Wanted

234 24 4
                                    

Dilihatnya kembali jam tangan hitam dipergelangan kirinya. Menunjukan angka 3, masih jam 3 pagi. Padahal ia kira akan sampai pukul enam nanti

Hampir melupakan Lala, yang sudah bawel untuk segera meminta kabar saat dirinya sampai, Jendra mengeluarkan ponselnya. Beberapa kali nada tersambung tapi tidak ada jawaban. Apalagi kalau bukan alasan masih tidur

"Gue udah pesen kamar buat kita dari tiga hari yang lalu, lo istirahat aja dulu, gue nyusul"

"Satu kamar berdua? Sama lo?"

Farid menamparnya pelan, masih sempat-sempatnya Jendra mempermasalahkan kamar?

"Disini serba mahal, gue harus beli banyak oleh-oleh, tau! Dan kenyataan paitnya lagi, kita pengangguran sob"

"Gak harus satu kamar juga kan? Lo gainget kalo semua gue yang bayar?"

Mendengarnya, Farid rasanya ingin sekali menggerutu dan menendang temannya satu itu kalau tidak sadar dia disini karena Jendra, lagipula kapan lagi ke Paris gratis? Tidak ada yang tidak suka gratisan kayaknya

"Hemat dikit. Udah sono pergi, kalo ada yang nyari atas nama gue di hotel, lo bilang dah tuh lo temen gue"
Sekali kedipan, tas di tangannya melayang mengenai wajah Farid

"Gatau diri, udah numpang dan masih make atas nama lo?"

"Mau kemana lo rid? Naik apa gue ke hotel?"

***

Beberapa fakta yang tak terlalu penting sebenarnya, tapi yaa cukup mengganggunya juga disaat saat yang genting. Pertama, banyak orang misterius yang melihatinya dari ujung kaki sampai ke kepala, Jendra tak merasa salah kostum karena tubuhnya masih dilapisi baju yang yah sepertinya malah membuat keseksiannya itu buat cewek normal yang lewat lupa diri.

Kedua, taksinya. banyak banget supir yang sombongnya selangit. Dan ketiga, pasti bakal kesusahan bagi Jendra buat ngomong atau sekedar memasan makanan di restaurant karena masih banyak orang yang terlalu kental sama negaranya, dan bahasanya. Dan ya, seperti yang barusan ini. Uangnya tidak dikembalikan hanya karena berbahasa inggris. Jendra mendengus kesal dan terus berjalan sampai berhasil masuk ke kamar hotel. Ya, dia sampai!

Nggak ada hal lain yang bisa Jendra lakukan kecuali menatap keindahan Paris dari balkon kamarnya, berharap menemukan wanita yang lagi-lagi membuatnya tersenyum ganjal. Entah senyum senang karena jarak yang sudah cukup dekat, atau senyum miris karena mengingat kebodohannya.

Nggak ada yang tau kapan karma bakal terjadi. 6 tahun lalu, Ara yang mencintainya, selama itu, dan tak pernah menyerah sekalipun ia mencaci maki wanita itu.

Sial!
Kenapa juga senyumnya yang harus gue inget.

Andai hati Jendra tidak sebeku waktu itu, Ara pasti sudah bersamanya sekarang.

"Mending lo cari sosmednya Ara,"

Sekedar menoleh, ternyata Farid. Biasa aja. Kalo Ara, mungkin bisa langsung peluk aja. Jendra terkekeh tiba-tiba.

"Gue suruh lo cari, bukannya senyum-senyum ga jelas. Lo nggak ngira gue Ara kan?"

"Sosmed? Buat apaan?"
Jendra mengelus kepalanya pelan, sentilan jari Farid serasa panas sekarang.

"Lo ada path? Instagram?"
"Nggak lah. Lenjeh banget dong gue"

Tak bisa apa-apa, Farid mengelus dadanya sendiri, cukup sabar rupanya menghadapi temannya satu itu. Yang udah buta cinta, otaknya juga mampet kalo masalah cewek.

"Lo pake akun gue, nih lo cari nama Ara, siapatau ketemu"
"Lah lah ini gimana? Kok merah semua rid?"

Masih tak peduli dengan ocehan Jendra yang jelas-jelas mengganggu telinganya. Bahkan suara shawn mendes yang di dengarnya terasa gusrak gusruk. Apalagi kalau bukan Jendra yang masih mengutak atik pathnya.

Steal My BoyWhere stories live. Discover now