I (never) Give Up ( Sudah Dit...

Von Dinni83

1.9M 99.6K 5K

Cerita terakhir dari keluarga Hardiwijaya. Barra putra bungsu si Pangeran Es,Andra melewati masa patah hati n... Mehr

Chap#2
Chap#3
Chap#4
Chap#5
Chap#6
Part7
PoV Barra
Chap#8
Chap#9
Chap#10
Čhäp#11
Čhäp#12
Part#13
Chàp#14
Chap #15
ćhàp#16
InFo PO - I Never Give Up

Chap# 1

134K 7.8K 230
Von Dinni83

Dunia menyisakan warna hitam tanpa dirinya. Udara bagai terenggut ketika sosoknya menghilang . Dia adalah segalanya, cinta pertama dan matiku. Tapi sayang, keberadaan diriku hanyalah sepenggal kepingan kenangan usang tidak penting bahkan hanya sekedar untuk di ingat.

**********************

Untuk kesekian kali mata menatap lembaran kertas berisi penggalan kalimat cinta tidak berbalas. Curahan perih hati si penulis yang tidak lain diriku sendiri tentang seberapa besar perasaan untuk seseorang laki-laki, cinta pertamaku. Bukti yang tak terbantahkan ketika logika kalah telak dan membiarkan ego menjadi pemenangnya.

Pencuri hati itu bernama Barra Hardiwijaya. Mungkin terlalu picik jika aku menganggap dirinya sempurna tapi begitulah kenyataan yang terjadi. Dalam pandangan, dia tidak bisa di bandingkan dengan siapapun meski ada beberapa laki-laki lain mencoba mendekat saat itu.

Dengan tubuh tinggi, perawakan tegap dan wajah tampan yang menurun dari sang ayah. Gosip banyaknya kaum hawa yang mengagumi bahkan sampai berharap lebih tidak lagi aneh. Dulu aku sangat jumawa, merasa lebih di banding wanita lain karena kedekatan keluarga kami. Sejak kecil kami sering bermain bersama, Barra bahkan menganggapku sebagai adiknya. Hal itu tidak pernah berubah bahkan setelah kami beranjak dewasa.

Perasaan cinta hampir membuatku gila, sering kali tanpa pikir panjang menghalalkan segala cara demi memonopoli keberadaannya untuk diri sendiri. Keadaan semakin tidak terkendali ketika muncul sesosok wanita yang pada akhirnya mampu merebut hati dan perhatiannya. Buta oleh perasaan sendiri menjadikanku sosok jahat di matanya dan orang-orang sekeliling. Akibatnya sangat fatal, perlahan satu demi satu teman-teman mulai menjauh karena tidak nyaman bahkan Barra membenciku, amat sangat benci.

Ayah dan Bunda sangat marah dengan keegoisanku pada waktu itu. Entah kenapa pemikiranku begitu bebal hingga semua nasehat untuk mampu menerima kenyataan hanya terdengar bagai angin lalu. Dengan terpaksa keduanya memindahkan aku ke luar kota, tinggal bersama Nenek yang sangat disiplin agar bisa melupakan semua obsesi berlebihan pada sosok Barra. Tapi untuk kesekian kali, melupakan seseorang yang pernah begitu sangat di sukai tidak semudah mengucapkan kata-kata. Rasa ini masih mengakar kuat meski dua tahun berlalu tidak sekalipun melihat wajahnya.

Seiring berlalunya waktu dan bertambahnya usia, aku mulai menyadari kesalahan yang pernah terjadi. Cinta tidak harus memiliki sekalipun melalui paksaan jika takdir yang tertulis di antara kami tidak berjodoh. Pahit memang tapi kalau dia bahagia bersama wanita lain apalagi yang bisa aku lakukan. Terlebih Barra semakin protektif pada kekasihnya sejak peristiwa itu. Insiden yang membawaku dalam pusaran masalah karena tidak sengaja melukai wanita yang di cintainya.

