A Half Beat ➳ Luke.Hemmings [...

By lightningtosca

3.6K 520 139

Aku terperangkap dalam dua hati yang sama-sama kusukai, tapi mustahil untuk memilih salah satu dari mereka. J... More

-Prolog-
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 14
Chapter 15

Chapter 13

95 12 0
By lightningtosca

Azure mendudukkan tubuhnya di bangku taman kampus, tangannya sibuk membolak-balikkan halaman buku yang baru saja ia pinjam.

"Hm, seharusnya aku tidak pinjam buku ini," katanya seraya menarik nafasnya perlahan. Baru kemarin ia mencalonkan diri menjadi salah satu anggota mading MIC, berhubung tak ada ekskul lain yang ia minati.

Ia bergumam sedikit sambil sesekali mewarnai beberapa kalimat penting dengan stabilo pink miliknya.

"Hai,"

"Ah?" Azure memekik saat tiba-tiba Hazzel menyapanya, "oh, h-hai?" Sapanya.

Edelweiss tersenyum, "tadi kulihat kau meminjam buku di perpustakaan, kenapa kau tidak membaca di perpustakaan saja?"

Azure menggeleng, "e-eh, anu, aku ... Hmm ... Lebih suka di taman," ucapnya sebelum akhirnya ia membenahi buku-buku pinjamannya dan berdiri, "ka-kalau boleh aku pergi seben–,"

Sebelum ia sempat melarikan diri lagi, Edelweiss menahan lengannya. Azure terkejut, "ada apa denganmu?" Tanya Edelweiss, "apa kami pernah melakukan kesalahan padamu?"

Azure menunduk dan perlahan Edelweiss melepaskan lengan gadis itu, "maaf," ucapnya.

...

"Cam, aku serius," ujar Nash pada sahabatnya yang tetap asyik mendengarkan musik.

"Nash, aku tidak mengerti apa yang selama ini ada dalam pikiranmu," ucapnya.

"Astaga, jelas-jelas semua yang baru saja kuceritakan tadi adalah sesuatu yang mengganjal pikiranku belakangan ini," Nash mengacak rambut cokelat gelapnya.

Cameron mendengus, "jadi," dia membuka mulut, "kau bingung karena Edelweiss sama sekali tidak berbicara denganmu?"

Nash mengangguk dengan raut memaksa, "ya, dan itu aneh, aku tidak tahu apa yang terjadi padanya, dia berubah,"

"Jujur ya, kurasa kau yang berubah," sergah Cameron.

"Aku? Cam, kau–"

"Dengar, sejak kau berpacaran dengan gadis dari kelas hukum itu berapa kali kau mengobrol dengan Edelweiss? Kau lebih sering menyibukkan dirimu dengan pacarmu, justru kau yang melupakannya, jelas saja dia tidak menghubungimu," terang Cameron.

"Hm? Tapi kan, Lacey itu pacarku, jelas aku lebih sibuk dengannya,"

Cameron menghela nafas perlahan, merasakan rasa kesal karena sahabatnya yang tak kunjung mengerti apa yang berusaha ia jelaskan, "begini ya, kau pikir saat kau sakit dan sedih siapa yang lebih perhatian? Lacey atau Edelweiss?"

"Cam, aku belum sakit sejak dua bulan yang lalu, dan tidak ada sesuatu yang membuatku sedih belakangan ini, kenapa kau bertanya seperti itu?" Tanya Nash.

"Kau benar-benar," Cameron menepuk dahinya, "terserahmu saja ya, aku lelah meladenimu, kau mau bermasalah dengan Edelweiss, Lacey, gadis-gadis klub malam, bahkan jika kau berkencan dengan Mrs. Zanderberg sekalipun aku tidak akan perduli,"

"Heyy, sahabat macam apa kau? Aku hanya ingin meminta pendapatmu kenapa jadi jauh-jauh sampai gadis-gadis klub malam? Dasar playboy," sindir Nash.

"Aku tidak dengar," Cameron mengangkat tangannya sambil terus mendengarkan musik dengan earphone-nya.

"Tch, terserah, aku akan mencari Matt," kata Nash yang beranjak dari mejanya.

