The Marriage Roller Coaster

By VodcaWhiskey

2.7M 127K 8.8K

Setelah kecelakaan merenggut nyawa ibu yang merupakan keluarga satu-satunya di dunia ini, Angkasa Gebintang d... More

PERKENALAN DAN PERINGATAN
Prolog
TMRC - Satu
Tmrc dua
TMRC - Tiga
TMRC - Empat
TMRC - Lima
TMRC - Enam
TMRC - Tujuh
TMRC - Sembilan (Kembali Ke Dunia Nyata)
TMRC - Sepuluh (Jungkir Balik dunia Gebi)
TMRC - Sebelas. Mr Lawyer Vs Ms Journalist Part I
TMRC - Dua Belas (Mr Lawyer Vs Ms Journalist (II)
TMRC - Tiga belas (Antara Romantis dan Siksaan)
TMRC - Empat Belas
TMRC - Lima belas (Beda)
TMRC - Enam belas (Seseorang)
TMRC - Tujuh belas (Tentang Bumi Dan Sentuhan Pertama)
TMRC - Delapan belas
TMRC - Sembilan Belas (Complicated)
TMRC - Dua Puluh
TMRC - Dua Puluh Satu - Jawaban & Keputusan
TMRC Dua Puluh Dua - Kado, Pengakuan, Air Mata Terakhir
TMRC- Dua Puluh Tiga - Klimaks
TMRC - Dua Puluh Empat - Spasi
TMRC - Dua Puluh Lima - Rindu Terbunuh Jarak
TMRC - Dua Puluh Enam - Jejak
TMRC - Dua Puluh Tujuh - Di sini... Baik-Baik Saja
TMRC - Dua Puluh Delapan - Benang Merah
Ready di Google Play Book!

TMRC - Delapan

41K 3.5K 67
By VodcaWhiskey

Gebintang menatap nanar kapal kecil di hadapannya dengan mata yang kosong tak terbaca. Angin laut menampar wajah bodohnya. Kaffi sudah naik lebih dulu ke kapal itu dan meneriakinya beberapa kali namun gadis itu masih bergeming dalam posisi.

"Mau sampai kapan kau di situ?" Kaffi memanggil dengan tangan yang dilambaikan ke udara. "Cepat ke sini!"

Gebi tidak menjawab dia masih mematung. Ransel di depan dadanya dipeluk semakin erat. 

Tak kunjung direspons, Kaffi berteriak frustrasi, "Woiiiiii!"

Baru setelah melihat wajah Kaffi yang sudah memerah, Gebintang melempar pertanyaan, "Ini apa, Kaff?" tanyanya tidak mengerti.

"Bahkan kapal, pun, kau tidak tahu?" cibir Kaffi. Rasa-rasanya dia akan turun dan menampar wajah tolol Gebintang yang hanya berdiri tapi melemparkan pertanyaan-pertanyaan bodoh.

"Bodoh! Maksudku, untuk apa?" Gebi masih belum puas.

"Berisik! Cepat naik ke sini atau aku akan meninggalkanmu."

Dengan bingung Gebi naik ke kapal kecil itu mengekori Kaffi. Suaminya itu malah dengan cuek meninggalkan Gebi dengan langkah lebar lalu masuk ke ruangan yang tidak terlalu besar di hadapannya.

"Selamat sore, Tuan. Selamat datang, Nona. Bagaimana kabar Anda?" sapa seorang pria berumur sekitar 50-tahunan. Postur tubuh dan wajah pria itu meneriaki bangsa asing. Gebintang bahkan bisa menyimpulkan bahwa pria ini berkebangsaan Inggris. Itu terdengar jelas dari cara bicara maupun aksen British yang terkoar dari ucapannya.

"Selamat sore." Kaffi mengingat-ingat nama pria ini namun gagal. Baru setelah membaca ulang pesan Justin, akhirnya ia  mengingat lagi nama lelaki gagah ini: Captain George.

"Selamat sore, Capt. Kami baik. Bagaimana denganmu?"

George tersenyum ramah. "Tidak pernah lebih baik dari ini."

Walaupun kebingungan melihat interaksi dua pria ini. Gebintang hanya melempar senyum sopannya.

"Mari saya antar ke kamar Anda," ajak George. Pria itu berjalan lebih dulu. Kaffi mengangguk lalu mengekori pria itu.

Menyusuri sebuah ruangan yang bernuansa putih, mata Gebi bergulir liar menyapu seisi ruangan itu. Ia mencari jawaban atas rasa penasarannya. Gebi menduga-duga, kalau tidak salah, ini seperti sebuah kamar kemudi karena ia bisa melihat sebuah kotak bertuliskan Global Positioning Satelite atau GPS dan kompas besar juga peta yang tertempel di dinding sebelah kiri.

