Counterpart

Por retardataire

611K 56.1K 6.2K

Berawal dari aksinya membantu seorang siswi saat MOS SMA, gara-gara itu Adiska harus ngehadapin masalah yang... Más

1st trouble
2nd trouble
3rd trouble
4th trouble
5th trouble
6th trouble
7th trouble
8th trouble
9th trouble
10th trouble
11th trouble
12th trouble
13th trouble
14th trouble
15th trouble
16th trouble
17th trouble
18th trouble
19th trouble
20th trouble
21st trouble
22nd trouble
23rd trouble
24th trouble
25th trouble
26th trouble
28th trouble
29th trouble
30th trouble
31st trouble
32nd trouble
33rd trouble
34th trouble
35th trouble
the end of the trouble
ain't a trouble: playlist
fun facts
counterpart's QnA
💙announcement💙
side of arai: dua keping hati yang retak
ain't a trouble: i need your tips & facts about me

27th trouble

11.3K 1.1K 127
Por retardataire

D  U  A     P  U  L  U  H    T  U  J  U  H


          Sebuah garis lengkung menghiasi wajahnya yang bulat. Beberapa helai rambutnya yang menjuntai hingga seleher, ia arahkan ke belakang telinga. Kedua matanya begitu berbinar saat ia kembali ke sebuah memori dimana ia bersama cowok itu.

          Setelah ia tersadar dari bayangan yang memenuhi kepalanya, gadis itu menolehkan kepalanya ke arah cowok yang tengah duduk di sebelahnya.

        "Kakak udah gak tau lagi harus gimana, Za," ujar Rafiqa seraya membasahi bibirnya yang kering. "Kakak ngerasa kasihan tiap ngeliat Arai dimarahin sama Papa. Arai nakal begitu karena dia sebenernya, dia cuma butuh perhatian Papa. Kadang, Kakak ngerasa dia masih belum nerima Kakak dan Bunda di rumah itu."

         Recza mengatup rahangnya rapat-rapat. Ia begitu kesal mendengar kata "bunda" tiba-tiba terlontar dari mulut kakak perempuannya itu.

         Akibat keputusan bundanyalah, keluarga Recza tidak seharmonis dulu. Akibat keputusan bundanya, ia harus berpisah dengan kakaknya dan terpaksa tinggal bersama ayahnya yang jarang ada di rumah.

        Meskipun begitu, Recza tidak pernah ada niat untuk melakukan hal negatif demi mendapatkan perhatian itu--tidak seperti Arai--atau itu yang ia pikir. Arai memang lebih tua setahun darinya, tapi itu tidak membuat dirinya terlihat lebih dewasa.

         Bagi Recza, Arai justru kekanak-kanakan. Dia bodoh, karena justru dengan bersikap nakal seperti itu, orangtua mana yang akan menganggap itu baik-baik? Yang ada justru membuat para orangtua semakin berpikir, anaknya ini sudah keterlaluan dan tidak bisa diandalkan.

         Recza mengepalkan tangannya begitu erat. Kakaknya ini terlalu perhatian dan baik terhadap cowok pembuat ulah itu.

        "Kenapa sih, selalu bersikap baik sama Arai? Arai gak akan pernah ngehargain apa yang udah Kakak kasih, meskipun cuma buat nolongin dia!" Recza bangkit dan mulai gerah dengan suasana saat itu.

         Recza tahu, Arai bukanlah orang yang bisa diajak buat kompromi. Karena dia selalu menggunakan cara kekerasan, entah apa motifnya. Dan itu yang membuat Recza semakin tidak menyukai cowok itu.

         Arai begitu buta dengan lingkungannya. Tidakkah dia berpikir, begitu banyak orang yang memperhatikannya selama ini? Tidakkah dia sadar, bahwa dirinya yang telah mengambil anggota keluarganya dan perhatian kakaknya?

        "Karena Kakak tahu, dia kayak gitu pasti ada alasannya, Za," jawab Rafiqa, masih dengan nada tenangnya. "Semua orang itu punya sisi baik dan buruk. Seorang Arai yang terkenal tukang berantem, pasti punya sisi baiknya juga. Arai gak kayak yang kamu kira. Coba kamu pikir dari sudut pandang yang berbeda, Za. Jangan cuma dari persepsi kamu aja."

