Unobtainable

By deanadr

65.1K 4K 354

Aldi. Alvaro Maldini. Kasanova terpopuler di SMA Bintang Pelita. Juga kapten tim basket yang di kagumi semua... More

Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Duabelas
Empatbelas
Limabelas
Enambelas
Tujuhbelas
Delapanbelas
Sembilanbelas
Duapuluh
Duapuluh Satu
Duapuluh Dua

Tigabelas

2.7K 174 4
By deanadr

Aldi memang benar benar keterlaluan. Berani sekali cowok itu menciumnya lagi.

Perasaan Salsha benar benar sesak. Semuanya seperti hancur terkena badai topan. Dirinya bahkan tidak tau bagaimana ia bisa kembali ke acara peresmian tanpa tersesat. Kakinya terus melangkah, pikirinnya kosong.

Oh, sungguh, ingin rasanya Salsha nembunuh Aldi sekarang juga.

"Sal?" sapa seseorang seraya menahan pergelangan tangannya.

Salsha menoleh, mengusap genangan air di pelupuk matanya.

Salsha tidak mau tersenyum, tapi juga tidak mau terlihat lemah.

"Eh elo, Bas," ujar Salsha, merutuki suara parau yang keluar dari mulutnya.

Sungguh, Salsha benci lemah.

Bastian tampak cemas lalu bergerak mendekat, mengamati lamat lamat wajah cewek di hadapannya. "Lo -lo nangis? Kenapa? Ada apa?"

"Nggak. Gue -gue cuma mau pulang. Bete," suara Salsha terdengar lirih, meski sekuat apapun ia mencoba agar terdengar senormal mungkin.

Dengan air mata yang menggenang di sekitar pelupuk mata cewek itu, suara parau yang bergetar, dan maskara yang awalnya terpoles cantik pada mata cewek itu kini luntur. Oh, apa dengan keadaan seperti itu Bastian akan mudah percaya bahwa Salshanya kini sedang baik-baik saja?

Dengan itu, Bastian tersenyum miris. Salshanya ini sedang tidak baik-baik saja.

Lalu Bastian mengusap lembut pipi kanan Salsha, cemas. "Ada yang jahatin lo? Iya? Siapa? Bilang sama gue, Sal."

"Gue cuma mau pulang, Bas," ujar Salsha, sudah jelas bahwa cewek itu tidak ingin membahas lagi. Ia lalu menepis tangan Bastian dan beranjak keluar.

Namun, Bastian dengan cepat menahan pergelangan cewek itu lalu merangkulnya. "Gue anter lo pulang."

★★★★★

Aldi tengah memantulkan bola basketnya di lapangan indoor sekolah kala seseorang membuka pintu ruangan. Mendongak, didapatinya Kiki yang sedang berjalan ke arahnya dengan langkah mantap. Wajah bersemangatnya tampak pudar saat melihat Aldi dengan wajah kusut.

"Lo di sini ternyata," ujar Kiki seraya duduk di samping Aldi.

Aldi berdeham, melemparkan bola basketnya ke dalam keranjang penuh bola basket, menatap Kiki dengan pandangan malas. Pikirannya kini sedang menjalar kemana-mana.

"Gimana acara opening hotel kemarin malem?" tanya Kiki seraya mendongak, menatap wajah sahabatnya yang tengah kusut. "Katanya ada Salsha, ya? Tadi Bastian cerita. Tapi, Salsha kayak nangis gitu, entah kenapa. Terus, kesempatan deh, si curut nganterin Salsha pulang."

"Serius, Bang? Salsha nangis dan Bastian nganterin dia pulang?"

Kiki mengangguk seraya menautkan alisnya.

Aldi terkesiap. Menatap wajah Kiki dengan tatapan terkejut, lalu mengacak rambutnya sendiri, sangat amat frustasi.

"Goblok, goblok, goblok," gerutunya pelan.

Kiki sepertinya tau Aldi sedang banyak masalah karena cowok itu langsung mengamati wajah nelangsa Aldi.

"Kenapa lo? Kusut amat kayak yang abis dapet nilai E aja," ujar Kiki bingung.

Aldi menunduk, mengacak-acak rambutnya. "Ini lebih parah dari itu."

"Terus, lo kenapa?" tanya Kiki, mengernyit bingung.

"Masa, ya," Aldi memelankan suaranya, membuat Kiki nyaris tidak mendengar. "Kemarin malem gue nyium Salsha."

