The Marriage Roller Coaster

By VodcaWhiskey

2.7M 127K 8.8K

Setelah kecelakaan merenggut nyawa ibu yang merupakan keluarga satu-satunya di dunia ini, Angkasa Gebintang d... More

PERKENALAN DAN PERINGATAN
Prolog
TMRC - Satu
Tmrc dua
TMRC - Tiga
TMRC - Empat
TMRC - Lima
TMRC - Enam
TMRC - Tujuh
TMRC - Delapan
TMRC - Sembilan (Kembali Ke Dunia Nyata)
TMRC - Sepuluh (Jungkir Balik dunia Gebi)
TMRC - Sebelas. Mr Lawyer Vs Ms Journalist Part I
TMRC - Dua Belas (Mr Lawyer Vs Ms Journalist (II)
TMRC - Tiga belas (Antara Romantis dan Siksaan)
TMRC - Empat Belas
TMRC - Lima belas (Beda)
TMRC - Enam belas (Seseorang)
TMRC - Tujuh belas (Tentang Bumi Dan Sentuhan Pertama)
TMRC - Sembilan Belas (Complicated)
TMRC - Dua Puluh
TMRC - Dua Puluh Satu - Jawaban & Keputusan
TMRC Dua Puluh Dua - Kado, Pengakuan, Air Mata Terakhir
TMRC- Dua Puluh Tiga - Klimaks
TMRC - Dua Puluh Empat - Spasi
TMRC - Dua Puluh Lima - Rindu Terbunuh Jarak
TMRC - Dua Puluh Enam - Jejak
TMRC - Dua Puluh Tujuh - Di sini... Baik-Baik Saja
TMRC - Dua Puluh Delapan - Benang Merah
Ready di Google Play Book!

TMRC - Delapan belas

35.3K 3.4K 330
By VodcaWhiskey

Kaffi mendekatkan wajahnya ke wajah Gebi. Tangan gadis itu meremas sprei. Bibirnya digigit gusar. Napas Kaffi bahkan sudah menampar wajah Gebi lebih dulu. Tinggalkan panas di sepanjang kulitnya. Lalu saat kedua alis mereka menyatu. Kaffi berbisik pelan, "Kau benar-benar sudah siap, Bi?”

"Tidaaaaaaaaaak! Aku belum siap! Tolong berhentiiii! Demi Tuhan aku masih perawan! Dan aku tidak mau menyerahkannya pada iblis licik sepertimu. Tidaaaaaaaaaaaaaak! Jangan renggut kesucianku!"

Ptaasssss.

Mata Gebi terbelalak saat merasakan tamparan kuat di jidatnya. Dia mengerjap lantas menyapukan pandangan ke penjuru kamar. Betapa kagetnya Gebi saat matanya menangkap Kaffi sedang terduduk dan menatapmya dengan tatapan membunuh.

"Apa kau gila? Berteriak tengah malam buta begini?" teriak Kaffi sambil mengucak-ngucak matanya yang terlihat memerah.

Gebintang masih mengelus jidatnya yang perih bekas tamparan. Tapi otaknya terus berpikir keras. "Eh, apa aku mimpi?" tanyanya tidak yakin.

"Ya! Dan kau mengganggu tidurku, Bodoh! Apa kau kerasukan arwah komentator bola? Kenapa teriakanmu kencang sekali! Tenggorokanmu mungkin perlu dijahit!"

Gebi bangkit. "Astagaaa aku benar-benar mimpi, ya? Ya Tuhan, hampir saja!" Dia mengelus dada lega. "Kau tau, Kaff? Aku mimpi buruk! Sangat-sangat buruk."

"Kau pikir aku tidak mendengar teriakanmu tadi? Demi Tuhan aku masih perawan. Dan aku tidak mau menyerahkannya pada iblis licik sepertimu. Tidak! Jangan renggut kesucianku, cih! Iblis siapa yang ingin merenggut kesucianmu, hah? Apa iblis itu tidak punya mata? Kenapa dari sekian gadis berdada besar, dia memilihmu? Benar-benar tidak beres iblis yang ada di dalam mimpimu itu!" cibir Kaffi.

