Meant To Be

By cakeftsos

213K 15.4K 1.1K

Saat Lacey Victoria Horan tepat berusia 18 tahun, ia sangat terkejut ketika mengetahui bahwa dirinya tengah m... More

Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
A/N
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
ATTENTION
Chapter 24
Epilog
Q&A
Q&A (The Answer)
Honeymoon 18+ (Bonus Chapter)
I'M BACK

Chapter 23

4.4K 396 140
By cakeftsos

Playlist on this chapter:
1. All I Want – Kodaline
2. All I Ask – Adele
3. Hold You – Nina Nesbitt ft. Kodaline
4. Moments – One Direction

***
Lacey P.O.V

"Lacey?"

"Mhmm, ada apa?" jawabku tersenyum seraya memalingkan wajah ke arah Luke.

"Jika nanti aku benar-benar pergi meninggalkanmu dan Jackie, apa yang akan kau lakukan?"

Aku mendesah pelan kemudian menggelengkan kepala, "Ssshh kau tidak akan pergi Luke, tidak akan pernah."

"Ayolah Lace, inikan hanya sebuah perumpamaan."

"Dengar Luke," jedaku sebelum kembali berbicara, "Meskipun ini hanya sebuah perumpamaan, aku tetap tidak suka membicarakannya."

Kali ini aku bisa mendengar Luke membuang nafas perlahan kemudian kepalanya bersandar di bahuku, "Baiklah, kalau begitu kau mau berjanji satu hal padaku?"

Aku mengangguk sembari menatap Luke dengan nanar. Wajahnya terlihat pucat, rambutnya mulai rontok karena proses kemoterapi serta perawakannya yang dulu tegap kini lenyap dan berubah kurus kering seiring dengan perang melawan kanker yang di deritanya.

"Jika aku pergi nanti, tolong jaga Jackie baik-baik ya?"

"Tapi kau ti—"

Ucapanku terhenti ketika Luke kembali berbicara, "Tidak ada tap-tapian, Lace. Aku hanya ingin kau merawat dan mengurusnya, aku janji aku akan terus menjaga kalian berdua dari atas sana."

"Luke, aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi. Kita akan mengurus dan membesarkan Jackie bersama sama. Kau bisa melewati ini semua. Kita akan melewati ini bersama sama. Ada aku, keluargamu, the boys dan Jackie disini. Jadi kau tidak usah khawatir," sergahku diiringi jatuhnya air mata yang mulai membanjiri pipiku.

"Ini sudah saatnya Lacey, aku sudah tidak kuat lagi."

"Kau pasti akan sembuh Luke. Kau harus kuat," jelasku sambil mengusap lembut punggung Luke.

Selama beberapa detik keheningan menyelimuti kami berdua, sampai pada akhirnya Luke berkata, "Lacey peganglah tanganku."

Aku mengerutkan dahi namun tiba tiba Luke langsung menautkan jarinya di jariku dan aku bisa merasakan tangannya terasa sangat dingin di bawah permukaan kulitku.

"Lace, promise me you'll be fine. Please don't hold back and don't keep holding onto me when i leave. I love you so much," ucap Luke parau kemudian dia membenarkan posisi duduknya.

Dengan air mata yang masih terus mengalir, aku melirik ke arah Luke. Matanya tertutup rapat namun bibirnya masih mengulum senyum yang manis.

"Luke, i know you'll be fine."

Aku memejamkan kedua mataku kemudian menghirup udara sedalam dalamnya. Udara kota London hari ini sangat sejuk. Aku bisa mendengar suara anak kecil tertawa, burung burung yang berkicau serta angin yang menerpa badanku dan badan Luke dengan tenangnya.

Pikiranku masih terus berputar pada pertanyaan dan janji yang beberapa menit lalu di lontarkan oleh Luke. Entah kenapa, aku rasa di setiap kata yang ia ucapkan disana terselip makna dan maksud yang hingga saat ini belum bisa aku pecahkan.

Yatuhan aku harap ini bukan pertanda buruk, batinku dalam hati.

"Luke, apa kau tidak kedinginan?" tanyaku pelan ketika Luke tak lagi berbicara.

"Luke?" panggilku sekali lagi memastikan bahwa dia mendengarkanku.

Namun sepersekian detik kemudian aku bisa merasakan genggaman tangan Luke semakin melonggar dan hembusan nafasnya tidak terdengar lagi di telingaku.