Kiki hanya ber-oh ria sebelum membelalakan matanya dan berseru kencang. "ANJIR?"

Kiki menatap Aldi seolah cowok itu gila telah melakukan hal itu. Apalagi pada Salsha. Cewek yang baginya adalah rivalnya sekaligus yang diincar Bastian, sahabat mereka.

"Goblok banget gak sih?" tanya Aldi sambil meringis. "Dan lo tau, dulu gue juga sempet nyium dia. Tapi, itu gak sengaja. Bener-bener gak sengaja."

"Jadi...," Kiki semakin melotot, sampai sampai Aldi takut mata itu akan melompat keluar. "Dua kali?"

Aldi mengangguk, mengacak-acak rambutnya lagi. "Dan gue masih mikir kalo kelakuan gue ke dia bukan sesuatu yang salah. Malah sewajarnya."

"Di," ujar Kiki dengan mata serius. Ia menatap sahabatnya intens. "Lo nggak mungkin suka Salsha 'kan?"

Aldi terdiam beberapa saat. Suka? Pada Salsha? Tidak. Tidak mungkin Aldi suka pada cewek jutek dan tukang iri macam Salsha. Tidak mungkin juga Aldi punya pikiran seperti itu. Salsha yang menyebalkan, galak, cerewet, dan menurutnya attention seeker.

Tapi itu pemikiran Aldi terhadap Salsha yang dulu. Dulu saat Salsha pertama kali masuk sekolah ini dan perhatian semua murid BP teralih pada cewek itu. Dulu saat dirinya duduk di depan Salsha dan cewek itu selalu menendang kursinya atau menusuk punggungnya dengan jangka kala ia melakukan hal aneh. Dan selama itu pula, perdebatan dan pertengkaran sering terjadi di antara mereka berdua.

Yang Aldi tidak sadar, selama ini pulalah dia telah mengenal Salsha lebih jauh, mempelajarinya.

"Nggak. Gue nggak mungkin suka dia," ujar Aldi lempeng sembari mengenyahkan pikiran-pikiran busuk tadi.

Kiki tersenyum miring seraya berdiri dan mengambil bola basket yang ada di keranjang. "Jangan pernah bohongin perasaan lo sendiri, Di."

"Tapi, Bang," elak Aldi, menangkap bola yang di lempar sahabatnya. "Gue bener-bener gak suka Salsha."

"Terus, kenapa lo cium dia?"

Skak mat .....

★★★

"Hai," sapa cowok itu semangat seraya melambaikan tangannya.

Salsha mendongak, lalu tersenyum kecil melihat Aldi di sana, bersandar pada salah satu rak buku.

Cowok itu berjalan dan duduk tepat di kursi yang berada di sebelah Salsha. Lalu cewek itu menggeserkan kursinya, menjauh dari Aldi. Dengan sedikit rasa jengkel, Aldi ikut menggeserkan kursinya. Kemudian, seolah di komando, Salsha menggeserkan kursinya lagi. Begitu seterusnya hingga Aldi mendengus kesal.

"Gue nggak bakal makan lo."

Mata Salsha memicing, seolah tau bahwa kata-kata cowok itu tidak dapat di percaya sedikitpun.

"Setidaknya, gue harus waspada dari macan kayak lo," desis Salsha.

Aldi menghela napas, lalu menggeserkan kursinya lagi mendekati Salsha. Namun tertahan oleh peringatan cewek itu.

"Jangan berani deket-deket lagi."

"Gimana caranya lo ngetutor gue, Salshabilla Adriani?" tanya Aldi frustasi. Ia menggeserkan lagi kursinya dan menghentikan Salsha yang akan menggeserkan kursi. Senyum kecil Aldi tercetak kala melihat cewek itu seperti terperangkap.

"Gue mau nanya," ujar Aldi. "Kenapa lo sebenci itu sama gue?"

Salsha menatap tangan Aldi yang masih menangkap pergelangan tangannya. Ia mencoba melepaskan tangan Aldi namun terlampau sulit hingga akhirnya ia menghela napas frustasi.

"Lepasin tangan lo dulu dari gue," ujar Salsha mengintruksi yang segera di lakukan cowok itu.

Anehnya, meskipun tadi Aldi mencengkram lengannya begitu kuat, tapi tidak ada memar atau rasa sakit sekalipun. Salsha sempat berpikir, apa Aldi tadi menangkap lengannya dengan perasaan? Salsha lalu menggeleng kuat, membuang jauh-jauh pemikiran yang rasanya tidak mungkin. Aldi dan perasaan adalah dua kata yang sangat bertolak belakang.