         Recza menatap kakaknya dalam diam. Kepalanya agak tertunduk. Bibir bawahnya ia gigit perlahan ketika ia mendengar pembelaan kakaknya terhadap laki-laki bernama Arai itu.

        Semuanya sudah berubah semenjak perpisahan keluarganya. Di saat itulah, berbagai macam perbedaan yang dirasakan Recza mulai bermunculan.

         Apalagi ketika kakaknya, Rafiqa, mengatakan hal itu kepadanya.

       "Arai itu jagoan, Za. Dia itu gak kayak cowok-cowok lain yang pernah Kakak temuin. Kakak kenal dia, dan dia itu baik. Gak kayak yang orang-orang, atau yang kamu kira."

-:-o-0-o-:-

        Recza membuka matanya dengan cepat, segera berkonsentrasi untuk menyadarkan dirinya dari ingatan-ingatan itu.

        Salah satu tangannya mengacak-ngacak rambutnya frustasi. Lagi-lagi Arai. Kenapa orang itu harus muncul di kehidupan gue, sih?

        Recza, yang tengah mengenakan jersey berwarna hitam dengan salur putih, memejamkan matanya kembali. Entah kenapa, semenjak acara ulangtahun bundanya kemarin, emosinya tidak stabil. Ingatan tentang Ayah, bundanya, kakaknya, hingga Adiska terus bermunculan di kepala.

        "Kamu gak apa-apa, Rai?"

        "Kenapa, sih, kamu gak pernah percaya sama Arai?"

        "Ngapain kamu mukulin Arai tadi? Kamu bikin malu Ayah, Za."

        "Arai itu jagoan, Za. Dia itu gak kayak cowok-cowok lain yang pernah Kakak temuin."

         Semua orang memuji Arai. Semuanya beralih memandang Arai. Mungkin benar apa yang pernah Recza pikirkan sebelumnya, bahwa seberusaha keras apapun dirinya untuk menjadi lebih baik, ia tidak akan pernah bisa menandingi Singa Bakti Nusa itu.

         Seberapa inginnya Recza merasa dilirik oleh orang-orang yang disayanginya, semuanya akan beralih-pandang ke arah Arai. Apalagi setelah tahu, Bunda yang disayangi olehnya, malah menghampiri cowok yang jelas bukan anak kandungnya. Dan bagi Recza, pemandangan yang kemarin itu berhasil membuat dirinya terbanting hingga sesak di dadanya terasa begitu jelas.

          Recza bangkit dari kursi panjang di dekat pohon besar sekolahnya itu. Suasana pagi ini, justru mengingatkannya untuk kembali bangkit dan tidak memikirkan masalahnya lagi.

          Dengan setelan jerseynya yang berwarna hitam dengan salur putih vertikal di kedua lengan, membuat penampilan Recza kali ini terlihat agak berbeda.

          Beberapa cewek-cewek yang berlalu-lalang hendak menonton pertandingan, sempat beberapa kali kepergok mencuri pandang ke arah cowok itu. Recza yang emosinya masih belum hilang, hanya membalas cewek-cewek itu dengan jengkel.

          PUK!

          Sekotak susu coklat yang dingin hinggap di pipi kiri Recza, membuat cowok itu tersentak.

         "Anjir, gue kira apaan dingin banget!" teriaknya. Salah satu tangannya, ia tempelkan di pipinya yang terasa dingin itu. "Taunya ... lo, Dis."

         Cewek yang mengenakan sweater biru dongker itu tertawa melihat tingkah cowok yang berdiri di sebelahnya. Tawanya, membuat Recza terdiam sambil terus memandangi wajah Adiska yang manis.

         "Lo kelihatan tegang banget tadi. Makanya gue kasih ini, Za," kata Adiska seraya menyodorkan susu coklat kemasan kotak. "Kata orang, susu coklat bisa bikin lo rileks. Awalnya gue mau kasih lo kopi susu kemasan botol. Tapi gak jadi. Karena kafein bikin lo malah makin deg-degan."

          Recza mengulas senyumannya. Ia tidak menyangka kalau tumben-tumbennya Adiska bisa seperhatian itu. Akan tetapi, buru-buru ia buang pikiran itu jauh-jauh. Adiska suka Arai. Perhatian Adiska terhadap dirinya tidak lebih dari yang namanya seorang teman.

          "Makasih banyak ya, Dis," ucap Recza sambil merangkul bahu Adiska.

