Broken Vow (SERIES 2)

By secretblackbook

1.4M 98.9K 6.5K

KINARA HADIKUSUMA. "Apa kabar?" "Bagaimana hidupmu tanpa aku?" "Setiap detak denyut nadiku, Aku selalu memik... More

Catatan Kaki Oi Sandra
How to Read BV
1. A Letter to Raka
2. Throw·back 1
3. A cup of coffee
4. Throw•back 2
5. Kinara's Plan
6. Throw•back 3
7. Moved
8. Throw•back 4
9. Definition of Love (21+)
10. Throw•back 5
11. The intersection
12. Throw•back 6
13. Run Away
14. Throw•back 7
15. Heaven
INFO
16. Throw•back 8
17. Mine
18. Truth and Tears
19. Throw•back 9
20. Scared : Part 1
21. Scared : part 2
22. Jared's Blessing
23. Let Him In
24. Rice, Prawn Crackers & Soy Sauce
25. Who is she?
26. Throw•back 10
27. Chaos : Part 1
28. Throwback 11
29. Chaos : Part 2
30. Throw•back : Special Edition
31. A Little Punch
32. A Little Hug
33. Do-Fun
35. Baking Soda
36. B.y.e
37. A Red Box
38. It is Real
39. A Letter to The father of my children
Extra : Episode 1
Extra : Episode 2
Extra : Episode 3
A Letter for Onti
Dear Onti

34. Cured

28K 2.2K 225
By secretblackbook

Note : kalo kalian punya kuota lebih, plis saya sangat rekomendasikan untuk play lagu di mulmed ya. Jangan lupa Vommentnya bikin bintang di part ini sebanyak part lain ya. Tiati yang masih dedek gemesh gausa baca ya hahah. Cheers!




Jakarta 2015
Kinara



"Ah aku punya sesuatu buat kamu," kata Raka sambil memundurkan kursinya dan menunduk mengambil sesuatu di bawah meja. Mataku refleks mengikuti gerakannya akhirnya tertuju pada sebuah pot.

Aku tersenyum saat mendapati tiga tangkai bunga mawar di atas pot. Dengan secepat kilat aku menoleh pada Raka, yang tengah memperhatikannya sambil tersenyum penuh arti.

"Bunga mawar dalam pot? Kamu mau mengenang masa SMA?"

Raka mengangguk dan bertanya terlihat sangat hati-hati, "Kamu suka?"

Ingatanku kembali ke saat dulu Raka pernah memberiku sebuah bunga mawar dalam pot. Beberapa minggu ini Raka juga tak pernah absen memberiku mawar tapi sudah berbentuk buket bunga, bukan yang ada di dalam pot seperti ini. Tanpa aku kehendaki, wajahku menghangat. Perlahan, aku menganggukkan kepala tapi masih heran kapan Raka membeli bunga mawar. "Kapan kamu beli bunga ini?"

Tapi yang aku dapatkan Raka mengangkat bahunya santai, sambil menatapku penuh rahasia. Aku menyipitkan mataku, berpura-pura kesal karna pertanyaanku tak dijawabnya. Seulas senyum kemudian mengembang di wajahku, terlalu lebar dari yang aku inginkan. "Thankyou, i like it."

Aku kembali mengalihkan pandanganku pada bawah meja yang dikelilingi pot.

"Dulu atau sekarang, mawar yang aku kasih buat kamu itu aku tanam sendiri."

Raka pasti sedang bergurau. Aku tak bisa menahan tawaku saat membayangkan Raka menyiram bunga atau memberi pupuk. Mana ada lelaki yang mau bercocok tanam seperti itu. Aku menyenderkan punggungku pada kursi masih tertawa. Tapi kemudian aku menutup bibirku rapat, terhenti ketika tidak mendengar apapun dari Raka, malah begitu aku menatap raut wajah Raka ada sedikit rasa... Sedih. Mungkin?

"Kamu becanda, kan?"

Aku meneguk ludahku berkali-kali begitu melihat Raka menggeleng. "Semenjak ngeliat kamu di airport, aku mulai nanam bunga ini di pot, berharap suatu saat aku bisa kasih sama kamu. Kemaren-kemaren bunganya belum mekar, jadi bunga yang aku kasih dalam buket beli di florist."