"Gue benci lo karena lo egois, dan selalu mendominasi semuanya," Salsha menjelaskan dengan wajah sinis. "Lo ngajak ke tempat makan favorit gue, terus lo narik gue pergi tanpa persetujuan dari gue dan setelah lo dapet apa yang lo butuhin, lo ninggalin gue gitu aja. Kayak kejadian di taman malam itu."

Aldi mendengarkan sambil manggut-manggut dan tersenyum. Seolah ia sedang mendengarkan sesuatu yang membuatnya senang.

"Gue benci lo yang selalu ganggu gue. Gue benci lo terlebih karena," suara Salsha tercekat, wajahnya tampak pucat. "Karena lo curi ciuman pertama gue. Dan kayaknya itu alasan yang sangat jelas kenapa gue benci lo."

Aldi termenung. Satu hal yang ia tau, bahwa ia sangat yakin, tidak ada perasaan apapun terhadap Salsha. Tidak rasa benci sekalipun.

★★★

"Lo bawa mobil?" tanya cowok itu kala mereka menyusuri lapangan meninggalkan gedung sekolah setelah tutor selesai.

Salsha menggeleng. "Lagi dipake nyokap."

"Terus, lo pulang sama siapa?" tanya Aldi lagi.

Yang ditanya terdiam sejenak, berpikir. "Paling naik angkot, ojek, atau taksi. Itupun kalo ada."

"Mau bareng?" Aldi bertanya lagi seraya menatap wajah cewek yang sedang berjalan di sampingnya.

Salsha sedikit terkejut mendengar tawaran cowok itu. Lalu saat ia berpikir, seolah-olah sedang mencari jawaban yang tepat, rintik-rintik hujan tiba-tiba saja turun membasahi mereka berdua.

Hujan turun langsung deras, membuat keduanya panik dan segera berlari menuju koridor lantai satu depan ruang kelas sepuluh. Tangan Aldi mengusap kepalanya dengan cepat, menyingkirkan air hujan yang menempel di sana.

Begitupun Salsha. Ia mengusap wajahnya dengan sweater tipisnya yang basah. Aldi yang melihatnya langsung mengambil handuk dari dalam tasnya dan menyerahkannya pada Salsha.

"Gak mau. Mungkin aja itu handuk bekas keringet lo."

"Yakali gue bawa handuk cuma satu. Lagian, 'kan, hari ini gue nggak ikut latihan basket," desis Aldi. "Udah cepet keringin kepalanya, ntar pusing."

Mendengar itu, Salsha meraih handuk dari tangan Aldi, lalu segera mengeringkan kepalanya.

Mengingat hari ini adalah jadwal latihan basket, Salsha bertanya, "Lo nggak ikut latihan tadi?"

"Nggak. 'Kan gue ada jadwal tutor sama lo."

"Terus, kenapa lo pake bawa handuk segala?"

"Tadinya sih, gue mau latihan kalo pulang tutor masih keburu. Makanya gue udah persiapan bawa handuk dari loker dan segala tek tek bengeknya," jelas cowok itu.

Salsha menyapukan pandangan, mengingat tadi ia sempat melihat salah satu anggota basket yang berhambur dari ruang ganti dan menuju gerbang depan. "Nggak keburu, dong?"

"Ya udah, sih. Lagian latihannya juga lebih di forsir buat anak kelas sepuluh," ujar Aldi seraya mengacak-acak rambut Salsha. "Gue mau ke ruang ganti. Baju gue basah, gak enak. Lo mau ikut apa tunggu disini?"

★★★

Salsha dengan tenang menunggu Aldi berganti baju di dalam toilet yang berada di ruang ganti. Jujur saja, sebenarnya ini pertama kalinya ia masuk ke dalam ruang ganti anak cowok. Sebenarnya, ia ingin menunggu di luar saja. Tapi karena suara petir yang menakutkan, pilihan terakhirnya adalah ikut masuk ke dalam.

"Ujan nya udah berenti?" suara Aldi menyadarkan Salsha dari lamunan. Ia keluar dari toilet dengan pakaian sekolah yang sudah berganti.

"Belum, kayaknya makin deres," ujar Salsha, lalu ia bertanya, "Lo bawa baju seragam cadangan? Perasaan tadi baju lo basah."

Aldi mengangguk seraya berdeham. "Gue emang selalu bawa seragam cadangan di loker."