Di depan, ada perangkat komando ruang mesin dan juga radio komunikasI; Berdiri juga sebuah roda kemudi kapal berwarna coklat dengan sentuhan keemasan.
Mereka naik lagi ke dek atas melewati beberapa anak tangga dengan undakan tidak lebih dari 10 susun lalu sampai pada koridor panjang yang terbuka.

"Di sini ada dua kursi santai." George mulai memberikan penjelasan. "Dan ini meja untuk makan malam. Semua keperluan sudah kami sediakan di pantry kecil itu." Pria itu menunjuk sebuah ruangan di ujung kapal. "Nanti, setelah pukul 18.00, pelayan akan mengantarkan makan malam Anda. Tidak akan ada yang naik ke sini, Tuan. Ini sepenuhnya daerah Anda dan istri. Tapi, kalau Anda membutuhkan sesuatu, Anda bisa menekan bel di situ. Dan mari saya antar ke kamar Anda."

Kaffi hanya mengangguk kemudian mengekori George sampai di sebuah pintu besar berwarna coklat.

"Ini kamar Anda." George membuka pintu, dan Gebi langsung tersenyum begitu melihat interior kamar. Pandangan gadis itu beralih ke ranjang besar yang sudah dihiasi dengan kelopak bunga mawar dan ditata berbentuk hati.

"Ini kamar mandi," lanjut George. Begitu membuka pintu kamar mandi, Gebintang mencium wewangian aroma therapy yang menyeruak. Suasana kamar mandi tidak jauh beda dengan kamar tidur karena masih dihiasi dengan kelopak bunga mawar di seluruh lantai. Juga lilin-lilin kecil yang tertutup gelas kaca.

Sungguh romantis, pikir Gebi.

"Baik. Itu saja, Tuan. Kami akan berlayar ke pulau seberang dan akan berlabuh 20 Menit lagi. Jika Anda dan istri Anda mau berenang, tangga gantung ada di sudut kiri buritan kapal."

Sekali lagi Kaffi mengangguk. "Terima kasih, Capt."

George tersenyum kemudian meninggalkan Kaffi dan Gebi yang saling bertatapan. Gadis itu  tersenyum memamerkan Gigi kelincinya.

"Apa? Sekarang kau sudah tersenyum?" cibir Kaffi, geli. Ingin rasanya dia menampar muka tolol Gebi yang tersenyum hiperbola.

Gebi berkedip-kedip centil. "Ternyata... kau romantis juga, ya?" godanya sembari memutar-mutar sejumput rambut.

Bola mata Kaffi berotasi satu putaran. "Jangan konyol!" bentaknya.

"Kau menyiapkan ini semua. Menurutku itu romantis.”

"Jangan besar kepala. Siapa yang mau buang-buang uang menyewa tempat seperti ini hanya untuk menghiburmu? Ini semua hadiah dari Justin karena kita tidak bisa ikut kapal pesiar itu. Dia meneleponku dan menawarkan untuk membawamu ke sini."

Gebi terpengarah. "Benarkah? Waaah. Apa Justin sudah punya pacar? Siapa pun yang menjadi pacarnya akan sangat senang. Dia tampan, kaya, punya badan bagus. Berhati lembut, pintar, dan yang paling penting dia romantis. Hi. Hi. Kenapa aku tidak bertemu dengannya sejak dulu? Mungkin saja aku bisa—" Gebi tidak jadi melanjutkan kalimatnya karena tatapan hinaan Kaffi.

"Kaupikir dia mau dengan wanita sepertimu? Tidak cantik! Rata, kasar, rakus. Dan yang paling penting, kau itu BODOH!" hina Kaffi, sambil mendorong alis Gebi.

"Heii. Itu, kan, pendapatmu! Kautahu? Aku sering mendapati temanmu itu melihatku dengan tatapan kagum." Gebi tersenyum malu-malu. Aksinya itu disambut Kaffi dengan ekspresi datar.
"Jangan berlebihan. Aku tidak semenjijikan itu,” protes Gebi, kesal.

Kaffi mengabaikan omelan Gebi dan langsung melompat ke atas ranjang. Pergerakan kasarnya  membuat kelopak-kelopak mawar yang tadinya berbentuk hati berubah wujud. Sebagiannya berserakan di lantai.

"Apa yang kaulakukan, Bodoh!?" Gebintang berteriak histeris. "Kau merusak ranjangnya." Dia kemudian memunguti mawar-mawar yang berjatuhan. "Bisakah kau tidur di lantai saja?"

