7Promises (FINISH)

By ruthwidajaja

748K 43K 927

Pengalaman one night stand dengan seorang perempuan misterius yang dialami oleh seorang Nathaniel Allen tidak... More

Sinopsis
CHAPTER 1
CHAPTER 2
CHAPTER 3
CHAPTER 4
CHAPTER 5
CHAPTER 6
CHAPTER 7
CHAPTER 8
CHAPTER 9
CHAPTER 10
CHAPTER 11
CHAPTER 12
CHAPTER 13
CHAPTER 15
CHAPTER 16
CHAPTER 17
CHAPTER 18
CHAPTER 19
CHAPTER 20
CHAPTER 21
CHAPTER 22
CHAPTER 23
CHAPTER 24
CHAPTER 25
CHAPTER 26
CHAPTER 27
CHAPTER 28
CHAPTER 29
CHAPTER 30
CHAPTER 31
CHAPTER 32
CHAPTER 33
CHAPTER 34
CHAPTER 35
CHAPTER 36
EPILOG

CHAPTER 14

16.4K 1.1K 14
By ruthwidajaja

CAMERON LEGROSS>>

....................................................................

ABIGAIL'S POV

"Apakah Daniel tidak memberitahumu jika kemunginan sahabatnya memiliki penyaikit biplar yang menyebabkan moodnya yang sering berubah?" tanyaku dengan marah kepada Maddy saat sahabatku itu baru mengangkat teleponku pada deringan ke tujuh.

"Er.... Halo juga Abby," ujarnya dengan nada bingung. "Sorry, aku tidak tahu tentang apakah Nate memiliki penyakit bipolar. Tapi, aku akan menyerahkan teleponku kepada sahabat masa kecil Nate yang mungkin tahu apa penyebab perubahan mood sahabat terbaiknya. kau bisa bertanya langsung padanya."

"Halo, Abby!" sapa Daniel dengan sopan.

"Apakah sahabatmu tidak memiliki penyakit bipolar sehingga moodnya sering berubah – ubah?" tanyaku dengan jengkel. Seharusnya, aku tidak boleh marah kepada Daniel karena ini semua bukan salah Daniel. Tapi, aku membutuhkan pelampiasan setelah seharian ini aku menjadi tempat pelampiasan Nate.

"Er... seingatku dia tidak memiliki penyakit apapun," ujar Daniel pelan. Lalu, dia tidak berbicara untuk satu menit penuh. "Apakah kalian bertengkar?" tanyanya dengan nada sungkan.

Ia sepertinya sedikit tidak enak untuk bertanya masalah pribadiku. Damn it! Bagaimana Maddy bisa seberuntung itu hingga mendapatkan pria seperti Daniel Davis. Bukan berarti aku ingin merebut pacar sahabatku karena Daniel sama sekali bukan tipeku. Tapi, semua perempuan pasti menatap Maddy dengan iri karena pacarnya adalah pria yang sangat gentlemen.

Aku berpikir sejenak. Sebenarnya, aku tidak terlalu suka bercerita masalah pribadiku dengan orang lain yang belum terlalu kukenal. Tapi, Daniel adalah sahabat Nate sejak kecil sehingga Daniel adalah satu – satunya kunciku untuk bisa mengetahui apa yang salah dengan sikap Nate hari ini.

"Kami bertengkar dan dia pergi entah kemana."

"Maaf, jika aku lancang," ujar Daniel dengan kalimat yang sangat sopan.

"What the hell?" teriak Maddy dengan bingung dari seberang telepon. "Sejak kapan kau menjadi seperti Cam? Kau tidak pernah berbicara sopan seperti itu bahkan saat kita baru pertama kali bertemu."

Aku nyengir membayangkan sahabatku yang berbicara dengan wajah jengkelnya. "Hei, Abby lebih tua daripada kita. Tentu saja, aku harus berbicara dengan sopan kepadanya! Oh, aku lupa mengatakan kalau mom memanggilmu tadi saat kau ke toilet" balas Daniel. "Abaikan saja perkataan Maddy. Bisakah kau menceritakannya dari awal?"

Aku segera menceritakan dari awal saat pertengkaran kami di restoran Budapest dan juga masalah di Chain Bridge. "Nah, aku bertanya kepadanya ada masalah apa karena aku melihat wajah jengkelnya setelah ia selesai berbicara dengan resepsionis dan dia malah membentakku. Sekarang, aku tidak tahu dia pergi kemana."

