Peraturan Rajendra

265 37 3
                                    

Raut wajah Jendra makin menatajam dan menyebarkan sisi aneh bagi orang disekelilingnya. Pagi ini, semoga saja Jendra tidak meluapkan emosinya pada kami. Bisa diyakini begitulah adanya dalam fikiran mereka, memilih menyingkir daripada berurusan dengan Jendra itu lebih baik sepertinya

Langkahnya terhenti mendadak begitu melihat siapa lagi yang berani menjegatnya di jalan tepat di koridor masuk kantornya. Ia mengusap peluhnya yang sudah berjatuhan, membuat keningnya gatal juga lama kelamaan. Niatnya yang semula ingin segera masuk berubah menjadi emosi yang mencuat. Bahkan dimatanya terlihat jelas ada semburat emosi yang terkumpul disana. Jendra menghela nafasnya panjang

"Kamu tidak mempan ku bawa ke psikolog. Ikut aku!" Bentaknya kasar dan menarik tangan wanita itu sampai terjatuh sekarang, dia berhenti dan menahan nafasnya. Merasa geram lagi, dan akhirnya menoleh tepat saat wanita sintingnya itu bangkit sambil membersihkan kakinya

"Kita mau kemana, Je?"
Tak ada jawaban apapun yang ingin Jendra keluarkan. Bibirnya akan latah jika sudah menjawab wanita itu

"Duduk. Ada peraturan yang harus kamu tau sekarang," Ara diam sesaat, mencoba memikirkan peraturan apa yang Jendra maksud. Apa peraturan mengenai magangnya tahun depan? Dia bertugas untuk menyampaikan Ara karena pihak kantor sudah tahu keduanya dekat? Masih terus memutar otaknya berfikir kesana kemari dan sekarang buyar sudah melihat Jendra duduk disampingnya sambil menatapnya super super tajam. Mengerikan.

"Kamu tau ini sudah tahun keberapa kamu menguntit saya?" Ujarnya to the point, "Ara nggak nguntit. Ara suka sama Jeje, kamu budek atau pikun? Kamu lupa ingatan?"
Ara menyambar, seakan sekarang Jendra lah yang tersudutkan. Ia merubah posisinya menjadi lebih dekat, sedikit.

"Jangan suka sama saya,"
"Kok gitu, Je? Kan.." kalimatnya terpotong melihat ancang-ancang bibir Jendra yang siap bicara, "Ya, itu peraturan pertama"
Ara mengangguk walau kenyataannya masih terlalu bingung. Jendra selalu serius dalam menghadapi apapun, tapi kali ini tipe seriusnya berada di tingkat yang lebih jauh

"Yang kedua, Jangan deketin saya lagi"

"Terus? Apalagi? Kok banyak banget?" Helaan nafas Jendra terasa jelas di wajah Ara yang masih terperengah
"Udah. Kamu bebas buat ngelakuin apapun, kerja di kantor yang sama kayak aku pun, wahatever! Asal kamu ingat dua peraturan barusan"

"Kalo aku nggak ngelakuin peraturan dari kamu? Kenapa?" Jujur saja dari dalam hati Jendra, dia sangat tak tega bila wanita yang menjadi lawannya. Tapi wanita ini kan jelas berbeda dari wanita wanita lainnya. Lagipula, apa sih cinta menurut wanita sinting didepannya ini?

"Terpaksa, jabatan kamu yang masih berstatus magang itu bakal terancam. Saya nggak pernah main-main selama ini. Jangan abaikan kata-kata saya yang tadi," ancamnya lalu mulai mengendarai mobilnya. Kali ini Ara tidak akan menjawab lagi, semuanya sudah jelas dan dia masih cukup waras untuk mengerti maksud dari peraturan Jendra barusan. Apalagi kalau bukan untuk menyingkirkannya

"Kamu mau kemana sekarang? Saya antar kali ini"
"Pulang," katanya singkat dan Jendra mulai fokus pada jalanan.

Satu jam dan rumah yang dimaksud Ara untuk pulang itu juga belum ditemukan, ia bahkan mengira jika Ara hanya ingin mempermainkannya agar lebih berlama-lama dengannya. Dia tersenyum licik.
"Jangan bohong lagi, Ara. Saya bisa turunin kamu disini sekarang juga" ucapnya kelewat jengkel. Licik sekali wanita ini, fikirnya

"Em, Je, aku turun disini, mau nganter laporan" akhirnya Ara mengatakan sesuatu. Yang berarti ia akan segera lepas dari Ara sekarang, "makasih, Je. Hati-hati di jalan"

Tanpa jawaban, seperti embel-embel kata 'sama-sama' seperti orang kebanyakan ketika mendapat kalimat terimakasih. Jendra bukan tipe orang yang seperti itu. Es nya sangat sulit mencair padahal Jakarta sangat panas. Fikirnya lagi-lagi ngaco

Steal My BoyTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon