Broken Vow (SERIES 2)

By secretblackbook

1.4M 98.9K 6.5K

KINARA HADIKUSUMA. "Apa kabar?" "Bagaimana hidupmu tanpa aku?" "Setiap detak denyut nadiku, Aku selalu memik... More

Catatan Kaki Oi Sandra
How to Read BV
1. A Letter to Raka
2. Throw·back 1
3. A cup of coffee
4. Throw•back 2
5. Kinara's Plan
6. Throw•back 3
7. Moved
8. Throw•back 4
9. Definition of Love (21+)
10. Throw•back 5
11. The intersection
12. Throw•back 6
13. Run Away
14. Throw•back 7
15. Heaven
INFO
16. Throw•back 8
17. Mine
18. Truth and Tears
19. Throw•back 9
20. Scared : Part 1
21. Scared : part 2
22. Jared's Blessing
24. Rice, Prawn Crackers & Soy Sauce
25. Who is she?
26. Throw•back 10
27. Chaos : Part 1
28. Throwback 11
29. Chaos : Part 2
30. Throw•back : Special Edition
31. A Little Punch
32. A Little Hug
33. Do-Fun
34. Cured
35. Baking Soda
36. B.y.e
37. A Red Box
38. It is Real
39. A Letter to The father of my children
Extra : Episode 1
Extra : Episode 2
Extra : Episode 3
A Letter for Onti
Dear Onti

23. Let Him In

30.2K 2.6K 224
By secretblackbook


Bandung 2015
Kinara

Berbagai macam pertanyaan berkecambuk di kepalaku. Dadaku serasa diremas saat melihat tatapan kecewa dari Papa, tatapannya lebih menyakitkan dibandingkan dengan tatapannya saat mengetahui aku hamil.

Apa yang Raka lakukan disini? Apa ia berniat mengambil Jared dan Janet?

Aku bersumpah demi Tuhan, jika sampai itu terjadi aku tidak akan segan-segan membawa Double J menjauh dari jangkauan Raka untuk kedua kalinya.

Setelah mengambil kotak P3K di laci dapur, airmataku kembali tumpah saat mencapai meja makan. Aku terduduk lemas di kursi meja makan, rasanya kakiku tak kuat menopang tubuhku. Mbak asih bersimpuh di dekat kakiku, mengusap airmataku. Dari tatapanya aku bisa merasakan dia sama khawatirnya denganku, tapi mungkin ia lebih memilih unguk tidak berkata apapun. Aku menoleh kearah Mbak Asih mencoba tersenyum kaku sambil mengusap kasar jejak airmata di pipiku.

"Mbak tolong liatin anak-anak ya, bangunin terus mandiin mereka tapi jangan sampai mereka turun ke bawah sebelum tamunya pergi. Mereka biarin sarapan di kamar aja."

Aku bisa melihat raut bingung di wajah Mbak Asih, tapi ia mengangguk dan pamit. Pantulan dicermin yang ada di lorong menuju ruang keluarga membuat aku bergedik ngeri. Mukaku benar-benar kacau, mataku rasanya lelah terlalu lama menangis. Memasukan udara sebanyak-banyaknya berusaha menghilangkan rasa gugup dan takut setengah mati.

Begitu akan beranjak ke ruang keluarga, aku melihat Papa berjalan kearah kamarnya. Dengan sisa harga diri dan rasa bersalah kakiku berlari menghampiri Papa mencoba menahanya masuk ke kamar.

"Pah.., Kinara minta maaf tapi tolong ngertiin Kinara... Kinara ngelakuin ini semua bukan tanpa alasan---"

"Kinara Hadikusuma, does the truth weight on your mind? Kalo mama masih ada, dia pasti sekarang sedih liat kamu hidup penuh kebohongan." Mendengar Papa mengungkit mama, jantungku mencelos oleh berton-ton rasa bersalah, "Selama ini yang menanggung rasa sedih bukan hanya kamu! Papa, Double J bahkan ayah dari anak-anak menanggung hal yang sama saat kamu memutuskan untuk menutupi kenyataan kehamilan kamu... Tidakkah kamu merasa lebih egois karna meminta Papa untuk mengerti kamu lagi? Jangan bikin Papah makin kecewa sama kamu."