Daniel terdiam sesaat setelah mendengarkanku bercerita. "Kau membuatnya marah dua kali dalam waktu tiga hari."

"Hei, aku tidak pernah membuatnya marah. Tapi, dia yang selalu tiba – tiba meninggalkanku sendirian dengan moodnya yang gampang berubah. Sebentar dia tampak gembira dan tenang, lalu beberapa menit kemudiaan dia tampak marah," ujarku berusaha membela diriku setelah tuduhan dari Daniel.

"Kurasa kau membuatnya takut Abby," ujarnya tidak menggubris pembelaanku. "Selama ini Nate selalu menghindari pembicaraan serius mengenai dirinya. Maka dari itu, dia selalu membangun suasana tidak serius di sekelilingnya karena dia membenci hal itu."

"Aku tidak pernah berusaha untuk menceramahi..."

"Kau pasti menyentuh hatinya dengan perilaku atau perkataanmu tanpa kau sadari," ujar Daniel dengan serius. Aku terdiam sesaat berusaha meresapi perkataan Daniel. Aku menyentuh hati Nate? Aku hanya berbicara apa yang aku pikirkan dan aku tidak pernah berusaha menceramahinya tentang hidup yang dijalaninya. "Apakah Nate tidak pernah mengusirmu untuk kembali ke London?" tanya Daniel membangunkanku dari lamunanku.

"Aku pernah bertanya kepadanya. Apakah aku harus kembali ke London jika kehadiranku melukainya atau membuatnya tidak nyaman," bisikku pelan kepanya. "Tapi......"

"Tapi?" bisik Daniel kepadaku.

"Saat itu dia sedang mabuk dan dia mengatakan kepadaku untuk jangan meninggalkannya." Aku merasakan jantungku berdebar dengan keras saat mengingat kejadiaan pada malam itu. Aku menggelengkan kepalaku dan berusaha untuk tidak keluar dari hotelku untuk mengejar Nate.

Daniel terdiam beberapa menit sebelum akhirnya berkata kepadaku. "Kau pasti sudah menduga bukan, Abby? Perasaan Nate kepadamu yang mungkin tidak Nate sadari."

Aku menatap jendela yang menampilan warna gelap langit. Aku sudah tahu dari awal saat Nate memintaku untuk tidur kembali dengannya. Aku sudah mulai merasakannya, tapi aku tidak mengindahkannya dan sekarang sudah terlalu terlambat untuk menghindarinya. Karena, aku sendiri pun tidak bisa meninggalkannya, aku tidak ingin. Saat di jembatan itu aku sudah memutuskan untuk menerima perasaanku kepadanya. Tapi, aku berpikiran realistis untuk membuat Nate tidak memiliki perasaan lebih biarkan aku sendiri yang memiliki perasaan ini kepadanya.

"Aku tidak mengetahui apa yang kau katakan, Daniel," ujarku berusaha untuk berbohong.

Daniel menghela nafas panjang. "Entah mengapa... aku merasa kau mengerti perkataanku, tapi kau tidak ingin mengakuinya."

"Aku tidak akan pernah mau berpacaran dengan siapapun atau mencintai siapapun," bisikku kepadanya. "Nate tahu itu."

Daniel menghela nafas panjang sekali lagi. "Kalian berdua akan membuatku gila. Di satu sisi kalian adalah pasangan yang sangat cocok, tapi disatu sisi kalian adalah pasangan yang bisa saling menghancurkan."

"Aku berbicara kepadamu karena aku ingin tahu apa yang terjadi..."

"Aku sudah memberitahumu bukan, Abby? Kau membuatnya takut. Kau menyentuh hatinya. Dia selalu melakukan tinju hingga babak belur atau minum hingga mabuk atau sex untuk melupakan semua masalahnya. Walaupun terlihat tegar di luar tapi Nate sebenarnya adalah pria yang sangat rapuh." Aku terdiam mengengarkan perkataan Daniel. "Aku tidak bisa memberitahumu apa yang harus kau lakukan selanjutnya. Itu semua tergantung dirimu dan Nate."

"Danielll...." teriak Maddy. "Jenny mengatakan kalau dia tidak pernah memanggiku. Mengapa kau berbohong kepadaku?"

