The Marriage Roller Coaster

By VodcaWhiskey

2.7M 127K 8.8K

Setelah kecelakaan merenggut nyawa ibu yang merupakan keluarga satu-satunya di dunia ini, Angkasa Gebintang d... More

PERKENALAN DAN PERINGATAN
Prolog
TMRC - Satu
Tmrc dua
TMRC - Tiga
TMRC - Empat
TMRC - Enam
TMRC - Tujuh
TMRC - Delapan
TMRC - Sembilan (Kembali Ke Dunia Nyata)
TMRC - Sepuluh (Jungkir Balik dunia Gebi)
TMRC - Sebelas. Mr Lawyer Vs Ms Journalist Part I
TMRC - Dua Belas (Mr Lawyer Vs Ms Journalist (II)
TMRC - Tiga belas (Antara Romantis dan Siksaan)
TMRC - Empat Belas
TMRC - Lima belas (Beda)
TMRC - Enam belas (Seseorang)
TMRC - Tujuh belas (Tentang Bumi Dan Sentuhan Pertama)
TMRC - Delapan belas
TMRC - Sembilan Belas (Complicated)
TMRC - Dua Puluh
TMRC - Dua Puluh Satu - Jawaban & Keputusan
TMRC Dua Puluh Dua - Kado, Pengakuan, Air Mata Terakhir
TMRC- Dua Puluh Tiga - Klimaks
TMRC - Dua Puluh Empat - Spasi
TMRC - Dua Puluh Lima - Rindu Terbunuh Jarak
TMRC - Dua Puluh Enam - Jejak
TMRC - Dua Puluh Tujuh - Di sini... Baik-Baik Saja
TMRC - Dua Puluh Delapan - Benang Merah
Ready di Google Play Book!

TMRC - Lima

45.9K 4.2K 65
By VodcaWhiskey

Demi Tuhan gue geli banget baca ulang dan edit cerita ini😅  pembawaannya super standart. Gini banget pemikiran gue wktu msh SMA😅
Selamat membaca buat kalian yg msh mau baca. Ini baru awal banget.
Masih puanjang. Blm juga konflik. Akan kurepost sampai part Complicated mngkin belasan bab lagi. Enjoy! 🍻


***




Sudah empat hari Kaffi dan Gebi di Bali. Tidak ada perubahan yang signifikan dalam kualitas maupun kuantitas hubungan mereka. Keduanya masih bertingkah seperti orang lain. Tidak banyak interaksi. Bicara seperlunya, makan di tempat berbeda, jalan-jalan sendiri. Walaupun tidur di kamar yang sama, tapi setiap malamnya Gebi harus menunggu Kaffi tertidur dan bangun untuk tidur di sofa depan Tv.

Seperti malam ini, Gebi menatap nanar punggung Kaffi. Bukan! Bukan karena dia ingin menyentuhnya. Dia hanya tidak bisa tidur dan mencoba mencari objek tatapan untuk merangsang rasa kantuk. Lampu di kamar hotel ini terlalu terang. Gebi jelas terganggu.

Sejak pulang dari agenda jalan-jalan sendirinya tadi, Kaffi langsung tidur memunggungi Gebi. Seperti biasa, Gebi membatu dalam posisinya karena takut membuat pergerakan yang bisa mengganggu tidur Kaffi.

Berniat tidur di ruang Tv, seperti malam-malam sebelumnya, Gebi dikagetkan oleh pertanyaan Kaffi, "Mau kemana?"

"Aku akan tidur di luar saja."

Kaffi bangkit. "Kau takut padaku?"

Tangan Gebi terkibas tidak. "Bukan seperti itu, Kaff. Aku hanya—"

"Jangan takut!" potong Kaffi cepat. "Aku pastikan tidak akan terjadi apa-apa di antara kita. Jadi, berhenti mengkhawatirkan keadaan yang bahkan untuk membayangkannya saja membuatku geli."

Terdiam. Gebi berusaha mencerna kalimat Kaffi.

"Jangan lupa bahwa bukan kau saja yang canggung dan butuh penyesuaian dalam pernikahan ini. Aku lebih membutuhkan adaptasi! Jadi, berhenti bertingkah seolah-olah aku saja yang menginginkanmu. Itu tidak akan terjadi. Dan, tidak perlu repot-repot menghindariku seperti tadi."

Sial. Kalau tidak salah kau yang mengajakku menikah, kenapa sekarang kau yang protes?" Gebi menelan sumpah serapahnya.

"Kau mengerti, Gebintang?"

Sebenarnya banyak kalimat yang ingin sekali Gebi katakan tapi gadis itu kehilangan minat merespons. Bentakan Kaffi memang menyakitkan. Gebi berhasil menguasai diri. Dia tidak mau terlihat lemah dan cengeng di depan Kaffi. Akhirnya, dengan langkah gontai gadis itu berjalan menuju pintu. Dia kembali tidur di ruang Tv dan menghabiskan malamnya dengan menangis dalam diam.

***


Gebi hanya tidur 30 menit sebelum bangun lagi dan menyiapkan sarapan untuk Kaffi. Menurut apa yang didengarnya dari mertua dan Ipar, Kaffi lebih menyukai masakan rumahan. Gebintang putuskan membuat omelette setengah matang. Ditaburi potongan sosis. Tak lupa segelas kopi.

Baru pukul 5:30. Tercetus ide untuk berolahraga. Gebi menukar pakaian dengan celana kapri abu-abu dan kaos Adidas. Tidak lupa, ia memakai topi untuk menutupi matanya yang menyerupai bola golf.

Sekitar 10 menit, Gebi lakukan warming up. Sekadar meregangkan dan melemasan otot-otot tubuh yang kaku. Juga meningkatkan frekuensi jantung. Supaya otot yang bekerja dengan darah, kaya akan oksigen. Setelah itu, Gebi mulai joging mengelilingi area hotel yang lumayan ramai dipenuhi pengunjung lain yang juga sedang berolahraga.

Hampir satu jam, Gebi putuskan untuk istirahat. Tempat yang ia pilih adalah tempat yang sama dengan beberapa hari lalu ia datangi. Gebi suka duduk di sana. Biarkan setengah kakinya terendam pasir; dengarkan deru ombak kecil; juga mencium bau laut yang membuat ia merasa seperti dicumbui alam.

"Kau ingin mengulang insiden kemarin siang, Miss?"

Gebi menoleh kepada pemilik suara tersebut. Kemudian mencibir. Kenapa harus bertemu lagi dengan teman suaminya? Dan lagi, pria itu langsung bergabung dengan Gebi di sebelahnya.

"Wajahmu sangat kusut, apa lupa disetrika?"

Kalau tidak berpikir ini teman Kaffi, ingin rasanya Gebi menyumpal mulut pria ini dengan sepatu.

"Kaffi pasti tidak bisa menemanimu, kan? Sampai wajahmu kusut begitu? Aku tahu dia tidak suka bangun pagi saat libur."

Gebi malas menanggapi apa pun perkataan laki-laki sok akrab ini.

"Astaga. Ada apa dengan matamu?"
Tatapan Justin menyelidik. Gebi baru sadar kecerobohanya. Dia pasti ketahuan habis menangis. Buru-buru, Gebi palingkan wajah untuk menghindari tatapan menyelidik Justin.

"Habis menangis?" selidik pria itu. "Apa ada masalah? Tapi, tidak mungkin kau menangis gara-gara Kaffi, kan?"

Sejak dulu, Gebi malas interkasi dengan orang sok akrab. Apalagi, dengan santai mengorek-ngorek masalah pribadinya.

"Apa kau sudah terbiasa ikut campur masalah orang yang baru kaukenal? Dan apakah aku harus menjawab jutaan pertanyaan ingin tahumu itu?"

Justin tertawa pendek. "Bagus! Kau sudah bisa berhiperbola sekarang. Kemajuan pesat!"

"Sebenarnya yang lebih butuh Psikiater itu kau. Dan juga dokter untuk menjahit mulutmu itu!"

"Nah, sekarang, kau sudah pintar bicara,” potong Justin. “Pelajaran selanjutnya adalah sopan santun, mungkin?"

Decakan sebal Gebi mengundang tawa Justin. Mau tidak mau gadis itu ikut-ikutan tertawa dan suara tawanya menyedot perhatian Justin. Laki-laki itu menatap Gebi dengan tatapan geli.

"Apa kita perlu belajar sopan santun bersama? Kau baru saja menatap seorang wanita bersuami. Itu tidak sopan, Just!" protes Gebi. Tertawa. Lelaki di sampingnya pun tertular. 

"Ayo, ikut aku ke suatu tempat?"

Gebi terperanjat. "Ha? Kau bilang apa?"

"Tidak usah berlebihan! Aku tidak mengajakmu selingkuh."

"Aku tidak bermaksud begitu," sergah Gebi cepat. "Maksudku pertanyaanmu harus kau ubah seperti, 'aku merekomendasikan suatu tempat untukmu, apakah kau mau melihatnya?'”

