(Not) a Perfect Life

By Rasdianaisyah

767K 76.6K 3.4K

Warning! Bacalah saat benar-benar luang! Cerita ini hanya fiksi. šŸ‚šŸ‚šŸ‚ Diana dipaksa takdir untuk menelan pi... More

PROLOG
BAB 1
BAB 02
BAB 03
BAB 04
BAB 05
BAB 06
BAB 07
BAB 08
BAB 09
BAB 10
BAB 11
BAB 12
BAB 13
BAB 14
BAB 15
BAB 17
BAB 18
BAB 19
BAB 20
BAB 21
BAB 22
BAB 23
BAB 24

BAB 16

19.4K 2.8K 100
By Rasdianaisyah

"Kayaknya sejak pulang dinas, lo jadi doyan banget kopi, ya?" Restu keluar dari dapur dengan sebuah nampan kecil berisikan seteko teh dan dua gelas kosong. Sengaja ia tidak menyeduh kopi untuk satu mahluk galau yang malam ini kembali mengungsi di tempatnya. Setelah meletakkan nampan yang dibawa ke atas meja, Restu mengambil tempat di sofa buluk panjang yang berlawanan dengan tempat duduk Alfian. Mengamati raut datar karibnya yang tampak kelelahan.

Alfian mendesah. Ia mengusap wajahnya gusar. "Kenapa nggak bikinin gue kopi?"

Dan pertanyaan itu sesuai espektasi Restu. Dengan santai ia menjawab, "Cukup satu minggu ini lo begadang, Bro!"

"Tapi gue butuh kopi!" geram Alfian kesal. Pemuda ini benar-benar membutuhkan asupan kafein malam ini untuk sedikit meredakan resahnya.

Gila! Alfian mengempaskan punggungnya dengan kasar pada sandaran sofa single yang kini ia duduki. Selama satu minggu ini perasaannya tak menentu. Dan hal itu dikarenakan seorang gadis yang sudah dua bulan lebih tak ia temui.

Setengah mati ia menolak bisikan hatinya yang berkata bahwa ini rindu. Bah! Persetan dengan rasa ini. Ia tak mungkin merindukan gadis itu. Tak mungkin dan tak akan. Tapi kalau bukan rindu, lalu rasa asing apa yang kini menelisik hatinya perlahan. Menyebabkan Alfian susah berkonsentrasi dan mudah emosi.

Satu alis Restu terangkat tinggi. Alfian benar-benar kacau malam ini. Lebih tepatnya satu minggu ini. Sejak kepulangannya dari dinas kantor senin lalu. "Ada masalah di kantor cabang?" tanya Restu sembari menuang teh dari teko ke dalam gelas bening dan disodorkan ke dekat Alfian, meski ia tahu cairan keemasan itu tak akan tersentuh sedikit pun. Kemudian Restu menuang kembali ke gelas satunya untuk ia minum sendiri.

"Urusan kantor beres."

"So, kenapa muka lo ditekuk gitu?" Restu mendekatkan gelas teh yang terisi penuh ke arah bibirnya.

"Hanya sedang bingung," jawab Alfian sambil membuka kancing lengan kemeja kanannya lalu menggulung asal sebatas siku.

Selesai meyesap dua teguk teh, Restu meletakkan lagi gelasnya ke atas meja. "Tentang?" Melirik Restu sekilas, Alfian melanjutkan membuka kancing lengan kemeja sebelah kiri. Tak berniat menjawab pertanyaan tersebut.

"Masalah Sinta lagi?" Restu menebak bosan, Alfian tetap tak menjawab. Ugh, Restu paling benci kalau sudah begini. Alfian suka sekali bermain teka-teki dengannya.

"Nggak mungkin lo galau karena Diana, kan, Fi?" Padahal Restu hanya menebak asal, tapi kerutan samar di kening Alfian cukup dijadikan jawaban.

"Lo beneran suka sama dia, yah?"

"Ini nggak ada sangkut pautnya dengan gadis itu." Nada suara Alfian berubah dingin. Hal ini membuat Restu makin curiga.

Tak memedulikan ekspresi Alfian yang berubah garang, Restu tetap melanjutkan. "Kalau suka bilang aja suka. Kalau perlu kejar. Kesempatan itu nggak datang dua kali. Sekali lo melepaskan, lo harus rela kehilangan."