"Berisik!" Kaffi melempari bantal ke arah Gebi. “Aku mau tidur. Jangan menggangguku!"

Wajah Gebi berubah iba. "Sayang sekali ranjang seindah itu harus dipakai tidur. Mawar-mawarnya. Ah. Harum sekali!" Gebintang menghirup kelopak mawar dalam genggamannya.

Melihat ekspresi Gebi, Kaffi langsung bangun dan menatap istrinya itu dengan tatapan penuh misteri. "Kalau begitu, ayo lakukan hal lain di sini." Pria itu memberikan instruksi pada Gebi dengan gerakan kepala. Tak lupa, menepuk-nepuk ranjang.

Gebintang tertawa sumbang.

"Kenapa kau tertawa?"

"Katamu aku menjijikan. Sekarang kau memintaku untuk hal lain?" Gebintang melipat kedua tangan di dada. "Apa kau tidak malu menjilat ludahmu sendiri?"

"Kenapa? Apa kaulupa kalau kau itu istriku? Sudah seharusnya kau melakukan kewajibanmu untuk melayaniku."

"Ha. Ha. Ha." Tawa Gebi mengudara lagi. "Lihat dirimu, sekarang kau mau...," Gebi mengangkat kedua jarinya membentuk tanda kutip di udara. "Denganku? Really? Ha. Ha. Apa kau tidak malu? Huh? Kemarin saja kau bersikap seolah-olah tidak menginginkan tubuhku. Sekarang apa? kalau aku jadi kau, aku lebih baik menenggelamkan diriku dan dimakan ikan hiu daripada harus menjilat ludahku sendiri."

Alis Kaffi terangkat. "Kau keracunan aroma laut?" tanya pria itu. "Apa yang kaupikirkan? Hm? Jadi, maksudmu, aku memintamu untuk...," sekarang Kaffi mengikuti tingkah Gebi sebelumnya dengan menaikkan jarinya membentuk tanda kutip. "Denganmu?"

"Ha. Ha. Tentu saja. Kau benar-benar lucu. Aku kasihan melihatmu."

Bahu kaffi naik turun. "Hah? Huh. Huh. Huahaha." Tawa pria itu akhirnya meledak. Sampai tangannya meninju-ninju ranjang.
Merasa ditertawakan, wajah Gebi berubah datar.

"Kaupikir... kaupikir... Huahahah." Kaffi tidak jadi melanjutkan kalimatnya karena masih ingin tertawa. "Hahahaa aku akan menyuruhmu memijit badanku, Bodoh!" Menghapus air mata di sudut matanya, Kaffi kemudian mengambil bantal dan melempari ke wajah Gebi.

"Di mataku, kau tidak jauh beda dengan seonggok tusuk gigi. Kecil, tipis, yang akan aku gunakan untuk membuka biji cabai di gigiku."

Menerima hinaan suaminya, Gebi berkacak pinggang. "Baiklah. Akan kutunjukkan bagaimana tusuk gigi itu bekerja." Gebi melompat ke ranjang, dengan kasar dia mendorong tubuh Kaffi hingga Kaffi terlentang tidak berdaya.

"Hei. Apa yang kaulakuk—" ucapan Kaffi terhenti saat merasakan Gebi merayap naik ke tubuhnya. Gadis itu bahkan duduk diatas perutnya.
Dengan pelan Gebi membuka kancing kemejanya satu per satu. Dan melemparkan kemejanya sembarangan ke lantai. Kini, badannya hanya dibungkus tank top kuning.

"Kenapa kau diam, Sayang?" tanya Gebi. Seringai jahil tercetak di wajahnya. Gadis itu membungkuk sampai tubuh mereka merapat. Jarak wajah keduanya hanya tersisa beberapa senti.

Kaffi diam saja dan menahan napas. Dirasakannya hembusan hangat napas Gebi menampar wajahnya. Senyuman Gebi melebar saat bibirnya mendarat di rahang Kaffi. Ia memberikan kecupan singkat di sana lalu naik ke bagian telinga pria itu.

"Sekarang, kautahu, kan? Seonggok tusuk gigi bisa membuatmu tidak berdaya di atas ranjang," bisik Gebi pelan, dia lalu menarik wajahnya dan menatap Kaffi penuh kemenangan.

"Ha. Ha. Lihat wajah dungumu itu," ejek Gebi "Kau B.O.D.O.H!"

Gebi menyentil dahi Kaffi dan bangun dari tubuh pria itu. Baru akan bergerak turun, Gebi merasakan tangan kasar Kaffi menariknya. Detik selanjutnya giliran dirinya yang terbanting keras ke ranjang.

