A Half Beat ➳ Luke.Hemmings [...

By lightningtosca

3.6K 520 139

Aku terperangkap dalam dua hati yang sama-sama kusukai, tapi mustahil untuk memilih salah satu dari mereka. J... More

-Prolog-
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15

Chapter 12

102 8 0
By lightningtosca

"Hey Weissy, mau pulang bersamaku?" Mikey menepuk pelan bahuku.

"Oh? Tidak, Mike, terima kasih," tolakku.

Mikey memandangku dengan pandangan yang sulit diartikan, "kau yakin? Hujannya akan semakin deras,"

"Nah, I'm ok," kulepaskan telapaknya dari bahuku.

"Well, just take care of yourself, don't get sick!" Peringatnya, telunjuknya mengarah padaku.

"Tidak akan, sampaikan salamku untuk Paman Clifford ya," kataku dan dibalas anggukan kecil dari Mike.

Mike kemudian berpaling dariku dan melajukan kakinya. Kedua tangannya melebarkan jaket kelabu miliknya, berupaya sebisa mungkin menjadikan jaket itu sebagai tameng hujannya. Michael berlari menghampiri sebuah mobil sedan hitam yang berhenti tepat diluar gerbang kampus. Dia segera memasuki mobil, tak lupa ia melambaikan tangan padaku.

Kubalas lambaiannya sebelum akhirnya mobil itu melaju pergi. Seperti biasa, kuambil payungku dan melepas kantong pembungkusnya, membiarkan payung putih dengan gambar siluet burung itu terbuka lebar, bersiap untuk menjadi satu-satunya perisai yang kumiliki untuk melindungiku.

Kulihat beberapa teman sekelasku menerobos hujan tanpa payung, kurasa mereka lebih memilih untuk sakit dibandingkan pulang terlambat.

Saat baru saja kugerakkan kakiku maju beberapa langkah, pandanganku menangkap sosok familiar yang tengah berdiri dengan jaket tebal yang melapisi tubuhnya.

"Nash," lirihku, lebih terdengar seperti sebuah bisikan kecil.

Kurasa ia tidak membawa payung hari ini. Kedua telapaknya ia sisipkan kedalam masing-masing saku jaketnya, kebiasaan yang tak pernah berubah. Beberapa kali ia menengadah menatap awan hitam yang sepertinya belum puas untuk menyudahi tangisannya.

Kulirik gagang payung dalam genggamanku. Aku tersenyum, mungkin kami dapat pulang bersama.

"Hey, Na-"

"Hey, Nash, kau tidak membawa payung?" Lacey menghampirinya dengan sebuah payung pink berenda.

Aku tertegun dalam posisiku, mengamati apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Eh, Lace, iya, kukira tidak akan hujan hari ini." Ia tertawa renyah.

"Begitukah? Bagaimana kalau kita pulang bersama? Payungku cukup besar untuk berdua," usul Lacey.

Nash melirik payung milik Lacey, sedetik kemudian ia mengangguk, "tentu saja, untung saja kau ada disini,"

Lacey tertawa pelan dan mengangkat payungnya, "ayo!" Ia menyodorkan gagang payung itu pada Nash.

Nash mengangguk, menggenggam erat gagang payung tersebut, tangan kanannya yang bebas menarik Lacey dalam dekapannya, dan kemudian keduanya beranjak pergi menerobos hujan.

Oh iya, aku baru sadar, sekarang kan dia memiliki seseorang yang lebih pantas untuk memayunginya setiap hujan tiba. Entah kenapa, aku tidak dapat menerima kenyataan bahwa Nash telah memiliki seorang kekasih. Cukup, kenapa aku terus bersikap bodoh seperti ini? Kenapa sangat sulit bagiku untuk merelakannya bersama orang lain?

Kontan kumundurkan kakiku beberapa langkah, mengurungkan niatku untuk pulang.

"Eh," pekikku.

"Hey, kau belum pulang?"

Kutarik nafasku perlahan, "Luke, kalau aku sudah pulang, tak mungkin aku masih berada disini."

Dia hanya menyengir, "dimana Hazzel? Bukannya biasanya kalian pulang bersama?"