"L--Luke?! Yatuhan tidak. Jangan sekarang!"

Dan satu hal yang aku tau selanjutnya, Luke sudah pergi.
Dia sudah tidak ada disini bersamaku.
Dia benar-benar pergi dari kehidupanku untuk selama-lamanya.

***

"N--no, Luke!!!"

"Lacey? Are you ok? Hey hey i'm here," aku mengerjapkan mataku beberapa kali ketika aku merasakan ada tangan yang mengelus pucuk kepalaku pelan. Dan ternyata itu Luke.

"Y--ya, aku baik-baik saja. Aku hanya bermimpi tentang—"

Tok tok tok

"Permisi Mrs. Lacey, Dokter Lou ingin menemui anda di ruangannya sekarang," ucap seorang perawat tiba-tiba memanggilku dari ambang pintu.

"Ah baiklah," kataku sambil mengangguk dan membenarkan rambutku yang sedikit berantakan. "Luke aku pergi dulu sebentar, jika kau membutuhkan perawat atau apapun tinggal tekan bel ini. Mengerti?"

"Iya sayang aku mengerti. Aku bukan anak kecil lagi," timpal Luke lemah sambil terkekeh pelan.

"Ya ya ya aku tahu," aku langsung mencium Luke sekilas kemudian langsung berjalan mengikuti perawat tadi.

Di sepanjang perjalanan menuju ruangan dokter, hatiku gundah. Rasanya ada yang tidak beres.

"Dok, permisi. Mrs. Lacey sudah berada disini," ucap perawat tadi sopan kemudian mempersilahkanku untuk masuk ke ruangan Dokter Lou.

"Apa yang terjadi dengan Luke?" tanyaku tanpa basa basi kepada dokter yang menangani Luke itu.

"Saya tidak tahu harus memulai darimana. Tapi, dilihat dari perkembangannya Luke mengalami penurunan yang sangat drastis. Obat kemo yang kami berikan tidak bisa di cerna oleh badannya dengan baik, seakan akan badan Luke menolaknya."

"La--lalu bagaimana? Apa tidak ada cara lain untuk menyembuhkannya?"

Dokter Lou mengangguk pelan, "Satu satunya cara adalah dengan mengoperasi tumor yang ada di otaknya. Aku rasa hanya itu yang bisa kita lakukan sekarang."

"Jika operasi ini berhasil, berapa lama dia akan bertahan?" tanyaku seraya menelan ludah. Tenggorokanku kering, air mataku masih terus mengalir dan dadaku terasa sangat sesak.

"Mungkin bisa 1-3 bulan, itu tergantung kondisi dari badan Luke sendiri."

"Dan, bagaimana jika ini tidak berhasil?"

"Kita semua harus merelakannya pergi."

Mendengar apa yang dokter ucapkan barusan aku langsung menunduk dan menangis sesegukan disana. Ini seperti bencana dan mimpi buruk di siang bolong. Aku bahkan sudah tidak bisa berpikir apa-apa lagi sekarang.

Aku kalut, benar-benar kalut.

Apa mimpiku akan segera jadi kenyataan?

Apa Luke sebentar lagi akan meninggalkanku?

"Kau harus kuat dan jangan pernah putus berdoa," ucap Dokter Lou pelan diiringi dengan anggukan kepalaku.

Dari arah luar aku bisa mendengar suara gemuruh kaki yang sedang berlari-lari, dan tak sampai semenit kemudian perawat yang memanggilku tadi berbicara dengan suara terengah-engah," Dok pasien Luke mengalami sesak nafas dan detak jantungnya menurun!"

Tanpa berpikir panjang, aku dan Dokter Lou langsung berlari ke kamar Luke.

"Lacey, kau tunggu di luar. Aku akan menanganinya," dengan perasaan berat hati aku hanya bisa melihat Luke dari sela sela pintu kamar dan mulai menghubungi orang tua Luke, Gemma, Niall dan juga the boys.

15 menit kemudian

Pintu kamar Luke terbuka kemudian Dokter Lou keluar dengan wajah yang sulit diartikan, "Bagaimana keadaannya?"

"Dia sudah sadar tapi kondisinya masih sangat lemah," ucapnya sambil menghela nafas panjang kemudian melanjutkan, "Kita akan melakukan operasi malam ini juga. Aku harap kau bisa bersabar dan terus berdoa. Ini hanya satu-satunya cara agar Luke bisa sembuh."