Oh God!

Jadi....

Raka benar-benar melakukan itu semua.

Kembali aku melihat pot bunga di hadapanku, aku benar-benar tersentuh Raka memberikan sesuatu dengan kerja kerasnya. Aku benar-benar bodoh menyangka Raka membeli bunga itu dari florist.

"Thankyou... It's really means a lot for me...," ucapku lirih.

Bunga ini lebih berarti dibandingkan bunga dalam buket-buket lainnya. Hampir saja airmata bahagiaku menetes sampai Raka menginterupsiku. "Aku tahu kamu lapar banget seharian tadi. Jadi aku masakin pop mie spesial," ucap Raka sambil tersenyum lebar memecah keheningan sesaat diantara kita berdua.

Aku membalas senyumannya, pikiranku kembali kemasa dimana aku dan Raka menyantap pop mie di halaman belakang rumah Raka. Biarpun tak lebih dari sepuluh ribu, rasanya sudah seperti makan di restoran fine dinning, aku sudah gila bukan?

"Aku cuma berharap malam ini baju kamu gak kebakar sama aromaterapi," ucapku sambil menatap lilin aromaterapi yang berjejer di lantai balkon.

"Tapi aku gak pernah keberatan kalo baju aku kebakar, demi dapet ciuman dari kamu," ucapnya sambil terkekeh.

Aku meneguk ludahku salah tingkah, untuk menutupinya aku cepat membuka plastik yang membungkus garpu putih, merobek kertas penutupnya lalu melahap isi dari cup mie yang ada di gengamanku.

Ah jantung ini.... Kenapa masih berdegup kencang jika mengingat malam itu...

"Jadi apa yang kamu bilang sama anak-anak tentang aku?"

"Selama ini aku memang gak pernah jelasin ayah mereka dimana, Kak Tia yang bilang kalo ayah mereka udah bertransformasi jadi bintang. Aku bilang aja kalo tantenya itu bohong biar kalo mereka kangen tinggal liat bintang aja tanpa harus nemuin kamu di Indonesia. Toh bintang yang mereka liat adalah bintang yang sama tang kamu liat juga di Indonesia.

Cuma itu alesan yang bisa aku kasih sama mereka. Mereka awalnya gak terima sama alesan aku, tapi aku bilang kalo nanti kalo mereka udah gede, aku bakalan ceritain secara detail," aku mengaduk mie menggunakan garpu plastiku. "Terus aku bilang kalo mereka memang anak-anak kamu. Dan kenapa kita gak bisa sama-sama. Aku bilang kalo kamu harus kerja di Indonesia sementara aku gak bisa ninggalin Los Angeles."

Sesekali aku mengedarkan pandanganku pada warna kuning dari api lilin aroma terapi di lantai balkon lalu hamparan kelap-kelip lampu ibu kota. Sayangnya langit sedang berawan hingga tak ada satupun bintang yang muncul.

Aku mendongak, menatap kaleng cola yang telah dibukakan Raka selama beberapa saat, lalu meraihnya. Memilih berdiri bertumpukan siku di pagar balkon saat Raka menghilang membawa bekas cup mie ke dalam. Sesaat pemandangan ini benar-benar menenangkan.

Badanku berbalik begitu mendengar lantunan Flightless Bird, American Mouth yang dimainkan oleh Iron and Wine dari iPod Raka yang ada di atas meja. Aku tertegun begitu mendapati Raka mengulurkan satu tanganya sementara tanganya yang lain ada di belakang punggungnya. Sikap sempurna saat memintaku ikut berdansa. Aku hanya tersenyum sambil menggeleng kecil.

Oh tuhan... Bolehkah aku mencintainya lagi?

Raka masih tetap dalam posisinya, "Come on... Just one dance."