Mata Gebi terbelalak kaget ketika melihat Kaffi sudah berada di atas tubuhnya. Tangan kokoh pria itu mengunci kedua lengannya yang berada di kedua sisi kepala.

"Sayang sekali kau berhenti sebelum memulai apapun." Kaffi bersuara pelan, "Tapi ... kau tidak bisa seenaknya saja mengerjaiku saat aku sudah turn on seperti ini, Gebintang."

Kaffi dan seringai wajah menyeramkannya membuat Gebi bergidik.

"Oke, Kaff, Ini tidak lucu. Baiklah. Baiklah. Kau menang. 100:10. Sekarang lepaskan! Tanganku sakit," pinta Gebi, mengalah.

"Kau akan kuajarkan cara bertanggungjawab. Supaya kau tahu, kalau sudah berani mulai apa pun, kau juga harus menyelesaikannya dengan benar."

"Ya, baiklah. Aku kalah! Aku kalah! Aku akan melakukan apapun yang kau mau. Jangan seperti ini. Ya, Kaff? Lepaskan aku, oke?" Gebi mencoba bernegosiasi sembari berusaha melepaskan dirinya tapi tidak berhasil karena Kaffi masih di atas tubuhnya dan mencengkram kedua lengannya tanpa mau bergerak sedikit pun.

Kaffi menatap mata Gebi lekat-lekat. "Tapi aku menginginkanmu, Gebintang."

"Ma-maksudmu?" Dengan susah payah Gebi menghindar saat dirasakannya wajah Kaffi sudah semakin mendekat ke wajahnya.
Gebintang menahan napasnya dan memalingkan wajah ke sisi kanan, dia merasakan ciuman Kaffi di lehernya.

"Tunjukan yang lebih dari tadi,  Sayang. Aku ingin tahu kemampuan tusuk gigi," bisik Kaffi, sensual. Pria itu kemudian bangkit dan tanpa melepaskan pandangannya dari mata Gebi. Kaffi melepas baju dan membuangnya sembarangan ke lantai.

"K-kaffii. Ja-jangan bercanda," suara Gebi melemah.

Kaffi tak merespons dan sekarang tangannya sedang berusaha meloloskan celana jeans-nya. Spontan Gebi menutup kedua mata.

"Jangan hari ini, Kaf. Demi Tuhan aku belum siap. Underwearku murah dan jelek. Aku... aku...."

Kaffi tidak menggubris.

"Kaaaf," rengek Gebi, "aku akan menebusnya lain kali tapi jangan seperti ini, ya? Maafkan aku sudah membuatmu horny. Lain kali, aku tidak akan main-main dengan nafsu laki-laki," lanjut gadis itu lagi dengan mata yang masih tertutup.
Dahi Gebi mengernyit. Dia membatin, "Apa yang dia lakukan? Buka celana saja harus selama ini?

Takut-takut, gadis itu membuka matanya. "SIAL!" jerit Gebi, "Dia mengerjaiku."

BYUR.

Bunyi sesuatu yang jatuh ke air mengagetkan Gebi, gadis itu  memungut kemeja dan memakainya buru-buru. Ia berlari ke luar mendekati besi pembatas.

"A-apa yang kau lakukan di situ?" teriak gebi panik ketika mendapati tangan Kaffi menggapai-gapai di dalam air. Pria itu tidak menjawab karena setengah kepalanya terendam air menyisahkan ujung rambutnya. Tanpa aba-aba, Gebi menaiki besi pembatas.

"Kaf, a-aku akan menolongmu. Bersabarlah." Gebintang menloncat ke dalam air. Dan seperti perenang handal, ia berenang ke arah Kaffi. Tapi kemudian gerakan gadis itu terhenti ketika ia mendapati Kaffi yang mengapung dengan senyuman usil di depannya.

"Kau!" gumam Gebi dengan rahang mengeras. Melihat lelaki di depannya tertawa, Gebi bertanya lagi, "Kau mengerjaiku, Kaff?"

Kaffi membalas dengan tawa yang masih terurai, "Kau pikir apa?"
Gebintang melirik ke atas kapal, dilihatnya pria bernama George dan beberapa awak kapal juga sedang menertawainya.

"Bodohnya kau Gebintaaaaang." Kaffi memercikan air ke wajah Gebi.

"Kau..." Gebi menarik napas mencoba meredam emosi, melihat pria di depannya tidak berhenti tertawa, ia berteriak kesal, "Kau, babi sialan!"