"Bagus, yang jauh ya," seru Cameron.

Nash memutar bola matanya dan melaju pergi dari kafeteria.

Kata-kata Cameron terus membayangi pikirannya. Soal Edelweiss. Dia bahkan tidak menjawab pesan yang dikirim Nash untuknya. Jujur memang Nash khawatir, takut akan kehilangan sahabatnya itu. Belakangan ini memang ia selalu memikirkan tentang masalah apa yang membuat Edelweiss bahkan tak menyapanya, pergi menemuinya pun tidak.

Apa mungkin yang dikatakan Cameron benar, Edelweiss menyukainya. Tapi Nash tidak percaya soal persahabatan yang dapat berangsur menjadi rasa cinta. Sahabat ya sahabat, cinta ya cinta. Dia tidak pernah mau kehilangan sahabat hanya karena rasa cinta yang tiba-tiba menyerang persahabatannya. Memang perasaanya sempat mengatakan bahwa Edelweiss merasa agak cemburu dengannya dan Lacey.

Entahlah, cinta dan persahabatan itu memang rumit. Nash mendongak saat tiba-tiba ia melihat pria pirang tinggi berjalan dengan arah yang berbeda dengannya. Luke. Melihatnya.

"Hai," sapa Nash, mencoba bersikap ramah, mungkin Luke tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Edelweiss.

"Oh, hai? Haha," jawab Luke canggung.

"Luke Hemmings kan? Hehe, apa kabar?" Tanya Nash.

"Uhh ya, baik, kurasa kita baru saja bertemu dua hari yang lalu," kata Luke.

"Ya, ahaha, maaf,"

"No biggie," jawabnya.

"Uhh, jika kau tidak keberatan, kau kan belakangan ini dekat dengan Edelweiss, umm ..."

"Ya?"

"Beberapa hari ini dia tidak menemuiku dan tidak membalas pesanku, kau tahu kenapa?"

Luke terdiam sebentar, ia sedikit membuka mulutnya, memperlihatkan benda bulat hitam yang tersemat pada bibir bawahnya.

"Aku tidak tahu,"

...

"Maaf ya, bukannya aku berniat untuk menjauh, hanya saja, aku merasa bersalah karena kejadian itu," lirih Azure.

Kini ketiganya duduk di rerumputan taman seperti membentuk lingkaran yang tidak sempurna.

"Kenapa merasa bersalah? Seharusnya Lacey yang merasa bersalah, dia berlebihan," sergah Hazzel.

Azure menggeleng, "aku yang salah, aku tidak sengaja menjatuhkan ponselnya,"

"Hahh, sudahlah, biarkan dia terbang bersama debu yang tertiup angin," ucap Edelweiss asal.

"Kau benar-benar tidak jelas," Hazzel menepuk pipi Edelweiss.

"Aku tidak jelas tapi kau tetap menyayangiku kan?" Kata Edelweiss, ia memeluk Hazzel dari samping dengan wajah sok imut.

"Berhenti melakukan itu Weissy, kau menjijikkan,"

"Kau terlalu jujur Hazzel, menyakitkan,"

Azure yang sejak tadi memperhatikan mereka tertawa, "kalian lucu," tawanya.

"Siapa? Aku? Ah aku memang lucu," kata Edelweiss, sekali lagi Hazzel menepuk pipi Edelweiss.

"Lanjutkan," kata Hazzel.

"Yaa, sebenarnya aku ingin berterima kasih pada kalian, tapi aku benar-benar malu untuk menemui kalian, maaf ya, dan terima kasih untuk menolongku waktu itu," Azure tersenyum.

Edelweiss dan Hazzel mengangguk, "sudah kubilang Haz, jika aku tidak menolongnya dia akan mandi dengan bekas makanan,"

"Bisakah kau berhenti mengoceh," kesal Hazzel.

Azure kembali tertawa melihat tingkah konyol keduanya.

"Kenapa kau selalu pergi sendiri?" Hazzel mengganti topik pembicaraan.