I was a quick-wet boy
Diving too deep for coins
All of your street light eyes
Wide on my plastic toys
Then when the cops closed the fair
I cut my long baby hair
Stole me a dog-eared map
And called for you everywhere

Aku memejamkan mataku saat tanganku bertautan dengan tangan Raka, sementara aku menempatkan kepalaku di dadanya yang bidang. Aku benar-benar terhanyut dalam dekapan hangat Raka diiringi lagu Promnight masa SMA-ku. Semua hal manis yang terjadi diantara kita dahulu, menjadi alunan film tanpa suara. Aku mengingat setiap detailnya, setiap senyuman tulusnya saat membuka helmku, setiap tawanya jika aku sudah terlihat bodoh saat mengerjakan tugas sekolah atau setidap tatapan memujanya saat aku bercerita tentang angan-anganku.

Have I found you?
Flightless bird, jealous, weeping

Oh Tuhan... Aku mencintanya... Rasa yang sudah lama aku kubur dalam kembali tampak ke permukaan.

Or lost you?
American mouth
Big pill looming

Aku melepaskan tautan tanganku dari tangannya, merayap menuju dadanya dan berakhir di lehernya. Tubuhku dan Raka sudah benar-benar menempel sampai aku bisa mencium aroma yang selalu aku rindukan, pelukan tanganya di pingangku mengerat seiring dengan kepalaku yang semakin masuk ke ceruk lehernya. Aku mengikuti setiap langkah kakinya sesuai dengan irama dari lagu penuh dengan kenangan ini.

"Kayaknya malam ini kita bakalan basah lagi kalau kita tetep lanjutin dansa kita," ujar Raka lembut ditelingaku begitu merasakan tetesan hujan jatuh pada tubuh kami berdua.

Aku terkekeh dalam pelukannya masih dengan gerakan kaki ke kanan dan ke kiri.

"Biarin kayak gini terus sampai lagunya abis...," bisikku masih ingin mengenang pelukan hangatnya saat di lantai dansa tujuh tahun lalu.

Hujaman air dari langit makin intens, gerimis perlahan berubah menjadi hujan deras membuat butiran air yang jatuh makin menyakiti kulitku. Raka tak menggubris protesku saat ia menghentikan gerakan dansanya membawaku ke dalam. Tapi cepat aku menghentikan langkahku berbalik untuk mengambil pot bunga dan iPod yang ada di meja.

Raka menggeser pintu kaca yang membatasi balkon dan ruang tengah, menyuruhku duduk sementara ia mengambil handuk di kamarnya. Aku terdiam dengan baju basah memeluk pot bunga mawarku. Suasana kondominum Raka sangat sunyi apalagi beberapa lampu sudah dipadamkan.

Penerangan hanya berasal dari standing lamp yang ada di dekat sofa dan dari lampu sebuah akuarium yang berada di dekat televisi. Lampu akuarium yang berwarna biru benar-benar mencuri perhatianku, sesuatu yang luput dari penglihatanku tadi siang, saat pertama kali berkunjung kesini.

Aku menaruh pot bunga dan iPod di coffee table, perlahan mendekati akuarium untuk membuktikan bahwa pikiranku salah. Tak mungkin kan ikan yang aku berikan pada Raka sekitar delapan tahun lalu masih ada?

Tanganku bergerak di kaca akuarium mengetuk-ngetuknya, mencari perhatian sang ikan.

Aku meneliti warna corak ikan Lionfish yang sekarang bergerak mengikuti tanganku, mencocokannya dengan ingatanku delapan tahun lalu. Aku dapat mendengar langkah kaki mendekat, tetapi mataku masih enggan mengalihkan pandangan dari ikan ini. Aku bisa merasakan handuk besar tersampir di bahuku, disusul dengan lengan kokoh yang tiba-tiba melingkari pinggangku membuat aku sedikit tersentak kaget. Napasku kini tercekat di tenggorok, saat tubuhku ditarik merapat pada tubuh Raka. Ada geletar samar menjalari punggungku.

"Kamu pasti kedinginan... Mau ganti baju?"

Embusan napas Raka yang menyentuh kulitku saat berbisik, membuat bibirku mengering. Aku baru ingat, ini satu-satunya baju ganti terakhir yang aku punya. "Sedikit. Nanti aja."

Aku meringis saat menyadari hanya dengan dipeluk Raka seperti ini, sudah mampu membuat seluruh sel di tubuhku bergetar resah. Darahku mengalir deras saat harum khas yang menguar dari rambut basah Raka masuk kedalam indra penciumanku. Belum sempat aku menghirup aroma tubuh Raka sampai puas ia sudah mengakhiri pelukanya dan menggiringku ke sofa.