Lagi-lagi air mataku kembali turun dan badanku bergetar hebat. Aku tidak pernah bisa membayangkan hidup tanpa Luke berada di sisiku.

"Sekarang kau masuk ke dalam dan temani dia, aku akan menangani pasien yang lain. Jika ada apa-apa kau tinggal menekan bel, ok?"

"Baiklah terimakasih dok," ucapku pelan diiringi senyuman Dokter Lou lalu ia pun pergi berjalan meninggalkanku.

Setelah menghapus air mata yang mulai mengering di pipi, aku langsung masuk ke kamar dengan langkah gontai. Disana, aku bisa melihat perawat sedang memberikan obat bius untuk membuat Luke tenang.

"Hey," sapa Luke nyaris tak terdengar membuat bibirku tersenyum tipis. "Kenapa menangis?"

"Aku kelilipan."

"Lacey, you're not good at lying."

"I'm not lying," ucapku tersenyum kemudian terduduk di kursi sebelah tempat tidur milik Luke.

Setelah selesai memberikan obat, perawat tersebut berbicara. "Operasi akan berlangsung sekitar setengah jam lagi, saya permisi dulu."

Aku mengangguk dan perawat itu pun langsung pergi meninggalkan kami berdua.

"Apa yang dokter katakan tadi?"

"Tidak ada apa-apa. Kami hanya membicarakan tentang biaya administrasi dan operasi yang akan kau jalani," ucapku sambil tersenyum kecut.

Aku menatap kedua matanya dengan berkaca-kaca, disana tersirat kesedihan dan ketakutan yang sulit untuk aku terjemahkan. I urged myself not to cry, but the pressure of knowing that Luke's life wouldn't last is getting too much and i didn't think that i could take it anymore.

I squeeze my eyes shut, blocking out the tears from flowing out my eyes. Aku menghela nafas panjang, dengan lemah Luke pun langsung memegang tanganku dan kemudian berbicara, "Sayang, kenapa kau menangis? Ada apa?"

"A--aku takut," ucapku berbisik, trying to sound as quiet as possible for him not to hear the sadness in my voice.

"Apa yang kau takuti? Aku disini bersamamu, kau tidak perlu takut."

"Aku takut kehilanganmu. Aku takut semua mimpi burukku akan menjadi kenyataan. Aku takut Jackie akan kehilangan sosok ayahnya. Aku takut kau akan pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya. Aku takut, Luke. Aku takut," i start to loudly sob as i covered my mouth and staring at him.

Luke menempelkan telunjuknya di bibirku, "Lacey, hentikan."

"Aku tahu hidupku tidak akan lama lagi tapi satu hal yang harus kau tahu, meskipun nanti aku sudah tidak ada di sisimu lagi, aku pasti akan terus berada disini. Di hatimu. Aku tidak akan pernah pergi kemana-mana."

Luke pun menghela nafas pelan dan atmosfer di ruangan ini seketika langsung terasa menghimpit dadaku. Banyak hal yang berkecamuk di dalam hatiku, namun rasanya lidahku terasa kelu untuk mengatakannya. I buried my face in my arms and i took a deep breath. This is all too much.

"Lacey tolong lihat aku," ucapnya pelan diiringi kedua mataku yang menatap ke arahnya.

"If you love me, you need to let me go and don't hold back. I love you, always have and always will," he whispers as a tear slips from his eyes.

Aku berdiri mengusap rambutnya pelan kemudian menciumnya, "I love you."

"I love you too," he whispers and weakly kissing back.

Tok tok tok

Kami berdua melepaskan tautan bibir kami ketika mendengar pintu kamar ini diketuk. Tak berapa lama datanglah Jackie, Gemma, keluarga Luke, the boys dan juga Niall.

"MOMMY! DADDY! I miss you!" teriak Jackie diiringi langkah kakinya yang berlari menuju kami berdua. I wipe my stained tears with my sleeve and then pull Jackie into my arms.

"How are you sweety?" tanyaku sembari mencium kedua pipinya.

"Aku baik-baik saja Mom," ucapnya seraya mengusap pipiku, "Are you crying?"