"Ah itu, hmm ... Aku murid baru disini, jadi yaa ... Sulit beradaptasi ... Hahaha," tawanya, "tapi untung saja saat aku pergi ke ruang musik aku bertemu temanmu, jadi setidaknya aku tidak benar-benar sendirian disini," katanya pada Edelweiss.

"Ah, begitu. Kalau begitu mulai besok bagaimana jika kau ikut berkumpul bersama kami? Terserah kau mau ikut denganku ke perpustakaan atau ikut Edelweiss ke tempat antah berantah." Usul Hazzel.

"Haz,"

"Diam Weiss, kau sering pergi entah kemana dan tiba-tiba muncul dimana-mana."

"Hm."

"Tidak apa-apa jika aku berkumpul bersama kalian?" Tanya Azure.

Edelweiss dan Hazzel tertawa, "kau mengucapkan itu seakan-akan kami ini anak bangsawan, ya tentu saja tidak apa-apa." Kata Edelweiss.

"Terima kasih banyak, kukira tak akan ada yang mau menjadi temanku," kata Azure.

"Well, jika kau tidak bertemu kami mungkin tidak ada," ujar Edelweiss yang disambut dengan siku Hazzel pada legannya.

"Hehehe," Azure terkekeh.

"Hey kalian,"

Ketiganya menoleh, mendapati gadis dengan rambut pirang yang mendekati mereka dengan tangan terlipat didepan dada. Lacey menyeringai seperti baru saja menemukan sesuatu yang berharga. Sepertinya ia baru saja mewarnai rambutnya yang dulu berwarna kemerahan.

"Oh hey," jawab Edelweiss cuek.

Edelweiss berdiri dan membantu Azure berdiri, begitupun Hazzel.

"Hehe, tak kusangka ternyata aku menemukan tiga kotoran di taman ini." Ujar Lacey tiba-tiba.

"Kurasa seharusnya kau mengatakan itu untuk dirimu sendiri, siapa kotorannya," ucap Hazzel pedas.

"Oh, Hazzel Edderson, terima kasih atas pujianmu, sayangnya bukan aku kotorannya disini, tapi kalian," katanya dengan nada sombong.

"Lace, lebih baik kau mengatakan apa maumu," ucap Edelweiss.

"Oh hai, gadis yang mendapatkan friendzone dari orang yang sudah ia sukai selama bertahun-tahun." Sindir Lacey.

Hazzel menoleh pada Edelweiss, Edelweiss hanya diam tak menjawab, meski rasanya ia benar-benar ingin meninju wajah perempuan ini.

"Sayang sekali ya? Sudah bersahabat lama sekali, ternyata dia menyukai orang lain. Hahaha," tawnaya.

"Apa masalahmu Fallon?" Marah Edelweiss.

"Masalahku? Tidak ada. Aku hanya lega, Nash lebih memilihku dibandingkan benalu sepertimu yang terus menempel padanya dan sama sekali tidak memberikan manfaat apapun untuknya,"

Baru saja Edelweiss ingin menampar gadis itu, namun Hazzel menahan tangannya. Sebagai isyarat untuk tidak termakan umpan yang sengaja Lacey berikan untuk memancing amarah Edelweiss.

"Jangan termakan emosimu Weissy, ingat, dia licik," bisik Hazzel.

"Oh Hazzel, sebegitu bencinya kau padaku sampai mengatakan bahwa aku licik? Hmm,"

"Oh ya, Lacey, aku baru sadar kau mengganti warna rambutmu, bukannya dulu rambutmu berwarna kemerahan ya?" Tanya Edelweiss.

"Hm? Ya, kenapa?" Tanya Lacey.

"Hahah, sayang sekali, padahal kau lebih pantas dengan rambut ekor ayam tahun 90anmu itu," sindir Edelweiss.

Lacey tertawa sombong, "terserah apa yang mau kau katakan, setidaknya aku memiliki Nash, dan kau tidak, jadi aku tidak perduli apa yang kau katakan soal rambutku," ia menyeringai licik, membuat Edelweiss bungkam untuk sesaat, "aku juga tahu, malam itu saat Nash menyatakan cinta padaku, kau yang bersama si pirang itu kan, kau berpura-pura mabuk dan bersembunyi dalam dekapannya. Bagaimana rasanya? Sakit bukan? Melihat seseorang yang seharusnya kau miliki menjadi milik orang lain? Tenang, aku tidak akan memberitahu Nash soal itu kok, lihat, aku baik kan?" Ia mulai mengoceh.