"Itu Fishy, ikan dari kamu," jelas Raka tanpa aku minta. Aku memandang Raka yang sudah berganti baju menyodorkan cangkir besar berisi coklat panas.

"Dia yang selalu nemenin aku semenjak kamu gak ada. Kamu ternyata bener, sendirian itu gak enak. Sepi...."

Aku kini duduk bersila di hadapan Raka berbalut handuk memainkan ujung jariku di tepian cangkir. Sesekali beringsut menarik handuk untuk mengdapat kehangatan lebih. Aku benar-benar dibuat salah tingkah, sepi pasti pasti pernah singgah dalam setiap hidup manusia tapi bagiku sepi tak pernah lagi datang semenjak anak-anak muncul di hidupku. Berbeda Raka... aku ingat hubungan dengan keluarganya tidak bisa dibilang dekat, sepipun sepertinya sudah harga mati.

"Semenjak kamu dateng lagi, sepi di hati aku tiba-tiba aja hilang. Aku kayak lagi nemuin potongan puzzle yang hilang...," aku meneguk hot coklat dalam gelasku, berusaha menutupi rona merah yang muncul bukan karna kedinginan, "Makasih banyak, Kinara," lanjutnya lagi.

Aku melirik menatap Raka. "Buat?"

Raka terlihat bersiap-siap mengatakan sesuatu dengan kembali meneguk coklat panas yang ada di tanganya.

"Buat ngasih aku kebahagiaan yang nggak pernah aku rasakan sebelumnya."

Aku berdecak tidak mau percaya dengan kata-kata gombalnya. Ini benar-benar tidak mungkin kan? Seseorang pasti pernah merasakan bahagia.

"Bullshit!" tukasku. "Nggak mungkin sepanjang hidupmu, nggak pernah satu kalipun kamu bahagia."

"Aku serius. Saat-saat yang paling membahagiakan dalam hidupku hanya saat aku bersamamu... Itu tujuh tahun yang lalu, dan hari ini."

"Selama aku pergi sama sekali enggak pernah?" Tanyaku ulang. Sialan, ini lebih terdengar seperti nada penasaran tentang kehidupan pribadi Raka setelah aku pergi. AKu merutuki mulutku, rasanya seperti mencari-cari apakah Raka pernah melupakanku.

"Setelah malam itu semuanya terasa kayak neraka buat aku. Aku bener-bener gila saat tahu kamu ninggalin aku hanya dengan surat."

Aku terkekeh, membayangkan Raka panik hanya dengan surat yang aku tulis benar-benar terasa konyol. "Kamu memang udah gila, Rak. Aku kira kamu udah bahagia dengan orang lain, bukan kayak orang gila nungguin aku."

Raka menyampirkan anak-anak rambut kebelakang telingaku sambil terseyum lembut. Aku sedikit menyesal telah melemparan kalimat sarkas begitu menyelami matanya. Bagai luka yang menganga, aku bisa merasakan tatapan rapuh Raka.

"Kalo kamu liat aku saat itu, kamu mungkin gak akan ketawa kayak gini, Kinara... Saat itu aku gila secara harfiah. Aku gila... Aku depresi." Aku akhirnya terdiam melihat Raka sambil mengaduk coklat hangat di cangkirnya. Aku kali ini benar-benar kehabisan kata-kata.

"Aku sedih banget karena nggak ada satupun surat kamu yang lain dateng. Orang pertama yang aku cari siang itu adalah kamu. Aku bingung kayak orang goblok begitu siang itu kamu gak ada. Hebatnya kamu hilang tanpa jejak, gak ada satupun akses yang bisa aku jangkau."

Mataku tak bisa lepas dari Raka yang menyesap coklatnya perlahan, lalu melanjutkan ceritanya, "Aku pergi ke rumah kamu, tapi yang aku dapetin adalah rumah kamu kosong. Semua tetanggamu aku datangi, aku tanya kemana kamu pindah, tapi tidak satu pun yang tahu. Terus aku inget sesuatu, kamu pernah bilang kalo kamu punya tante namanya Denisa tinggalnya di daerah Cakung. Aku ubek-ubek seisi cakung."

