Steal My Boy

By rswna_

5.8K 575 139

Araminta Azalea selalu yakin dirinya bisa meluluhkan hati Rajendra yang semula es menjadi air, yakin bisa mem... More

Arti nama pangeran
Si 'masalah besar'
Peraturan Rajendra
Kembali ke masa lalu
Satu bulan yang berat
See you again
Kematian tak terduga
Tidak sama layaknya hari yang lain
Berbeda dari hari yang lain
She left me
Farewell
Unexpected
Undercontrol
Putri Azalea's gift
Easy go
Hello, Paris!
Wanted
Lamaran Dingin....
mimpi atau?

What the.....

179 15 3
By rswna_

"Jen, kamu ngapain aja sih di Paris? Sibuk banget?" Rasti berdecak disela-sela 'dakwah' nya. Rupanya, satu bulan nggak ketemu sama kakak satu-satunya itu, Rasti tampak berubah. Ditambah lagi, ia dapat kabar kalau dua hari lagi adalah hari pernikahan kakaknya, sekaligus sahabatnya, Daffa.

Daffa.
Bocah slengean kayak dia aja bisa dapet istri, Jen. Masa lo kalah....

Kata Farid yang masih teringat diotaknya.

"Bantuin gue kabur dong, Jen... lo kan ahli beginian,"
"Kabur? Daffa tuh udah paling maksimal lah buat ukuran lo mah kak,"

Memang terdengar miris
Tapi kalau dilihat sendiri, wajah Daffa hampir menyerupai dirinya. Kalau wajah Jendra dipenuhi cool yang berlebihan, Daffa overdosis kemanisannya. Lagian, Daffa cowok yang baik-baik dan Jendra benar-benar tahu seluk-beluk sahabatnya itu

"Lo sama aja, Jen. Gue bisa stress nih, mati muda deh gue!"

"Hush, mati muda gimana sih Ras.. kan nanti lo malam pertama noh. Katanya sih, kalo udah 'begituan' jadi awet muda. Serius"

Rasti kesal mendengar Jendra makin lama bicara, yang nggak sama sekali belain Kakaknya sendiri itu dan ketimbang memilih membela sahabatnya yang rada segrek macam Daffa, calon kakak iparnya.

"Untung kamu di Paris,"

"Kenapa?"

"Lo selamet dari tangan gue yang gatel mau nyekek lo! Lo adek gue apa Daffa sih sebenernya?"

Jendra terkekeh pelan, masih ingin membuat kesal Rasti lebih lama. Ya, jarang-jarang ia merasa ingin bercanda layaknya sekarang. Biasanya kan...

Taulah hidup Jendra. Datar. Lempeng. Jadi kalo dia bercanda, lucu nggak lucu, ketawain aja. Rasti kasian.

"Gue bakal jadi adek iparnya Daffa. Kan?"

"Sssssh!!" Ia tahu kalau Rasti pasti sudah jengkel setengah mati.
Niat Rasti menelfon adiknya untuk menghapus kekangenannya itu udah buyar seketika tau Jendra banyak berubah

"Udah dulu Ras, gue ada job. Besok gue sampe Jakarta. Cepet kasih gue keponakan!"

"JENDRAAAAA!"

Tutttt.....

***

Jam 10.
Rama masih sedia begadang sejak kemarin karena beberapa lembar kesalahan dokumennya.

"Ck! Kapan gue selesainya kalo gini?" Ia mendecak lagi, kali ini bukannya marah karena kesalahannya lagi. Tapi karena matanya yang ditutup oleh orang dibelakangnya

"Ra udah dulu ah. gue lagi sibuk banget,"

Ara yang tadinya berharap Rama ketakutan seperti biasanya itu memajukan bibirnya cemberut sambil duduk di sofa dan mengambil remote tv

"Kamu lagi ngapain?"

"Kamu galiat, apa pura-pura nggak liat sih Ra.." katanya masih tetap mengetik

"Huh yaudahh. Padahal Ara bawa nasi padang loh!"

Rama yang semula sibuk dan ingin marah mendadak menoleh cepat kearahnya. No. No. Tepatnya ke arah plastik ditangannya!

"Nggak mungkin ada yang jual nasi padang di Paris, Ara.."

"Nih. Buka kalo nggak percaya. Aku bawa 4 bungkus!"

Dengan cepat diambilnya plastik berisikan nasi padang yang aromanya bahkan udah buat Rama senyam-senyum sebelum membukanya.