Aku menggeleng, "Hazzel pulang duluan, ada urusan mendadak, tadi sih Mikey sempat mengajakku pulang bersama,"

"Lantas kenapa kau tidak ikut saja?" Tanya Luke.

"Aku ... Hanya sedang ingin menikmati hujan,"

Luke menatapku heran, "aneh, hahaha," tawanya, namun kemudian sorotan matanya tertuju pada punggung Nash dan Lacey yang semakin menjauh, dia kembali menoleh padaku, "oh, kurasa aku tahu alasannya,"

Kutinju lengannya pelan, "kau sendiri kenapa belum pulang?"

"Aku menunggu hujannya reda," jelasnya.

"Biar kutebak," ujarku, "kau tidak membawa payung?" Lanjutku.

"Yep," jawabnya.

Aku menggeleng kecil, "kau mau pulang bersamaku? Kebetulan aku bawa payung," tawarku tiba-tiba.

Dia mengangkat kedua alisnya, seakan tak percaya apa yang baru saja kukatakan, "eh, serius?" Tanyanya.

"Tentu saja, memangnya kenapa?"

Luke menggaruk belakang kepalanya seraya tertawa, "tidak biasanya kau bersikap baik begini, apa karena..."

"Hey, aku melakukan ini karena aku kasihan padamu, mau atau tidak? Sebelum aku merubah pikiranku."

"Ehh, iya-iya, oke ayo pulang,"

Aku mencibir kecil, "dasar,"

Kuangkat payungku agar bisa menutupi kepalanya juga. Kami berjalan menapaki genangan air, keluar dari kampus.

Angin keras meniup rambutku, membuatnya terayun dan sesekali menutupi pandanganku. Kulirik Luke yang sedikit membungkuk sambil bersedekap di sampingku.

"Kau kedinginan?" Tanyaku.

"Hah? Yaa, sedikit,"

"Payah."

"Apa?!"

"Tidak."

"Edelweiss, aku tahu apa yang baru saja kau katakan,"

"Itu bukan aku, rohku yang mengatakannya,"

Luke berdecak dan lebih memilih untuk tidak melanjutkan perdebatan kecil ini, "hey, bisakah kau angkat sedikit payungnya? Aku pegal membungkuk begini," celetuknya.

"Makanya, jangan terlalu tinggi," cibirku.

"Pfft, kau saja yang terlalu pendek,"

"Apa? Katakan sekali lagi dan kupastikan payung ini tidak akan melindungimu lagi," ancamku.

"Hahahah, pendek," ejeknya.

"Hihh," kesalku.

"Oke, oke, maaf," lirihnya.

Kami terus berjalan menapaki genangan air yang kian menyurut pada gorong-gorong. Bungkam untuk sesaat. Sama-sama menikmati suara derap hujan yang kerap menyerang tanah. Tak tahu topik apa yang cocok untuk dibicarakan saat ini. Luke sibuk pada pandangannya yang mungkin agak kabur. Entah kenapa wajahnya terlihat seperti sedang menerka sesuatu.

"Ada apa?" Rasa penasaranku mendorong untuk bertanya.

"Hm? Eh, kau memperhatikanku?" Tanyanya.

"Ya, kau aneh,"

Luke terkekeh pelan, "aku selalu aneh,"

"Bukan itu, maksudku, aneh,"

Dia menautkan kedua alisnya, "Aku hanya sedang berpikir," ujarnya.

"Tentang apa?" Tanyaku.

"Yaa ... Lucu saja, hal yang bahkan sangat sederhana dapat membuatmu takut akan sesuatu," ucapnya.

Langkahku terhenti sejenak, begitupun dia, "maksudnya?"

"Hm, contohnya air. Air itu sederhana kan, hanya satu butiran putih. Tapi air bisa membuatmu takut, takut akan hujan misalnya, padahal belum tentu hujan itu buruk," terang Luke.

"Luke, jangan bersikap sok filosofis, karena aku bahkan tidak mengerti apa yang kau coba untuk katakan," sergahku.

"Edelweiss, pikirkan, hal yang sederhana, semacam cinta,"

"Here goes Mr. Poetry," sindirku.