Gebi mendengus kesal. "Iblis itu adalah KAU!"

"Enak saja. Mana bisa begitu? Kalaupun aku berubah jadi iblis, testosteronku masih berfungsi dengan baik. Tipeku masih yang berbokong besar, dengan ukuran dada di atas rata-rata."

Guling melayang di udara dan jatuh menghantam wajah Kaffi begitu saja.

"Kalau gitu, MENIKAH SAJA DENGAN MEREKA! Dan kau akan puas karena setiap hari bisa minum susu perah dari dada raksasa seperti bola basket itu!"

Gebi kembali berbaring dengan membelakangi Kaffi. Dia tidak sudi melihat wajah Kaffi yang terus-terusan mengejeknya.

"Ya. Terima kasih sudah mengijinkanku menikah lagi. Besok akan kucari susu perah dari dada-dada raksasa di luar sana."

"Terserah, terserah, terseraaaah!! Hati-hati wajahmu memar dihantam dada raksasa itu."

"Itu akan sangat keren!"

Kaffi berbaring dan menatap punggung Gebi. Dia tertawa tanpa bisa ditahan. Senang sekali bisa membuat gadis itu kesal. Sementara di depannya Gebi merutuki dirinya yang bisa-bisa saja memimpikan hal yang tidak-tidak.

***

Lewat lambaian, Justin beri kode pada Gebi yang baru sampai ke restoran tempat janjian mereka. Gadis itu tersenyum lemah. Terseok-seok menuju meja di mana Justin duduk.

"Maaf aku terlambat. Kau sudah menunggu lama?" tanya Gebi. Wajahnya tampak lesu dan lelah.

Dahi justin berkerut saat melihat penampilan Gebi. Begitu berantakan. Celana selutut, sandal jepit, dan juga kaos oblong yang basah di beberapa sisi. Rambutnya juga acak-acakan tanpa sedikit pun polesan make up.

"Kau kenapa?"

"Aku lelah sekali. Huaaa!" jerit Gebi. Wajahnya langsung menubruk meja dengan setengah badan rebah ke sana. "Keparat itu benar-benar ingin membuatku mati hari ini!"

"Keparat? Siapa yang kau maksud dengan keparat?"

"Siapa lagi? Sahabatmu itu!"

“Kaffi?”

"Ya!" Gebi bangun. "Apa kau tau? Dia memerah tenagaku secara membabi buta hari ini. Dari pagi, dia menyuruhku membersihkan rumah. Membuatkan sarapan untuknya dan juga pergi berbelanja ke pasar tapi tidak memperbolehkan supir mengantarku. Seenaknya saja menyuruhku jalan kaki dari pasar ke rumah dengan alasan aku jarang olahraga. Aku juga harus empat kali membuatkan makan siang untuknya. Mencuci mobilnya, memindahkan isi walking closet-nya, dan juga membersihkan ruangan kerjanya! Mengelap ribuan buku, membuat asinan buah, juga snack untuk dia menonton tv. HUAAAAH!”

Tawa Justin meledak.

"Respons yang sangat sopan, Mr Justin," cibir Gebi, sarkastis.

"Maaf. Kau terlalu lucu."

Gebi mengangkat vas bunga kristal di atas meja. "Kau memintaku untuk menyumbat mulutmu dengan ini?"

"Tidak. Terima kasih. Nyonya Kaffi"

Dengan jemarinya Gebi menyisir rambut. “Apa aku berantakan?"

“Kau sudah berantakan sejak pertama aku mengenalmu."

"Hei, kau itu sama keparatnya dengan teman bedebahmu itu. Kalian ini benar-benar membuat wajahku keriput karena marah-marah."

"Bercanda,” kekeh Justin. “Baiklah, untuk menghiburmu, pesanlah sesuatu.”"

"Benarkah?" Gebi menatap Justin dengan sorot mata berbinar-binar. Dia berdeham sebentar kemudian pura-pura memasang wajah datar dan berujar, "baiklah kalau kau memaksa."

"Aku tidak memaksa, dan tidak sungguh-sungguh menawarkan."