"Ini beneran nasi padang, Ra!!"

Rama emang udah dari satu bulan yang lalu kangen banget sama masakan padang. Apalagi beberapa bulan di Indonesia sewaktu itu tidak juga dibelinya nasi padang karena waktunya yang padat. Ya, ia akan sibuk. Dan berhenti bekerja bila nasi padang lah yang jadi penggodanya.

"Darimana Ra?"

"Dari luar,"
Rama menggeleng menertawakannya, "bukan kamu. Tapi nasi padangnya. Darimana?"

"Dari Nathan.. Kakak nya baru aja pulang trus bawa oleh-oleh nasi padang deh, kata Nathan kalo lo mau nasi padang line aja lewat gue"

Melihat Rama yang dengan nafsunya memakan nasi padang dengan tangannya itu membuatnya lapar juga, diambilnya satu dan dimakannya sebelum Rama menghabiskan keempatnya.

"Kamu kenal Nathan, Ra?"
Ara menoleh, "Kenal,"

"Kok bisa?"

"Pertanyaan apa sih, ram. Kan dia satu lantai sama kamu. Aku sering kesini, ya aku sering liat dia"

Rama hanya mengangguk pelan sambil melahap nasinya. Tidak masalah baginya Ara mulai mengenal sekitarnya, lagian... Ara sempat menyinggungnya kalau Rama terlalu bersikap overprotective, dan Rama mulai menyadarinya.

Lebih baik melakukan apa yang Ara inginkan daripada harus kehilangan Ara nya lagi.

"Aku dapet undangan pernikahan, kamu ikut bisa kan?"

"Kamu aja sendiri, aku males ah.."

"Acaranya di Jakarta loh"

Dengan sigap Ara menelan ayam goreng yang belum sempat dikunyahnya. Jakarta terlalu membuat ia antusias.

"Aku ikut!"

***

Suasana yang ramai seperti ini amat dibenci Rasti. Apalagi berhubungan sama pernikahannya.. dia pun nggak pernah nyangka kalo sekarang sudah H-1 pernikahannya.

Diliriknya Daffa yang masih menelfon diujung ruangan. Entah bicara dengan siapa, ia tidak akan peduli. Bodohnya, Daffa memergokinya melihatnya secara diam-diam.

"Udah mulai jatuh cinta ya Ras?"

Pede banget kan. Kayak gini mau gue jadiin calon suami? Ancur keturunan gue deh..

Rasti masih menggerutu dalam hati, sementara Daffa duduk menghadapnya.

"Kayak gimana sih tipe cowok kamu?"

Rasti menggeleng dengan cuek, matanya memancarkan aura sinisnya.

"Kayak gue kan.. Ras?"

Rasti terhenyak akan kedatangan seseorang didaun pintu.
Orang itu kembali lagi kehadapannya..

Dia masih hidup?

"Fer.. di?"

"Ferdi? Kamu kenal dia?" Daffa ikut bangkit dari duduknya.
Rasanya ada yang tidak beres dengan lelaki yang baru dilihatnya itu. Tapi yang ia ingat ia pernah sesekali mendengar nama Ferdi, hanya saja ia lupa siapa Ferdi sebenarnya.

"Mau ngapain lagi kamu?"

Ferdi melangkah semakin dekat kearah keduanya. Rasti tak tahu apa yang harus dilakukannya, apakah akan berlari kabur, atau tetap disana mencari tahu kejelasan untuk apa pria itu kemari lagi setelah sekian lama menghilang dan... yang ia kira mati?

"Daf, kita pergi dari sini"

Ditariknya tangan Daffa untuk pergi dari ruang keluarga.
Beberapa orang yang semula menyiapkan hiasan-hiasan, tampak panik dan terdiam ditempatnya.

Tak lagi berani melangkah, karena beberapa alat penembak yang sepertinya bukan pistol biasa itu mulai mengarah pada kepala mereka semua yang ada diruangan itu. Termasuk Rasti dan Daffa yang sudah terkepung 5 orang.

"Daff..."

Daffa yang melihatnya ketakutan segera memeluknya dan berusaha menenggelamkan kepala Rasti ke dalam tubuhnya.

Tidak boleh ada yang melukai calon istrinya itu.

"Bagus... udah mulai kompak ya sekarang?" Kata Ferdi sambil mendekatkan penembak itu ke kepalanya.

"Apa yang lo mau?"