"Selesaikan masalah kamu dengan pria itu dan jangan ganggu Papa dulu."

Aku mencoba untuk meraih Papa lagi tapi dengan cepat menepis tanganku, tanpa berkata-kata lagi Papah masuk ke kamarnya. Papa adalah satu-satunya orangtuaku yang tersisa, aku tak bisa membayangkan kehilanganya, menghilangkan kepercayaanya bagai sebuah petaka tanpa akhir. AKu bahkan sudah lupa kapan terakhir kali Papa marah besar, saat mengetahui aku hamil saja ia sama sekali tak memarahiku. Malah yang ada ia menangis dipundaku sambil memohoh maaf pada Tuhan karna tak bisa menjagaku dengan benar. Papa adalah sosok orangtua sempurna, aku sudah amat bodoh membohonginya selama tujuh tahun belakang. Aku benar-benar menempatkan Papa pada tempat paling tak berperasaan. Jantungku terlonjak kaget begitu menyadari Papa menutup pintu kamarnya kasar. Aku lebih baik menerima bentakan dan amarah Papa dibandingkan dengan tingkah dinginya terhadapku.

Dengan enggan aku melangkah ke ruang keluarga, menghampiri Raka yang sedang duduk sambil meringis memegang pipinya yang lebam dan sudut bibitnya yang sobek akibat ulah Papah. Menaruh kotak obat di meja dan duduk dihadapannya, hanya dipisahkan oleh coffee table aku memberanikan diri untuk menatap matanya.

"Aku gak mau basa-basi. What do you want?"

"Aku kesini buat ngelamar kamu langsung sama papah kamu."

Aku tertawa kecut dan menggeleng. "Stop joking, Raka."

"I'm not joking! I want you to be my wife, cantiknya Raka."

Aku mengendus lagi saat mendengar panggilan itu, berusaha memasang ekspresi datar tapi sebenarnya jauh dilubuk hatiku ada sebuah getaran samar. Rasanya benci masih bisa merasakan efeknya terhadapku.

"You want me? I'm just single parent with two kids," ujarku sarkas.

Ekspresi muka Raka sedikit berbeda saat mendengar ucapanku, ia tampak sedih. Membuat aku merasa ingin memukul bibirku ini yang seenaknya bicara.

"So make it double, cause they are my kids too. Aku harus nikah sama kamu. Kita sama-sama bangun keluarga kita, besarin Janet sama Jared... Bener kata kamu, aku mungkin nggak siap jadi ayah anak-anak, maka dari itu tolong ajarin aku."

Bagai luka yang ditaburi garam, aku meringis saat mendengar  Raka berkata harus, aku tersenyum karna dibalik kata itu tersimpan makna tersembunyi, yaitu sebuah keterpaksaan. Akan jadi apa jika pernikahan aku nanti dilandasi hanya dengan pasal-pasal hak dan kewajiban, melakukanya hanya untuk sebuah keterpaksaan bukan ketulusan karna memang benar-benar menginginkanya.

"Stop pretending like you want us... It's not funny at all!" cicitku sambil menahan rasa sakit di dadaku.

Raut muka Raka seketika berubah, tak ada lagi senyum di wajahnya. "Gimana kamu bisa ngomong kaya gitu, Kinara? Jelas, aku mau kamu dan aku mau mereka. Biar aku perjelas, mereka anak-anak aku juga, mereka gak akan ada tanpa aku."

Aku memandang kearah lain, tak ingin melihat matanya yang menatapku sedih. Takut aku luluh hanya karna tatapannya. Memejamkan mata aku coba ingat malam terakhir pertemuanku dan Raka sebelum aku berangkat ke LA. Kini dengan keberanian yang bulat, aku kembali menatap dalam matanya tanpa gentar.

"Malam terakhir kita ketemu, kamu bilang, kamu takut jadi seorang ayah. Makanya kata 'anak' gak ada dalam list hidup kamu. Sekarang katakan dengan jelas, gimana aku bisa percaya kalo kamu memang pengen mereka di hidup kamu?"