          Adiska yang awalnya berdiri biasa saja, kali ini tidak tahu harus berbicara apa saat Recza tiba-tiba merangkulnya seperti itu. Gadis itu tahu, seorang Recza tidak pernah melakukan kontak fisik sejauh itu pada seorang cewek.

          "Recza!"

Yang dipanggil segera menoleh ke sumber suara. Rupanya itu Farhan, salah satu anggota Futsal Bakti Nusa yang akan bertanding hari ini.

          "Lo dipanggil Radhi. Katanya lo disuruh ke sekre OSIS," seru Farhan lagi.

          "Hah? Ngapain?" tanya Recza yang langsung melepaskan rangkulannya dari bahu Adiska.

          "Ngomongin soal pertandingan nanti, paling," jawab Farhan yang mendekati Recza.

          Recza menoleh lagi ke arah gadis yang jauh lebih pendek darinya. "Sorry, Dis. Gue ke sekre dulu, ya. Jangan lupa buat nonton pertandingannya, nanti. Gue butuh lo buat ngedukung gue."

          Saat Recza sudah tidak merangkulnya lagi, entah kenapa Adiska merasa tidak ingin lepas dari cowok itu. Namun, buru-buru ia sangkal dan langsung membalasnya dengan pukulan ke arah lengan Recza. "Siap! Pasti gue dukung lo, Za. Kalau perlu, gue teriak sekenceng-kencengnya biar lo semangat menangin pertandingan!"

           Sebuah tawa keluar dari mulut Recza. Adiska di hadapannya ini memang selalu bertingkah lucu dan menunjukkan keatraktifannya. "Makasih udah mau ngedukung gue, Dis. Gue bakal menangin pertandingannya buat lo." Recza mengacak-ngacak rambut Adiska sebelum ia benar-benar pergi.

           Adiska menatap punggung Recza yang kian menjauh. Gadis itu mengangkat kedua ujung bibirnya, mengulas sebuah senyuman.

-:-o-0-o-:-

           Arai masih tidak tenang akhir-akhir ini. Cowok itu duduk termenung sembari menyandarkan kedua tangan di atas pahanya. Pikiran demi pikiran terus menghantui kepala Arai. Ia teringat akan raut wajah Recza yang baru pertama kali cowok itu tunjukkan kepadanya.

          Bagaimana ia bisa berkonsentrasi pada pertandingan ini kalau sikap Recza kemarin terus membayangi dirinya. Bahkan Arai tidak mengerti mengapa ia merasa bersalah terhadap adik kelasnya itu

          "Wajahnya kok tegang begitu."

          Arai langsung mendongakkan kepalanya ketika ada seseorang yang mengajak bicara. Rupanya itu Gifar, sendirian di depan sana sembari menatap Arai seolah menyindir.

          "Lo takut kalah? Atau lo takut jadi pecundang?" sindir Gifar lagi.

          "Ini masih pagi, Far," balas Arai penuh dengan penekanan. "Kalo lo mau gue ladenin, gue bakal ladenin lo di lapangan."

          "Gue gak nyangka, Singa Bakti Nusa bisa setegang ini, ya?" ledek Gifar lagi. "Gue gak takut kalo liat lo yang kayak gini."

           Arai menahan kepalannya erat-erat. Kalau saja ia tidak bertanding hari ini, mulut Gifar yang penuh dengan kata-kata busuk itu sudah ia bikin untuk tidak berbicara lagi.

           "Lo sebenernya mau apa, Far? Lo belum kapok juga sama gue?" Arai bangkit dari kursi dan menghadapi musuhnya tepat di depannya.

           "Gue gak akan pernah kapok sama lo, Rai, sampai lo benar-benar kalah telak di hadapan gue." Gifat melangkah maju, seolah menantang Arai. "Gue cuma ngasih tau lo, kalau sampai tim lo yang menang, gue gak akan diem. Lo tau kan apa yang bakalan terjadi kalau sampai Bakti Nusa menang?"

-:-o-0-o-:-

            Sorak-sorai dari bangku penonton meramaikan suasana pertandingan pada hari Sabtu pagi ini. Semuanya mendukung tim sekolah masing-masing. Untuk sementara, Bakti Nusa unggul dua poin dan memimpin pertandingan terhadap Pancasila yang hanya memiliki satu poin.