"Hahaha lo masih tanya apa yang gue mau? Calon istri lo ini yang gue mau,"
"Serahin sekarang atau kepala lo yang bakal jadi target gue,"

Rasti masih mengeratkan tubuhnya pada Daffa, ia tidak mau kejadian yang lalu terulang lagi. Ia tidak mau jadi trauma seperti dulu lagi. Masa itu sudah berakhir dan kalau Ferdi datang lagi....

"Daf... lepasin gue,"

Tanpa aba-aba, Daffa terkejut mendengar pernyataan itu dari mulut Rasti. Ia ingin dilepaskan? Bukankah ia membencinya? Dan kenapa bukannya merelakan Daffa saja untuk ditembak dan ia bakal bebas?

"Nggak. Lo tetep sama gue, Ras. Jangan kemana-mana"

"Gue urus masalah ini sebentar. Lo percaya gue kan? Abis ini kasih tau Jendra buat tolong gue" katanya dengan suara amat lirih

"Nggak usah bercanda, Ras. Tetep disini,"

"Daf... gue jadi istri lo besok, percaya sama gue. Gue bakal sampe dirumah secepet yang gue bisa besok"

Tanpa sempat bicara lagi, tangan Ferdi sudah menarik tangannya untuk ikut bersamanya.

Jedarrrr

"Daffa!!"

Nafasnya seperti berhenti saat itu juga, Ferdi menembak Daffa dan mengenai dadanya kirinya.

Dengan tenaga yang tersisa, Rasti menggigit tangan Ferdi yang semula mencekalnya.
Berlari dan berjongkok kearah Daffa yang sudah tak sadarkan diri itu.

Sementara itu, Ferdi memerintahkan beberapa orang suruhannya untuk tidak menembak wanitanya. Yang ia inginkan hanya Rasti, bukan yang lain.

"Daff.. kamu sadar dong! Kita nikah kan besok?"

"Daff bangunnn!"

"Udahlah sayang. Dia udah mati. Mending nikah sama aku, sekarang juga bisa"

Ditatapnya dalam-dalam mata Ferdi disana. Ia segera bangkit dan memukuli tubuh pria itu.

Tak bisa tertahan lagi betapa sakitnya ia hari ini. Ferdi, masalalunya yang kembali datang. Juga Daffa yang entah bagaimana keadaannya.

"Apa sih yang kamu mau, Fer? Kamu belum puas liat aku hampir mati gara-gara kamu dulu?"

"Tembak aku aja sekarang. Ayo, lo, lo, ngapain pada diem? Tembak gue!"

Jedarrrr

Ferdi yang merasa refleks menembak wanitanya, mulai meneteskan airmata. Ya, baru kali ini Ferdi meneteskan air mata selain karena kedua orangtuanya yang sudah pergi sejak 9 tahun lalu.
Tak fikir panjang, ia membawa Rasti ke mobilnya.

"Kalian urus pria itu," perintahnya pada keempat orang suruhannya.

***

"Yeayyyy Jakarta!"
Rama tampak menggeleng keheranan melihat Ara yang masih melompat-lompat setelah turun dari pesawat. Tak perduli betapa banyak orang yang juga melihatinya.

Kalau mereka semua menutupi wajahnya karena silau matahari, Ara tidak. Sepertinya, anak itu sangat merindukan kotanya.

"Ayo cepet. Malu-maluin gue ah lo" ditarik secepat mungkin pun bukannya Ara diam tapi malah makin keras tertawa. Rama sampai kewalahan mendengarnya.

Tak mau menjawab lagi akhirnya ia meninggalkan Ara yang pastinya mau tidak mau mengikutinya dari belakang.

Baru saja tangannya hendak membuka mobil, tapi matanya menangkap sesuatu yang sepertinya ia sangat kenal.
Ya! Pangerannya!!

seperti wajah pangerannya jika dilihat dari samping dan cara berjalannya... itu memang benar-benar menyerupai Rajendra. Tapi apa benar?

Yang ia tahu, pangerannya itu masih sibuk dengan urusannya di Paris. Bahkan menemuinya saja tidak, setelah ditolak lamarannya.

"kamu ngeliatin siapa sih,Ra?" Rama yang sudah didalam mobil sejak tadi pun mulai merasa curiga juga.