"Of course not," bantahku sambil terkekeh pelan. Di belakangnya aku bisa melihat wajah khawatir the boys, Niall, Gemma serta keluarga Luke. Aku bisa merasakan apa yang mereka rasakan sekarang. Ketakutan dan kesedihan bercampur menjadi satu.

"Princess? You didn't miss me?" tanya Luke pelan sambil membenarkan posisi tidurnya.

Jackie yang sedari tadi berada di pangkuanku langsung beranjak ke tempat tidur dan duduk di sebelah Luke.

"Kenapa Daddy tidak pernah pulang ke rumah? Aku rindu bermain bersama Daddy," kata Jackie seraya memanyunkan bibirnya tanda kekecewaan.

Ucapan Jackie barusan seperti menohokku tepat di dalam dada, aku yang tahu bahwa hidup Luke tidak akan lama lagi merasa telah mengecewakan Jackie secara tidak langsung.

Lagi-lagi air mataku tak bisa ku bendung, aku memilih pergi keluar ruangan untuk menjernihkan semuanya. Aku tidak bisa berpura-pura tersenyum dan baik-baik saja disaat hatiku benar-benar hancur.

Aku terduduk di depan pintu dan menangis sejadi jadinya disana. I pressed my back to the door, and i buried my face in my arms that were wrapped tight around my knees.

"Lacey?"

I took a deep breath and lifted my head up taking glanced around this hospital. Aku tidak tahu sejak kapan Niall sudah terduduk di sebelahku dengan sweater warna abu kesayangannya.

"Come here," ucapnya seraya menarikku ke dalam pelukannya. "Katakan padaku apa yang terjadi."

"Dokter Lou memanggilku tadi dan mengatakan bahwa Luke tidak bisa hidup lebih lama lagi, badannya benar-benar sudah tidak bisa mencerna obat obat kemo yang dokter berikan. Satu satunya cara adalah dengan mengoperasinya," jelasku masih terus sesegukan.

Niall hugged me tighter than before, kissed my forehead and rubbing my back. I was breaking down, completely.

"Kenapa aku harus kehilangan orang yang aku sayang, Ni? Dulu Ayah, Ibu dan sekarang Luke. Kenapa Tuhan tidak pernah mengizinkanku untuk bahagia?" tangisku kembali pecah di dalam pelukannya.

"Everything happened for a reason Lace. Kau tidak bisa menyalahkan Tuhan begitu saja, mungkin ini memang sudah jalan dan takdirnya. Tuhan mendatangkan seseorang di dalam kehidupanmu untuk memberikanmu sebuah pelajaran. Aku rasa di akhir nanti, kau pasti akan bisa mengambil hikmah dari semuanya."

Aku mencoba untuk mengatur nafasku dan berkata, "Aku harap kau tidak akan pernah meninggalkanku Ni."

"Tidak, tidak akan pernah. Aku berjanji untuk selalu berada di sampingmu Lace. Walaupun kau sudah mempunyai anak, kau tetaplah adik kecilku yang manis. Kita bisa melewati semuanya bersama sama. Percayalah," ucapnya diiringi anggukanku.

Kata-kata Niall memberikan sedikit kehangatan tersendiri untukku. Aku sungguh beruntung memiliki kakak seperti Niall yang selalu ada untukku disaat aku membutuhkan seseorang untuk bersandar.

"Ayo kita ke dalam, kau tidak mau melewatkan satu detik pun bersama Luke kan?" tanyanya sambil tersenyum hangat, aku hanya bisa mengangguk kemudian mengambil nafas panjang.

Aku meyakinkan pada diriku sendiri bahwa aku kuat dan aku bisa melewati ini semua.

Niall menatapku kemudian membantuku untuk berdiri, dan kami berdua pun langsung masuk ke kamar.

"You're cheating Dad! It's not fair!" elak Jackie kesal diiringi kekehan pelan dari Luke.

"Kalian darimana saja?" tanya Luke menyelidiki kepadaku dan Niall.

"Kami--"

"Jangan cemburu Luke kami hanya mencari udara segar sebentar," celetuk Niall diiringi gelak tawa seisi ruangan.

"Are you jealous?" sindir Michael.

"Aku kan hanya bertanya. It doesn't mean i'm jealous over her brother," bantahnya pelan kemudian Luke langsung memegang dadanya, seperti orang yang sedang kesakitan.

"Luke, apa dokter sudah memeriksamu kembali?" tanya Liz seraya memijat kaki Luke.