"Yeah, aku akui i was scared, so fucking scared... Tapi asal kamu tahu, Kin. Perlahan rasa takut itu hilang dalam diriku, saat tadi malem mereka cium punggung tangan aku. Berganti dengan rasa ingin melindungi dan merengkuh mereka kepelukan aku..." Raka mengambil perhatianku begitu suaranya terdengar bergetar sambil menghapus bulir airmata yang jatuh ke pipinya yang lebam, "i missed more than 2000 days with them. Melihat mereka semalam, perasaan sedih begitu besar... Dimana aku sebagai ayah mereka, sudah melewatkan momen mereka pertama kali menangis, pertama kali berjalan, pertama kali bicara, dan pertama-pertama lainnya. Semua terasa tambah menyesakan saat mereka panggil aku dengan sebutan uncle..."

"Sejenak perasaan bahagia singgah begitu aku lihat mata mereka punya mata yang sama kayak kamu. Mata yang selalu bikin aku jatuh cinta sama kamu. So please... Kinara, aku mohon bantu aku, aku gak mau melewatkan moment-moment yang lainnya."

Harusnya aku orang yang paling senang jika Raka menderita terpisah dari Double J tapi miris, sekarang aku meneteskan airmata karna aku membayangkan betapa tersiksanya jika aku diposisi Raka. Aku tak akan sanggup jika harus jauh dari Double J... Aku akan sangat rela memberikan apapun tanpa berfikir ulang demi bertukar dengan dua malaikat kecilku. Satu sisi hatiku tergerak untuk mengakhiri tindakan egois ini, tujuh tahun bukanlah waktu yang sebentar dan penyiksaan ini bukan suatu yang mudah.

"Rak, tapi bukan berarti  kamu perlu nikahin aku. Aku tahu jelas kamu gak pengen sebuah pernikahan. Kamu nggak usah merasa bahwa kamu punya suatu kewajiban terhadap aku dan Double J. Kamu cukup tahu mereka anak-anak kamu dan aku janji aku nggak akan minta apa-apa dari kamu," ucapku.

Raka langsung berdiri dari duduknya untuk menghampiriku. Tubuhnya sejajar denganku karna ia sedang berlutut dihadapanku.

"BLOODY HELL, I LOVE YOU KINARA. Apa kurang jelas buat kamu kalo aku cinta kamu," ucap Raka setengah berteriak.

Ya Tuhan, dia baru bilang dia cinta sama aku? Ini tidak mungkin nyata kan? Semala ini kata cinta adalah hal yang paling tak pernah terucapkan oleh Raka. Jantungku masih tak mau tenang saat menyadari Raka mengambil tempat di sebelahku. Tanganya menangkup kedua pipiku, memaksaku menatap matanya.

"Sembilan tahun, tiga bulan, Kinara... Itu waktu yang sudah aku habiskan untuk mencintai kamu sampai detik ini. Dan mungkin akan berlangsung sampai aku mati...."

Aku masih terkejut, itu berarti sudah berlangsung sejak awal masuk SMA, sialan... Selama ini apakah cintaku tak pernah bertepuk sebelah tangan? Mataku memandang genggaman tangan Raka. "Kinara, rasa ini udah ada sejak kamu nempelin pita merah di lengan baju aku waktu MOS SMA. Dan 7 tahun aku menunggu kamu, tiap bangun tidur aku selalu ngeyakinin diri aku sendiri kalo suatu saat kamu pasti pulang atau setidaknya surat-surat kamu yang lain bakalan dateng."

Tembok yang sudah aku bangun tujuh tahun ini kian retak mendengar ucapan Raka. Apa sebegitu besarnya rasa Raka kepadaku? Rasanya syarafku mati seketika, aku seharusnya mendorongnya menjauh saat bibirnya berusaha untuk meyakinkanku. Tapi ciumannya begitu lembut, membuatku ingin sedikit lebih lama merasakanya. Pertahananku runtuh saat Raka mengigit bibir bawahku, lidahnya menyeruak kedalam mulutku. Aku benci saat aku membalas sama ganasnya ciuman Raka. Aku menarik bibirku saat ciumannya terasa asin, teringat sudut bibir Raka yang sobek.

"Please, Kinara.... Let me in," ucapnya menempelkan dahinya pada dahiku.

Masih dengan nafas terengah karna ciuman Raka, aku harus bersikeras ciuman itu tak akan bisa menggoyahkan apapun. Kepalaku menggeleng kemudian tanganku mendorongnya menjauh.

