tapi bersifat menyebar sehingga tidak terlihat secara nyata."

Kanker? Jadi ayahnya menderita kanker?

Sebagai orang awam, Angela hanya tahu bahwa penyakit itu sulit untuk disembuhkan.

"Tapi Papa tidak pernah menunjukkan gejala bahwa ia menderita kanker. Ia bahkan terlihat sehat dan baik-baik saja." tuntut Angela. Ia sering melihat di televisi bahwa seseorang yang menderita kanker biasanya lemah dan mengalami kerontokan rambut.

"Karena ayahmu tidak mau menjalani pengobatan, Angela." jawab dokter. "Ia menolak menjalani pembedahan, kemoterapi, stem cell ataupun cara-cara penanganan medis lainnya."

"Mengapa Papa tidak mau melakukannya?!"

"Ia sudah melakukan banyak konsultasi dan mendapati bahwa tingkat kesembuhannya kecil dan bahkan resiko kematian yang mungkin lebih cepat jika ia menjalaninya. Umur ayahmu sudah tidak muda lagi dan kemungkinan tubuhnya tidak akan kuat menjalani proses kemoterapi berkali-kali. Jadi ia memilih untuk membiarkannya dan meminum obat-obatan serta suplemen saja selama ini."

"Ke...matian yang lebih cepat?" Angela sampai tergagap mengucapkannya.

"Selama ini ia berhasil menutupi sehingga tidak ada satu pun anggota keluarganya yang tahu. Tapi sel kanker itu terus menyebar dan kemarin mencapai paru-parunya sehingga menghambat jalan napas."

Angela berubah pucat pasi mendengarnya. Ia tidak mendengar semua kata-kata lanjutannya. Yang terngiang-ngiang di kepalanya hanyalah kata kematian.

"Ayahmu sudah lama menjalani semua ini, Angela. Menurut hasil MRI, kemungkinan besar sel kanker itu sudah mencapai otaknya dan itu berbahaya. Pasien bisa mengalami koma." tambah dokter.

"Apakah itu berarti Papa ada dalam kondisi yang sangat buruk, dokter?" mata Angela mulai berkaca-kaca. Ia berusaha menahannya. Tenggorokannya terasa asin.

Dokter itu terdiam sejenak menatap Angela.

"Seandainya saya bisa mengatakan sebaliknya, tapi apa boleh buat. Kemungkinan terburuk itu memang ada."

Angela mengerti maksud perkataan dokter itu meski diucapkan padanya secara halus. Tapi tadinya sang dokter juga mengatakan bahwa masih ada harapan meski kecil. Dan Angela masih percaya pada harapan kecil itu. Ayahnya tidak akan meninggalkannya. Tidak akan!

"Apa tidak ada cara lain, dokter? Apa benar tidak ada peluang lagi bagi Papa untuk sembuh?"

"Kami semua di sini selalu berusaha, Angela." dokter itu hanya menjawab singkat.

"Be...berusahalah sebaik mungkin, dokter." sahut Angela karena tidak tahu harus berkata apa lagi. Ia berdiri dengan gugup dan melangkah meninggalkan ruangan sambil terus menggenggam gelas tehnya erat-erat.

"Secara pribadi, kupikir tindakan ayahmu tepat. Berhasil bertahan dan hidup normal dengan kanker di tubuhnya hingga saat ini adalah sebuah keajaiban." ucapan dokter itu membuat Angela menoleh kembali. "Sepertinya ia memiliki keinginan yang kuat untuk bertahan hidup karena sesuatu hal." tambahnya.

Angela memikirkannya sejenak dan menggangguk.

Ia semakin yakin bahwa saat ini ia tidak bisa menyerah begitu saja pada takdir. Ia tidak pernah menyerah. Ia adalah Angela.

Saat kembali ke kamar, ia merasa agak lega tidak harus menunggu hanya berdua dengan kakaknya. Daniel ada di sana. Ia menyapa Angela dan Angela hanya menjawab singkat sambil mengangguk.

Angela membenci segala sesuatu yang menyangkut kakaknya...kecuali ayah mereka tentu saja. Jadi otomatis ia juga membenci Daniel. Padahal dulunya ia begitu menyukai pria itu. Terakhir kali, Daniel telah ikut bersekongkol dengan kakaknya dan memperdaya Angela. Angela terlalu bodoh untuk menyadarinya.