"Sudah, hari ini aku ada jadwal operasi untuk mengangkat tumor yang berada di otakku. Ya walaupun aku tahu kesempatan untuk aku sembuh sangat sedikit, aku rasa ini patut di coba."

Mendengar ucapan Luke barusan, kami semua langsung terdiam dan kesunyian di dalam ruangan ini terasa semakin memekakkan.

"Operasi?" timpal Calum.

"Iya, operasi."

"Dokter bilang ini hanya satu-satunya cara agar Luke bisa sembuh, karena kemoterapi yang Luke jalani selama ini ternyata sia-sia. Badan Luke menolak semua obat kemo," tambahku.

Tok tok tok

"Permisi, kami akan membawa pasien Luke ke ruang operasi sekarang," ucap salah satu perawat yang memakai jubah hijau khusus operasi.

"Can you give me a minute?" balas Luke sambil tersenyum diiringi anggukan 2 perawat tersebut.

"Jika operasi ini tidak berhasil, aku janji akan terus menjaga kalian semua dari atas sana."

"Daddy, where'd you go?" tanya Jackie dengan wajah bingung.

"I'm not going anywhere my little princess. I'll always here, in your heart. Jadilah anak yang berbakti. Kau harus membuat Daddy bangga, ya, sayang?" ucap Luke sendu sambil mencium tangan mungil milik Jackie lemah.

"Luke, kau membuatku takut—"

"Kumohon, aku tak berniat untuk membuatmu takut. Aku hanya ingin kau tahu, apa pun hasil operasi ini, aku pasti akan baik-baik saja. A--aku hanya ingin kau baik-baik saja," he said while taking his weak hand and wiping a single tears from my cheek.

"Aku tak sanggup untuk berpikir kehilanganmu."

He couldn't leave me. No. We were supposed to get married, have another kids, and grow old together.

I looked over to the boys, Gemma and his family, who all stood with tears running down their faces.

"Guys come here," panggil Luke parau. I could see the weakness in Luke's eyes. So drained.

"Keep doing what you're doing, ok? Don't let our fans down and don't worry about me. I'll watch over you and protect you. I'll keep you all safe. I promise," ucap Luke dengan mata yang berkaca-kaca.

Calum whimpered falling into Ashton's arms. Ashton memejamkan matanya kemudian membiarkan satu tetes air matanya meluruh.

"Ash, tolong jaga orang-orang yang aku sayang. Make sure they don't get too sad," he told Ashton who had blood shot eyes.

"I will," jawab Ashton.

"Tell the fans that i love them, take care of them, and treat them well. Make sure i will be up in the sky watching over them all with a smile on my face," ucapnya kepada Michael yang masih terus menangis.

"Calum, it's gonna be alright. Don't be upset. I'll see you someday," he said quietly to the upset teen, Calum.

Aku rasa diantara semua teman satu band Luke, Calum-lah yang paling merasa sangat terpukul. Itu terlihat dari kesedihan dan air mata yang terus terusan mengalir dari pelupuk matanya.  "You're the best, Luke. I love you," he cried hugging him.

"I love you too pal," he sniffled.

"Lucas," Liz menghela nafas, menangis sama seperti yang lainnya.

"Jangan menangis bu, please take care of yourself for me."

"Dad, take care of mom. She'll need it."

He frowned hugging him, "I will. I love you."

"I love you too dad."

Kelopak mata Luke kini mulai terpejam akibat obat penenang yang perawat tadi berikan, namun tangannya malah memegang pergelangan tanganku. Lemah.

"Seandainya aku bisa mengirim surat dari Surga," bisik Luke, "Aku akan kirimkan surat untukmu setiap harinya. I love you Lacey, jaga dirimu baik-baik."

Aku mengangguk kemudian membiarkan para perawat untuk membawa Luke pergi ke ruang operasi. Kami semua mengikutinya dari belakang dan sebelum memasuki lift, Luke meminta para perawat untuk berhenti sebentar.

Luke menatap satu persatu wajah orang-orang yang dicintai dan mencintainya, lalu mengacungkan jempolnya kepada kami semua.

Menatap Luke di dorong pergi, mendengarkan suara keletak-keletuk roda bangkar dan desis pintu lift yang menutup membuatku semakin kalut.