            Di tengah lapangan, nampak salah satu pemain handal menggiring bola dengan lihai. Recza, dengan kelincahannya, ia terus menggiring bola menuju gawang lawan. Beberapa pemain lawan berhasil terlewati ketika mereka berusaha menghadang dirinya.

            Sementara itu, Arai berada di bagian pertahanan. Ia tidak begitu fokus dalam pertandingan ini lantaran perkataan Gifar yang mulai merasuki pikirannya. Ia justru begitu was-was apa yang akan dilakukan oleh Gifar jika Bakti Nusa menang?

             Dari bangku penonton, Debby asyik melahap camilannya sembari menyaksikan aksi Recza di tengah lapangan bersama kawan-kawannya. "Lihat, Dis! Gila kece banget ih si Recza!"

             Adiska bangun dari kursinya. Ia berdiri dan menyerukan, "Ayo, Recza! Menangin pertandingannya!" untuk menyemangati cowok bernomor punggung "3" itu.

             Recza yang berada di tengah lapangan, merasa ada seseorang yang meneriaki namanya begitu nyaring. Sambil mengontrol bola, ia mencari siapa yang baru saja menyemangatinya.

             Kedua matanya akhirnya menangkap sebuah figur yang tengah berdiri menyorakinya. Adiska terus berteriak dengan semangat seraya mengacungkan kedua tangan. Rupanya gadis itu tidak lupa. Recza begitu senang mengetahui fakta itu. Secara tidak sadar justru itulah yang membuat semangatnya menggelora.

            "Recza!"

            Farhan berseru memanggilnya. Ia memberi isyarat bahwa inilah saatnya Recza harus mengoper bola ke arah cowok itu.

            Dengan cepat ia menendang bola ke arah Farhan. Beberapa pemain dari SMA Pancasila mulai menghadang cowok bernomor punggung "23" itu. Ia terus membawa bola ke arah gawang lawan sampai akhirnya, ia mulai terdesak.

            Recza sudah siap di posisinya, ia berteriak memanggil Farhan agar mengoper ke arahnya. Hanya sekali hentakan, bola itu melambung jauh ke arah Recza.

            Beruntung cowok bergolongan darah O itu langsung sigap dan berhasil mengontrol benda bundar di depan kakinya. Hanya dalam beberapa detik, sekali hentakan, bola bercorak hitam putih itu berhasil masuk ke gawang lawan.

            "GOOLL!!"

            Semua pendukung Bakti Nusa berdiri dari kursi penonton. Mereka berteriak serentak ketika tim yang mereka dukung berhasil mencetak poin baru.

            PRIIITTT!

            Bunyi peluit dari wasit mengakhiri pertandingan Glory Cup hari ini. Para pendukung Bakti Nusa sontak mengerumuni lapangan dan menghampiri anggota tim.

            "Hebat banget Recza ya! Setelah ini, dia pasti makin dilirik sama anak-anak di seluruh angkatan," puji Debby begitu antusias.

            Sebuah anggukan menjadi jawaban dari Adiska. Ada rasa kebahagiaan tersendiri ketika Recza berhasil memenangkan pertandingan kali ini. Akan tetapi, justru ada yang nyaris luput dari penglihatan gadis itu. Ia tidak menemukan Arai di kerumunan yang sedang bergembira di lapangan.

             Kedua matanya mulai menelusuri semua yang ada di lapangan. Satu persatu pandangannya mengarah pada orang-orang yang ada di lapangan sana. Sampai akhirnya, pandangannya berhenti pada laki-laki yang tengah berdiri di pinggir lapangan.

              Wajahnya dibasahi oleh keringat yang mengalir. Entah kenapa Arai tidak ikut larut dalam kegembiraan anak-anak futsal Bakti Nusa. Cowok itu bahkan tidak terlihat kesal sedikitpun ketika ia menatap Recza dari kejauhan. Tapi ... kenapa ekspresinya seperti itu? Apa jangan-jangan dia bakal bikin onar dengan Gifar? Apa Recza kali ini menjadi sasarannya lagi?

              Di sisi lain, Arai mencari anak-anak Pancasila. Ia berhasil menemukan beberapa di antaranya. Mereka sedang berdiri di pinggir lapangan--tidak ikut larut dalam kegembiraan. Namun anehnya, mereka juga samasekali tidak terlihat kesal atau hendak membuat ulah.

              Melihat itu, Arai akhirnya bisa merasa lega. Setidaknya Gifar hanya menggertak agar Arai merasa takut dan tidak berkonsentrasi dalam pertandingan ini.

