(Not) a Perfect Life

By Rasdianaisyah

767K 76.6K 3.4K

Warning! Bacalah saat benar-benar luang! Cerita ini hanya fiksi. πŸ‚πŸ‚πŸ‚ Diana dipaksa takdir untuk menelan pi... More

PROLOG
BAB 1
BAB 02
BAB 03
BAB 04
BAB 05
BAB 06
BAB 07
BAB 08
BAB 09
BAB 10
BAB 11
BAB 12
BAB 13
BAB 14
BAB 15
BAB 16
BAB 17
BAB 18
BAB 20
BAB 21
BAB 22
BAB 23
BAB 24

BAB 19

20.1K 2.8K 167
By Rasdianaisyah

Sore beranjak petang. Waktu kantor sudah berakhir sejak satu jam yang lalu, akan tetapi tak ada tanda-tanda Alfian akan bergerak pulang. Ia justru tampak masih betah di kursi kebesarannya, memerhatikan satu kotak beludru hitam yang setengah terbuka, bertengger di atas meja.

Sebuah gelang kaki berbahan platina ada di dalam sana.

Lama Alfian memperhatikan benda tersebut, hingga perlahan memori masa lalu membawanya berkelana. Menengok kenangan yang telah lama ia lupakan.

Masih segar dalam ingatan Alfian akan petaka kecil yang memberi dampak besar dalam hidupnya.

Dulu, hanya karena ia menghajar teman sekolahnya yang menjadikan Sinta sebagai bahan taruhan untuk diperebutkan hingga masuk IGD, Alfian harus menerima ganjaran dikeluarkan dari SMA Dipetrus lantaran siswa yang ia hajar adalah seorang anak pejabat. Dan dari sanalah semua bermula.

Setelah mendapat ceramah panjang dari Rudi, Alfian dipindahkan ke SMA swasta lain yang jaraknya tak sampai lima langkah dari SMA-nya terdahulu. SMA Baraklin, yang terkenal dengan para siswanya yang nakal, sering terlibat tawuran dan konvoi tanpa mengenal aturan. Tak sampai di situ saja. Di sekolah ini pula, ia bertemu dengan dia, gadis aneh yang selalu mengekor kemana pun Alfian pergi.

Namanya Diana Caesa Elfinza. Pertama kali Alfian bertemu dengan gadis itu ketika ia memanfaatkan jam pelajaran kosong dengan menabuh drum dibruang musik untuk menghilangkan rasa bosan. Alfian sungguh tidak betah di Baraklin, karena di sekolah ini tak ada Sinta. Satu-satunya teman dekat yang ia miliki.

Kala itu, Alfian sendirian di ruang musik yang sunyi. Menikmati irama tabuhan asal yang ia ciptakan. Sampai detik yang mengganggu tiba. Alfian merasa ada yang meperhatikannya dari balik jendela, dan hal tersebut membuat ia tak suka.

Mengangkat kepala, pukulan Alfian pada tubuh drum di hadapannya terhenti, seiring dengan perputaran waktu yang serasa ikut berhenti. Alfian menelan ludah kelu. Segala umpatan yang sudah ia siapkan kepada siapa pun pengganggu itu, tertahan di ujung lidah saat tanpa sengaja tatapan mereka bertemu.

Di depan sana, tepat dibalik jendela kaca, Alfian melihat dia. Seorang gadis belia dengan bola mata bulat memperhatikannya dengan seksama. Mutiara bening nan hitam milik gadis itu bagai mata panah yang berhasil menusuk tepat di jantung Alfian, membikin organ pemompa darahnya tak berkedut beberapa saat. Dan untuk pertama kali, Alfian merasa tak percaya diri di hadapan seorang gadis.

Gadis itu memiliki kepala berbentuk oval, berhidung kecil mancung dan bibirnya tipis berwarna pink pucat. Secara keseluruhan, cantik. Apalagi rambut sepunggungnya yang diikat tinggi menyerupai bentuk ekor kuda, membikin ia tampak makin jelita. Tangan Alfian gemas ingin bergerak menyingkirkan anak-anak rambut nakal yang berjatuhan di sekitar kening mulus gadis tersebut. Tapi, siapalah dia? Terlebih, siapalah si gadis berseragam olahraga yang sudah membuat Alfian berpikir gila macam begini. Yang pasti, Alfian betah memandangi ciptaan Tuhan yang satu ini.

Entah berapa lama mereka tenggelam dalam telaga bening masing-masing lawan, hingga akhirnya gadis itu tersenyum malu-malu sebelum berbalik pergi dari area ruang musik dan menghilang di balik gedung laboratorium kimia.