Dengan kesal, Gebi bangkit. ”Aku pulang saja!"

Kembali Justin tertawa. “Aku bercanda. Pesan saja sesukamu."

"Kau yang menyuruhku, ya?" Tunjuk Gebi kemudian memanggil waitress dan memesan tiga porsi makanan termahal di restoran itu kemudian menghabiskannya secara cepat di depan Justin.

"Aaaaaagh! Perutku!" Gebi bersandar di bangku itu dan memegang perutnya yang tampak sudah membesar beberapa senti. Melihat itu Justin tersenyum lebar kemudian Gebi menengadahkan tangannya di depan Justin. "Berikan ponselmu."

"Untuk apa?"

"Sudah jangan banyak bertanya berikan saja ponselmu."

Ponsel itu berpindah ke tangan Gebi.  Perempuan itu sedang mengetikkan sesuatu kemudian tertawa sebentar dan kembali menyerahkan ponsel itu pada pemiliknya yang hanya bisa menonton tingkah Gebi dengan ekspresi heran.

***

Kaffi masih berkutat dengan laptop ketika ponselnya berbunyi tandakan pesan masuk.

Justin Poernomo

Hai, Kaff. Istrimu menghabiskan uangku sebanyak tiga juta untuk makan malamnya. Bisakah aku mendapatkan gantinya?

Nyaris saja Kaffi terjungkal dari kursi kerja. Tak banyak pikir, ia menelepon Gebi. Malang, ponsel gadis itu mati. Dengan perasaan kesal setengah mati, Kaffi langsung menghubungi Justin.

"Halo.”

"Tolong berikan ponselnya pada Gebi."

"Sebentar."

Kaffi menunggu beberapa detik. "Oh, Dude, aku sudah memaksanya tapi dia tidak mau bicara denganmu.”

"Cepat berikan! Kalau tidak aku akan membunuhnya."

"Hei, santailah. Aku tidak ingin menjadi saksi di pengadilan. Sebentar!"

Terdengar Justin membujuk Gebi di sana. Berapa detik, suara manusia yang ingin sekali Kaffi jambak itu mengudara, "Halo, Sayang? Apa kau merindukanku?" tanyanya santai.

"KAU GILA! KAU BODOH! DEMI TUHAN KAU MEMBUATKU MALU DENGAN SELERA MAKAN KULIMU ITU! KAU TAU, KAU SUDAH MENGHABISKAN  TIGA JUTA UNTUK PERUT SIALANMU ITU. BENAR-BENAR MEMALUKAN!"

"Santailah aku hanya mengikuti instingku. Lagi pula, kau tidak akan jatuh miskin hanya dengan mengganti uang itu, kan? Bukankah kau kaya?"

Kaffi menarik napas dalam mencoba menekan emosinya. "Dengar! Aku tidak tahu ada iblis apa yang tinggal di dalam tubuhmu. Tapi kali ini kau sudah berlebihan. Ini bukan tentang uang, tapi soal harga diri. Kau dengar? HARGA DIRI!"

"Oh," jawab Gebi, pendek.

"Kau, jangan pernah kembali ke rumahku. Kau ingat? Jangan pernah kau tunjukan wajahmu di hadapanku lagi," ancam Kaffi, murka. Gigi geliginya gemeretak seperti suara kerupuk hancur.

"Yeay, akhirnya aku sudah bebas.”

"KAU BRENG—“

Klik.

Kaffi tidak bisa melanjutkan kata-katanya, Gebi sudah memutuskan telepon secara sepihak. Kaffi meremas ponsel, menarik napasnya yang terasa berat. “WANITA BODOH! KEPARAT, GILA, TERKUTUK!" maki Kaffi sambil menendang-nendang meja kerjanya.

***

Ternyata setelah penyiksaan bertubi-tubi siang tadi, malam ini Gebi bisa membalas semua kekesalannya pada Kaffi. Dengan tidak tahu malunya dia menghabiskan tiga juta rupiah untuk makan malam dan dia sendiri yang mengirim pesan pada Kaffi melalui ponsel Justin. Sengaja membuat suaminya itu malu. Tidak hanya itu, Gebi juga mendapatkan kabar gembira yaitu besok dia bisa mulai di Interview di kantor Justin. Jika diterima, Gebi akan langsung menyerahkan surat resign ke kantor lamanya.