"Nah, aku akan mengakhiri pembicaraan kita di sini. Kau bisa meneleponku kapan pun jika kau bingung soal Nate lagi. Kau bisa meminta nomor teleponku dari Maddy jika kau membutuhkan bantuanku, tentu saja. Aku tidak akan meminta nomermu dari Maddy karena bisa – bisa dia akan membunuhku bahkan sebelum aku mendapatkan nomermu," bisik Daniel dengan cepat. Aku menyeringai dengan bersyukur dalam hati. Rupanya, tadi dia berbohong kepada Maddy agar aku bisa bercerita secara terbuka kepadanya. "Oo.. dan jangan sebut – sebut masalah ibu Nate. Permasalahan itu sangat off limit untuknya. Senang berbicara denganmu Abby."

Lalu dia menutup teleponnya.

*******

Aku segera mandi dan berusaha untuk menghilangkan Nate dari pikiranku. Setelah dua puluh menit membersihkan diriku dan mengganti pakaianku, aku tidak memiliki kegiatan lain. Aku duduk di sofa dekat dengan jendela.

Aku mengambil buku diaryku dari dalam tasku dan membuka halaman yang mulai tampak lecet.

To Do List

1. MENARI LAGI DI DEPAN BANYAK ORANG

2. MELIHAT MATAHARI TERBIT DENGAN SESEORANG YANG SPESIAL

Aku memandang dan mengingat kembali memori tadi pagi. Semuanya akan sempurna jika Nate tolol tidak merusak dengan moodnya yang menyebalkan. Aku menutup buku diaryku dengan jengkel.

Aku berusaha untuk tidak bertanya – tanya di mana Nate sekarang dan perkataan Daniel kembali lagi di pikiranku. Berbicara dengan Daniel membuatku menyadari sesuatu yang dari dulu berusaha untuk tidak kusadari. Bukannya membuatku bisa memahami Nate, tapi semakin membuatku menjadi bingung.

Aku mengambil jaketku dan mengenakan sepatuku. Damn it. Mengapa aku harus repot untuk mencari Nate? Padahal dia sendiri yang mengusirku dan memintaku untuk tidak mengganggunya lagi. Saat aku turun ke lobby, aku segera bertanya pada resepsionis dimana letak bar atau tempat tinju terdekat. Resepsionis itu menatapku dengan bingung ketika aku bertanya letak tempat tinju dan mengatakan tidak ada tempat seperti itu di dekat sini, tapi dia memberitahuku letak bar paling dekat.

Aku segera keluar dari hotel dan berjalan menuju ke arah bar yang ditunjukkan oleh resepsionis itu. Tidak lama aku berjalan, aku segera menemukan Nate sedang duduk di salah satu kursi jalanan dan sedang memegang sebuah botol.

Aku menatapnya dari kejauhan dan melihat wajahnya yang terlihat sedih dan setengah mabuk. Segala kemarahan yang kurasakan tadi kepadanya segera menguap ketika melihatnya seperti itu. Aku tidak ingin melihat Nate sedih atau terluka. Aku ingin melindunginya dari semua orang yang ingin menyakitinya. Perasaan yang baru kurasakan terhadap orang lain. Perasaan yang kurasakan saat melihat Mandy atau dad.

Aku berjalan mendekatinya dan duduk di sampingnya. Nate tidak mendongakan wajahnya ketika aku duduk di sampingnya. Kami hanya duduk terdiam selama lima menit penuh. Aku menatap orang berjalan di sekitar kami dan Nate masih menunduk. "Aku tidak bisa melakukannya," ujarnya pelan.

"Melakukan apa?" bisikku kepadanya.

"Dengan wanita lain. Kami tadi sudah hampir melakukannya." Ia mengatakannya tanpa menatapku.

Aku merasakan dadaku terasa sangat sakit ketika mendengarnya berbicara seperti itu. Dia hampir melakukannya dengan wanita lain. "Mengapa kau tidak melakukannya?"

Nate mengangkat wajahnya dan menatap mataku. "Karena aku selalu membayangkan wajahmu setiap kalian wanita itu menyentuhku. Aku tidak bisa melakukannya karena aku selalu membayangkanmu. Mengapa... mengapa hal itu bisa terjadi Abby?"

Aku merasakan diriku hampir menangis mendengarkan pertanyaan Nate. Walaupun, dia memliki segudang pengalaman dengan wanita di ranjang tapi dia adalah pria yang sangat inosen dalam memahami perasaannya sendiri.