Tangan Alfian yang sejak tadi masih menggantung di udara, meluruh kembali kesyisi tubuhnya. Tanpa sadar, stik-stik yang ia genggam terjatuh ke lantai, menimbulkan suara dentingan yang cukup nyaring di ruang musik Baraklin yang sepi, tetapi Alfian sendiri malah tak mendengarnya. Yang ia dengar justru detak jantungnya sendiri yang memburu.

Sebenarnya siapa dia? Bagaimana bisa hanya dengan tatapan polos, gadis itu mampu membuat seluruh organ dalam tubuh seorang Alfian kehilangan kendali?

Tak sampai di situ saja, dua hari berselang, ia datang lagi. Kali ini bukan di ruang musik, melainkan di kelas. Tiada angin, tiada hujan, dia nekat mendatangi kelas XII IA² hanya untuk berkenalan. Dengan berani, ia yang mengaku biasa dipanggil Dee, berdiri di depan bangku Alfian sambil mengulurkan tangan mengajak berkenalan. Senyum yang ditampilkannya lebih lebar dari kemarin.

Menggunakan ekor matanya, Alfian mengamati sekitar. Dan benar saja, semua siswa penghuni kelas IA² meperhatikan mereka yang sedang membuat drama kawakan di siang hari.

Menelan ludah, Alfian mengedip berusaha agar tak bertemu mata dengan mutiara hitam sang gadis. Tangannya gatal ingin keluar dari balik saku celana untuk membalas uluran tangan Diana, tapi rasa gugup menyebabkan produksi keringat berlebih pada telapak tangannya. Belum lagi rasa gemetar yang ia dera membikin Alfian mati kutu, tak tahu harus berbuat apa. Tak mau makin gila gegara berhadapan dengan Diana, ia memilih bangkit dari duduknya dan keluar kelas. Sungguh, Alfian tak bermaksud sombong, hanya saja ... hanya saja, ia ... entahlah.

Apa yang ia rasakan benar-benar tak mampu dijabarkan dengan kata. Alfian saja tak tahu apa yang terjadi pada dirinya, terlebih pada hatinya.

Alfian pikir setelah insiden hari itu, Diana tak akan punya muka lagi untuk mereka bertemu kembali, namun ternyata Alfian salah besar. Diana justru makin gencar mendekat dengan memberikan perhatian-perhatian kecil. Seperti membawakan bekal, minuman, menungguinya saat bermain basket di lapangan, memperhatikan ia saat menabuh drum asal, membuatkan camilan, dan masih banyak lagi. Makin Alfian menghindar, makin Diana mengejar. Apa lagi dengan seenak jidatnya, Diana memberi panggilan baru untuk Alfian cuma karena ia tanpa sengaja menyebut nama gadis itu dengan panggilan 'Ana' pada obrolan dua arah mereka pertama kali. Hingga akhirnya, Alfian menyerah sendiri. Terserah apa yang mau dilakukan Diana, ia berusaha untuk tak peduli. Alfian tahu Diana menyukainya, tapi Alfian tak bisa membalas rasa gadis itu. Karena dalam banyangan Alfian remaja, di masa depan kelak hanya akan ada seorang Sinta. Bukan yang lain. Meski ia tak bisa memungkiri, perasaan yang tumbuh terhadap Diana jauh berbeda dengan rasa yang ia miliki kepada Sinta. Tapi apa daya, sejak kecil Alfian sudah menanam keyakinan, bahwa ia akan bahagia jika Sintalah pendampingnya. Mereka telah saling mengenal sejak balita. Hubungan keluarga mereka juga sangat baik, jadi tak ada yang perlu ditakutkan. Sebab Alfian yang kaku tak perlu lagi beradaptasi dengan lingkungan dan orang dari keluarga yang baru kelak. Ia tak perlu berlaku sok sempurna di hadapan Sinta, karena Sinta sudah sangat tahu luar dalam seorang Alfian.

Apa mau dikata, jika kenyataan memang tak selalu sesuai harapan.

Hingga enam bulan berlalu. UNAS dan segala tetek bengek kelulusan sudah terlewati dengan tetes keringat demi selembar ijazah penentu. Alfian bahkan telah diterima di universitas bergengsi di luar negeri melalui jalur beasiswa. Dan Diana masih setia mengejarnya.

Waktu yang Alfian tunggu-tunggu pun tiba. Malam pesta perpisahan. Ia jelas merasa lega, setelah ini Diana tak akan lagi mengikutinya.

Dalam suasana ramai tersebut, Alfian duduk sendiri di pojok ruangan. Lebih memilih mengamati suasana tanpa mau berbaur dengan teman-teman yang sudah banyak membentuk kelompok-kelompok dan sibuk mengukir kenangan terakhir. Nyatanya, selama enam bulan menjadi bagian dari siswa Baraklin, tak satu pun yang bersedia menjadi temannya. Sikap Alfian yang terkesan sombong dan terlalu pendiam, serta suka menyendiri, membuat mereka yang pernah mendekat perlahan menjauh. Cuma Diana yang masih setia bertahan, itu pun Alfian abaikan.