-:-o-0-o-:-

              Anak-anak yang baru saja bermain dan memenangkan pertandingan kini beristirahat di salah satu kelas 11. Seiringnya waktu, penghuni kelas itu mulai berkurang saat anak-anak keluar kelas dan berjalan menuju toilet--hendak mengganti baju.

             Recza yang baru saja meneguk air botol mineral, menoleh ke salah satu orang yang berada di kelas selain dirinya. Arai, di jejeran belah sana, tengah mengelap keringatnya di sekitar lehernya.

             Ini adalah pertama kalinya Recza melihat Arai tidak membuat ulah sehabis pertandingan. Oke, mungkin karena hari ini beruntungnya Bakti Nusa berhasil memenangkan pertandingan. Tapi apakah Gifar tidak membuat ulah? Kenapa Arai kali ini malah sesantai itu?

             "Tumben bener lo jinak, Rai," ujar Recza mulai membuat konversasi. "Biasanya lo ngeladenin si Gifar."

             Merasa ada yang mengajaknya bicara, Arai mengangkat kepalanya ke depan--dimana Recza berada. "Si Gifar udah capek kali. Mungkin dia akhirnya ngaku kalau Singa Bakti Nusa gak bisa dikalahin."

             Recza terdiam. Ini benar-benar aneh. Arai tidak pernah setenang ini. Sebenarnya ada apa?

             Tak mau ambil pusing, Recza beranjak keluar kelas.

            "Mau kemana lo?" cegat Arai, masih duduk di belakang sana.

            "Ke lapangan, mau nyari temen-temen," jawab Recza sekenanya. Padahal ia keluar hanya ingin bertemu Adiska yang mungkin masih berada di lapangan.

            "Jangan lama-lama lo," ujar Arai yang kali ini kembali terdengar ketus. "Radhi bentar lagi ke sini. Bakal ada briefing nanti."

            Anggukan hanya menjadi jawaban dari perkataan Arai. Setelah itu, Recza berjalan menelusuri koridor kelas 11 yang sepi--menjauhi kelas dimana Arai berada.

            Entah kenapa ada yang janggal dalam pikiran Recza. Ini sangatlah aneh. Arai tiba-tiba jadi setenang itu. Bahkan Gifar samasekali tidak berulah, padahal dia sudah kalah. Sebenarnya, apakah ada yang merencanakan ini sebelumnya?

            Baru saja melewati gudang yang dulunya bekas parkiran sekolah, empat orang berjersey putih menghalangi jalan Recza di koridor. Salah satu di antaranya, ia mengenal orang itu. Gifar, kali ini berada di hadapannya memandangnya begitu sinis.

            "Lo Recza, kan? Adiknya Rafiqa?"

            Ini bukanlah hal yang asing bagi Recza. Ia memang dikenali oleh cowok menyebalkan di hadapannya itu karena Gifar sempat menjadi kakak kelasnya saat ia menduduki bangku di SMP. Bahkan ia pernah satu tim futsal dengannya saat mengenakan seragam putih-biru.

            "Udah seneng ya, lo, sekarang jadi pusat perhatian Bakti Nusa?" sindir Gifar yang mulai mendekati Recza. Diikuti oleh anak buahnya yang berdiri mengelilingi Recza tanpa celah. "Udah jadi jagoan tim futsal SMP, sekarang lo juga jadi andalan tim di SMA."

            Recza mendengus. "Minggir. Gue gak ada urusan sama lo."

            "Lo pikir, lo siapa, hah?!" Gifar mulai melayangkan tinjunya ke arah pelipis kiri Recza--membuat cowok berjersey hitam itu terhempas hingga mengenai jendela kelas.

            "Lo berani ya sok jago di depan gue sekarang! Padahal lo itu dulu cuma anak ingusan yang tunduk sama kakak kelas!" Gifar mulai beringas ketika Recza yang diketahuinya dulu sebagai anak pendiam berani melawannya. "Lo tau, kan? Kalau Bakti Nusa sama Pancasila itu selalu punya masalah? Ya, lo pasti tau kalo Bakti Nusa menang, Pancasila bakal ngapain, begitu juga sebaliknya?"