"eng.. enggak. Aku kok kayak liat Nathan ya," katanya berbohong

"Nathan? Dia masih di Paris, sayang. Cepet masuk, biar kita bisa istirahat lebih banyak nanti," Menyudahi kibulannya, Ara masuk kedalam mobilnya.

Rasanya aneh juga ia melihat rupa yang benar-benar sama dengan Rajendra, yang bahkan dari sudut manapun ia hafal, bahkan panjang hidungnya pun ia tahu dan hafal diluar kepala.

"Kamu kenapa diem doang? Tadi cerewet banget"

Rasti menggelengkan kepalanya masih tampak kikuk, "enggak.. aku ngantuk. Ayo buruan"

***

Farid merapihkan jas hitam yang melekat ditubuhnya begitu keluar dari mobilnya.

Hari Jumat, satu bulan di Paris sudah membuatnya kebosanan juga dan selama sebulan itu menemani perjuangan temannya, Rajendra, yang masih ingin menarik Ara untuk kembali mencintainya lagi. Yang sayangnya malah ditolak.

"Ada telfon dari Mr. Sitompul, den"

Farid menaikan alisnya, siapa juga Mr. Sitompul? Banyak yang bermarga Sitompul,bukan?

"kamu tau emangnya Sitompul itu siapa?"

"Enggak, den"

"Matiin aja. Paling salah sambung mbak"

Baginya telfon hanya mengurangi jatah waktunya saja. Seperti sekarang, ia hitung-hitung sudah 2 menit waktu yang dibuangnya untuk ini.

"Tapi den, katanya ini dari Sitompul Associe Group yang mau bicara serius dengan aden. Siapa tau bener-bener penting loh den"

Benar juga.
Terkadang, bisa diakui kalau majikan masih kalah pintar sama pembantunya.

"Bicara seperlunya, saya akan tutup jika anda bicara diluar kepentingan saya" katanya dengan menatap jam tangannya. Sebentar lagi acaranya akan dimulai. Ia tidak boleh meninggalkan acara makan malam penting ini.

"Bonjour, Mr. Farid, maaf mengganggu jam kerja anda. Saya Ferry Sitompul atas Sitompul Associe Group ingin menawarkan peralihan job dari naungan anda sebelumnya. Bukan itu saja, saya harap bapak masih ingin mendengarkan saya. Selain dari maksud saya tadi, saya juga akan menambahkan Pak Daffa, Pak Azka, juga Mas Rajendra untuk menjadi anggota. Bila bapak setuju apa kami bisa bertemu minggu ini?"

"Hem akan saya atur lagi waktunya. Terimakasih atas tawarannya dan semoga kita dapat bekerja sama. Akan saya hubungi lagi bila kami sepakat"

"Baik. Terimakasih pak atas waktunya"

Sebenarnya dalam hati bersorak gembira dari guling-guling sampe lompat-lompat. Akhirnya ketiga temannya bukan pengangguran yang masih sok kaya lagi, dan tentu saja Rajendra akan senang mendapat kabar ini karena anak itu sudah benar-benar tersiksa sama pekerjaan yang sama sekali absurd menurutnya.

"Mbak, mbak pulang aja jaga rumah, uang untuk belanja udah saya taruh di atas meja makan"

"Siap den"

Tak hanya itu, mbak Tarsih aja udah senyum-senyum tau kalau Farid emang udah mau pensiun pengangguran.

Drrrt

"Dih? Tumben amat nelfon"

Alis matanya terangkat, masih ragu kalau yang menelfonnya itu adalah Jendra, tumben.

"Gue udah berapa kali telfon lo, dan baru lo angkat sekarang?"

"Sorry, baru gue liat ini juga. Maklum, gue sibuk abis. Harus ngurus ini ngurus itu..."

"Stop cerita nggak layak dikuping gue. Sekarang lo keluar, gue di depan"

"Gue nggak dirumah, Jendraku sayang"
Tak bisa lagi diterima. Temannya satu ini benar-benar membuang waktu berharga miliknya. Tak sabar, akhirnya Jendra masuk kedalam caffee yang sudah ia tau sejak mengikuti Farid dari rumahnya. Menemukan anak itu, Jendra berniat menyentuh bahunya tapi malah jadi mendorongnya sampai Farid mengaduh kesakitan.

"Lutut gue astagfirullah" gumam Farid sambil menyentuh lututnya yang menabrak meja kasir didepannya.

"Loh, kok lo disini? Bukannya lo dirumah gue?"