Dengan perasaan senang dan bahagia yang membuncah, Gebi menggeliat manja di atas ranjang empuknya sendiri tanpa harus membagi dengan Kaffi. Ya, saat ini Gebi memutuskan untuk pulang ke rumah mertua. Walaupun ditodong pertanyaan yang bertubi-tubi dari keluarga besar Kaffi, Gebi hanya beralasan bahwa dia rindu kamarnya dan ingin istirahat beberapa hari di rumah ini. Akhirnya di sinilah Gebi. Ia langsung tidur karena besok harus mempersiapkan segalanya mulai dari lamaran yang kata Justin hanya untuk formalitas, juga penampilan terbaiknya. Tidur awal membantunya mendapatkan tampilan fresh.

***

Badan Gebi terguncang.

Tidak, tepatnya sedang diguncang-guncang dengan kasar.

Dia menggeliat coba kumpulkan kesadaran. Tapi guncangan itu tidak berhenti dan semakin kencang. Sekarang, tangan Gebi bahkan ikut tertarik. Akibatnya, Gebi jatuh dari tempat tidur menubruk lantai. Rasa kantuk langsung hilang sekejap. Dia meringis. Tidak sempat memproses kejadian, matany menangkap sosok makhluk astral di depan.

"Kau merindukanku?" tanya Kaffi dengan senyum smirk.

Badan Gembi mengkaku. "B-bagaimana bisa kau masuk?"

"Apa makanan seharga tiga juta rupiah bisa membuatmu lupa, kalau kamar yang kau tempati sekarang adalah rumah orangtuaku? Cepat bangun!" Kaffi menggeser paha Gebi dengan sepatunya.

"Aku masih mengantuk, biarkan aku tidur 30 menit lagi."

Tanpa aba-aba Kaffi menarik tangan Gebi dan menyeretnya turun ke bawah. Di meja makan keluarga Chanzu sudah berkumpul.

"Apa kau serindu itu pada istrimu sampai kau menariknya seperti itu?" tanya Kiffarah yang duduk sambil menyeruput kopi.

"Kau, biarlah dia menginap di sini beberapa hari."

"Tidak, Mami. Kita baru menikah enam bulan. Aku tidak bisa berpisah dengan istriku. Bagaimana bisa kalian memisahkan pengantin baru?” ditatapnya Gebi. “Bukan begitu, Bi?"

"Cih. Dia memasang wajah munafik di depan keluarganya. Tapi aku lelah, Kaf. Bukankah selama enam bulan ini, aku selalu melayanimu dengan baik. Pagi dan malamnya? Belum pernah kau membiarkanku lolos satu hari saja kan, Kaff? Kau juga menyuruhku minum pil penunda datang bulan agar tidak mengganggu kekusyukan aktivitas ranjang kita kan, Kaff? Jadi biarkan aku libur. Beberapa hari saja. Please?" ucap Gebi pura-pura memelas. Dia senang bukan main mendapati wajah suaminya semerah ceri. "Haaha. Rasakan itu! Sekarang dia diserang oleh umpannya sendiri."

"Astaga. Kau begitu jujur, Sayang. Hahaha." Robbi tertawa. Kiffarah menutup mulutnya sementara Emerald menggelengkan kepalanya.

"Kau menjijikan!" sembur kiffarah. "Setidaknya biarkan istrimu itu istirahat beberapa hari. Lagi pula, apa yang kau buat, hah? Sekecambah janin pun tidak pernah tumbuh di perut istrimu.”

Wajah kaffi merah padam. Dia benar-benar dibuat malu di depan keluarganya. Melihat itu Gebintang pura-pura menyentuh pipinya.

“Sayang kau sakit?"

"Ah. Iya, Sayang. Aku tidak enak badan. Aku ingin sarapan. Bisakah kau membuatkanku sarapan sekarang juga?"