"Cinta itu kan koneksi biologis antara manusia. Interaksi romansa dengan lawan jenis, bahkan bisa juga pada sesama jenis,"

"Luke, kumohon, hentikan, jika kau mau membicarakan soal itu lebih baik ceritakan pada Lilith. Dia pasti akan sangat senang mendengar teorimu tentang sederhana bla bla," kataku, lebih memilih untuk tidak mendengarkan celotehannya.

"Kau bahkan takut akan cinta,"

Sekali lagi kuhentikan langkahku, "apa?"

"Ha, kau takut merasakan cinta," kecamnya.

"Aku? Takut cinta? Untuk apa aku takut??"

"Entahlah. Kau bahkan tidak mau mengakui bahwa kau cemburu melihat Nash Grier dan Lacey Fallon,"

"Aku tidak cemburu, aku senang jika Nash senang, lagipula Nash terlihat bahagia bisa bersama dengan gadis itu," jelasku, meski kebohongan terkesan menutupi seluruh kalimatku.

"Kau takut Edelweiss, kau takut sakit hati, sehingga kau menyembunyikan perasaanmu sendiri. Hal yang sederhana membuatmu takut akan sesuatu," kata Luke.

"Aku tidak ...," aku menghela nafas panjang, "bisa kita lupakan pasangan itu untuk sementara?"

"Aku hanya tidak tega melihatmu terus menyimpan perasaanmu," katanya.

"Kau tidak perlu merasa seperti itu, aku tidak perlu dikasihani,"

Dia menghela nafas panjang, "maaf,"

"Tidak apa-apa," jawabku,

"Hmm," Luke bergumam pelan,

"Apa?" Tanyaku.

"Main hujan-hujanan yuk," ajaknya.

Aku berdecak, "bodoh, kalau nanti tiba-tiba demam menyerangku bagaimana? Mike pasti akan marah padamu," kataku,

"Ayolah Edelweiss, ini tidak seburuk kelihatannya kok, hujan itu kan hanya-,"

"Luke berhenti merangkai kalimat-kalimat rumitmu," aku memotong ucapannya.

Dia berjalan keluar dari area pertahanan kami, membiarkan derasnya air menghujam tubuhnya, membuat seluruh pakaiannya basah. Telapak basahnya terulur padaku, "makanya ayo, lupakan sejenak apa yang kau lihat tadi," katanya, suaranya seakan menghipnotisku untuk melakukan hal yang seharusnya tak aku lakukan.

Dia tersenyum begitu manis, bersama dengan tindikan di bibirnya yang berkilau, tanpa sadar wajahku memerah dan aku menunduk.

"Kau baik-baik saja?" Tanyanya.

"Ehh, iya, aku baik, tentu saja aku baik," sergahku.

Dia tertawa pelan, "jadi bagaimana? Mau ikut bermain atau tidak?"

Aku terkekeh, "dasar anak kecil," segera kututup payungku, membiarkan butiran-butiran air itu mengguyur tubuh berbalut baju lengan panjang berwarna merah keunguanku. Aku menutup mataku, merasakan air yang kian menyerang mataku.

"Hahahaha, kau pasti tidak pernah bermain hujan sebelumnya ya?" Tanya Luke.

Aku mengangguk, sejak kecil ibuku tidak pernah memperbolehkanku bermain diluar saat hujan, alasannya banyak sekali, dari mulai demam hingga nanti jatuh karena jalannya licin.

"Hah, serius?" Tanyanya.

Aku kembali mengangguk, "iya, aku tidak pernah boleh bermain hujan, jadi rasanya aneh, hahahah," tawaku.

Luke tersenyum, "bagaimana? Segar kan? Rasanya sama saja seperti kau menyelam di kolam berenang, bedanya kau masih bisa bernafas disini," katanya,

"Kau benar-benar buruk dalam membedakan sesuatu ya,"

Luke menjulurkan lidahnya dan berlari, aku hanya memperhatikan tingkahnya yang seperti anak kelas empat sekolah dasar.

"Ayo, jangan hanya berdiri saja, kita lomba lari bagaimana?" Usulnya.

"E-eh, tunggu, kalau jatuh bagaimana?"