Ia duduk di sofa terjauh dari mereka dan menyesap tehnya perlahan-lahan hingga habis. Angela tidak sudi bercakap-cakap dengan mereka berdua, tapi ia juga tidak ingin pulang dan berada jauh dari ayahnya.

Meskipun tidak memandang mereka tapi Angela terkadang merasakan bahwa ia diamati oleh seseorang. Dan Angela tahu itu pasti adalah kakaknya. Persetan dengan itu. Angela tidak akan peduli.

_________________

Angela ingin tetap merasa optimis...

Ia mengawali pagi itu dengan penuh keoptimisan. Ia berdoa untuk kesembuhan ayahnya, kapanpun ia mendapatkan kesempatan.

Angela hanya pulang ke rumah sebentar dan kembali lagi setelah membersihkan diri. Kakaknya sudah tidak berada di sana lagi sejak ia terbangun sehingga Angela merasa lega dan lebih leluasa.

"Ia tidak mau memakan apapun." Tante Rahma menangis dan menutup wajahnya dengan tangan. Itu adalah kata pertama yang diucapkannya pada Angela setelah membuka pintu. "Aku sudah membujuknya tapi ia sepertinya tidak bisa mendengarku, Angela."

Angela langsung meletakkan tasnya dan menuju tempat tidur. Ayahnya terlihat tidur dengan tenang tapi terdapat selang baru di atas selang pernafasannya dan terhubung ke semacam infus yang tergantung di samping infus lama. Selang itu masuk melalui hidung dan hanya ditahan dengan plaster perekat di pipi.

"Selang itu berakhir di lambung." lanjut tante Rahma.

Angela tercengang tak percaya mendengarnya. Ia merasa ngilu.

"Dokter terpaksa memasukkan selang itu karena Ryan sudah tidak bisa memakan makanan melalui cara biasa." ia terisak kembali. "Aku tidak sanggup melihatnya saat pemasangan selang tadi meski ia tidak sadarkan diri."

"Apakah...Papa...merasa kesakitan saat itu?" Angela bertanya dengan terbata-bata. Ia tidak bisa bergerak dari tempatnya berdiri.

"Tolong jangan bertanya hal itu padaku, Angela." tante Rahma menggeleng-geleng.

Seorang perawat masuk ke dalam ruangan dan membuka kotak peralatan di samping tempat tidur. Angela dan tante Rahma mengamatinya. Perawat itu mengeluarkan beberapa botol dan suntikan. "Saya ingin mengambil darah pasien." ia tersenyum pada mereka sambil mengambil pergelangan tangan ayahnya. Betapa terkejutnya Angela melihat bercak-bercak kebiruan di sana.

"Mengapa bisa seperti itu, suster?" tanya Angela.

"Ini biasa terjadi setelah pengambilan sampel darah. Nantinya akan menghilang sendiri setelah beberapa hari." jelas sang perawat.

"Lakukanlah perlahan-lahan kalau begitu. Jangan sampai berbekas lagi, kumohon." pinta Angela cemas sambil melihat pengambilan sampel darah itu. Perawat di depannya hanya mengangguk.

Angela mendengar isakan yang tertahan di sebelahnya.

"Aku benar-benar tidak sanggup melihat semua ini lagi!" tante Rahma berbalik menuju sofa dengan tergesa-gesa. Ia menumpukan diri di sana dan menangis sesenggukan.

Angela menghampiri dan duduk di sebelahnya. "Tante...tolong jangan menangis....Papa pasti akan sembuh." hibur Angela.

"Aku hanya tidak tahan melihat penderitaannya, Angela." tante Rahma menangis semakin keras. "Aku tidak menangis dan berusaha tegar sejak beberapa hari terakhir, tapi hari ini aku tidak bisa menahan diri."

Ia berbalik dan memeluk Angela sambil menangis di bahunya. Angela mengelus-elus punggungnya. Ternyata memang benar bukan hanya dirinya saja yang bersedih.

"Beberapa hari yang lalu ia masih bisa tertawa bersamaku. Aku masih bisa bergurau dengannya dan ia mengatakan bahwa ia selalu menyayangiku. Ia adalah orang yang baik, Angela. Orang paling baik yang pernah kukenal semasa hidup. Mengapa ia harus menerima dan menjalani semua ini? Ini tidak adil untuknya."

Angela terus mengelus-elus punggung tante Rahma. Ia tidak tahu bagaimana harus menghibur seseorang di saat dirinya sendiri sedang bersedih. "Benar...Papa adalah orang yang paling baik di dunia."