"Oh, sarapannya sudah disediakan Bibi, Sayangku. Ayo kita sarapan sama-sama."  

"Ayo! Kalian pasti lapar," ajak Emerald.

"Tapi, Sayang. Aku tiba-tiba ingin makan RENDANG pakai KETUPAT juga SATE BUMBU BALI juga AYAM BAKAR BUMBU BALADO.”

"What the..." Gebi menutup mulutnya tidak percaya. Bisa-bisanya Kaffi menyuruhnya membuatkan makanan seberat itu pagi-pagi buta seperti ini. "Apa tadi dia bilang? Ketupat? Apa dia gila?" Gebi tiba-tiba pusing karena tidak bisa menolak perintah Kaffi di depan keluarganya.

"Sayang, bukankah sudah satu bulan ini kau sibuk dan tidak pernah memasak untukku? Padahal kau tau, aku tidak suka makan makanan restoran. Tapi kau terus memintaku memesan makananku sendiri. Aku benar-benar merindukan masakanmu.”

"Cih. Omong kosong apa yang dia bicarakan? Bukankah aku selalu jadi budaknya selama enam bulan ini? Saat ini aku benar-benar ingin menendang selangkangannya!"

"Gebintang apa itu benar?" tanya Emerald.

"Ah, itu, aku—"

"Kau itu! Tidak baik melakukan hal itu pada suamimu! Bagaimana kalau dia menyuruh wanita lain yang melakukan untuknya?"

Sudah Gebi duga ini akan berakhir dengan dirinya yang diomeli habis-habisan. "Ba-baik Mami. Aku akan buatkan sarapannya."

"Tapi kau harus sarapan dulu."

"Tidak perlu, Mami," potong Kaffi cepat. “Tadi malam dia sudah menghabiskan tiga juta untuk perutnya. Jadi aku rasa perutnya masih kenyang sampai bulan depan."

Mereka semua melotot di meja makan mendengar penuturan hiperbola dari Kaffi. Gebi hanya senyum-senyum aneh lalu mengangkat kedua jarinya membentuk 'peace' lalu dia buru-buru menghambur ke dapur untuk mulai memasak.

“Siaalaaaaaaaaan! Akan kubalas dia nanti!”

***

Sudah bisa ditebak, bagaimana repotnya Gebi pagi itu. Dengan sengaja Kaffi bahkan menyuruh para ART untuk istirahat dan membiarkan Gebi melakukan semua yang diperintahkannya. Sebenarnya, Gebi tidak bermasalah dengan pekerjaan itu. Hanya saja, dia punya janji dengan Justin jam 10 nanti. Jadilah sepanjang memasak dia memutar otak mencari cara terbaik untuk kabur.

Gebi sudah menyelesaikan semua masakan. Dia lantas mengatur dengan rapi di atas meja. Sementara Kaffi sudah duduk manis bersiap-siap untuk makan. Ketika suapan pertama masuk ke mulut Kaffi, tiba-tiba saja....

"Pfuiiiiiiiiih." Disemburkan lagi ke lantai.

"Ada apa?" tanya Gebi.

"Makanan apa ini?"

"Seperti yang kau minta, kan?"

"Apa kau berniat untuk membunuhku?"

Gadis itu menggeleng polos.

"KAU MAKAN SAJA INI! RASANYA SEPERTI KOTORAN AYAM! SIAL! TIDAK BISA DIANDALKAN!" teriak Kaffi keras. Semua keluarganya yang tadinya di ruangan teve, lantas berpindah ke TKP.

"M-maaf aku lelah tadi," jelas Gebi, pelan.

"KAU MEMANG TIDAK BECUS! BAHKAN LALAT PUN AKAN MATI BEGITU MAKAN MASAKANMU INI, TOLOL!" maki Kaffi.

Gebi sudah menangis sesenggukan dan berlari ke luar rumah tanpa aba-aba. Beruntunglah, taksi pesanan datang tepat waktu.