"Ikut gue sekarang bodoh. Udah jam berapa sekarang? Waktu gue abis buat nemuin lo doang lo tau"

Dilihatnya jam ditangannya, jam menunjukkan pukul 11 siang. Masih mengingat perkataan Jendra barusan, memangnya ada apa anak itu mencarinya sampai kesini? Ah atau bahkan menguntitnya!

"Kita mau kemana, Jen?"

"Lo nggak inget hari ini Rasti nikah sama Daffa?"

Shit.
Farid menepuk keningnya sendiri. Bagaimana juga ia bisa lupa dengan pernikahan dua temannya itu?

"Astaga gue lupa. Jadi sekarang kita mau kesana? Kayaknya balik kerumah gue dulu deh, kadonya gak gue bawa. Kan gue lupa"

Mendengarnya Jendra menghembuskan nafas beratnya. Rupanya Farid belum tahu apa-apa.

"Gue baru dapet telfon, Daffa kritis, Rasti dibawa sama Ferdi."

"Lo serius?"

Farid memegang kepala bagian kirinya. Kejadian macam apa hari ini dan teman macam apa dirinya yang bahkan sampe lupa hari pernikahan sahabatnya.

"Kita mau kemana sekarang?"

"Kemarkas Ferdi. Gue bawa lo kesini, biar lo hajar aja dia sampe mati. Tangan gue masih panas karena mukul satu pengawalnya tadi"

Benar saja, setelah diperhatikan tangan Jendra memang tergores dan banyak mengeluarkan darah dari telapak tangannya. Seperti tidak ada luka apapun, ia mencengkram kuat-kuat tangannya yang penuh luka. Farid hanya terdiam melihat kekesalan Jendra.

*

"Serius ini markasnya? Lo percaya sama pengawalnya? Bisa aja lo ditipu kan?"

"Gue tau yang mana yang bener sama yang mana yang nggak ya, Rid. Lo bawel banget. Mending lo masuk sekarang"

***

"HAH? BOONG!"
Tanpa sengaja suara Ara refleks terdengar terlalu nyaring. Cempreng mungkin kata yang cukup tepat seperti yang kini orang-orang disekitarnya menilai seorang Ara.

"Ssst. Bisa diem nggak sih?"

"Kamu nggak bilang kalo yang nikah itu kak Rasti sama kak Daffa. Dan sekarang, kalo kabar buruknya, baru kamu kasih tau aku."

Rama memperlihatkan koran ditangannya mendekat ke wajah Ara supaya bisa dengan jelas ia melihat berita yang baru saja dibacanya.

"Gue nggak tau kali, Ra. Kalo Daffa nikahnya sama Rasti kakaknya si Jendra,"

Tak bicara panjang lagi, Ara menyeretnya sampai masuk kedalam mobil kembali.

"Kamu yang bawa, mobilnya?"

Ara menjalankan mobilnya dengan kecepatan diatas rata-rata. Ia baru tahu kalo Ara sudah bisa membawa mobil dan bahkan sangat ahli.

"Ra, jangan kenceng-kenceng. Turunin kecepatannya. Mau kemana kita?" Tanpa jawaban, dan Ara memberikan ponselnya.

Terlihat pesan dari seorang bernama Farid.
Siapalagi Farid? Saingan gue nambah lagi? Rama bicara dalam hati.

"Turun, Ram. Cepetan!"

Rama mendapatkan kejutan sekarang. Dihadapannya berdiri dengan kokoh markas yang selama ini dibangunnya bersama Ferdi. Apa semua ini ulah Ferdi lagi? Rama bahkan nggak tahu apa-apa untuk ini. Kalau ya, Ferdi memang patut disalahkan.

Dari pintu utama terdengar jelas suara teriakan wanita yang memanggil nama seseorang dengan terbata-bata.

Dilihatnya kesamping, dan tidak ada Ara disampingnya. Dan terkutuklah apa yang dilihatnya. Ara sudah berada didalam. Ya, masuk ke kandang singa tepatnya.

"Ara? Pergi!" Bisik Jendra ketika melihat wanitanya berada tepat dibelakang Ferdi. Anak itu amat berani dengan pisau ditangannya.

Bukannya apa-apa, ia tak tega melihat Rasti yang sekarang berwajah amat pucat seperti mayat, dengan pakaian tersingkap entah kemana, juga bibirnya yang sudah penuh darah.