"Aku menyesal sudah menjadi penghalang bagi kebahagiaannya semasa hidup. Dia berkorban begitu besar untukku."

Sebenarnya apa yang dibicarakannya? Angela kebingungan dengan semua ini. Tante Rahma mulai melantur dengan ucapan yang Angela tidak mengerti.

"Tapi ia selalu memaafkanku....Ia tidak pernah menganggapku sebagai beban. Dan ia tetap baik padaku meski kami telah berpisah. Aku...mencintainya karena ia begitu baik, Angela."

Angela mengangguk membenarkan. "Aku juga mencintai Papa. Semua orang yang mengenalnya pasti akan mencintai Papa...."

Tante Rahma tidak mengucapkan apa-apa lagi dan menangis di bahunya selama beberapa saat. Angela merasa tidak enak hati memikirkan ucapan tante Rahma. Tante Rahma mencintai ayah angkatnya. Apakah benar ibunya telah menghancurkan hubungan yang terjalin di antara mereka berdua? Semoga saja tidak...

"Ini benar-benar situasi yang tidak baik." ucap sang dokter yang datang bersama dokter lainnya ke ruangan itu setelah mereka tenang kembali. Mereka mengamati bed side monitor dan mencocokkannya dengan catatan.

"Ada apa, dokter?" tanya tante Rahma yang menghampiri mereka bersama Angela.

"Kadar oksigennya mengalami penurunan drastis dan kami menduga ada yang tidak beres pada paru-parunya."

"Apa?!"

"Tapi itu hanya perkiraan. Kami akan memastikan dengan merontgennya kembali." sahut dokter.

Angela tidak bisa melakukan apapun saat melihat beberapa perawat pria melepas kabel-kabel penghubung dan mulai mendorong tempat tidur beserta ayahnya keluar ruangan dengan tergesa-gesa.

"Apa yang akan anda lakukan pada Papa jika memang terjadi masalah, dokter?" tanya Angela.

"Kemungkinan pemasangan selang thorax WSD atau jika kasusnya terlalu berat kami terpaksa memindahkan ventilator ICU kemari. Tergantung penyebabnya dan apa yang terjadi di sana. Itu masih kemungkinan saja jadi jangan khawatir. Kita juga masih belum tahu apakah itu terjadi karena masalah di paru-paru atau jantungnya."

Jawaban itu bukannya membuat Angela mengerti tapi malah membuatnya semakin kebingungan. Kenapa dunia medis harus memakai istilah-istilah yang tidak bisa dicerna oleh manusia biasa sepertinya? Angela mengambil ponselnya dan mencari penjelasan itu di internet. Ia merasa syok setelahnya.

"Dokter...Jangan katakan padaku bahwa anda akan melubangi tubuh Papa dan memasang selang lagi." ucapnya dengan gemetar. Tante Rahma terkesiap di sampingnya.

Dokter itu hanya menatapnya dengan rasa iba. "Jika memang membahayakan nyawa pasien, kami harus melakukan tindakan, Angela. Memang hanya itu yang bisa kami lakukan." Ia berbalik meninggalkan Angela keluar ruangan.

Angela merasakan remasan pada tangannya. Tante Rahma menggenggam pergelangan tangannya erat-erat. Tangannya terasa dingin. Angela bersyukur ada tante Rahma di sampingnya meski mereka tidak saling mengenal. Ia tidak akan sanggup jika harus menghadapi semua ini sendirian. Mungkin tante Rahma juga merasakan hal yang sama.

Sampai saat ini Angela tetap merasa optimis....tetap optimis...

______________________

Angela ikut pulang kembali bersama tante Rahma setelah kakaknya datang. Sepanjang perjalanan hingga mandi dan makan malam ia tidak bisa berhenti memikirkan ayahnya. Makanan yang ia makan pun terasa hambar.

Mengapa ayahnya tidak terbangun dan berbicara padanya seharian ini?

"Menurut hasil MRI, kemungkinan besar sel kanker itu sudah mencapai otak dan itu berbahaya. Pasien bisa mengalami koma."

Angela terngiang-ngiang pada ucapan dokter saat ia mendapat penjelasan tentang penyakit ayahnya. Apakah ayahnya sudah mencapai fase itu? Jika sudah mengapa dokter tidak mengatakan hal itu padanya?

Ia ingin ayahnya sembuh...

Tapi ia tidak ingin ayahnya menderita seperti itu...