Lalu cowok itu mengeluarkan sweater cokelat dari lokernya. "Ganti nih pake ini. Punya lo basah, ntar masuk angin."

Salsha menggeleng. "Nggak usah. Ini juga udah mau kering, kok,"

"Ganti," ujar Aldi tanpa bisa dibantah lagi.

Salsha mendengus pasrah, mengambil sweater dari tangan Aldi, dan menggantinya dengan sweater yang ia pakai, lalu mendengus lagi. "Kegedean."

"Lagian punya badan kecil gitu,"

"Ssh, badan lo noh yang gede."

"Dih, normal kali cowok segini,"

"Ya udah, gue juga normal cewek segini."

"Ya udah,"

"Ya udah."

Kemudian keduanya diam. Suasana menjadi canggung karena tidak ada lagi yang berbicara setelah itu. Salsha mulai resah mendengar suara petir yang bergemuruh. Ia ingin segera pulang dan istirahat atau mandi, atau apa saja asal jangan disini dan jangan bersama Aldi karena sedari tadi detak jatungnya berdetak tidak karuan.

Lama kelamaan, sejuknya hujan membuatnya mengantuk. Salsha melipat kedua tangan di depan dada dan bersandar pada tembok, wajahnya menekuk dan rambutnya berjuntaian. Suara hujan terdiam, petirnya menjadi sunyi di telinga Salsha.

Aldi melirik cewek di sebelahnya. Sejenak, jantungnya berdegup kencang kala tangannya tak sengaja menyentuh Salsha. Ia lalu menyingkirkan rambut yang menghalangi wajah tidur cewek itu.

Hujan turun deras, hingga membuat langit di luar sana terlihat seperti malam. Dan seiring dengan butiran air yang menghantam tanah, halusinasi Aldi muncul kala wajah Salsha dengan mata terpejam terasa nyata di hadapannya.

Sebagai lelaki normal, saraf simpatetiknya mempercepat denyut jantung Aldi saat melihat bibir Salsha yang menekuk sempurna, kemerahan alami tanpa polesan lip gloss atau apapun.

Merasa dirinya akan cepat-cepat meninggal kalau terus seperti ini, Aldi berhenti memandangi wajah cewek di sampingnya. Ia lalu bersandar pada tembok.

"Sha?" panggil Aldi iseng. Sementara yang dipanggil diam saja, masih memejamkan matanya.

"Gue nggak nyangka kita bisa deket," gumamnya pelan, tapi masih bisa di dengar oleh orang di sebelahnya. "Padahal, dulu gue males banget kenal sama lo. Ya, karena menurut gue, lo itu attention seeker yang selalu ganggu kenyamanan hidup gue."

Sesekali Aldi menoleh pada Salsha, tersenyum sendiri lalu melanjutkan perkataannya yang random. "Kalo boleh jujur, gue gak pernah loh deket, bahkan curhat sama cewek di sekolah. Cuma sama lo."

Salsha menghela napas panjang dalam tidurnya, membuat Aldi menoleh, mengira cewek di sampingnya terbangun.

"Kita 'kan deket gara-gara insiden ulangan bulan lalu, ya. Coba kalo lo maupun gue gak jujur sama pak Setya," ujar Aldi, menerawang langit-langit ruangan.

Tanpa sepengetahuan Aldi, Salsha mengernyit.

"Pasti sistem tutor ini gak bakal ada. Terus sekarang kita gak sedeket ini. Dan mungkin, gue gak akan disini sama lo sekarang."

Jantung Salsha mulai menggedor-gedor ingin keluar dari balik tulang rusuk. Ujung jemarinya mendingin. Ia ingin segera membuka mata, tapi otak dan hatinya berkata jangan. Maka, ia memutuskan untuk terus memejamkan mata, pura-pura tidur.

"Tapi kalaupun sistem tutor ini gak pernah ada. Gue pastiin, lo bakalan tetep ada di hidup gue."

Aldi menghembuskan napas tenang sebelum berkata, "Andai lo suka sama gue, Sha," ujarnya, lalu tertawa kecil. "Eh, jangan, deng. Ntar kalo lo suka sama gue, lo bisa-bisa patah hati, soalnya 'kan, gue sukanya sama Katya."

Satu helaan napas dihirup Salsha kala kata-kata itu meluncur dari mulut Aldi sampai ia tersedak dan terbatuk.

Aldi mengerutkan keningnya. Jangan jangan,

"Lo gak tidur, ya?!"