Dan lagi, Pangerannya bersama Farid disampingnya. Terlihat babak belur dihadapan Ferdi yang bahkan tak terluka sama sekali. Tentu saja ia ingin membalasnya. Ingin sekali rasanya mencincang tubuh Ferdi saat itu juga dan melemparnya ke sungai amazon agar mayatnya segera musnah dimakan anaconda!

1..

2...

3....

"Ah!"

Ferdi mengaduh kesakitan dengan pisau yang menancap punggungnya.

Ara yang baru saja melepas tangannya, mulai merasa ngeri dan terpojok. Baru saja ia melukai orang dan darahnya terasa mengalir ditangannya.

Tubuhnya terasa runtuh begitu Ferdi bangkit dan pisau yang semula tertancap dipunggungnya malah berpindah ketangannya, manghampirinya dengan senyum bak maut pencabut nyawa. Sementara itu, Jendra dan Farid masih berusaha melepaskan ikatan ditangan keduanya agar dapat menolong Ara sekarang juga.

Rama melihatnya merasa geram dan menghampiri Ferdi dari belakang, yang pasti bisa dipukulnya sekarang.

Bruk!

"Ra? Lo sakit? Sakit apanya?"

Takut. Begitu yang Ara rasakan selama ada banyak darah disekitarnya, apalagi ia menodai tangannya untuk berusaha membunuh Ferdi tadi. Rama pun baru sadar, Ara belum sepenuhnya sembuh dari ketakutannya terhadap darah orang.

Jendra yang sudah dapat bebas dari ikatan tali brengsek itu kini menghampiri Rasti dan membuka ikatannya. Tidak ada lagi Rasti yang dikenalnya galak, dan lagi, Rasti berubah kembali bila dilihat dari kekosongan matanya. Bayangkan saja, kakaknya itu sudah menjadi korban Ferdi untuk kedua kalinya. Dan mengalami trauma panjang untuk kedua kalinya.

"Biar gue yang bawa. Tangan lo kayaknya patah, Jen"

Ia mengangguk dan melihat pergelangan tangannya yang terasa ringan, dan saat digerakan sakitnya luar biasa.

Apalagi melihat Rama menuntun Ara untuk segera keluar dari sana, tentu saja membuat patah tulang saja jadi sakit sekali karena ditambah benih kecemburuannya.

"Ram...."

"Ya, Ra?"

Ara menghentikan langkahnya dan melihat ke papan putih di pojok ruangan.

Dilihatnya kembali, dan ia tak salah lagi. Didepannya adalah foto Rama, dan lihat betapa akrabnya Rama difoto itu bersama Ferdi dan beberapa orang yang ia sendiri tak tau siapa.

Rama memang panik, ia takut setelah ini Ara akan membencinya lagi seperti dulu. Dibenci Ara merupakan hal yang paling sulit untuk dikendalikan.

"Kamu kenal mereka?"

....
....
....

"Ram, jawab Ara!"

Tak ada jawaban yang dikeluarkan dari bibir Rama. Ia segera menjauhkan tangan Rama yang semula menuntunnya. Ara masih menggeleng tak percaya sambil menjauhi Rama disana.

Bahkan ia tak peduli lagi jika disana masih ada Pangerannya. Tidak peduli lagi dengan orang-orang setelah ini. Kenapa juga orang-orang disekitarnya jadi munafik dan ia bahkan terlalu bodoh dalam semua permainan ini.

Tinggal bersama Rama, dan sekarang bahkan Rama menghianatinya.

"Ra?" Panggilnya begitu Ara sampai di pintu keluar. Anak itu menghentikan langkah. Berusaha mendengarkan penjelasan Rama walau pahit didengar.

"Ferdi temen gue. Mereka semua temen gue. Tapi gue nggak tau anak itu bakal separah ini sama lo."

Separah ini?

"Sebelum ini, kamu udah tau? Atau...semuanya bahkan kamu dan Ferdi yang menyusunnya?"

"Ra, maafin gue"

Merasa percakapan keduanya cukup selesai dan sekarang semua sudah jelas. Dan hal ini membuatnya sadar betapa menyesalnya ia tidak mengenali sosok teman-teman dekatnya dengan baik.

Dan kali ini, Rama.
Pria yang masih belum menyerah mencintainya dan bersedia bersaing dengan Jendra.

***

"Ara!"

"Ara! Berhenti disitu. Saya tau kamu dengar saya. Jadi, diam disana."