"Kau tahu, Angela..." tiba-tiba tante Rahma berbicara padanya sehingga lamunan Angela buyar. "Papamu berpesan pada kami semua, bahkan ia membuat Rayhan bersumpah untuk tidak memasukkannya ke ICU saat pertama kali masuk ke rumah sakit."

"Aku tidak mengetahuinya, Tante..."

"Ia berkata, jangan sampai ia berada di ICU di mana hanya ada perawat-perawat yang tidak dikenalnya. Ryan begitu yakin bahwa ia tidak akan selamat sehingga lebih memilih berada di ruang rawat inap di mana ia bisa menikmati saat-saat terakhir hidupnya bersama orang-orang yang ia sayangi." lanjut tante Rahma. "Dan ia..."

Tante Rahma memandang Angela dan tersenyum. "Ia tidak berhenti menanyakan dirimu sebelum kau datang, Angela. Kau harus tahu bahwa kau sangat penting baginya."

Angela terpana mendengarnya. "Aku?"

Tante Rahma mengangguk-angguk. "Ryan pasti...akan melakukan apapun untukmu...Aku tahu itu sejak dulu. Percayalah...Apapun yang kauminta ia pasti akan menurutinya. "

Apapun yang ia minta...Papanya akan menurutinya...?

Pemikiran itu tiba-tiba menghantam kesadaran Angela.

Ia....telah meminta ayahnya untuk tidak meninggalkannya sekarang....

Angela mengatakan jika ayahnya berani meninggalkannya berarti ia tidak sayang pada Angela....

Angela memaksanya untuk tetap hidup sementara Angela tidak tahu apakah ayahnya sanggup atau tidak...

Oh, Tuhan! Jangan katakan bahwa ia sudah menyiksa ayahnya sendiri!

"Secara pribadi, kupikir tindakan ayahmu tepat. Berhasil bertahan dan hidup normal dengan kanker di tubuhnya hingga saat ini adalah sebuah keajaiban."

"Sepertinya ia memiliki keinginan yang kuat untuk bertahan hidup karena sesuatu hal"

Sesuatu hal...sesuatu hal...?

Apakah sesuatu hal itu adalah dirinya?

"Tante." Angela berdiri dari kursinya. Tante Rahma terkejut melihat gerakan mendadak Angela. "Aku...harus pergi ke rumah sakit."

Angela berlari ke arah garasi.

"Sekarang."

Sekarang...atau ayahnya akan menderita lebih lama lagi...

Angela harus memastikannya.

Ia kembali berlari di sepanjang lorong rumah sakit meninggalkan tante Rahma yang mengatakan akan menyusul di belakangnya. Hanya ayahnya yang selalu mengisi hidupnya dengan kebahagiaan selama lima belas tahun terakhir kehidupannya.

Angela sampai di depan pintu ruangan dan membukanya perlahan.

Kakaknya yang sedang duduk di sofa mendongak melihat kedatangannya.

Angela tidak mempedulikannya dan berjalan menuju tempat tidur. Ia menatap ayahnya dengan terengah-engah karena kelelahan berlari. Baru sekarang Angela menyadari dengan miris bahwa begitu banyak selang dan kabel yang terpasang ke tubuh ayahnya, tapi ayahnya tetap tak sadarkan diri. Apakah memang seperti itu kehidupan yang ia inginkan untuk ayahnya?

"Apa dokter tidak jadi memasang selang lagi untuknya?" tanya Angela tanpa menatap kakaknya.

"Dokter menjadwalkannya besok pagi, Angela." sahut Rayhan yang sudah berada di sampingnya mengikuti Angela.

Angela memejamkan mata dan mengangguk.

"Angela..." Rayhan mengeluarkan suara penuh peringatan saat melihat Angela perlahan menaiki tempat tidur ayahnya.

"Hanya sebentar, Kak...Biarkan aku..." Angela menoleh menatapnya. Ini pertama kali ia menatap kakaknya lagi setelah sekian lama ia menghindari hal itu.

Sesaat Rayhan mengerutkan alis tidak setuju tapi akhirnya ia membiarkan saja dan meninggalkan Angela di sana.

Angela berbaring di tepi tempat tidur dan berhati-hati agar tidak menyentuh kabel-kabel dan selang yang ada di sekitar tubuh ayahnya. Tempat tidur itu memang lebih besar dibanding tempat tidur yang dipakai pasien kebanyakan sehingga muat untuk mereka berdua.

