mimpi atau?

193 18 1
                                    

Jendra terlihat menahan kesalnya pada Ara yang baru saja duduk disampingnya dengan menutup pintu mobil dengan membantingnya keras.
Berusaha sabar akan jadi kebiasaannya mulai sekarang.

"Ngapain sih kamu ngikutin Ara?"

Sekedar menoleh dan mendapati wajah Ara yang tak kalah juteknya. Apa sekesal itu hanya karena Jendra mengikutinya?

"Udah sampe. Kamu mau turun atau saya turunin?"

Ara memilih turun dari mobil tanpa berkata apapun lagi. Pangerannya itu masih menjelma seperti pangerannya yang dulu. Masih seenaknya sendiri dan tidak mau menurutinya, ditambah suka memaksa layaknya tadi.

"Kita mau liat keadaan Rasti atau Daffa dulu?" Jendra menghentikan langkahnya.

"Terserah"

"Saya nanya kamu, Ara. Nggak boleh ada kata terserah diantara kita"

Ara memutar bola matanya geram. Pernyataan macam apa itu?

"Kalo gitu kamu mau kemana dulu?" Ara berbalik tanya.

"Kok malah kamu yang gantian nanya saya?"

"Aku nggak mau ada protes diantara kita, Pangeran"

Pa-nge-ran?

Ara mengutuk bibirnya yang tak bisa dicegah itu. Bukannya membuat Jendra kesal, malah membuatnya kini senyum-senyum ambigu kearahnya.

"Aku nggak akan protes lagi kalau gitu."

Digenggamnya tangan Ara lalu berjalan ke ruangan tepat dimana Rasti berada. Disana terlihat Farid yang masih tertidur di sofa. Anak itu sudah banyak sekali membantunya. Jadi heran, kenapa lelaki seperti Farid masih belum menemukan wanita? Padahal setahunya banyak wanita yang berusaha mendekatinya.

"Kak Rasti kurusan ya, Jen" ucap Ara yang duduk didekat Rasti dan menggenggam tangannya yang cukup dingin itu.

"Permisi, ada keluarga yang ingin bertemu dengan Ny. Rasti sekarang"

Tak lama setelah dokter itu bicara, masuklah beberapa orang yang sangat dikenal Jendra. Ya, orangtuanya yang sudah lama tidak dijumpainya. Malah semuanya bertemu ketika waktu malah menyedihkan seperti sekarang.

Jendra memperhatikan wajah bundanya yang memeluk Rasti yang belum sadarkan diri juga. Bundanya, melihatnya saja tidak. Sedangkan ayahnya mulai berjalan kearahnya.

Ia tahu raut wajah itu. Ekspresi kedua orangtuanya masih sama seperti dahulu lagi. Seperti sebelum kejadian ini menjadi kedua kalinya.

"Farid bilang tangan kamu patah. Belum juga kamu obatin?" Kata ayahnya dengan wajah serius.

Diliriknya Farid yang sudah bangun dari tidurnya dan menunjukan kedua jarinya membentuk peace kearahnya.

"Udah sembuh"

"Suster! Hem tolong bawa anak ini. Tangannya patah"

Jendra menggelengkan kepalanya saat suster itu menariknya. Sebelum berhasil lolos keluar, dilihatnya Ara yang melihatnya khawatir. Ya, semoga benar begitu, dan Jendra berharap begitu.

**

"Lain kali, sebelum parah seperti ini, harusnya Pak Jendra pergi untuk memeriksa tangan bapak. Sebelum terjadi pembengkakan seperti ini."

"Jangan panggil saya Pak" omel Jendra saat mengetahui dirinya dipanggil bapak.

Walau sudah berumur begini, Jendra belum mau dipanggil bapak sebelum ia punya keturunan. Memangnya setua itu dirinya?

"Hahaha, anda persis dengan ayah anda"

Jendra mengangkat sebelah alisnya. Tak mengerti maksud dokter itu barusan,

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 02, 2015 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Steal My BoyWhere stories live. Discover now