"Ayo ke ruang tunggu operasi," ajak Andy -ayah Luke- dengan lembut sembari merangkul Liz.

Kami semua berjalan beriringan menuju ruang tunggu operasi dan terduduk di kursi yang masih tersedia disana. Aku sedaritadi masih terus memeluk Jackie yang sudah terlelap di pangkuanku. Rasanya sesak dan tidak karuan. Kesedihan, kesunyian dan ketakutan terus menghampiri diriku.

Aku gugup, dan juga takut.

Yatuhan aku mohon, lancarkanlah semuanya.

***

Calum dan Michael masih terus berjalan mondar mandir dengan gelisah di depan ruang operasi. Dan untuk kesekian kalinya, aku melirik jam tangan putih yang selalu setia melingkar di pergelangan tanganku.

Jam sudah menunjukkan pukul 23.55 malam. Itu artinya sudah 5 jam operasi berjalan, dan lampu berwarna merah yang menandakan operasi tengah berjalan pun masih menyala terang.

"Lacey kau tidak makan? Wajahmu kelihatan pucat," tanya Niall khawatir.

"Aku akan menunggu Luke selesai operasi, baru aku akan makan."

Niall hanya mengangguk menyerah kemudian menghela nafas, "Baiklah."

Selang beberapa menit, mendadak pintu ruang operasi terbuka dan Dokter Lou keluar seraya melepas penutup hijau di kepalanya.

"Bagaimana keadaan Luke?" tanya Liz.

"Tumornya sudah menyebar lebih luas daripada perkiraan kami, tumor itu benar-benar tumbuh ke dalam di bagian samping jantung dan otaknya."

Aku bisa mendengar semua orang menahan nafasnya dan air mata mulai meluruh dari pelupuk mata kami semua.

"Maaf," kata Dokter Lou. "Kami sudah melakukan semua yang kami bisa."

"Fuck you, Luke. FUCK! You lied bastard!" Calum berteriak kemudian memukul tembok dengan kasar, sementara Michael menenangkannya dengan mata yang memerah.

"Luke meninggal tepat di usianya yang ke 22. Selamat ulang tahun mate," timpal Ashton pelan sembari memaksakan seulas senyum.

"Lucas," Liz terisak dipelukan suaminya dan Andy hanya bisa memejamkan mata seraya memeluk Liz dengan erat.

"He can't be gone. He can't be--" i said crying uncontrollably as i leaned my head against Niall.

"Ini sudah saatnya dia pergi, Lace. Kau harus merelakannya. Biarkan dia tenang di alam sana," ucap Niall seraya mengelus kepalaku.

Aku melirik ke arah Jackie yang terlelap dan mencium kepalanya, "Sayang, kita bisa melewati ini semua tanpa Daddy. Kau satu-satunya alasan kenapa aku bisa bertahan. I love you."

Dan pada akhirnya, semua mimpi burukku menjadi kenyataan.

Sekarang Luke benar-benar pergi meninggalkanku, meninggalkan kita semua.

Selamat jalan, Luke.

Sampai bertemu nanti.

Aku mencintaimu, selalu dan selamanya.

***

HIYAAAAAA! HAI HAI HAI!
Akhirnya bisa ngepublish setelah sekian lama kena writers block. Maaf kalo di part ini kurang greget atau apa, maaf juga udah hiatus selama beberapa bulan. Btw masih ada 1 chapter lagi dan epilog, setelah itu cerita ini bener bener tamat. Ditunggu comment dan votesnya.

See ya!

Continue Reading

You'll Also Like

547 85 8
Tentang seorang gadis yang jatuh cinta sendiri dan tentang lelaki yang tak akan pernah menjadi miliknya. [ 𝘾 𝙊 𝙉 𝙏 𝙄 𝙉 𝙐 𝙀 𝘿 ] @cheezhyuns
430K 8.1K 13
Shut, diem-diem aja ya. Frontal & 18/21+ area. Homophobic, sensitif harshwords DNI.
8.1K 1.1K 55
Jeon Sang-il, berusaha mencari pekerjaan namun pekerjaan selalu menjauh darinya. Mungkin karena namanya yang terlalu asing di negara ia tinggal. San...
6K 516 27
Cast : jennie black pink " kenapa lo cemburu kita kan cuma sahabat?" tanya viola sambil menggaruk rambutnya yang belum keramas 3 hari " lo juga kenap...