"Hikz." Gebi menyandarkan wajahnya ke sandaran kursi taksi, bahunya berguncang. "Hiksz. Hu. Hu-huaaaahahhaahhahaaaa. Aahahahahahhaha huahahahhaa. Hahahahhahaaa." Gebi memegang perutnya dan tertawa sambil guling-guling di atas kursi mobil. Dia tidak peduli dengan ponselnya yang berbunyi karena ditelpon oleh kiffarah dan kedua mertuanya bergantian. Dia juga acuh dengan tatapan supir lewat pantulan kaca.

"Huahhahahahaa." Gebi menghapus air mata dan menguasai dirinya. dia yakin saat ini kaffi sudah pasti digoreng habis-habisan oleh kedua orang tuanya.

“Astagaa. Aku bahkan bisa mendapatkan Oscar kalau kualitas aktingku sebagus tadi. Behahahaha.”

***

"Sayaaang apa makanannya sudah bisa kucicipi? Aku sangat lapar." panggil Kaffi yang sedang menonton berita pagi dengan keluarganya.

Gebi tau, Kaffi sengaja menekannya.

"Sebentar lagi, Bajingan sayaaang."

Tiba-tiba di otak Gebi muncul ide biadab. Dia langsung mencari-cari sesuatu. Wanita itu memekik senang ketika mendapatka apa yang dia mau.

"Haha ini dia! Ayo campurkan setengah toples lada ke dalamnya," seru Gebi sambil terkikik. Dia menumpahkan sebagian isi jar itu ke dalam rendang. "Kemudian, sertai garam di dalamnya. Sedikit saja. Kira-kira satu satu toples full.” Semua serbuk putih itu luruh ke dalam masakan. Menyisakan udara lompong di dalam wadah plastik itu. Gebi bisa membayangkan kepala Kaffi berdenyut karena hipertensi. Haha.

Pandangan Gebi tertuju pada sate bumbu bali. Dia urungkan niat untuk merusak. Karena si licik itu bisa langsung mengendus perbuatan liciknya. Harus ada makanan normal yang tersaji agar tidak dicurigai. Gebi lalu membersihkan dapur dan mengisi kembali semua bumbu yang dihabiskan tadi agar barang buktinya tidak terungkap. Saat hidangkan makanan, dia bahkan bisa bersiul riang tanpa dosa.

"Pfuiiiiiiiiih." Kaffi menyemburkan makanannya ke lantai

"Ada apa?" tanya Gebi, pura-pura bingung.

"Makanan apa ini?"

"Seperti yang kau minta, kan?"

"Apa kau berniat untuk membunuhku?"

Masih dengan kepolosan yang sama, Gebi menggeleng dan memasang wajah paling lugu. Otot perutnya mengalami kontraksi ringan karena menahan tawa yang sudah menggantung di ujung amandelnya.  

"KAU MAKAN SAJA INI! RASANYA SEPERTI KOTORAN AYAM! SIAL! TIDAK BISA DIANDALKAN!" teriak Kaffi keras. Semua keluarganya yang tadinya di ruangan Tv sekarang masuk ke ruang makan itu. Yeah show time!

"Ma-maaf aku lelah tadi," jelas Gebi berusaha agar suaranya terdengar bergetar.

"KAU MEMANG TIDAK BECUS! BAHKAN LALAT PUN AKAN MATI BEGITU MAKAN MASAKANMU INI, TOLOL!"

Oh demi Tuhan! Gebintang bersumpah sangat ingin tertawa saat itu juga. Kalau sampai dia tertawa, habislah reputasinya di depan mertua. Demi rambutnya yang megar, dia harus menahan diri sampai wajahnya memerah dan dalam sekejap entah ada iblis apa yang membantu, air matanya jatuh berkejaran di pipi.  Gebi menghitung dalam hati, dan dalam hitungan ketiga dia sudah lari terbirit-birit ke pintu keluar.

 ***

Masih dengan sisa-sisa tawanya, Gebintang sampai di rumah. Sebentar lagi, Kaffi pasti akan menyusul. Gebi mengambil semua yang dibutuhkan: kemeja, celana, lalu beberapa alat make up. Ia kembali ke taksi, menuju kantor Prixma. Dia putuskan untuk mampir ke swalayan depan kantor Prixma untuk mengganti baju. Minus mandi tentu saja. Gebi tidak bisa melakukan semua itu di rumah, karena Kaffi akan langsung menciduknya.