Tawa Kaffi sempurna terhenti. Wajah pria itu berubah marah. "Apa? Kaubilang apa?" Pria itu tidak yakin dengan pendengarannya.

"Aku bilang KAU BABI SIALAN!" ulang Gebi dengan suara meninggi.

Mata sipit Kaffi terbelalak. Bibirnya tergigit geram. "Berani-beraninya kau...."

Kaffi berenang mendekati Gebi, sementara gadis itu sudah kabur lebih dulu. Dia berenang menuju tangga gantung. Dengan cepat menaiki tangga. Namun, langkah gadis itu terhenti di anak tangga kedua karena betisnya ditarik Kaffi.

"Cepat tarik kata-katamu!" perintah Kaffi sambil mencengkram kuat betis Gebi.

"Tidak akan!" Wanita itu menolak dengan tegas.

Kepala Kaffi terangguk. Tanpa aba-aba, dia menggigit keras betis Gebi di balik celana jeans gadis itu.

"Aa. Aduduuh! Kaf, Kaf, Kaf, betiskuuu!" Gebintang bergerak-gerak sambil meringis kesakitan karena tancapan gigi Kaffi di betisnya. George dan beberapa awak kapal menggeleng Tertawa. Kemudian masuk kembali melanjutkan pekerjaan mereka.

Kaffi menjawab di sela-sela gigitannya, "Tarik dulu kata-katamu."

"Baiklah aku tarik tapi lepaskan dulu kakiku."

Menurut, Kaffi lepaskan gigitannya. Tapi, Gebintang malah mencoba tindakan licik. Dia kabur dengan naik ke tangga tapi lagi-lagi Gebi kalah cepat dengan Kaffi, Dalam sekali tarikan, gadis itu langsung jatuh ke air. Ia terbatuk-batuk karena menelan cukup banyak air.

"Sialan kau!" maki Gebi, terbatuk-batuk.

Kaffi tidak peduli, pria itu sudah naik lebih dulu ke dek kapal dan menarik tangga gantung yang terbuat dari tali tersebut. Dari atas kapal, pria itu tersenyum penuh kemenangan dan melambai-lambaikan tangannya menggoda Gebi.

Gebintang panik melihat akses satu-satunya untuk naik ke kapal diblokade Kaffi. "Hei, turunkan tangganya, Bodoh! Aku mau naik!”

Kaffi tidak menggubris. Dia malah bertanya, "Bagaimana airnya? Enak? Kau di situ dulu, ya. Nikmati berenangmu."

"Jangan bercanda! Ini tidak lucu, Kaff!"

"Aku dengar di sini banyak hiu. Kalau malam, mereka biasanya berkumpul di sini untuk cari makan. Dan aku akan mengambil beberapa cemilan untuk mereka, karena kau akan menjadi makanan utamanya."

Gebi melihat ke sekelilingnya. Langit sudah mulai gelap. Air laut yang tenang malah terlihat menyeramkan. "Hei, Bodoh. Aku tidak takut dengan ikan hiu. Turunkan tangganya aku lapar!"

"Nanti saja," ujar Kaffi meledek. "Aku mau mandi dan tidur sebentar. Selamat berenang." Pria itu meninggalkan Gebi yang sudah mengeluarkan sumpah serapahnya di bawah sana.


***

Hampir setengah jam membersihkan diri dan mengganti pakaiannya dengan kemeja putih dan celana pantai selutut, Kaffi ke luar kamar. Dengan senyum usilnya, pria itu mendekat ke besi pembatas. Melihat ke bawah namun tidak mendapati Gebi di sana.

Penasaran, Kaffi kemudian berjalan ke arah buritan kapal. Dia berpikir, mungkin saja gadis itu bersembunyi di sisi lain kapal. Sesampainya di sana, Kaffi melihat tangga gantung yang sudah terjulur ke laut. Mungkin saja Captain George yang melakukannya.

"Kena kau! Hahaaha."

Gebi muncul tiba-tiba di balik pintu gudang penyimpanan. Dia langsung melompat ke punggung Kaffi.

Merasakan bajunya yang basah digerayangi Gebintang dari belakang, Kaffi berteriak histeris, "Woi. Badanmu basah! Agh jangan bercanda. Gebintang!" Kaffi berusaha melepaskan dirinya dari pelukan.

"Tidak akan! Aku rindu. Aku ingin memelukmu." Gebintang melingkarkan tangan ke leher Kaffi,  sementara kakinya dililitkan di pinggang pria itu.

"Gebintang jangan bodoh! Bajuku basah. Cepat turuuuun!" perintah Kaffi, sangat kesal.