Awalnya pun Alfian malas datang ke acara begini. Ia berpikir, untuk apa? Toh, ia tak punya teman di sini. Namun, pada akhirnya dia memilih datang, sekadar untuk melihatnya terakhir kali. Dia. Satu-satunya gadis yang telah membuat kerja otak dan jantung Alfian menggila.

Panjang umur. Baru dipikirkan, gadis itu muncul. Alfian menangkap bayangan dirinya dari ekor mata yang berkelana ke sana-kemari menjelajahi seluruh ruangan gedung aula yang penuh sesak dengan anak-anak kelas dua belas.

Alfian mengedip beberapa kali memandanginya. Dia terlihat berbeda. Tubuh mungilnya dibalut gaun berlengan pendek dengan panjang selutut berwarna soft blue, ditambah kalung panjang berbandul burung hantu yang menggantung manis dileher jenjangnya yang mulus. Sederhana tapi memesona. Membuat Alfian enggan untuk berpaling ke yang lain.

Tampak ia tengah celangak-celinguk mencari entah siapa di antara lautan manusia. Detik berikutnya, ada sepasang tangan kokoh yang menutup mata gadis itu dari belakang. Alfian tak tahu siapa nama pamilik tangan yang sudah lancang menutup mutiara hitam milik gadis tersebut. Tapi yang membuat napas Alfian memburu ialah, dia laki-laki. Alfian tak tahu apa yang mereka obrolkan hingga akhirnya tangan lelaki yang menutupi mata Diana terbuka. Rahang Alfian mengetat melihat Diana yang kemudian berbalik dan menghujani lengan pria yang mengerjainya dengan pukulan-pukulan kecil, apa lagi tawa lepas yang menguar dari bibirnya. Diana tampak bahagia. Dan dada Alfian terasa dipukul batu godam. Ia marah tanpa alasan.

Tak tahan dengan pemandangan yang terasa membakar itu, Alfian lebih memilih untuk pergi ke taman belakang sekolah yang sepi. Ia memilih duduk di bangku panjang dan menumpukan sikunya pada lutut.

Dengan pencahayaan remang-remang akibat tembias lampu dari sekitar, Alfian mulai menelaah hatinya. Bertanya apa yang sudah terjadi. Mengapa melihat Diana akrab dengan pemuda lain membikin ia ... tak rela.

Alfian menggeleng keras. Dia harus segera pergi dari tempat ini kalau masih ingin waras. Berada di dekat Diana bisa membuat Alfian gila.

Menarik napas pendek, Alfian bediri. ia hendak berbalik saat sebuah suara yang tak lagi asing terdengar ditelinganya.

"Alif."

Punggung Alfian menegang. Suara itu bagai gunung es yang membekukan, membikin otot-otot tubuh Alfian membatu.

"Dari tadi aku nyariin, loh. Ternyata di sini." Nadanya merajuk dan volumenya terdengar makin medekat. Saat bulu kuduk di lehernya meremang, saat itu pula Alfian tahu, Diana sudah berada satu langkah di sampingnya.

Menoleh, Alfian mendapati senyum itu lagi. Senyum yang sama seperti yang ia lihat pertama kali di ruang musik. Lagi-lagi Alfian tak berkutik. Kemarahan yang tadi sempat hinggap, menguap entah ke mana. Alfian mengedip beberapa kali, berusaha mengalihkan fokusnya dari bibir tipis Diana yang masih melengkung ke atas.

Ditatap sedemikian rupa oleh Alfian, praktis Diana salah tingkah. Ia menggoyang-goyangkan kakinya yang memakai flat shoes putih di rumput taman yang mulai berembun guna menghilangkan rasa gugup.

Alfian tak menjawab. Alih-alih memutar tubuh sembilan puluh derajat hingga berhadapan sempurna dengan tubuh mungil Diana.

Barangkali terbawa suasana, atau otak Alfian yang sudah benar-benar gila, ia menggerakkan kepalanya mendekat ke arah Diana yang masih menatap polos wajah tampan Alfian.

Diana mengerjap salah tingkah. Penuh harap, ia memejamkan mata. Berpikir Alfian barangkali akan menciumnya. Namun sampai hampir satu menit berlalu dan tak ada apa pun menimpali bibirnya, perlahan kelopaknya terbuka kembali dengan rona merah muda di pipi.

Wajah Alfian masih di sana. Menatap intens padanya. Pandangannya penuh makna.

Hening.

Alfian seolah tersesat di dalam arus bening pancaran telaga bening Diana yang menenangkan. Malu, Diana menunduk, memutus kontak mata di antara mereka. Ia berharap Alfian mengutarakan sesuatu. Tapi saat beberapa menit berlalu dan Alfian masih bungkam, Diana berbalik badan. Buru-buru ia berlari.