          Gifar kembali mendekati Recza. "Awalnya gue mau ngehajar anak-anak Legion habis-habisan. Tapi, berhubung tahun ini bukan Arai sebagai pencetak skor, kayaknya gue habisin lo dulu--"

          "Banyak omong!" Recza langsung berdiri dan menghajar Gifar tepat di hidungnya.

          Noda merah seketika muncul dan mengaliri dari hidung Gifar. Suara erangan terdengar, membuat Recza semakin ingin menghajar cowok yang berbahaya ini.

          "Orang kayak lo itu banyak omong! Bogem mentah emang cocok buat lo!" hardik Recza yang hendak melayangkan pukulannya ke arah Gifar lagi. Akan tetapi, berhasil dicegat oleh anak buah Gifar yang bertubuh besar.

          Cowok itu mengunci bahu Recza dari belakang, sehingga ia tidak berkutik.

          "Bagus Haikal! Tahan dia!" Hanya sekali layangan, tangan Gifar berhasil mendarat tepat di perut Recza--membuat lawannya itu langsung meringis dan membungkukkan badannya.

          Gifar tersenyum penuh kemenangan. "Untung gue pernah satu tim futsal sama lo. Gue inget, lo punya cedera kan gara-gara lo kena serang dari SMP Lotus nyampe otot perut lo bermasalah."

           Recza yang menunduk karena kesakitan juga dirinya yang masih ditahan oleh orang bernama Haikal itu, meringis sambil menarik napas sebanyak-banyaknya--seolah udara yang ada di paru-parunya semakin berkurang.

           Sudah berapa kali Recza kena pukul di bagian perutnya itu. Dan sudah kesekian kalinya ia malah tidak ke rumah sakit saat itu untuk mendapat perawatan lebih lanjut. Alhasil, kali ini, sensasi sakitnya terasa luar biasa.

           Gifar nampaknya belum puas. Ia kembali menyerang titik kelemahan Recza dan berhasil membuatnya benar-benar tidak berkutik.

           Haikal, anak buah Gifar, akhirnya melepaskan tangannya dari bahu Recza sehingga cowok itu jatuh merunduk karena tak ada yang dapat menopang tubuhnya.

          Sialan. Gue ... gak bisa ngehajar Gifar kalo kayak gini. Recza yang masih meringkuk mencoba mengangkat kepalanya agar bisa menghadap Gifar.

           Namun, dilihatnya salah satu anak Gifar yang menengahi antara Gifar dengan dirinya. Anak buahnya itu berdiri tepat di depan Recza, mencoba menghalangi panglima Garuda yang hendak melawan balik.

           Recza berusaha fokus menyaksikan mereka, tapi lama kelamaan pandangannya mulai kabur. Ia mendengar pembicaraan antar keduanya, namun tidak begitu jelas. Yang ia dengar hanyalah, "Seharusnya gue dengerin kata Arai, bukan lo yang tukang tipu!"

           Kedua mata Recza kembali terbuka perlahan. Sesosok perempuan bersweater biru menghampiri mereka. Bahkan, dari arah lain, sesosok laki-laki mengenakan jersey yang sama dengannya datang dan langsung menghajar Gifar.

           Pandangan Recza kembali menghitam. Yang masih bisa berfungsi hanyalah pendengarannya. Karena saat matanya terpejam, Recza mendengar dua suara berbeda memanggil namanya.

               •               •               •              •               •               •               •              •              •              •               •        

{A/N} maafin gue yaa udah lama gak update. awalnya sih niatnya bulan april, tapi karena kepotong sama acara kelas, terus usaha sampingan, dan intensif sbmptn, akhirnya gue gak update Counterpart untuk sementara waktu.

oya, gue juga mau minta maaf bagi kalian yg ngirim chat di line@ gue gabisa bales dulu. hape gue rusak total karena kena decrypt code. jadi mohon maaf yaa:(

ini gue ketik dengan total 3k words! semoga terbalas yaa hutang2 gue. okee semoga suka yaa sama chapter ini. dan jangan lupa tinggalkan antusias kalian!

makasih yaa!  😀



Sabtu, 11 Juni 2o16

―Dean

Seguir leyendo

También te gustarán

475K 50.8K 21
*Spin off Kiblat Cinta. Disarankan untuk membaca cerita Kiblat Cinta lebih dulu untuk mengetahui alur dan karakter tokoh di dalam cerita Muara Kibla...
3.1M 152K 22
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...
767K 10.6K 24
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
1.4M 103K 45
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...