Sialan? Jadi yang dikatakan Tante Denisa itu semuanya benar? Hati kecilku selalu berharap Tante Denisa benar tapi logikaku selalu berkata sebaliknya. "K-Kamu datengin rumah Tante Denisa?"

"Bukan cuma datengin, hampir tiap tahun aku jadi tamu tak diundangnya Tante Denisa. Tapi Tante Denisa bener-bener gak mau buka mulut. Aku juga sempet ke Monash University nyari Kak Katia kamu tapi ternyata dia udah lulus S1 dan katanya lanjut S2 tapi gak ada informasi dimana kakak kamu lanjutin studi-nya. Nyari informasi ke UGM juga gak berpengaruh, kamu gak pernah daftar ulang kesana. Bahkan kamu di social media, padahal aku tahu pasti itu sama sia-sia karna dari dulu kamu gak pernah aktif di dunia maya."

Jadi, dulu Raka mencariku?

Aku benar-benar tercengang. Menatap Raka tanpa bisa berkata-kata. Sulit bagiku mempercayai semua yang tertangkap oleh telingaku dan mencernanya.

"Dan saat itu juga aku mutusin buat gak pergi ke Boston, nolak beasiswa dari Harvard karna nunggu surat-surat lain dari kamu di Indonesia... Dulu aku sempet berantem sama Rezky dan juga Papah sampai aku harus biayain sekolah kedokteran aku semester awal sendiri pake tabunganku karna aku bikin kecewa Papah gagal ke Harvard.

So, there i am yang aku inget cuma secepatnya jadi dokter spesialis cardiology kayak mimpi kamu. Aku juga pernah minta bantuan Papah supaya nyari kamu dimana, tapi sejak aku mutusin kuliah disini papah gak pernah peduli lagi sama aku."

              Bibirku bergetar mendengar semua cerita Raka.... Ia harus hidup di neraka yang aku cintakan karna keegoisanku.... Perlahan airmata di sudut mataku jatuh tak tertahan lagi. Ya Tuhan....

"Saat itu aku bingung, apa kesalahan aku sampai kamu pergi tanpa sepatah katapun... Aku nunggu dan nunggu, sampai kejadian di Bandung kamu berdiri bersama anak-anakku..."

Aku bisa merasakan detik selanjutnya tangan besar Raka menyeka airmataku lalu meraih tangaku yang terbebas. Mengelus punggung tanganku lembut menggunakan ibu jarinya. Aku melihat jelas Raka melemparkan senyum tulus. Rasanya aku benar-benar brengsek, bisa-bisanya aku meninggalkan Raka tanpa sepatah kata, memupuk rasa terlukaku untuk menyakitinya lebih dari yang aku tahu.

Dulu yang aku tahu hanyalah betapa aku menderita karna Raka telah menaruh benihnya di tubuhku tanpa ia ingin sebuah keluarga. Aku melimpahkan semua kesalahan dan penyesalan kepada Raka atas apa yang tak pernah ia ketahui. Monster apa aku ini...

"Yang paling lucu aku baru sadar, selama ini hidup aku selama ini tanpa arah. Sia-sia. Aku baru merasakan lengkap saat ngeliat kamu dan anak-anak. Kalian bikin aku menemukan tujuan hidup."

Aku menyimpan cangkirku di coffee table dan langsung mendekatkan tubuhku, meraih Raka dalam dekapanku.

Mataku benar-benar memanas... Aku merasa malu. Selama ini aku selalu yang merasa orang paling menderita dibanding Raka, tapi kini aku tahu kita berdua hanyalah remaja yang sama-sama membawa luka.

Raka juga menderita...

Membuang kesempatannya kuliah di Harvard, bertengkar dengan ayah dan adiknya, juga membiayai kuliahnya sendiri....?

Lalu tanpa aku sadari menyembunyikan Double J selama ini dari Raka malah membuat snak-anak menderita dengan cacian dan gunjingan orang-orang.

"Maaf... Maaf karna dulu aku terlalu egois, cuma gara-gara aku gak mau jadi orang yang ditinggalkan. Sebelum kamu ninggalin aku ke Boston, aku nyari seribu cara buat ninggalin kamu duluan. Maafin aku... Kamu dan anak-anak menderita gara-gara kebodohan aku."