Kepala Raka mundur agar dia bisa melihat mataku lebih jelas. Tatapan Raka mengunciku, sesak rasanya saat melihat raut wajah Raka yang lebam terlihat sedih.

"Bilang kalo kamu gak cinta sama aku. Dan aku akan mundur," bisiknya.

Terjatuhlah ultimatum terakhir Raka, ia sesaat terdiam menunggu hingga aku berbicara. Tapi aku tidak menemukan kata-kata yang tepat untuk membalas apa kalimat-kalimat sialan yang dia katakan kepadaku. Bohong besar jika aku menyangkal bahwa aku tidak mencintainya, tapi bersama Raka adalah sesuatu terlalu muluk untukku.

"Aku... Aku... Aku bohong kalo bilang aku gak cinta sama kamu... Tapi kita gak mungkin sama-sama dalam satu atap pernikahan, Rak..."

Raka kembali meraih kedua pipiku, aku bisa merasakan kedua tangannya dingin.

"Please... Satu bulan, kasih aku satu bulan buat buktiin aku cinta sama kamu dan anak-anak kita. Kasih aku satu bulan buat masuk ke kehidupan kalian... Kalo aku gak layak buat kamu dan kalo kamu gak percaya sama cinta aku, aku akan menghilang dari kehidupan kalian."

Ingin rasanya aku menolak mentah-mentah permintaan Raka. Tapi kata-kata Papah kembali terngiang di kepalaku, betapa aku adalah makluk paling egois dan tak berperasaan karna memisahkan hubungan ayah dan anak karna kebencian sepihak. Aku memejamkan mataku, setidaknya aku melakukan ini adalah untuk anak-anakku.

Tanpa kata, kepalaku mengangguk mengiyakan permintaan Raka.

"Oh God... Thank you..." desahnya lega. Ia langsung mencium kedua telapak tanganku bertubi-tubi.

"Hanya satu bulan, Rak," ucapku mencoba memperingatkan Raka.

Raka menatapku dengan wajah sumringah, matanya berbinar seakan hal ini paling membahagiakan untuknya.

"Satu bulan dan aku akan mengantongi Restu dari Jared," ucapnya mantap.

Menangkap sinyal berbahaya, aku menarik tanganku dari Raka. Boleh saja Raka mendekat dengan anak-anak tapi tidak dengan diriku. Tetap harus ada batasan antara aku dan Raka, kejadian seperti tadi tak boleh sampai terulang kembali.

"Sorry, tapi aku belum bisa bilang kalo kamu ayah mereka. Ini terlalu cepat, dan kondisinya gak memungkinkan."

Aku sangat menghargai pengertian Raka, ia mengangguk menyetujuinya walau aku bisa dengan jelas menangkap raut sedih dan kecewa. Seketika keheningan melingkupi ruangan, aku langsung menyambar kotak obat dan mengeluarkan kapas dan alkohol. Awalnya terasa canggung saat aku akan menempelkan kapas yang sudah diberi alkohol ke atas luka-luka Raka. Aku terbatuk saat menyadari wajah Raka hanya sebatas satu jengkal dari wajahku.

"Kemana kamu selama ini?" Kata-katanya berhasil memecahkan kecanggungan dan keheningan yang melingkupi kita beberapa saat. Tanganku berhenti sesaat ketika mencerna kata-katanya.

Aku meneguk ludahku, tatapan mataku fokus ke luka Raka sambil meneruskan membersihkannya. "Setelah malam terakhir kita ketemu, aku pergi ke Los Angeles. Aku nyusul Kak Tia..."

Lama tak ada respond dari Raka, aku merasakan tangan Raka mengengam tanganku yang sedang membersihkan lukanya. Sontak aku memandang ke dalam matanya, ia benar-benar menatap mataku dengan tatapan menyesakan, perasaan bersalah seketika muncul kembali.

"Kenapa kamu tinggalin aku? Kenapa kamu gak pernah ngomong kalo kamu..." -Raka berdehem- "hamil."

Aku menarik tanganku dari genggaman Raka dan mengaduk-aduk kotak obat mencari plester luka. Tanganku menggengam erat plester luka yang masih ada di dalam kotak obat, aku menatapnya seakan plester itu bisa membatu menjawab pertanyaan Raka.