"Baiklah, aku akan merekomendasikan suatu tempat untukmu. Apakah kau mau berkunjung denganku, Miss?"

"Baiklah, Tuan. Kalau kau memaksa!"

***

Well, saat ini, Gebi dan Justin sudah berada di sebuah danau. Justin menyebutnya danau Beratan Bedugul. Sangat indah karena berada di daerah pegunungan dengan suasana alam yang asri.

Senyum Gebi terpahat. Menatap takjub sebuah bangunan yang menjulang dengan sebelas atap bersusun. sepertinya itu tempat diadakannya upacara-upacara keagamaan.

"Just. Ini?"

"Pura Ulun Danu," jawab Justin. Gebintang mengangguk dengan kedua bibir yang membulat. "Mau foto?"

"Boleh." Gebi menyerahkan ponselnya kemudian mencari titik-titik yang pas untuk dipotret.

Setelah beberapa kali mengabadikan gambar Gebi di beberapa sudut Pura, Justin mengajak Gebi ke tepi danau Beratan Bedugul. Dia menyewa sebuah perahu dan mengajak Gebi berkeliling danau. Setengah jam berkeliling dengan perahu, sekarang, keduanya mengelilingi area Pura.

"Ya, Tuhan. Apa aku keterlaluan? Sudah empat hari aku di Bali dan baru hari ini aku bisa ke tempat seindah ini. Kasihan sekali!" komentar Gebi sambil terus mengabadikan gambar dengan kamera ponselnya.

Justin tertawa kecil. "Yang keterlaluan itu suamimu, bukan kau! Kenapa dia tidak bisa menemaninu jalan-jalan?"

"Tidak seperti itu. Dia sedang mengerjakan sesuatu pagi ini," bela Gebi. Sambil berjalan dan melihat-lihat hasil foto-foto di ponselnya. Lelaki di belakangnya mempercepat langkah agar sejajar dengan Gebi.

"Ya, aku tidak heran. Itu karena kalian terlalu memforsir waktu malam kalian sampai-sampai dia harus mengerjakan semuanya di pagi hari." Justin tersenyum jahil.

"Tidak sopan!" sentak Gebi.

Tawa pria itu pecah. “Kau malu?"

“Astaga, di mana sopan santunmu?”

"Berlebihan! Kenapa harus malu? C'mon! Itu yang dilakukan pasangan pengantin baru."

"Kenapa kau begitu tertarik dengan urusan ranjang kami?"

"Itu karena aku penasaran bagaimana rasanya."

"Jangan bercanda! Kau tidak terlihat seperti seorang perjaka polos lagi, Tuan,” sindir Gebi.

Justin terkekeh. "Bukan itu maksudku, Nyonya Kaffi. Maksudku, bagaimana rasanya bercinta dengan pasanganmu setelah menikah? Kudengar rasanya berbeda. Apakah itu benar? So, ceritakan padaku. Kau tentu tahu dan bisa membedakannya. Karena kau sudah menikah."

Justin mendahului langkah Gebi. Namun, dia memutar posisi jadi menghadap gadis itu. Sekarang, pria itu mulai berjalan mundur sambil terus menginterogasi, “Ayolah. Cerita padaku!”

Gebintang menghentikan langkah. "Apa kau sadar pertanyaanmu itu seharusnya difilter dulu sebelum kau lontarkan?"

"Benarkah rasanya sungguh berbeda?" Justin tidak mempedulikan protes Gebi, Lelaki itu memajukan wajah dan membungkuk sedikit untuk menatap wajah Gebi. Gebi bahkan bisa melihat mata coelat Justin yang berada hanya beberapa senti dari wajahnya.

"Pergi dan menikahlah! Maka kau akan tau jawabannya." Cepat-cepat, Gebi berlalu.

Bukannya menyerah, Justin sedikit berlari menyamai langkah. "Aku tidak berani mengambil risiko. Karena itu aku ingin tahu jawabanmu. Ya, anggaplah jawabanmu itu adalah rekomendasi untukku. Siapa tahu bisa membuatku berubah pikiran untuk cepat-cepat menikah?"

"Jadi, kalau jawabanku adalah 'Ya Mr Justin, rasanya sungguh berbeda setelah menikah dan itu sangat nikmat' maka kau akan pergi menikah saat ini juga?"

Mata Justin menyipit, lelaki itu pura-pura berpikir sebentar kemudian mengangguk antusias yang membuat Gebi berdecak sebal melihat tingkahnya.