Edelweiss tetap diam, entah apa yang harus ia katakan, hatinya memanas, mengingat semua itu. Marah. Emosinya meluap namun ia harus menahannya.

"Ah ya, sejujurnya aku benar-benar benci saat kau mempermalukanku di depan orang banyak, tapi kurasa melihatmu menderita dalam lingkup friendzone karena Nash lebih memilihku dibandingkan kau cukup untuk membayar itu semua." Lanjutnya.

Kali ini Edelweiss enggan untuk menatap gadis di hadapannya ini, membuat Lacey tersenyum puas, "kenapa? Tidak mampu berkata-kata?"

"Cukup Lacey," bentak Hazzel, "kau benar-benar palsu. Kau bersikap bak malaikat di hadapan Nash, sementara di belakangnya kau adalah iblis pengganggu yang keji. Kau benar-benar menjijikkan, lebih menjijikkan dari kotoran." Ia maju selangkah.

"Ohh, Hazzel, kau bahkan tidak berpikir sebelum kau berucap, aku hanya mengatakan yang sejujurnya, dan kau menghinaku dengan mengatakan bahwa aku iblis menjijikkan, ckckck, menyedihkan," Lacey menatap arlojinya, "oh, kurasa aku harus pergi, selamat bersenang-senang, ah ya, kau, gadis yang bersembunyi dibalik Hazzel, masalah kita belum selesai ya,"

Lacey berbalik dan meninggalkan ketiga gadis itu bungkam di taman. Azure menunduk, kali ini ia merasa lebih bersalah dibandingkan sebelumnya, "maafkan aku," katanya.

Edelweiss tersenyum, "untuk apa?"

"Karena aku, kalian jadi bermasalah dengannya, maaf jadi membuat masalah seperti ini," katanya.

Edelweiss tertawa kecil, "tak masalah Az, gadis seperti itu memang selalu ingin mendapat perhatian karena ia merasa seperti ratu,"

"Tapi karenaku, dia ... Mengambil apa yang seharusnya menjadi milikmu," kata Azure.

Ia hanya menghela nafas, "dia bukan milikku Azure. Aku tak memiliki hak apapun untuk memilikinya. Aku hanya sebatas sahabat untuknya, aku saja yang bodoh untuk menginginkan sesuatu yang lebih dari itu, hahaha," Edelweiss tertawa paksa, Hazzel melirik Edelweiss merasakan kesedihan terpendam yang terpancar dari mata gadis itu.

"Hm, lebih baik kita pergi dari sini, Weiss, kau mau menemui Mike dan bermain gitar di ruang musik? Kurasa itu dapat lebih membantu dibandingkan berdiri disini," usul Hazzel.

"Ah ya, oke,"

"Uhh, ke ruang musik? Bertemu Michael ya? Aku ... Boleh ikut?" Tanya Azure.

Hazzel tersenyum, "tentu saja, ayo," katanya seraya menggandeng jemari gadis itu.

...

-Luke's POV-

"Ya begitulah, beberapa hari ini dia tidak membalas pesanku, menyapaku, bahkan menemuiku, aku tidak mengerti kenapa," jelas Nash.

Aku hanya mengangguk, setelah mendengar seluruh cerita Nash mengenai Edelweiss. Kini kami duduk di lapangan dengan dua cup cappucino di samping kami. Kuusap hidungku dengan tisu setelah beberapa kali bersin akibat bermain hujan dengan Edelweiss kemarin.

"Maaf jadi melibatkanmu, hanya saja aku khawatir dengannya," ucap Nash.

"Dia baik-baik saja," kataku setelah sedikit menyeruput cappucino, "hatsyii,"

"Syukurlah, apa dia mengatakan sesuatu? Seperti ... Uhh ... Sedang kesal dengan temannya atau ... Cemburu mungkin?" Tanya Nash.