Semua terasa nyaman dalam pelukan Raka, Raka bagaikan magnet yang menarik kepingan-kepingan hatiku yang telah berserakan. Raka adalah hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidupku.

Membuatnya utuh.

Aku bisa merasakan perlahan Raka relaks dan melingkarkan lengannya ke sekeliling tubuhku, menarikku hingga merapat pada tubuhnya, lalu menyurukkan wajahnya ke leherku. Kelembutan bibir Raka yang menyentuh kulit leherku, membuat seluruh saraf yang ada di tubuhku bergetar resah. Harum maskulin dan lembut secara bersamaan terhirup oleh hidungku.

Selama beberapa saat aku tertegun ada sesuatu di dalam diriku yang telah lama tak tersentuh lelaki bangkit perlahan. Jantungku seakan-akan ingin keluar dari rongga dadanya. Otakku memerintahkan untuk melepaskan pelukanku, tetapi saat merasakan kecupan-kecupan ringan di leherku akal sehat dalam sekejap menghilang. Alih-alih tanganku mendorong tubuh Raka, malah melingkarkan sempurna pada bahu lelakiku.

Mendekapnya erat seakan tak akan ada hari esok.

Napas berat Raka yang menyentuh kulit di belakang telingaku, membuat seluruh kulit di permukaan tubuhku mengencang. Desakan panas menjalari tubuhku dalam gelombang respon yang membuatnya terkejut. Sesuatu yang tersembunyi dalam diriku bergolak hebat.

Tanpa aku sadari, aku mengerang pelan karena rasa mendamba yang terasa semakin membuatku panas, seiring dengan setiap gerakan bibir Raka di sepanjang leherku. Mataku terpejam masih merasakan jejak bibir Raka di leherku, dan bibir indahnya setengah terbuka. Satu-satunya yang aku rasakan hanyalah kebutuhan yang aku yakin dirasakan tubuhnya juga. Kebutuhan yang tak pernah sekalipun terpenuhi selama tujuh tahun ini dan hanya bisa dipenuhi oleh Raka.

Tiba-tiba saja Raka menciumku begitu lembut. Lembut tapi mampu meluluh lantahkan segala pertahananku. Tubuhku benar-benar lemas hanya dengan bibir Raka diatas bibirku. Raka menatap mataku dalam saat ia berhenti mengambil jeda.

"Sorry, ini terlalu cepat. Aku minta ma----"

Dengan sepenuh sadar dan kebutuhanku akan sentuhanya, aku mencengkram rambut halus yang tumbuh ditengkuk Raka agar bibir kami kembali bersapa. Aku mencari bibir Raka dalam-dalam dan penuh perasaan. Mencoba mengatakan betapa besar aku menginginkanga dengan menciumnya lebih menuntut, membuatku lupa diri.

Terlena.

Terlalu terhanyut dalam gelombang kenikmatan yang diberikan bibir Raka, aku bahkan tidak menyadari tubuhku telah terbaring di sofa. Sentuhan lembut jari-jari panjang Raka pada kulitku yang terbuka bagai setrum yang mengalirkan listrik ke sekujur tubuhku. Tubuhku menuntut sesuatu yang lebih....

Kini sudah terlambat untuk meminta persetujuan Raka, tanganku menarik sabuk kulit dan menurunkan resletingnya. Aku merasa kaget dengan apa yang aku lakukan, aku mengangguk saat Raka menatapku ragu. Semua berlangsung cepat, Raka memberikan sesuatu yang memenuhi kebutuhanku, mengisi tempat yang selama ini tak pernah tersentuh. Raka telah sukses membangkitkan gairah liar yang selama ini aku coba tutupi. Membantunya, pinggulku bergerak memutar dan memberikan tekanan yang sama besarnya. Dengan lihai ia membawaku perlahan ke tempat yang paling tinggi dan indah.

Perlahan, deru napas mulai mereda dan keringat mengalir membasahi tubuhku dan Raka. Aku melihat Raka bertumpu pada sikunya, menatap dalam ke mataku dan memberikan ciumannya. Tatapan yang selalu membuat hatiku seakan meleleh, dan wajahnya seketika memanas.