Rambut, Gebi sisir asal. Make up, dipulas ala kadar. Ini tampilan terbaik yang bisa dilakukan dalam waktu dua menit. Gebi tidak punya banyak waktu. Andai saja Kaffi tidak menahannya, dia pasti bisa menyiapkan diri lebih baik.Dasar suami sialan! Maki Gebi dalam hati.

Gebi sampai di ruangan yang pernah dia datangi beberapa bulan lalu. Sudah banyak perempuan muda dan beberapa laki-laki yang duduk di sana. Dia melirik sebentar beberapa gadis yang sibuk membenahi penampilan mereka. Gebi melirik penampilannya sendiri, dan baru menyadari bahwa dia satu-satunya wanita paling berantakan.

Terdengar suara Justin. Gebi menoleh. Pria itu berjalan menuju ke tempat mereka duduk dengan ponsel yang menempel ke telinga.

"Baiklah aku mengerti," katanya lalu memutus panggilan telepon.

Bermaksud menyapa Justin, Gebi melemparkan senyumnya. Tapi, jangankan membalas, menoleh pun tidak. Beberapa wanita tadi menunduk dengan hormat. Refleks, Gebintang melakukan hal yang sama.

"Dev'.” Sebut Justin pada wanita yang berdiri di sampingnya.

"Ya, Pak?"

"Apakah persyaratan untuk wawancara sudah diumumkan lewat website kita?"

"Sudah, Pak. Ada apa?"

"Bagaimana bisa mereka datang ke sini dengan pakaian amburadul seperti itu? Dan juga memakai sendal?"

Mereka semua—termasuk Gebi—melakukan scaning penampilan. Dari wajah, pakaian, Gebi rasa pantas-pantas saja. Namun, tubuhnya mematung saat tatapannya terkunci ke kaki. Sendal? Gebi memakai sendal? Habislah dia.

"Suruh pulang saja yang tidak mematuhi peraturan karena perusahaan ini tidak menerima orang-orang yang berpenampilan buruk! Belum juga resmi jadi pegawai, mereka sudah tidak disiplin," perintah Justin.

Beberapa wanita itu melirik Gebi dan berbisik-bisik lalu tertawa pelan di balik tangan mereka.

Gebi tertunduk. Harus berapa kali dia mengalami kesialan untuk hari ini? Bagaimana bisa dia lupa menukar sendalnya dengan sesuatu yang lebih layak untuk dipakai saat wawancara dengan bagian HRD nanti? Tanpa menunggu lama, Gebi langsung pergi dari ruangan itu sebelum dia benar-benar diusir.

 ***

Jam menunjukan pukul sepuluh malam ketika Gebi sampai di rumah. Keadaan gelap gulita. Gebi terlalu lelah untuk sekadar menyalakan lampu. Dia langsung menuju ke taman. Gebi duduk di tangga depan pintu kamar untuk menetralkan pikirannya. Bagaimanapun, dia sangat sedih dengan kejadian tadi. Dia sudah sangat berharap banyak untuk bisa bekerja di perusahaan Prixma. Tapi, belum sempat untuk wawancara, dia malah tertolak mentah-mentah.

Pintu kamar terbuka. Gebi melihat pantulan cahaya lampu kamar di rerumputan.

Kaffi bersandar di satu kusen pintu. "Kenapa kau masih menunjukkan batang hidungmu di depanku? Kenapa masih berani kembali ke rumah ini?"

Gebi tidak menjawab.

"Gebintang!" sebut Kaffi, keras.

Gebi masih diam.

"Apa kau tuli?" bentak pria itu.

"Kaf. jangan sekarang. Aku lelah. Besok saja marah-marahnya."

"Kau benar-benar tidak tahu malu, Gebintang! Kaupikir aku sedang bercanda denganmu? Setelah semua yang orangtuaku lakukan untukmu selama ini, apa seperti tadi caramu membalas budi?"

Kaffi menuruni beberapa anak tangga dan berdiri di rumput taman, membelakangi Gebi.