"Demi Tuhan, aku 18 tahun Rak. I'm panic apalagi begitu denger kamu bakalan pergi ke Boston dan..." -Aku menghela nafas kasar mencoba menari kata yang tepat memandang nanar plester luka di tanganku- "kamu selalu tahu kan, perpisahan adalah hal terberat untuk aku setelah mama meninggal. Aku benci ketika kenyataanya kamu bakalan ninggalin aku ribuan mil jauhnya, maka dari itu sebelum kamu ninggalin aku. Aku mutusin buat ninggalin kamu dan gak ngasih tahu kepindahan aku."

"Kamu tahu gak, Kin. Hari dimana aku nerima surat kamu, aku langsung pergi ke rumah kamu. Yang ternyata udah kosong, aku tanya semua tetangga kamu tapi semuanya gak tahu kamu pindah kemana. Gak cuma itu, berbulan - bulan aku datengin rumah Tante Denisa, nanyain dimana kamu. Tapi Tante Denisa gak pernah kasih tahu aku."

Aku mengernyitkan dahi.... Seharusnya setelah malam terakhir pertemuan aku dan Raka, dua hari kemudian Raka sudah pergi ke Boston. Jika Raka berbulan-bulan mengunjungi rumah tante Denisa, itu berarti...

"Berbulan-bulan kamu datengin rumah tante Denisa?" Ulangku dan dijawab Raka dengan anggukan lemah. "Bukanya... Bukanya---"

"Iya Kin, aku gak jadi pergi ke Boston. Aku takut saat aku di Boston kamu ngirimin aku surat atau kamu balik lagi ke Jakarta, jadi aku mutusin buat nolak beasiswa di Harvard. Selama tujuh tahun ini, aku selalu nunggu surat kamu yang lainnya.... Tapi ternyata surat itu gak pernah datang lagi."

Bibirku kelu mendengar segala kata-kata dari Raka. Ini semua diluar dugaanku. Raka tak pernah meninggalkanku, akulah yang meninggalkannya... Dia bahkan... Bahkan menolak beasiswanya?

"Aku mencintai kamu, Kinara." Raka menatapku dalam lewat matanya aku benar-benar bisa merasakan ketulusan yang selama ini aku sangkal. "Dan aku gak pernah berhenti mencintai kamu sedetikpun."

Aku meneteskan airmata. Bukan, bukan airmata kesedihan. Tapi airmata bahagia, bisa dicintai sebegitu dalamnya oleh Raka. Walaupun dalam hatiku masih ada rasa ragu apakah aku harus percaya kepada cintanya atau tidak. Pipiku terasa hangat saat jemari Raka menghapus jejak airmata, kembali aku menatapnya dalam pandangan lain.

"Kamu udah terlalu banyak nangis, Kinara. Aku gak akan ngebiarin kamu nangis lagi..."

Sudah beberapa menit ini kita berdua berbagi keheningan, Raka sesekali melarikan ibu jarinya di pipiku, mengelusnya. Kita berdua sama-sama terhanyut dalam pikiran kita masing-masing, sampai suara Raka lagi-lagi membawaku kepada kenyataan di rrumah ini bukan hanya kita berdua. Aku dan Raka sama-sama memisahkan diri, dan merasa malu.

"So, they are six?" tanyanya.

"Ya, mereka enam tahun tanggal sebelas November nanti."

"November... But---" Dahi Raka berkerut dalam sekejap, tangannya menghitung.

Aku tersenyum kepada Raka dan memotong ucapannya.

"Mereka lahir premature. Jared lahir duluan, setelah itu baru Janet. Waktu  aku hamil, aku gak jaga mereka dengan baik. They are so small. Berat Jared sama Janet waktu lahir gak lebih dari 2500 gram. Jared panjangnya cuma 43 centimeter sementara Janet lebih kecil lagi 39 centimeter. Kadang aku iri sama ibu yang bisa langsung gendong dan menyusui anaknya setelah lahir. Sedih,marah, dan menyesal campur aduk setiap aku melihat tubuh mereka yang kecil terbaring tidak berdaya di inkubator selama satu bulan. Aku selalu berusaha buat gak menangis di depan mereka, karna aku tahu kalo aku menangis mereka akan ikut sedih..."