Aku mencari sesutu yang ganjil dihatiku, tak ada sedikitpun aku merasakan penyesalan. Justru sebaliknya, aku merasa amat bahagia. Dan, cara Raka menatapku, membuatku bisa merasakan cintanya.

Maafkan aku Tuhan.... Izinkan aku mencintai laki-lakiku sekali lagi.

"Are you okay?" tanya Raka lembut. Ada kecemasan dalam suaranya. Aku mengangguk dan Raka tersenyum lega. "Oh God... I really love you," ia menundukkan kepalanya, mengecup puncak kepalaku.

Saat ini aku merasa sangat beruntung dicintai oleh laki-laki seperti Raka. Telujukku menelusuri pahatan sempurna Tuhan di atas wajah Raka. Semua terasa sangat indah, hidung mancung, rahang kokohnya dan matanya yang selalu memancarkan binar. Wajah Raka benar-benar sangat mirip dengan anak-anak..

Tunggu...

Anak-anak...

Oh shit!

Aku mendorong Raka dengan sekuat tenaga hingga Raka terjatuh dari sofa. Bangkit dalam kegelapan sedikit membuatku limbung. Raka terlihat meringis memegangi bokongnya, tapi aku tak punya waktu untuk menanyakan kabar pantat seksinya.Mataku mencari-cari pakaianku tapi tidak menemukan apapun, sialan dimana BH dan celana dalamku!

"Cepet pake baju," bisikku. "Shit! Gimana kalo anak-anak bangun dan ngeliat kita kayak gini!"

Raka sepertinya juga baru menyadari bahwa di kondominiumnya bukan hanya kami berdua. Kaosku yang setengah basah karna air hujan sudah aku pakai, tanpa bra. Raka benar-benar brutal hingga sulit menemukan pakaianku yang tadi dilemparnya. Baru saja tanganku mencoba meraih celana dalam di bawah sofa, tiba-tiba aku merasakan lengan kokoh menarik kepalaku yang setengah berada di bawah sofa untuk keluar.

Teriakanku hilang saat mulut Raka dengan tidak sopannya membobardir mulutku. Diinginkan atau tidak, samar getaran itu kembali menjalari tubuhku. Tangan Raka memaksa bokongku untuk diangkatnya, hingga kakiku refleks melingkar di pingang Raka lalu merangkulkan tanganku ke pundak Raka, membiarkan Raka menyekapku di kamarnya.

Bersambung...

Berhubung tan-in rikues foto janet, ini Annet ceritanya lagi dicariin kutu ama Raka di part kemarin wkwk, lucu banget ya:")





Oi monologue:
Banyak yang DM ketinggalan masuk list extrapart... kok aku tuh gak tega ya:(. okay, jadi buat malem ini aja aku buka kloter 2, akan aku kirmin setelah kloter 1 (250 orang pertama) terkirim, jadi buat kloter 2 mungkin agak ngaret. KLoter dua cuma 50 orang dan tinggal sisa buat 25 oranv, besok bener-bener udah close!




Jared: Ah ya tante tante girangku maaf Jared ndak ada part ini. Biarin bunda sama ayah pacaran dulu ya di part ini. Jangan lupa loh komen dibawah yeu! Red tunggu!

Papay!
Oi

Continue Reading

You'll Also Like

1.9M 183K 58
[Season kedua dari : Do you remember your first cup of coffee] Bahwasanya setelah patah dan hancur lebur bersama kehilangan bertubi-tubi yang ia rasa...
899K 88.9K 47
Menjadi adik angkat seorang yang amat membencinya sudah cukup bagi Runa. Dia tidak butuh untuk tinggal seatap dan terikat bersama pria itu. "Sampai k...
1.9M 96.8K 34
Carly Hope Winters adalah gadis yang berambisius untuk menjadi seorang pengacara. Kesalahan kakaknya yang mati bunuh diri karena cinta membuatnya yak...
231K 37.5K 25
Mili sangat membenci kondisi ini. Dikejar-kejar oleh Mamanya sendiri yang mau menjodohkannya. Bahkan, titah untuk menikah sebelum usia 24 tahun terus...