"Bodoh! Apa kau hanya ingin menikah untuk merasakan pengalaman seks yang berbeda? Aku sarankan kau tambahkan saja selai strawberry, mocca, cokelat, atau apa pun itu setiap kali kau bercinta dengan pacarmu. Maka kau akan merasakan bedanya," cemooh gadis itu.

"Ha ha. Kaupikir itu sandwich?" Justin menyikut lengan Gebi. Gadis itu langsung mendorong tangannya menjauh. "Pertanyaanku sederhana: kau bisa menjawab dengan Ya atau Tidak. Tapi kau memperumitnya. Kau sangat sensitif, Nyonya Kaffi. Apa kau hamil?"

"Kau gila!? Bagaimana mungkin aku hamil? Asal tahu saja, aku dan Kaffi belum pernah melakukan apapun sampai saat ini. Dan, bagaimana bisa aku menjawab sesuatu yang bahkan seumur hidupku belum pernah aku lakukan? Bukankah kau lebih tahu jawabannya karena pengalamanmu tentu saja tidak bisa diabaikan. Jadi, jangan memaksaku! Karena tidak ada jawaban untuk pertanyaan sialanmu itu!"

Beberapa detik setelahnya, Gebi baru menyadari ucapannya. Gebintang benar-benar mengutuki ketidaksingkronan otak dan lidahnya yang menghasilkan ucapan bodoh tadi. Ia melirik cepat ke arah Justin. Melihat ekspresi Justin yang berubah, Gebi menggigit lidahnya pelan. Pria itu terlihat mengerutkan dahinya bingung kemudian alis kirinya melengkung ke atas seperti sedang berpikir keras.

"SHIT!!” maki Justin tiba-tiba. “Jadi kau masih ...."

Sial! Saat ini Gebi benar-benar ingin menguburkan diri bersama kebodohannya. Ia berpikir sebentar dan berujar pelan, "Dengar, ini sudah siang. Aku harus pulang! Suamiku sedang menunggu," katanya mencoba mengalihkan perhatian Justin dari topik sebelumnya. Gadis itu berjalan dengan langkah lebar meninggalkan Justin yang meneriakinya di belakang.

"Hei jangan mengabaikanku! Benarkah yang kau bilang tadi? Benar kau masih ...."


***



Saat terbangun, Kaffi hanya menemukan kamar hotel yang kosong. Lelaki itu berpikir, apa semalam dia sudah terlalu berlebihan membentak Gebi sehingga membuat istrinya pergi?

Kaffi menangkap sesuatu di atas meja. Sebuah piring yang sudah terisi omelette dan segelas jus. Hati Kaffi terenyuh mengingat lagi kata-kata kasarnya.

"Dia bahkan membuatkan sarapan untukku setelah semua yang aku ucapkan padanya semalam," gumam lelaki itu setengah bersalah. Ia mulai memakan sarapannya.

Sejujurnya, Kaffi tidak berniat mengatakan itu pada Gebi. Hanya saja, dia terlalu kesal dengan tingkah Gebi yang bahkan menatapnya saja takut. Seolah-olah dia adalah seorang pembunuh. Seumur-umur, Kaffi belum pernah dihadiahi tatapan gugup yang kentara dari orang-orang yang ia temui. Kenapa istrinya harus melakukan itu? Apa ada tampang krimininal di wajah Kaffi yang supertampan ini?

Kaffi menghabiskan makanannya. Bereskan piring-piring bekas. Hari ini, pekerjaannya menyiapkan berkas-berkas gugatan dari klien sudah selesai. Waktunya untuk bersantai. Mungkin sedikit lebih banyak dari beberapa hari belakangan ini. Otak pria itu kemudian bekerja membuat susunan rencana yang mungkin ia lakukan dengan Gebi setelah ini.

Kaffi memutar TV dan mengganti saluran sesuka hati. Karena tidak menemukan satu pun acara yang bagus, yang bisa menyedot perhatiannya, Kaffi mulai gelisah. Ini sudah jam satu siang dan Gebi belum kembali juga. Kaffi putuskan mengganti pakaian dan keluar hotel mencari istrinya.

Continue Reading

You'll Also Like

582K 24.5K 39
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...
1.3M 127K 49
Kehidupan Dinar Tjakra Wirawan berubah, setelah Ayah dan kakak laki-lakinya meninggal. Impiannya yang ingin menjadi seorang News anchor harus kandas...
6.2M 321K 59
Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusaknya sejak 7 tahun lalu. Galenio Skyler hanyalah iblis ya...
793K 7.6K 9
(Sedang dalam proses revisi, di publikasikan berkala) Dokter Rony Mahendra Nainggolan tidak pernah tahu jalan hidupnya. Bisa saja hari ini ia punya k...