Jendra tak tahu lagi harus bagaimana menyikapi Ara yang sekarang. Biasanya ia akan senang saat wanita itu menderita. Tapi dulu. Sebelum hatinya luluh dan mencintainya 6 tahun, dan sampai kapanpun itu seperti yang Ara katakan sebulan lalu.

"Mau kemana kamu sekarang?"

Ara membalikan badan menghadapnya. Menatap manik mata Pangerannya yang benar-benar dirindukannya.

"Liat keadaan kak Rasti. Kamu harusnya pergi sama ka Farid tadi"

"Kenapa bisa kamu ada disana?"

Mendengar hal itu, Ara mendecak kesal.

"Nggak penting. Lebih baik kalo kamu temuin kak rasti sekarang. Aku temuin kak Daffa dulu"

Jendra menggeleng keheranan. Kenapa Ara jadi bersikap dingin padanya? Apa kali ini ia akan balas dendam atas perlakuannya dulu ya?

"Mobil saya disini, Ra"

"Siapa yang bilang aku mau naik mobil kamu? Aku masih punya ongkos. Kamu hati-hati dijalan, ya"

Kata-kata macam apa itu? Jendra sama sekali tidak mempercayai perubahan yang tengah terjadi pada wanitanya. Ia tidak akan membiarkan wanitanya tergores lagi.

"Kamu naik apa?"

"Aku bisa naik angkot. Tuh, banyak banget kan? Atau busway pun bisa, kereta bisa, taxi bisa. Udahlah aku pergi dulu ya kak?"

Angkot?!

Wanita apa sebenarnya ia? Menolak mobil yang jelas ademnya, malah minta naik angkot.

"Saya minta nomor kamu yang sekarang"

"Buat?"

"Buat aku hubungin lah. Mana?"

Diambilnya handphone Jendra dan mengetikkan beberapa angka disana.

"Nih. Aku berangkat ya!"

**

Rumah Sakit tempat daffa dirawat tidak jauh dari rumah lamanya. Rumah yang biasanya dihuninya bersama alm. Owen.

Drtttt

"Siapa sih."

"Hallo?"

"Kamu lagi dimana sekarang. Masih didalam angkot?"

Tentu saja iya karena baru beberapa menit ia menaikki angkutan umun, dan hal seperti ini jarang sekali terjadi.

"Kasih handphonennya ke supirnya"

"Hah?mau ngapain sih?"

"Sekarang, Ara. Saya nggak suka ditunda"

Dengan terpaksa, dan terlihat sok kenal akhirnya ia melepaskan handphonenya ketangan supir itu. Entah apa yang Jendra bicarakan bersama supir. Atau sekarang ia berubah professi?

"Okey,mas. Laksanakan!"

Mendengarnya, Ara merinding sendiri, "pak, tadi teman saya nanya apa ya?"

"Teman mbak? Nggak boleh nggak mengkaui suami sendiri mbak. Walau kalian sedang bertengkar, tapi sebaiknya dibicarakan baik-baik. Apalagi suami mbak perhatian banget, sampe mau ngomong sama saya yang cuma supir angkot dan menyuruh saya buat anter mbak ke rumah sakit dengan baik. Padahal, suami mbak dibelakang kita loh mbak. Ngikutin awal tadi."

Hah!
Ya Tuhan, Pangeran!

Hayyy!
Maaf banget baru update sekarang dan damn... ide saya mampet pet pet karena saya paksa lanjut ditengah-tengah hari TO sama UAS.

Maafin author kalo ceritanya freak, gak jelas. Karena sesungguhnya kalian perlu tau, kalo di wattpad semua jenis macam cerita itu ada. Semua bebas berkarya. Dan saya harap nggak ada plagiat seperti banyak penulis lainnya. Jadi, maklumin saya ya kalo cerita abal begini masih aja diterusin. But, kalo likers makin sedikit.. aku males update nya hahahaha masih capek.

Curhatan malam, Author SMB :)




Continue Reading

You'll Also Like

625K 27.4K 42
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...
2.6M 39.7K 51
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
1.5M 138K 48
Kehidupan Dinar Tjakra Wirawan berubah, setelah Ayah dan kakak laki-lakinya meninggal. Impiannya yang ingin menjadi seorang News anchor harus kandas...
480K 28.4K 55
Masalah besar menimpa Helena, ia yang sangat membenci bodyguard Ayahnya bernama Jason malah tak sengaja tidur dengan duda empat puluh empat tahun itu...