"Apa kau senang mempermainkan orangtua, dan saudara-saudaraku?" tanya Kaffi pelan tapi penuh penekanan.

"Kau tau? Mereka sangat sedih melihatmu seperti tadi. Dan mereka terus saja menyalahkanku atas kejadian tadi!" Suara Kaffi meninggi sementara Gebi masih diam

"Bagaimana jika mereka tau kalau kau membohongi mereka dengan pura-pura sedih seperti tadi dan kemudian menertawai mereka di belakang. Kau puas Gebintang!?”

Wajah Gebi terangkat. Memandangi punggung dingin suaminya. “Kaf, aku tidak bermaksud membohongi mereka, aku—"

"Kau apa????" Kaffi berbalik menghadap Gebi. "Kalau kau mau main-main denganku, jangan libatkan orangtua dan saudaraku! Mereka selalu percaya padamu bahkan saat kau bodohi seperti tadi!"

Tangan kaffi terkepal. Saat ini, wajahnya sangat terlihat marah. Tidak seperti wajah marah yang biasa ia tunjukan biasanya.

"Kau lupa dengan semua kebaikan yang sudah kau dapat? Atau kau pura-pura hilang ingatan untuk sekadar mengingat apa yang sudah diberikan orangtuaku padamu? Apakah aku harus mengingatkan lagi, kalau kau itu bahkan tidak lebih dari seekor PARASIT!?"

Gebi menggeleng. Air matanya sudah mengalir deras di pipi. "Aku tidak mungkin lupa dengan semua kebaikan keluargamu, Kaff," bisiknya lirih.

Kaffi tersenyum sinis. "Ya, kau tidak mungkin lupa, mana mungkin kau lupa? Karena kehidupan ini yang kau impikan, bukan?" pria itu berkacak pinggang. "Tinggal di rumah mewah, difasilitasi, diberi makan enak, dipakaikan baju-baju bagus. Semua itu mana bisa kau lupakan dengan mudah? Tidak mungkin," sindirnya.

Tubuh Gebi bergetar mendengar kalimat sadis yang diucapkan Kaffi

"Aku ingatkan sekali lagi, kau hanya parasit! Di mataku, kau itu hanya orang asing yang menumpang hidup dalam keluargaku. Tidak lebih dan tidak akan pernah bisa lebih dari itu. Kau tau? Bahkan pengemis pun lebih mulia ratusan kali dibanding parasit!"

Kaffi memberi jeda beberapa menit sebelum berujar, "Awalnya kupikir, menikah denganmu mungkin jadi latihan berumah tangga yang seru. Sampai kemudian aku sadar, kau sudah menunjukan padaku betapa buruknya gambaran pernikahan. Kau contoh sempurna bahwa manusia pungutan, sampai kapan pun, tidak akan bisa menjadi berkelas. Semahal apa pun barang yang kau pakai, semewah apa pun rumah yang kau tempati, suatu waktu, kau tetap akan bertingkah seperti di mana tempat asalmu.

 “Malam ini kau harus tau alasan sebenarnya aku menikahi perempuan sepertimu," kaffi mendekatkan wajahnya pada Gebi. "Kau dan pernikahan terkutuk ini, hanyalah simulasi bagiku, Geb. SIMULASI! Jadi, jangan pernah kau merasa besar kepala dengan statusmu sebagai istriku. Karena levelmu itu hanya setara dengan sampah!"

Kaffi langsung naik ke kamar dan membanting pintu keras. Meninggalkan Gebi yang tergugu di tangga.

Continue Reading

You'll Also Like

286K 14.7K 26
Mature Content ❗❗❗ Lima tahun seorang Kaia habiskan hidupnya sebagai pekerja malam di Las Vegas. Bukan tanpa alasan, ayahnya sendiri menjualnya kepad...
793K 7.6K 9
(Sedang dalam proses revisi, di publikasikan berkala) Dokter Rony Mahendra Nainggolan tidak pernah tahu jalan hidupnya. Bisa saja hari ini ia punya k...
2.3M 32.2K 27
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
16.8M 731K 42
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...