"Pfft, jangan bersikap cengeng,"

Aku mendelik padanya, "oke, aku tidak takut,"

"Oke, kita lomba sampai perempatan di depan sana ya, siapapun yang kalah harus menggendong yang menang sampai rumahnya," terang Luke.

Alisku saling memaut tanda tak terima, "apa-apaan, masa aku harus menggendongmu sampai rumahmu, tubuhmu besar begitu, aku tak akan kuat menggendongmu," aku menolak peraturan buatannya.

"Oke, oke, kalau begitu jika kau kalah akan kuputuskan hukumannya," katanya,

Aku memutar bola mataku dan berdiri di sampingnya, bersiap untuk memulai lomba lari amatiran ini.

"Siap?" Tanyanya, dia menoleh padaku dengan tatapan meremehkan.

"Pff, kau pikir aku akan kalah,"

"Lihat saja nanti," dia menyeringai, "1 ... 2 ...,"

"3!" Aku berseru dan berlari lebih dulu, kakiku sedikit sulit berlari karena air yang menggenangi dalam sepatuku.

"Hahaha, lihat siapa yang di depan Hemmings," cibirku.

"Oh ya? Kau pikir kau hebat?" Luke mempercepat laju larinya dan dalam beberapa detik dia sudah berada di sampingku.

"Heyy," seruku tak terima, dengan seluruh energiku, aku berlari mencoba mengiringinya, sampai akhirnya aku berada lebih didepannya.

Luke mengangkat kedua alisnya terkejut, kujulurkan lidahku dan kembali berlari.

Kulihat Luke menyeringai, ketika tiba-tiba ia berlari menuju ke arahku. Kedua tangannya menarik pinggangku dan mengangkatku, menahanku untuk berlari.

"Turunkan aku Hemmings!! Kau curang!!" Seruku.

"Hey, kau ringan, kurasa tidak masalah jika aku mengalah, hahaha," tawanya.

"Huh, jangan anggap aku lemah ya," aku menyeringai, aku melompat turun dari cengkeraman tangannya dan kembali berlari.

"Heyy, aku belum selesai bicara!" Seru Luke.

Sedikit lagi sampai di perempatan, sedikit lagi. Luke tetap berlari mengejarku. Aku tertawa, ternyata bermain hujan dan berlari tak seburuk yang ibuku pikirkan. Ini menyenangkan, bagaimana hatimu berdegup kencang bersamaan dengan langkahmu yang semakin cepat, seakan mencoba menyamakan kecepatan jatuhnya hujan.

Aku menang. Berdiri ditengah perempatan dengan nafas yang tersengal-sengal.

"Ahahahah," tawaku, orang-orang yang melihatku mungkin akan berpikir bahwa aku gila, tapi ini menyenangkan.

Luke menghampiriku dan tersenyum sambil bersedekap, "oke, kau hebat, kau pemenangnya," katanya.

Aku menyengir, "aku suka hujan,"

"Ya, aku juga," jawab Luke, "jadi apa hukumannya masih berlaku?" Tanyanya.

"Oh tentu saja,"

Luke terkekeh pelan, ia berbalik kemudian berjongkok di hadapanku. Aku tertawa dan melompat ke punggungnya, membiarkan kedua tangannya mencengkeram kakiku untuk menahan beban yang sekarang dua kali lipat pada tubuhnya.

"Kau baik-baik saja?" Tanyaku.

"Yap, tenang saja, aku pernah menggendong Ash dari sekolah sampai rumahnya," katanya.

"Oh ya?"

Dia mengangguk, "ugh, kau berat sekali, kau harus turun lima kilo," ujarnya.

"Heyy," aku memukul pelan bahunya.

"Hahaha, aku bercanda," tawanya.

Aku tersenyum dan melingkarkan kedua tanganku pada lehernya.

"Jalan sekarang?" Katanya.

Aku memutar bola mataku dan dia kembali tertawa, dapat kulihat deretan giginya yang berseri. Luke mulai berlari dan keseimbangannya hampir goyah.

"Lukee, pelan-pelan! Aku bisa jatuh!" Seruku.

"Tidak akan, aku menahanmu oke," katanya.