"Kamu yakin mau ke rumah Tante Cinta, Ra?" Pertanyaan Bunda menyentak lamunan. Terbuai kenangan masa lalu tidak memyadarkanku pada sosok yang tengah berdiri di depan pintu kamar. Kekhawatiran terlihat dari tarikan di sudut bibirnya. Dia mungkin khawatir aku akan berulah jika bertemu dengan Barra.

"Iya, Bun. Devira nggak apa-apa kok. Lagian kasihan Pak Cepi masih sakit kalau harus di paksa mengantar. Jarak rumah Tante Cinta juga nggak jauh." Jemariku masih sibuk menalikan tali sepatu meskipun sebenarnya ada ragu yang menyelinap. Pak Cepi, supir yang biasa mengantar Bunda kebetulan tidak masuk beberapa hari ini karena sakit.

"Ya sudah. Nanti Bunda bilang sama Tante Cinta kalau kamu mau datang mengantar barangnya." Wanita yang paling kusayang berlalu dari hadapan. Bunda dan Tante Cinta masih berteman baik meskipun kedua anaknya pernah terlibat masalah. Persahabatan yang membuatku iri.

Aku mengerti maksud perkataan Bunda hanya ingin menjauhkan dari masalah. Dia tidak ingin diriku terluka karena hal yang sama berulang kali. Setelah kejadian itu, dia melarang keras untuk menemui Barra meski hanya sekedar menelepon. Sekalipun pada saat itu posisiku yang salah, sebagai orang tua Bunda tidak bisa menerima putri tunggalnya di marahi di hadapan banyak orang.

Ayah pernah bercerita kalau kandungan Bunda lemah dan pernah keguguran. Setelah melahirkanku, usaha untuk kembali hamil dan memberikan adik semakin sulit. Itu sebabnya Bunda sangat memanjakan, memaafkan sebesar apapun kesalahanku.

Sepanjang jalan ketenanganku goyah hanya dengan berpikir akan bertemu dengan laki-laki yang pernah membuatku tergila-gila. Debaran jantung berdegub semakin tidak menentu begitu mobil yang kukendarai mendekati rumah besar dan megah . Tempat yang pernah menjadi rumah kedua. Tapi sekarang semua keraguan malah menyergap, alih-alih merasa senang, perasaan takut dan bingung jauh lebih mendominasi.

Aku menghembuskan nafas dan berdoa, berharap Barra tidak ada di rumah. Rasanya belum siap membayangkan akan berhadapan kembali dengan sorot dingin itu. Seharusnya aku tidak mengiyakan tawaran Bunda untuk mengantarkan barang pesanan Tante Cinta. Nasi sudah menjadi bubur dan sampai kapan nyaliku akan menciut begini.

Pak Adin, penjaga gerbang menyapaku dengan ramah dan mempersilahkan masuk. Dia salah satu saksi kegilaan yang pernah kulakukan. Kegelisahan semakin tidak menentu ketika memarkirkan mobil di carport, perut terasa tegang sekali.

"Sore, Tante Cinta," sapaku ramah pada seraut wajah cantik yang tengah menyiram bunga. Taman depan rumah ini di penuhi aneka tanaman hias dan pepohonan. Tempat yang menyenangkan untuk memanjakan mata.

"Ah Devira, kamu semakin cantik saja sayang. Ayo masuk, kita ngobrol dulu ya. Tante sudah lama tidak melihatmu." Tante Cinta mendongkakkan kepala, senyuman yang menyungging meredakan ketegangan. Senang rasanya masih bisa di sambut dengan baik.

"Mm, maaf Tante tapi nanti tidak enak sama Kak Barra." Tolakku halus.

"Kamu tidak perlu memikirkan Barra. Kalau dia tidak suka biar dia saja yang pergi. Lagi pula biasanya dia baru pulang menjelang malam." Desakan Tante Cinta tidak memberiku banyak pilihan. Sedikit enggan, aku mengikuti langkahnya menuju ruang tamu. Rumah ini masih sama saat terakhir kulihat, tenang dan nyaman.

"Gimana kabar kamu? Sehat. Ibumu bilang kamu sudah lama pindah kuliah ke sini ya," tanyanya mengalihkan perhatian.