Salsha gelagapan mencari oksigen untuk paru-parunya. Suasana begitu mencekik, mendadak canggung, dan nervous karena Aldi.

"Anjrit, malu nih gua," gumam cowok itu pelan. Ia meraih tas nya dan berlalu meninggalkan ruang ganti.

Salsha mengatur napasnya sebentar, lalu menyusul Aldi yang sudah keluar lebih dulu. Ia berteriak memanggil Aldi, melawan berisiknya air hujan.

Sementara Aldi tak henti merutuki firinya sendiri. Kata-katanya terlalu lenjeh untuk orang seperti dirinya. Terlalu lembek. Terlalu asing karena ia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Tidak pernah pada Katya sekalipun.

Tidak pernah.

"TUNGGU DONG IH MASIH UJAN JUGA," teriak Salsha dari koridor.

Aldi berhenti di ujung koridor, karena di depannya kini air hujan benar-benar nyata.

"LO MAU PULANG SEKARANG?" Salsha kembali berteriak lebih keras, melawan berisiknya air hujan yang bertubi-tubi menghantam aspal.

Namun, Aldi tetap bergeming, tidak menghiraukan teriakan cewek itu.

"Baru tau, cowok kalo salting lebih ribet dari cewek," gumam Salsha pelan. Ia setengah berlari menghampiri Aldi. Merasa di dekati, cowok itu memutuskan untuk melangkah menerobos hujan, meninghalkan Salsha di koridor karena malu.

M a l u .

Alasannya karena malu.

Sesederhana itu.

"ALVARO!!! NAJIS BANGET SIH LO NINGGALIN GUE," rutuk Salsha, berdiri di ujung koridor, berhenti dengan napas yang tidak beraturan, mengamati tubuh Aldi yang hampir hilang di telan kabut hujan.

Tidak ada pilihan lain sekaligus ketakutan, Salsha nekat menerobos hujan menyusul Aldi sebelum cowok itu benar-benar pergi melewati gerbang sekolah.

Langkahnya tergesa-gesa, denga debaran jantung yang membahana bagaikan drum roll. Semakin dekat dengan cowok itu, Salsha semakin mempercepat langkahnya sampai tiba-tiba kaki kirinya tertahan hingga kehilangan keseimbangan.

Lain kali, jangan pernah lupa mengikat sepatu dengan baik dan benar.

★★★

"Lo kenapa?" Aldi bertanya, khawatir setelah merasakan Salsha langsung duduk tegak di sebelahnya. "Mimpi, ya?"

Salsha menoleh, meraba-raba sekujur tububnya.

Tidak basah.

Mimpi? Sialan. Tadi hanya mimpi. Semua kata-kata Aldi tadi hanya mimpi. Hujan-hujanan juga hanya mimpi. Semuanya hanya mimpi. Dan yang menguntungkan, tali sepatunya masih terikat rapi di bawah sana dan jatuhnya juga hanya sekedar ... mimpi.

"Mimpi buruk? Apa gimana? Ngos-ngosan gitu,"

Salsha terkesiap. Napasnya tidak beraturan seiring dengan detak jantungnya yang tidak kalah cepat. Ia menelan ludah, sedikit membasahi tenggorokannya yang kering.

"Ng -nggak papa. Tadi gue cuma mimpi jatoh, terus -"

Aldi terkekeh pelan, "Pantes lo tiba-tiba bangun gitu, bikin kaget."

"Astaga ... masih jantungan gue,"

Aldi mengeluarkan sebotol air mineral dari dalam tasnya seraya menahan tawa. "Ya udah, minum dulu, deh."

'Salsha mimpi? Berarti tadi dia beneran tidur. Untung beneran tidur. Bisa meninggal karena malu gue kalo dia sampe denger apa yang tadi gue omongin,'

★★★★★★★

Hello, i'm back!:3

Nahloh, makin sini makin ngaco ajaya ceritanya wkwk.
Tapi serius loh, gue udah beberapa kali ngedit chapter ini nyari yang ngefeel. Eh, dapet yang ini deh HEHEHE...
Hope u guys like this, heee vote&comment yuk!

-next chapter gue post setelah ini okay, staytune!

Continue Reading

You'll Also Like

4.1M 317K 52
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...
1.5M 129K 61
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
611K 23.9K 36
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
837K 101K 13
"Gilaa lo sekarang cantik banget Jane! Apa ga nyesel Dirga ninggalin lo?" Janeta hanya bisa tersenyum menatap Dinda. "Sekarang di sekeliling dia bany...