Dia berlari memutar dan melompat. Kami tertawa meski beberapa kali kurasakan hampir saja tubuhku terlepas darinya. Ini benar-benar menyenangkan. Mungkin ibuku akan memarahiku, tapi siapa perduli? Bermain hujan ternyata menyenangkan.

"Ahahaha," tawanya.

Aku melepaskan tanganku dan merentangkannya, "hati-hati lho, aku hanya menahan kakimu, aku tidak memiliki cukup tangan untuk menahan tanganmu juga," candanya.

"Hahahaha, bodoh," ejekku.

DUARR.

"HYAA!" Pekikku, kueratkan peganganku pada lehernya ketika baru saja suara gemuruh petir mengagetkan kami.

"Ahahahaha, kurasa kita harus berteduh untuk sementara, aku tidak mau tersambar petir," katanya,

"Aku juga,"

Luke mengangguk dan kembali berjalan mencari tempat beratap untuk kami berteduh sementara. Setiap kali aku bersamanya, apa yang kurasakan adalah rasa nyaman. Maksudku, meski kami selalu bertengkar hanya karena hal sepele, berada didekatnya selalu membuatku merasa nyaman. Dia selalu ada disaat aku sedih, dan kemudian secara tidak sengaja kami akan menghabiskan waktu dengan hal-hal konyol yang tak pernah kualami sebelumnya.

"Luke," panggilku.

"Hm?" Dia bergumam pelan.

"Uhh ... Terima kasih?"

"Untuk apa?"

"Untuk hari ini, hahaha," jawabku.

"Tak masalah, kau bisa mencariku, mungkin, jika kau ingin bercerita, saat kau sedih, senang, atau apapun, jika kau mau," katanya.

Aku tersenyum, "aku beruntung bisa bertemu dengan teman yang baik sepertimu," ucapku.

"Hm," jawabnya singkat, "iya, teman,"

...

"Kau mengerti?"

Calum kerap kali menggigit ujung pensilnya, "ahh, Hazzel, bisa kau jelaskan ini secara rinci?" Katanya.

Dengan berat hati Hazzel kembali menjelaskan poin penting dari buku yang kini mereka baca bersama. Ashton menghela nafas.

"Percuma Haz, seberapapun usahamu untuk menjelaskan tentang buku itu, serinci atau sesingkat apapun, Calum tidak akan mengerti," ujar Ashton yang membalik halaman menuju halaman berikutnya sembari membenarkan kacamatanya.

"Ash, aku tidak pernah ke perpustakaan sebelumnya," tegas Calum.

"Lebih tepatnya kau tidak pernah baca buku," sergah Ashton.

"Aghh, terserah, oke Haz, aku benar-benar tidak mengerti apapun yang kau jelaskan," ucap Calum.

"Ya, dan aku lelah, sudah lima kali Cal, lima kali kujelaskan padamu," Hazzel menepuk dahinya.

Duk.

Calum menjatuhkan kepalanya pada meja perpustakaan dengan pelan, "maaf," lirihnya.

"Heyy, kalian pergi kemari tanpa aku?" Edelweiss menarik kursi disamping Ashton, "ha-hatsyii!"

Ashton menoleh pada Edelweiss, "biar kutebak, apa kemarin kau habis bermain hujan dengan bocah bernama Luke Hemmings?" Tanya Ashton.

"Uhh ... Ha-hatsyii, bisa dikatakan seperti itu," terang Edelweiss.

"Pantas saja dia juga bersin-bersin hari ini,"

"Ya, tadi pagi ia bersin tepat di depan wajahku," jelas Calum dengan raut tak suka.

"Kalian tidak punya kerjaan lain selain membuat diri kalian sakit?" Tanya Hazzel.

"Luke yang mengajakku, aku tak ingin diremehkan jadi ya kami lomba lari,"

Hazzel memutar bola matanya, "ayo Cal, kau butuh dua buku lagi untuk dicermati," katanya.

"Ahh god noo,"

"Oh ya Weissy," panggil Hazzel.

Edelweiss mengusap hidungnya dengan kain putih berukuran kecil miliknya, "apa?"