"Iya, Tante. Kasihan Ayah nggak ada temannya kalau Bunda mulai ngomel. Tante tau sendiri seperti apa Bunda kalau sudah judesnya keluar." Tante Cinta tergelak. Wanita itu masih terlihat cantik di usianya yang tidak lagi muda.

"Ibumu memang galak dari dulu. Oh ya kamu sudah semester berapa? Tante lupa, maklum sudah tua," ucapnya masih dengan derai tawa.

"Baru semester empat. Sudah berumur juga Tante masih tetap cantik kok. Mm Kak Andara bagaimana kabarnya, Tante? Sudah selesai kuliahnya?" tanyaku tentang putri pertama keluarga ini. Wanita cantik dan mandiri yang memilih meneruskan sekolah di luar kota.

Sepengetahuanku sejak Kak Andara kuliah, dia hampir tidak pernah mengeluh. Ayah bilang kalau itu memang sudah menjadi salah satu syarat jika ingin mendapat izin untuk tinggal sendiri. Tapi bukan berarti Om Andra melepas begitu saja, setiap gerak-gerik Kak Andara di awasi tanpa sepengetahuan putrinya.

Orang tuaku tidak melakukan hal yang sama saat kami tinggal terpisah. Sikap keras dan aturan yang di terapkan Nenek berhasil membuatku patuh. Sedikit banyak sifat keras kepala dan ingin menang sendiri mulai bisa di kendalikan. Aku memang tidak bangga pada diriku yang dulu.

"Belum. Dia lebih betah tinggal terpisah dari keluarga. Di banding Tante malah Om Andra yang lebih rewel, khawatir setiap detik. Sifat Om Andra sebelas dua belas sama ibumu." Sahut Tante Cinta sambil tersenyum.

Bunda pernah bercerita bagaimana kisah percintaan sahabatnya dan Om Andra. Bagaimana sayang dan perhatian sekaligus masalah demi masalah yang membelit keduanya. Tapi semua itu tidak menyurutkan hubungan keduanya. Kehidupan rumah tangga yang kukagumi selain Ayah dan Bunda.

Selang setengah jam, saat sedang asik mengobrol. Seorang laki-laki bertubuh tinggi dan tegap berjalan dari arah ruang tamu. Menyadari siapa yang datang debaran jantung kembali berdegub berkali-kali lipat. Rasa takut begitu besar hingga mengalahkan kerinduan. Andai memiliki keberanian, ingin rasanya kabur tanpa pamit detik ini juga.

Tante Cinta menoleh ke belakang ketika menyadari wajahku berubah pucat. "Anak tidak sopan, masuk rumah itu salam dulu bukannya lewat begitu saja."

Telapak tangan mulai basah oleh keringat dingin. Sorot lembut yang di tujukan pada ibundanya berganti angkuh bahkan jijik ketika pandangan kami bertemu. Kepalaku menunduk, mengendalikan hantaman menyesakan dada. Ingin rasanya berlari, pergi dengan seribu alasan tapi menggerakan kaki pun terasa sulit.

Sikap dan sifat laki-laki itu tidak serupawan penampilan fisiknya. Hanya ada tiga wanita yang dia perlakukan dengan lembut, ibundanya, Kak Andara dan kekasihnya selain itu di anggap sekedar pemanis. Dia mempunyai sifat yang di tutupi dengan baik dari keluarganya. Jika dia sudah membenci seseorang, perasaan itu sangat sulit untuk di ubah termasuk kebenciannya padaku. Ah seandainya ada kesempatan kedua untuk mengulang waktu.

Tbc

Weiterlesen

Das wird dir gefallen

377K 6.8K 17
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
579K 4K 20
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) Hati-hati dalam memilih bacaan. follow akun ini biar lebih nyaman baca nya. •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan sa...
5.6M 69K 40
Cerita Dewasa! Warning 21+ Boy punya misi, setelah bertemu kembali dengan Baby ia berniat untuk membuat wanita itu bertekuk lutut padanya lalu setela...
427K 17.4K 34
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...