Gadis itu tidak peduli, dia bahkan menempelkan pipinya ke pipi Kaffi. Rambut basahnya meninggalkan jejak-jejak air di wajah dan leher pria itu.

"GEBINTAAAANG!" teriak Kaffi, frustrasi merasakan punggungnya sudah basah dan wajahnya acak-acakan. Perintahnya hanya disambut dengan tawa. "CEPAT TURUN, BODOOH!!!"

Kaffi meronta-ronta ekstrem. Dia berputar, melompat, bergerak dengan membabi buta dengan gerakan acak agar Gebi turun dari punggungnya. Tapi gadis itu malah lebih mengeratkan tangan ke leher Kaffi dan membuat pria itu  kesulitan bernapas.

"Bod—uhug uhug."

Melihat Kaffi yang sudah terbatuk-batuk, Gebi melonggarkan tangannya dari leher Kaffi. Kesempatan itu digunakan Kaffi untuk menarik tangan Gebi dan menggigitnya keras.

"Ahh! Ahh! Kaf! Kaf! Tanganku, tanganku! Itu sakit, Kaaaaf!" Kali ini  giliran Gebi yang meronta-ronta di atas punggung Kaffi.

Bukannya kasihan dengan ringisan kesakitan Gebi, Kaffi menancapkan taringnya lebih keras di kulit gadis itu. Aksinya itu mengundang teriakan histeris Gebi. Gadis itu lantas menghujani kepala Kaffi dengan tinju dari tangan kirinya. Karena tidak kuat merasakan pukulan, akhirnya Kaffi melepaskan gigitannya dan Gebintang sukses terpental ke lantai dengan bokong yang lebih dulu mencium permukaan ubin.

Kaffi menatap wanita gila di depannya dengan napas yang tersengal-sengal. "DASAR TOLOL!  KAU MAU MEMBUNUHKU, HAH?" bentaknya berang. Ia mengusap  kepalanya yang sakit. Dipandangnya Gebintang dengan tatapan membunuh.

Gebi yang juga tengah mengusap bekas gigitan Kaffi di tangannya  mengangkat wajah. Matanya menelisik penampilan Kaffi. Wajah pria itu  acak-acakan. Kemeja putih Kaffi sudah basah di beberapa sisi; rambutnya berantakan. Tidak dapat menahan, tawa Gebi akhirnya meledak.

"Hahaha lihat wajah Cina-mu itu! Kusut sekali!"

"RAMBUT BESAR SIALAN!" umpat Kaffi. Pria itu lalu meninggalkan Gebi yang masih tertawa-tawa puas.

Mengayun langkah ke meja bundar kecil, Kaffi menoleh dan mendapati beberapa hidangan yang sudah disiapkan awak kapal sedari setengah jam lalu. Dilihatnya Fish Black Papper, Blench Water Spinach with Beef, Corn Soup, sapi lada hitam, dan Japanese cheese cake. Juga, sebotol wine diatur rapi di atas meja tersebut. Tidak tertarik, pria itu hanya mengambil sepotong cheese cake dan menyuapinya ke mulut.

Dengan pakaian yang masih basah, Gebi menghampiri Kaffi dan duduk di sebelah pria itu.

"Hei. Bagaimana bisa kau sejorok itu?" tegur kaffi mendapati Gebi mengambil makanan dengan membabi buta.

"Apa?" tanya gadis itu tidak mengerti.

"Setidaknya ganti bajumu dulu! Kau bisa makan dengan pakaian basah seperti itu?"

"Bagaimana denganmu? Bajumu juga sudah basah."

"Itu karena ulahmu, Bodoh!"

"Itu balasan untukmu."

"Gara-gara kelakuan sampahmu itu, aku bisa tidur dengan baju basah seperti ini."

"Kau cerewet sekali. Ganti saja bajumu! Kenapa kau mempersulit keadaan?" balas Gebi dengan mulut penuh.

"Aku cuma bawa satu baju ini, Bodoh!"

"Kau pikir cuma kau saja? Aku juga cuma bawa satu baju! Dan gara-gara sandiwara sialanmu itu, aku terancam akan tidur dengan baju basah!"

Kaffi diam. Menscan tubuh wanita di depannya. Dia penasaran, "Lalu apa yang ada di dalam ransel besar yang kau bawa tadi?"

Gebintang menyahut cuek, "Makanan." Gadis itu kemudian mengangkat mangkuk berisi corn soup dan menenggaknya langsung.

"Kau..." Kaffi benar-benar tidak bisa berkata-kata, Dia bangkit dan mengacak-acak rambutnya. "KAU IDIOT!" teriaknya lalu beranjak meninggalkan Gebi di meja makan.