"Hmm ... Aku sempat melihat Nash dan Lacey, kurasa mereka pacaran," ucap Hazzel.

Edelweiss terdiam dengan mata yang tetap menyorot pada satu per satu baris kalimat dalam buku yang ia baca.

"Hm ya," ia bergumam, "aku sudah tahu itu," katanya dengan nada ceria.

"Jadi mereka benar-benar pacaran?" Tanya Hazzel.

Edelweiss mengangguk dan membalik halaman selanjutnya, "iya,"

"Maaf," kata Hazzel.

"Haz, kenapa kau minta maaf, kau bahkan tidak melakukan apapun," Edelweiss berucap.

"Aku hanya merasa tidak enak saja, maksudku-,"

"Sshh! Tidak apa-apa, lagipula aku sudah tidak terlalu perduli dengan mereka,"

"Baguslah, aku takut kau sedih dan-,"

"Sshh! Tutup mulutmu dan ajarkan pacarmu membaca," ucap Edelweiss.

"Dia bukan pacarku," protes Hazzel,

"Nanti," Calum menginterupsi, "dan aku sedang tidak belajar membaca oke?"

Edelweiss hanya terkekeh pelan, sementara Ashton tetap sibuk pada bacaannya.

"Oke Azure, ini bukumu, jangan lupa lagi ya," suara Lilith membuat kepala Edelweiss mendongak, mendapati Azure yang tengah mengambil beberapa buku miliknya yang sepertinya tertinggal di perpustakaan.

"Terima kasih, Kak Lilith," kata Azure.

Lilith tersenyum, "panggil aku Lilith,"

Azure mengangguk lucu. Edelweiss menutup bukunya dan berdiri. Hazzel mendongak menatap sahabatnya yang berjalan mendekati Lilith, "Cal, kau baca sendiri oke,"

"E-eh, kau mau pergi kemana?"

"Hey, kak," sapa Edelweiss pada Lilith.

"Hey Weissy, ada apa denganmu, kau kelihatan kurang sehat," ucapnya.

"Ceritanya panjang, ah, kau tahu siapa gadis tadi?" Tanya Edelweiss, Hazzel kini berdiri disampingnya.

"Oh, Azure? Ya, kenapa?" Tanya Lilith.

"Hmm, kau tahu dimana biasanya ia berada? Ada sesuatu yang harus kubicarakan dengannya," jelas Edelweiss, "maksudku, kami,"

"Well," Lilith berucap, "biasanya dia pergi ke taman, aku tidak tahu lagi selain itu, kau tahu sendiri aku jarang keluar dari perpustakaan kecuali saat buku-buku baru berdatangan," jelasnya.

"Ohh, oke, thanks kak," kata Edelweiss.

"Yap, anytime," jawab Lilith.

Edelweiss dan Hazzel melangkah keluar dari perpustakaan, "kemarin aku bertemu dengannya," kata Edelweiss.

"Oh ya?"

Edelweiss mengangguk, "tapi dia agak aneh, aku bertemu dengannya di ruang musik dengan Mikey, tapi saat kusapa dia seperti kaget,"

"Kau mau menemuinya?" Tanya Hazzel.

"Kurasa lebih tepatnya kita harus menemuinya,"

...

V O M E N T S plz :")

Maaf banget apdetnya lama, bimbang mau lanjutin apa nggak :"v wkwkwk

Btw thanks yang udah baca, love ya!

<3

Continue Reading

You'll Also Like

AZURA By Semesta

Fanfiction

216K 10.4K 23
Menceritakan sebuah dua keluarga besar yang berkuasa dan bersatu yang dimana leluhur keluarga tersebut selalu mendapatkan anak laki-laki tanpa mendap...
91K 11.7K 37
Jake, dia adalah seorang profesional player mendadak melemah ketika mengetahui jika dirinya adalah seorang omega. Demi membuatnya bangkit, Jake harus...
85K 8.6K 36
FIKSI
326K 35.4K 71
⚠️BXB, MISGENDERING, MPREG⚠️ Kisah tentang Jungkook yang berteleportasi ke zaman Dinasti Versailles. Bagaimana kisahnya? Baca saja. Taekook : Top Tae...