Aku bisa melihat Raka ikut meneteskan airmatanya. "Maafin aku, Kin," ucapnya tercekat. "Aku tahu permintaan maaf dariku sama sekali gak berarti apa-apa. Aku tahu, aku gak mungkin bisa balik ke masa lalu buat ngubah semuanya. Aku janji mulai detik ini aku bakalan bahagiain kamu, aku gak akan pernah ninggalin kamu lagi apapun situasinya."

"It's okay, kamu gak ada disana karna aku juga gak ngasih tahu kamu kan. Aku rasa aku juga harusnya minta maaf sama kamu, aku sudah terlalu egois."

Aku terdiam menyembunyikan kebahagiaan di hatiku untuk diriku sendiri karna kali ini aku yakin Raka bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Direngkuhnya aku kedalam dekapan Raka, aku bisa merasakan badannya bergetar hebat. Ia menangis. Aku tahu berapa Raka ingin ada di sana. Raka perlahan kembali tenang saat aku mengusap punggungnya.

Deru nafasnya terasa panas di tengkukku sesekali ia mencium kepalaku. Andai waktu bisa aku putar lagi... Aku akan memberi tahu bahwa aku hamil, supaya kita berdua sama-sama tidak tersiksa dengan semua ini.

"Bunda!" Teriak suara cempeng mengagetkanku.

Belum sepenuhnya tersadar, tubuhku dipaksa terlepas dari dekapan Raka. Begitu tersadar sepenuhnya, aku ikut melepaskan pelukanku dari Raka, sementara Raka langsung bergeser. Jared langsung naik ke pangkuanku, rambutnya masih berantakan khas bangun tidur, ia hanya menggunakan piyama bergambar Iron Man dan celana dalam. Ia mulai memperlihatkan sikaf defensifnya seperti yang selalu ia lakukan kepada laki-laki yang menurutnya akan merebutku darinya.

"Loh anaknya bunda kok belum mandi, masih bau asem..." Tanyaku mencoba mengalihkan perhatian Jared yang sedang menatap Raka ganas.

"Bunda ngapain peluk-peluk?" Tanya Jared sambil memelukku.

Aku gelagapan mencari alasan yang tepat untuk pertanyaan Jared sampai suara Mbak Asih menyelamatkanku, "Den Red, ayo mandi sama Mbak."

"Gak mau, Mbak. Red mau mandi sama Bunda."

Mbak Asih yang masih tersengal-sengal mencoba menjelaskan. "Maaf, Non. Tadi Mbak lagi mandiin Non Anet tahu-tahu Den Red udah gak ada di kamar. Mbak udah larang Den Red turun, tapi larinya kenceng buangeeet."

"Iya gak apa-apa, Mbak. Nanti aku yang mandiin Jared."

Kemudian Mbak Asih mengangguk, dan menghilang dari ruang tamu.

"Ayo salim dong sama Uncle."

Jared kini menatapku dalam, lalu beralih menatap Raka. Dengan wajah tak ikhlas meraih punggung tangan Raka asal-asal kemudian menepisnya. Aku melihat Raka gugup di tempat duduknya, sedikit hiburan untukku.

"Uncle yang malem-malem, kan?"

"Ay- ah.. Iya uncle yang semalem ketemu kamu." Telunuk Raka menunjuk gambar Iron Man di piyama Jared,"Jared, kamu suka Iron Man?"

Jared bergeming, rupanya ia masih menatap Raka seperti sedang mencari sesuatu. Tatapan itu, tatatapan yang selalu ia berikan kepada laki-laki yang mendekatiku. Selama ini ia selalu merasa ia harus menjagaku dan Janet. Tapi sikapnya kadang terlalu overprotective terhadapku. Tak segan-segan ia selalu mencari cara untuk menjahili teman kencanku sampai lelaki itu menyerah dan mundur perlahan.

"No, not really."

Aku mengendus geli, aku tahu dengan jelas ia sedang melancarkan aksinya. Jared sangat tergila-gila pada Iron-man, jika ia mengatakan tidak ia hanya membual.

"Why? I think he is cool."

"He is alchololic and arrogant."

Aku mengulum bibirku hendak tersenyum kepada Raka yang menatapku bingung, mungkin ia kaget jawaban Jared yang tak seharusnya.