"Ada apa dengannya? Apa dia keracunan makanan?" gumam Gebi. Gadis itu mengedikan bahu lalu melanjutkan makannya.


***


Sesuatu dirasakan menutup wajah Gebi ketika gadis itu tengah duduk terlentang di kursi sambil mengusap perutnya yang kekenyangan.

“Pakai itu!" perintah Kaffi.

Gebintang membuka kain yang menutup wajahnya. "Apa ini?"

"Apa kau bodoh? Itu baju."

"Maksudku untuk apa?"

"Kau berharap untuk apa? Dimakan?”

“Ish.”

“Pakai saja! jangan banyak tanya! Kauingin sepanjang malam memakai baju basah?”

Gebi melirik kemeja warna biru yang tadi siang digunakan Kaffi. "Apa aku harus memakai kemeja bekasmu?" protes gadis itu.

"Jangan membantah! Pakai saja dan keringkan bajumu di bawah!"

Tak menjawab, Gebintang langsung berlari kecil masuk ke kamar. Untung saja dia selalu membawa pakaian dalam walaupun tidak membawa pakaian lain. Karena dia berpikir hanya akan mengganti underwear-nya saja.


***


Gebi kembali dengan kemeja Kaffi yang kebesaran dan menutupi setengah pahanya. Karena Gebi tidak mengenakan apa pun di balik kemeja itu, dia melingkarkan tangan di dada agar tertutupi. Kaffi yang sedang duduk di kursi santai sambil mengamati pemandangan malam kota Bali, melirik penampilan Gebi sekilas.

"Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanya Gebi. Gadis itu duduk di seberang Kaffi.

"Kau tidak memakai underwear?"

"Tentu saja aku memakainya."

"Kau memakai underwear basah? Kau akan merusak kemejaku, Tolol!"

"Kau yang tolol! Aku selalu membawa cadangan underwearku."

"Lalu, kenapa kau menutupi dadamu?'

"Karena aku tidak memakai bra. Kau puas?"

"Cih. Berarti selama ini, kau hanya mengganti underwear-mu tanpa mengganti bra-mu?"

"Anggaplah begitu."

"Menjijikan!" Kaffi menggantungkan kalimatnya. "Berarti saat ini, kemejaku bersentuhan langsung dengan—"

Gebi mendelik kesal. "Anggaplah ini hadiah untukmu."

"Cih."

"Sudahlah. Jangan habiskan energimu bertengkar denganku. Kaulihat? Di sini indah sekali." Gebi berdiri di depan Kaffi dan merenggangkan kedua tangannya lalu berputar-putar. "Ini perjalanan yang romantis sekali. Aku bisa melihat bintang dan pemandangan kota Bali dari atas laut yang tenang seperti ini. Indahnyaaaa." Gadis itu berputar-putar lagi.

"Apa kau berencana merangsangku?" sembur Kaffi tidak tahan melihat aksi Gebi.

Mimik Gebi berubah menjadi kesal. "Merangsangmu?"

"Kuberitahu, aku tidak akan terangsang walaupun kau memamerkan paha kecil sialanmu itu. Dan, itu apa? Kau sengaja menunjukkan dadamu yang bahkan hanya sebesar bola ping pong itu padaku? Cih! Aku tidak tertarik!"

Gebintang langsung menyadari kesalahannya. Dia lupa jika tidak memakai bra dan payudaranya jelas tercetak di balik kemeja Kaffi yang menerawang. Merasa malu, Gebintang melempari ledekan sebagai bahan pelarian dari keadaan awkward itu.

"Tentu saja kau tidak tertarik, kau bahkan tidak memiliki hormon testosteron!"

"Hormonku tidak berfungsi kalau melihatmu."

"Jangan bercanda. Ini semua rencanamu, kan?" balas Gebi berusaha mematahkan ledekan Kaffi.

"Apa?"

"Kau menyuruhku untuk memakai kemejamu supaya kau bisa melihat paha dan dadaku, kan?"

"Oh, Tuhan. Terbuat dari apa otak wanita ini?"

"Cih. Tidak perlu mengalihkan topik. Aku sudah tahu motifmu!"

"Motif? Motif polkadot maksudmu? Kau mimpi? Buat apa aku melakukan itu? Untuk mendapatkanmu? Ha. Ha. Jangan bercanda, Gebintang. Kalau mau, aku bisa mendapatkan wanita manapun yang mau tidur denganku dalam sekali kedip."