Tidak mungkin aku menceritakan semua yang Edelweiss katakan padaku, jadi kurasa lebih baik diam dan menggeleng.

"Oh," jawab Nash, "ini mungkin kedengarannya aneh, tapi bisakan aku meminta pendapatmu?"

"Pendapat apa?"

"Apa menurutmu dua orang yang bersahabat dapat saling jatuh cinta?"

Hampir saja aku tersedak cappuchinoku, Nash membantuku dengan menepuk-nepuk punggungku agak keras. Kuusap bibirku yang menyisakan sedikit noda cappucino.

"Ah! Maaf sudah menanyakan sesuatu yang aneh,"

"Tidak, tidak apa-apa," jawabku, "kurasa bisa, kalau keduanya memang saling mencintai? Harus bagaimana?" Kataku.

"Begitu ya, tapi bagaimana jika salah satu dari mereka justru menyukai orang lain?" Tanyanya lagi.

Kuhabiskan cappucino dalam sekali tegak, kemudian melemparnya secara jitu ke dalam tong sampah, "entahlah, merelakannya mungkin?"

"Hmm, bagaimana ya, kurasa Edelweiss memiliki perasaan yang lebih dari sebatas teman padaku, dan kurasa aku juga, tapi aku sudah memiliki pacar, dan aku tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk mengembalikan Edelweiss seperti dulu,"

Aku mencibir dalam hati.

Meski memang bukan sepenuhnya salah Nash, tapi jujur, aku muak dengan cara ia memperlakukan Edelweiss. Dia tidak pernah tahu bagaimana perasaan Edelweiss selama ini. Dan sejujurnya, dia tidak pantas untuk mendapatkan Edelweiss setelah mempermainkan perasaannya.

"Ya, semoga berhasil, aku harus pergi," kataku.

"Oh, maaf mengganggumu, terima kasih sudah mendengarkanku," Nash berucap, aku hanya mengangguk.

"Uhh, sampai nanti,"

Nash hanya mengangguk dan tetap dalam posisi duduknya di tengah lapangan. Kulangkahkan kakiku menjauh dari lapangan. Aku tidak tahu kenapa aku begitu protektif terhadap Edelweiss.

Aku hanya tak rela Nash mempermainkan Edelweiss seperti itu. Dulu ia bahkan tidak memperdulikan perasaan Edelweiss, sekarang ia mengatakan bahwa ia menyukainya. Aku tahu Edelweiss tentu saja sangat menyukai Nash, mungkin sampai mencintainya, tapi Nash tidak pantas untuk mendapatkannya. Maaf Nash, tapi aku tidak mau kau menyakiti Edelweiss.

Kenapa aku jadi protektif dan cemburu seperti ini? Aku hanya tidak mau melihat temanku disakiti. Itu saja.

Tidak, tunggu,

Perasaanku pada Edelweiss memang berbeda dari teman biasa. Atau jangan-jangan aku juga menyukainya?

...

Ahayy, gimana nih chapnya, emosi sendiri sama si Lacey padahal author yang bikin skenarionya :""V maafkan Lacey ya readers, Lacey gak seburuk yang kalian kira kok,

Lacey: plis jangan benci sama gua oke? Gua cuma ngikutin yang disuruh si author -_-
Hazzel: kotoran tetep aja kotoran ;)
Lacey: kampret

Okee voments ya kalian please :"v jangan jadi silent-reader -_-

Love ya~

Continue Reading

You'll Also Like

53.6K 8.4K 52
Rahasia dibalik semuanya
56.5K 4.1K 27
Love and Enemy hah? cinta dan musuh? Dua insan yang dipertemukan oleh alur SEMESTA.
70.4K 5.2K 24
"MOMMY?!!" "HEH! COWOK TULEN GINI DIPANGGIL MOMMY! ENAK AJA!" "MOMMY!" "OM!! INI ANAKNYA TOLONG DIBAWA BALIK YAA! MERESAHKAN BANGET!" Lapak BxB ⚠️ Ma...
77.8K 7.5K 21
Romance story🤍 Ada moment ada cerita GxG