"Jadi siapa superhero yang kamu suka? Superman?" Tanya Raka.

"Oh come on, Uncle. He is alien from planet Krypton."

Aku ingin sekali tertawa melihat Raka yang mencoba membuka pembicaraan namun selalu ditanggapi sinis oleh Jared. Son, dont be so rude, he is your daddy.

"Kalo gitu kamu pasti suka Spiderman? Uncle suka Spidey, bisa gelantungan di tengah kota."

Aku bisa melihat Jared menaikan sebelah alisnya---sangat khas Raka. "Gak ada yang lebih jijik dibanding cowok yang pake baju super ketat seluruh tubuhnya. Selera uncle payah."

"Jared!" Tegurku. "It's rude. Ayo minta maaf sama Uncle."

Aku menaikan alisku saat Jared menatapku seperti enggan meminta maaf.

"Sorry," desisnya.

"Jared mandi dulu yuk, gak malu apa sama Uncle?" Kataku mencoba mengambil alih topik pembicaraan.

Tapi saat aku mencoba menggendong Jared, ia masih menatap Raka.

"Aku mau mandi sama Bunda. Uncle gak pulang?" Bukan pertanyaan namun lebih pada mengusir secara halus.

"Jared..." Tegurku lagi.

Tapi bukanya Raka tersinggung, ia malah tersenyum lebar. Aku tak mengerti, bukanya tersinggung Raka kelihatanya sangat bahagia dengan permusuhan mereka. "Iya, ini Uncle juga mau pulang. Tapi besok malem Uncle dateng lagi ke sini. Uncle sama Bunda mau ngajak Jared sama Janet dinner. Mau?"

Mataku melotot mendengar ucapan Raka, apa ia sudah gila? Bukanya tadi Raka sudah sepakat untuk take it slow, tapi ia malah mengajak bertemu secapatnya. Baru saja aku akan protes tiba-tiba Jared bersuara, "Wow! Asiiiik! Mau!"

Aku terheran justru mendengar persetujuan dari Jared. Padahal sepanjang sejarah, Jared adalah orang yang paling tidak mau aku pergi dinner bersama lelaki yang mendekatiku.

"Kin, aku balik dulu. Sampai ketemu besok malam," bisiknya sambil mencium pipiku.

"Uncle pulang dulu ya," ucap Raka sambil mengelus rambut Jared.

Berjalan ke arah pintu, aku menatap punggung Raka yang sudah menghilang di balik pagar lalu menatap Jared dengan senyumnya. Aku hanya berharap gencatan senjata ini adalah keputusan yang benar, setidaknya untuk saat ini beban dan segala yang menghantuiku sudah hilang. Ternyata benar, aku sudah lelah melarikan diri.

Bersambung....

___________

Hello!
Kali ini gak ada cuplikan buat part depan ya,
Soalnya gak bakalan seru kalo ada bocoranya
Biar cepet up seperti byaza, comment yang bejibun. Oyi cuma mau bilang part depan akan sangat family time sekali dengan bumbu kehangatan
Raka X Jared

Buat #RakaHaters tenang aja, ini baru permulaan. Seperti kata om Dery, oyi gak akan membuat ini mudah untuq Raka EKKEKE

UDAH ITU AJA,
see you saat vote di part-part depan lain udh sampe 1k wkwk

Ciaobella,
Oyi

Continue Reading

You'll Also Like

628K 84.2K 37
Warning for +21 only Penulis hanya menuangkan ide cerita, tidak menganjurkan untuk dipraktekkan, harap bijak dalam membaca Happy reading 2/6/19 -
196K 18.3K 38
⚠️BoyXBoy⚠️ The Next Story of Mr Leonathan Season 1 #taekook #namjin #yoonmin #hoseok #soogyu #yeongyu #bts #txt #enhypen #fanfiction
580K 39.3K 33
(17/21+) [COMPLETE] dipublish 10 Januari 2019 - tamat 16 Maret 2019 POV 1 [ Akssa & Laras ] Apa yang tidak dimilikinya? Uang, mobil, apartemen, peru...
1.7M 40.2K 8
Semua terlihat sempurna di kehidupan Maudy, seorang aktris papan atas yang juga dikenal sebagai kekasih Ragil, aktor tampan yang namanya melejit berk...