"Sekali kedip? Wow. Kau hebat! Oh, astaga itu menakjubkan! Apakah aku harus memberimu medali?" sindir Gebi. “Lalu kenapa kau mengajakku menikah? Tentu aku lebih baik dari wanita yang bisa kau ajak tidur dalam sekali kedip itu.”

Kaffi hanya berdecak sebal. Dia kehilangan ide membalas ledekan Gebi. Merasa tak digubris, Gebi beranjak dari kursinya menuju ke meja kecil di samping Kaffi. Dia meraih botol wine dan menuangkan penuh ke gelasnya lalu kembali ke tempat duduknya.

Kaffi bangun saat melihat gelas berisikan wine di tangan Gebi. "Apa yang kaulakukan?"

"Apa?"

"Apa kau mau meminum itu?"

"Tidak. Ini untuk menyiram wajahmu."

“Jangan bercanda!”

“Tentu saja aku akan meminumnya, Tolol!”

"Kau gila?"

"Kenapa harus gila?"

"Kalau kau berencana bunuh diri, jangan di sini! Karena aku tidak mau terlibat." Kaffi berdiri dan merebut gelas dari tangan Gebi.

"Ada apa? Kenapa aku tidak boleh minum ini?" Gebi jengkel ketika melihat gelas wine-nya sudah berpindah ke tangan Kaffi.

"Aku tidak mau mengambil risiko. Apalagi harus bertanggungjawab atas hal-hal konyol yang kaulakukan jika kau mabuk," ujar Kaffi lalu membuang isi gelas wine itu ke laut. "Lagi pula, kaupikir aku mau melakukan hal bodoh untuk menggendongmu dan membersihkan muntahmu seperti di dalam drama itu, huh?"

"Tapi itu tidak adil!" Gebintang melipat tangan di dada. "Kau boleh meminumnya kenapa aku tidak bisa?"

"Berisik!" Kaffi beranjak ke pantry kecil di ujung koridor dan kembali membawa sebungkus ice cream. Lantas melemparkannya ke pangkuan Gebi.

"Lebih baik kau makan itu dan hisap ibu jarimu sampai tertidur."

Dengan kesal Gebi melemparkan ice cream itu ke laut. Kaffi mengedikan bahunya lalu kembali ke kursi santainya.

Satu jam kemudian Kaffi yang dari tadi sibuk memandang pemandangan kota, melirik sebentar ke arah Gebi yang tidur memunggunginya. Pria itu berdecak sebal ketika melihat paha Gebi yang terbuka karena kemeja yang dipakai gadis itu tersingkap.

"Dasar gila," gerutu pria itu. Dengan kakinya, dia mendorong tubuh Gebi tanpa menoleh. "Hei, bangun!"

"Hum?"

"Banguuuuunnn!" teriak Kaff keras. Gebi langsung bangun dan terduduk dengan kaki yang mengangkang sehingga bajunya semakin terangkat.

Kaffi berdecak berkali-kali. "Astaga, lihat dirimu, Gebintang," seru Kaffi frustrasi. "Apa kau berniat telanjang di depanku?"

Gebi cepat-cepat memperbaiki posisi duduk. “Kenapa kau cerewet seperti nenek-nenek?” 

"Masuk dan tidurlah di kamar! Kuberitahu, kalau kau tertidur di sini, aku tidak segan-segan melemparimu ke laut dan menjadi santapan malam para hiu."

Gebi terlalu mengantuk untuk membalas. "Kau belum tidur?" tanyanya dengan suara serak.

"Sekarang apa? Apa aku harus meninabobokanmu lagi? Menyusuimu? Mengelus punggung dan memelukmu sampai kau tidur?"

"Ish."

Dengan kesal Gebi bangkit dan meninggalkan Kaffi yang hanya menggelengkan kepala. Mata pria itu terus mengawasi Gebi hingga hilang di balik pintu. Tawa Kaffi lepas setelahnya.

"Tidak buruk menjadi seorang suami. Tidak buruk juga menikah," batin pria itu dengan senyum mengembang.

Continue Reading

You'll Also Like

325K 25.5K 36
Warning!!! Ini cerita gay homo bagi yang homophobic harap minggir jangan baca cerita Ini βš οΈβ›” Anak di bawah umur 18 thn jgn membaca cerita ini. πŸ”žβš οΈ. ...
2.8M 141K 61
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _π‡πžπ₯𝐞𝐧𝐚 π€ππžπ₯𝐚𝐒𝐝𝐞
718K 72.8K 24
Karmina Adhikari, pegawai korporat yang tengah asyik membaca komik kesukaannya, harus mengalami kejadian tragis karena handphonenya dijambret dan ia...
579K 24.4K 39
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...