Alfian mengikuti tubuh kecil Diana yang makin jauh dengan tatapan nanar. Tangannya kembali berkeringat dan bergetar pelan. Apa yang sudah ia lakukan? Tak kuat menopang tubuh sendiri, ia kembali menjatuhkan diri ke kursi taman. Bola matanya berputar-putar, mencari pembelaan atas apa yang tadi ia perbuat—hendak mencium Diana. Mendesah pendek, ia terpaku pada benda tipis panjang yang sedikit bersinar di rerumputan. Alfian membungkuk, meraih benda tersebut.

Gelang kaki?

Alfian tak asing dengan gelang ini. Satu-satunya aksesoris yang selalu dipakai Diana. Bel kecil yang menggantung diujung gelang ini akan bergemerincing samar ketika ia melangkah. Tanpa sadar Alfian tersenyum. Tangannnya mengelus lembut tiga huruf yang melekat ditengah rantai. DCE, inisial nama Diana.

"Wuhuuu ...." Jeritan kecil yang berasal dari arah belakang mengagetkan Alfian. Ia menoleh dan mendapati satu sosok yang tak begitu asing, tapi tak dikenal. "Gue nggak nyangka, ternyata ada drama semacam ini di dunia nyata. Gue kira cuma ada di sinetron doang!" lanjutnya yang dibalas Alfian dengan delikan tajam. "Biar gue tebak. Abis ini, lo bakal ngejar Diana dengan alasan 'ini, barang kamu ketinggalan'." Ia membuat mimik wajah sendu dan suara selembut beledu seakan-akan tengah berbicara pada seorang tercinta di akhir kalimatnya. "Basi!"

Malas menghiraukan ocehan tak penting itu, Alfian bangkit. Baru satu langkah maju, suara menyebalkan tadi terdengar lagi. "Gue Restu. Lo Alfian, kan?"

Alfian menereruskan langkah kakinya tanpa mengacuhkan pemuda tersebut. Lelaki yang beberapa saat lalu lancang menyentuh Diana.

🍂🍂🍂

"Mengenang masa lalu, eh?"

Alfian berjenggit kaget. Ia mengangkat kepala ke sumber suara, dan umpatan pelan lolos dari bibirnya tatkala melihat Restu yang sudah berdiri di ambang pintu ruangan entah sejak kapan.

"Mau sampai kapan lo mau bohongi hati sendiri, Fi?" Restu bertanya tanpa memedulikan umpatan Alfian. Ia mendekat dan menjatuhkan diri pada kursi putar yang berhadapan langsung dengan kursi kebesaran sang kawan.

Alfian mendengus kasar sembari menutup kembali kotak beludru hitam yang sejak tadi ia perhatikan. "Gue lebih tahu siapa yang gue inginkan, Restu!"

"Sinta?" Satu alis Restu terangkat. Tak percaya dengan kekeraskepalaan Alfian. "Apa sih, yang bikin lo ngebet sama dia?"

"Gue pengen selalu lindungi dia," jawab Alfian pelan. "Hati gue sakit tiap ngeliat dia nangis. Gue sayang sama dia."

"So, gue juga ngerasain itu sama adik gue. Dan yang gue tahu, perasaan gue bukan cinta," sahut Restu jemawa. "Denger, Fi. Untuk melindungi dan menyayangi seseorang, lo nggak harus jadi pasangangannya. Cukup selalu memberi dukungan dan berusaha ada saat dia butuh, udah cukup, Fi. Dan kalau lo cinta sama seseorang, kejar! Jangan sampai menyesal."

🍂🍂🍂

Yang kepo pengen baca duluan sampe tamat, kuy melipir ke karyakarsa ^^

Continue Reading

You'll Also Like

774K 26.2K 24
Elena gadis berusia 20 tahun harus meregang nyawa dikarenakan di tabrak oleh truk yang melaju dengan kecepatan tinggi. namun bukannya ke alam baka, e...
182K 11.8K 13
BLURB Siapa bilang cinta itu tak harus memiliki? Siapa pula yang membuat kalimat penghibur bahwa seseorang bisa bahagia hanya dengan melihat orang ya...
Kurirasa 1990 By v i v i

General Fiction

10.6K 2.9K 12
ADIK MENIKAH DULUAN, MEMANGNYA KENAPA? Ketika Wening dilangkahi oleh sang adik, seketika keluarga besar mulai panik. Kekhawatiran mengenai calon jodo...
1.4K 356 5
River: A Man Who Came in My Dreams by Septi Nofia Sari & Emerald Dalam kisah yang ia tulis bersama Bita, Moana menceritakan tentang sosok tak dikenal...