Aku berdiri dan segera berjongkok di depannya. Tanganku memegang erat tangannya. Awalnya, Nate tampak berusaha melepaskan tanganku tapi aku memegangnya dengan erat dan memaksanya untuk menatap mataku. Beberapa detik kemudian, Nate terdiam dan menatapku dengan mata sendu. Aku segera memeluknya dengan erat, tidak beberapa lama kemudian Nate balas memelukku.

"Aku tidak tahu juga, Nate," bisikku pelan di telinganya. "Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan."

Nate tidak menjawab perkataanku, dia hanya memelukku dengan erat. "Aku takut, Abby. Aku takut dengan perasaan yang tidak kukenali ini. Aku takut dengan semua emosiku yang ingin selalu berada di dekatmu. Aku takut kau akan melukaiku."

Aku merasakan seperti ada sesuatu yang meremas dadaku. Tanganku bergetar dengan hebat, dadaku terasa sedikit sesak dan aku berusaha menahannya. Aku tersenyum lemah kepada Nate saat aku melepaskannya dari pelukanku. Aku memejamkan mata sesaat untuk menyembunyikannya. "Jangan takut," bisikku pelan sambil membuka tasku dan mengeluarkan vitaminku dan meminumnya. "Kau pikir aku pernah merasakannya juga? Aku merasakan hal yang sama sepertimu Nate, perasaan tidak ingin jauh darimu."

"Apa yang kau minum itu?" tanya Nate kepadaku dengan wajah penasaran.

"Vitaminku," ujarku tersenyum kepadanya. "Ingat, aku pernah mengatakan kepadamu kalau sewaktu dulu kecil aku pernah mengidap penyakit serius?" Nate menganggukan kepala dengan wajah khawatir. "Jangan takut, Nate. Aku sudah dinyatakan sembuh oleh dokter sejak berumur dua belas tahun tapi kondisi tubuhku tidak akan pernah seperti wanita normal lainnya. Oleh karena itu, aku harus lebih banyak meminum vitamin yang diberikan oleh dokter."

"Abby jika kau merasa tidak baik, aku akan...."

"Aku memiliki penawaran untukmu," ujarku pelan. Aku sudah memikirkannya sejak aku selesai menelepon Daniel. Walaupun, ini tidak sesuai dengan peraturan yang kujalani selama ini tapi masa bodoh dengan semuanya. Aku hanya hidup sekali dan aku harus menikmati sebanyak yang kuinginkan. "Bagaimana kalau selama kita berkeliling dunia, kita menjadi sepasang kekasih. Kau bebas melakukan apapun denganku layaknya pacarku begitupun sebaliknya. Tapi, kau tidak boleh berselingkuh dengan wanita lain selama ini. Bagaimana?"

Mata Nate berbinar dengan senang tapi tidak beberapa lama kemudian mata itu redup. "Tapi, setelah liburan kita selesai?"

Aku terdiam dan berusaha untuk menahan rasa sakit yang tidak berhubungan dengan fisik itu kembali. "Kita berpisah. Melanjutkan kehidupan normal kita seperti biasanya. Setidaknya, selama disini kau bisa memuaskan keingananmu dan rasa penasaranmu kepadaku akan menghilang. Lalu kau bisa move on dengan wanita lainnya setelah liburan kita."

"Bagiamana kalau aku tidak mau berpisah darimu walaupun kita sudah pulang?" tanya Nate dengan suara berbisik. "Bagaimana jika aku tidak akan pernah puas denganmu? Bagaimana jika..." Ia terdiam dan menggelengkan kepalanya, tampak bingung.

Aku tersenyum dengan sedih kepadanya. "Kau pasti mau berpisah dariku, Nate. Aku adalah wanita yang membosankan dan bukan tipemu sama sekali."

Nate terdiam dan mengangguk. "Aku menyetujui perjanjian itu," bisiknya pelan.

Aku berdiri dan menarik tangan Nate untuk berdiri. "Perutku sangat lapar, tapi aku ingin pergi ke Trevi Fountain terlebih dahulu. Kau harus mengantarku kesana!" perintahku kepadanya.

"Aye, Captain!" gurau Nate kepadaku.

*******

"Aku tidak tahu apa bagusnya kubangan ini," gerutu Nate.