"Mungkin Papa tidak bisa mendengarku..." bisik Angela di telinga ayahnya.

"Tapi jika Papa bisa...dengarkanlah kata-kataku sekarang, Pa."

"Aku... merasa senang dapat hidup di dunia ini dan bertemu denganmu...Aku tidak pernah menemukan orang lain yang menyayangiku seperti dirimu dan memanjakanku meski aku bukan anak kandungmu....tapi aku sudah merasa seperti anak kandungmu...seandainya saja aku anak kandungmu...."

Angela menjeda ucapannya karena merasakan air matanya jatuh.

"Tapi meski aku anak kandungmu atau tidak...aku mencintaimu, Pa...Aku menyayangimu sepenuh hatiku...bahkan aku tidak ingat siapa ayah kandungku sendiri....hanya Papa yang terpatri jelas dalam ingatanku..."

"Papa selalu membuatku bahagia...Papa mendidikku dengan baik...dan aku bangga menjadi anakmu, Pa...Dan selama ini aku tidak pernah bisa membalas semua cintamu padaku...Jika...."

Angela merasakan air mata kedua yang menuruni wajahnya.

"Jika Papa bisa hidup lebih lama lagi bersamaku...aku pasti merasa sangat senang, Pa...pasti...Jika Tuhan memang menginginkan Papa hidup, maka segeralah sembuh, Pa...bertahanlah jika memang Papa harus sembuh...kita pasti bisa melaluinya...Papa akan pulang ke rumah...dan kita menjalani hidup seperti biasa kembali tanpa mengingat semua mimpi buruk ini."

"Tapi...." Angela merasa ragu tapi ia meneruskannya.

"Tapi...jika Papa memang ingin pergi...maka pergilah, Pa....Angela tidak akan memaksamu lagi...Angela tahu meski Papa sudah tidak ada di samping Angela lagi, Papa pasti masih tetap menyayangi Angela..."

Angela merasakan airmata yang semakin deras menuruni wajahnya.

"Angela berjanji tidak akan bersedih...Sungguh...Angela tidak akan bersedih apapun keputusan Papa....semua ini karenamu,Pa... Papa sudah menjadikan Angela seperti ini...Pergilah jika Papa sudah tidak sanggup melewati semua rasa sakit ini...Pergilah ke sana jika memang tempat itu lebih indah bagimu, Pa....Pergilah...Sampaikan salamku pada Mama jika Papa bertemu dengannya di sana...Katakan aku juga mencintainya...Aku tidak pernah berhenti mencintainya....Dan aku juga tidak akan pernah berhenti mencintai Papa...Jangan khawatir meninggalkanku..."

"Karena aku pasti akan baik-baik saja, Pa..."

Aku pasti akan baik-baik saja...

______________________

Angela tidur bergelung seperti bayi di samping ayahnya.

Sejak tadi entah apa yang ia katakan di sana hingga tertidur. Rayhan tidak mendengarnya. Ia dapat melihat bekas-bekas airmata di pipi Angela dengan jelas. Ternyata Angela menyayangi ayahnya dengan tulus.

Sekarang, ia terpaksa harus memindahkan Angela agar tidak terjatuh atau mungkin saja terguling dan mengganggu ayahnya.

Saat baru saja berhasil mengangkat Angela, Rayhan mendengar suara itu.

"Re..."

Seketika ia langsung menoleh. Ayahnya membuka mata dan memandangnya dengan susah payah.

"Pa!! Syukurlah Papa sudah bisa..."

Ayahnya menggeleng pelan. Rayhan menjeda ucapannya. Ia menatap ayahnya tanpa berkedip. Ia merasakan sesuatu yang berbeda, tapi ia tidak tahu apa itu.

Ayahnya menaikkan tangan dan menunjuknya.

"Jangan....menjadi...sepertiku." tangannya terkulai lemas kembali setelah mengucapkan tiga patah kata tersebut.

Tiga patah kata yang ternyata adalah ucapan terakhir ayahnya yang didengar Rayhan malam itu...

Dan juga untuk selamanya.

***

Okumaya devam et

Bunları da Beğeneceksin

4.7M 34.3K 29
REYNA LARASATI adalah seorang gadis yang memiliki kecantikan yang di idamkan oleh banyak pria ,, dia sangat santun , baik dan juga ramah kepada siap...
1.6M 130K 28
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
1.1M 54.6K 48
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
348K 14.2K 33
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...