Aku memutar bola matakutu. Mr Grumpy is back. "Ini fountain bukan kubangan Nate," ujarku dengan jengkel. "Apakah kau tahu fountain ini menampung koin sebanyak 3.000 euro karena banyaknya orang yang melepar koin kemari?"

"Dan, mengapa banyak orang yang melemparkan koin kemari?" tanyanya kepadaku dengan wajah penasaran. "Mungkin kau bisa menjawab kebingunganku saat ini ketika melihat puluhan orang di sekeliling kita berebut membuang uang mereka ke dalam kubangan ini."

"Karena kabarnya saat kau membuat permintaan dan melemaparkan koin ke dalamnya permintaanmu akan terkabulkan," ucapku kepadanya. "Keluarkan koinmu sekarang."

Nate menatapku dengan tatapan datar. "Aku tidak ingin membuang uangku untuk cerita mitos seperti ini."

Aku menyipitkan mataku kepadanya. "Kau terlalu pelit," ucapku.

"Aku hanya berpikiran realistis bukannya pelit," balasnya dengan wajah inosen. Aku menatapnya dengan jengkel. "Terserah, jika kau tidak ingin melemparkan koin tapi aku ingin melemparnya," ujaku segera mengambil koin euro dari dalam tasku dan menuju ke tepi Trevi fountain. Aku segera merasakan seseorang berada tepat di sampingku. Aku menoleh dan mendapati Nate juga mengeluarkan koin dari sakunya. "Bukankah kau mengatakan kalau ini semua hanya mitos?"

Nate nyengir kepadaku. "Aku hanya ingin menemanimu agar kau tidak terlihat terlalu bodoh karena mempercayai mitos."

Aku memutar bola mataku dan menggelangkan kepalaku. Aku segera melemparkan koinku, melirik Nate seklias dan memejamkan mataku. Aku tersenyum ketika selesai membayangkan permohonanku. "Apa yang kau inginkan?" tanya Nate kepadaku membuatku menoleh kepaadanya.

Aku tersenyum penuh rahasia kepadanya dan menggelengkan kepalaku. "Rahasia. Jika, aku memberitahumu nanti permohonanku tidak akan terkabul."

Nate mendengus pelan mendengarkan ucapanku. "Mungkin kau membuat permohonan agar semua pria yang melihatmu bisa jatuh cinta kepadamu, seperti yang dilakukan oleh Beth Martin."

Aku menatap Nate dengan bingung. "Kau melihat film When in Rome?" tanyaku menahan tawa. "Kau mengatakan kalau kau anti dengan film romantis dan sejenisnya."

Wajah Nate memerah tampak baru menyadari kesalahannya. "Ehm... Emily memaksaku untuk melihatnya."

Keningku berkerut ketika mendengar nama perempuan itu disebut. Oke, sekarang aku baru menyadari bagaimana perasaan Becca dan Maddy. "Apa kau pernah tidur dengan Emily?"

"What?" Nate terdiam sesaat dengan wajah tampak terkejut lalu tidak beberapa lama kemudian ia tertawa terbahak – bahak mendengarkan pertanyaanku dan Ia langsung berhenti tertawa ketika melihat ekspresi wajahku yang serius. "Seriously? Kau mengira aku punya... Wait... Apa kau sedang cemburu, Abby?"

Wajahku memanas ketika mendengar pertanyaan Nate. "Apa kau gila? Untuk apa aku cemburu kepada Emily Winter?" ujarku dengan jengkel. "Lagipula, kau tidak semenarik itu untuk memiliki hubungan seksual dengan Emily Winter. Dan, kau tidak semenarik itu untuk membuatku bersikap posesif kepadamu."

"Kau cemburu," ujarnya dengan tawa mengejek tidak menghiraukan sindiranku. "Mengapa kau begitu sulit mengakui kalau aku memang menarik."

Aku memutar bola mataku mendengar kenarsisan Nate. Oke, sekarang aku merasakan perasaan Maddy yang sering bercerita betapa menjengkelkan Daniel ketika pacaranya itu sedang narsis dan penuh dengan dirinya sendiri. Aku melirik Nate dan juga tempat di dekatnya, aku tersenyum licik ketika sebuah ide muncul di benakku.

*******

Continue Reading

You'll Also Like

MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.5M 18.2K 7
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
540K 26.4K 74
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...
6.7M 285K 59
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
1.3M 119K 60
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...