Pancaran mata Alfian yang berubah tajam, tak lantas membuat Restu gentar. Ia sudah sangat terbiasa dengan sikap Alfian yang dinginnya melebihi suhu di kutub utara. Kalaupun benar sahabatnya itu menyimpan rasa pada Diana, Restu setuju-setuju saja. Hanya, Restu tak bisa membayangkan kalau dua mahluk kaku macam Alfian dan Diana menyatu, akan seperti apa hubungan mereka. Sepertinya mengerikan.

"Jangan sok tahu, Restu!"

"Sok tahu?" ulang sarkas Restu. Ada senyum geli di bibirnya yang membuat Alfian makin berang. "Yang gue tahu, seorang Alfian Galileo nggak bakal emosi kalau yang ditebak lawan bicaranya keliru." Alfian membuang napas kasar. Seharusnya ia memang tak datang ke tempat ini. Restu terlalu mudah menebaknya. Tak mau merasa disudutkan lebih lama, ia pun pamit pulang. Semoga drum bisa membuat galaunya hilang.

🍂🍂🍂

"Bukan begitu, Sayang." Diana mengelap tangannya dengan serbet bersih yang menggantung di atas wastafel. Ia mendekat ke arah Doni yang sedang mengaduk adonan nastar pesanan Bu Garda. Awalnya Diana menolak saat Doni mengajukan diri untuk membantu, tapi adiknya yang memang keras kepala itu mamaksa. Jadi, disinilah mereka. Berkutat di dapur dengan adonan kue beserta tetek bengek perabotan lainnya.

Dengan sigap, Diana duduk di sebelah Doni. Lengan kirinya melingkari tubuh kecil sang adik dan menumpukan sepasang tangannya di atas sepasang tangan mungil Doni, kemudian menggerakkannya melingkar secara perlahan.

"Kalau bisa, tenaganya ditambah lebih keras lagi, biar adonannya cepet nyatu."

"Adonannya berat, Dee. Doni nggak kuat kalo cepet-cepet. Capek." Doni mencebik, merasa kesal pada tubuhnya yang masih kecil dan lemah. Padahal dia ingin membantu, bukan cuma jadi beban melulu.

Gerakan tangan Diana yang sedang membimbing Doni mengaduk adonan terhenti. Ia melepaskan tangangannya dan berganti menangkup pipi tembam Doni dengan gemas. "Tahu apa yang nggak bikin capek?" Senyum jail yang tersungging di bibir tipisnya mengundang rasa penasaran Doni. Kening bocah itu berkerut dalam. Ia pun kemudian menggeleng.

"Yang nggak bikin capek tuh—" Melepaskan tangkupannya pada pipi Doni, Diana mengarahkan tangannya pada wadah tepung. Ia mengambil segenggam kemudian mengoleskannya pada muka cemberut sang adik, "—Ini..." Tawa tak dapat Diana bendung melihat wajah Doni yang belepotan. Membuat bibir Doni yang sudah mengerucut makin maju kedepan.

"Dideeee ...," jeritnya menahan kesal. Tak mau kalah, ia bangkit dari duduknya, berlari ke sudut meja, meraup tepung menggunakan kedua tangan mungilnya sekaligus dan langsung melemparkan ke arah Diana yang dengan gesit segera menghindar.

"Wee ... nggak kena."

Diledek seperti itu membuat Doni makin kalap. Ia pun berlari mengejar sang kakak yang sudah mengambil ancang-ancang untuk kabur. "Awas aja! Didee nggak akan bisa kabur dari aku!" Doni mengayun kakinya lebih cepat menuju Diana dan melempar sembarangan tepung yang ada dalam genggamannya. Senyum kemenangan Doni muncul saat tepung yang ia lempar keudara mengenai rambut Diana yang kala itu dikuncir kuda, membuat warna hitamnya berubah abu-abu.

"Haha ... kena!" Dengan tawa yang masih menggema, Doni kembali ke ujung kanan meja untuk mengambil lagi tepung yang tersisa untuk menyerang Diana. Ia menyerang Diana secara bertubi-tubi hingga wajah sang kakak belepotan seperti wajahnya.

Seketika Diana terpaku di sudut ruangan. Satu tetes air mata lolos begitu saja melihat tawa lepas Doni. Rasa lelah yang sejak sore mendera hilang begitu saja, berganti rasa hangat menjalar perlahan merayapi hatinya. Diana baru tahu, ternyata bahagia itu sederhana. Sesederhana insiden kecil malam ini. Dihapusnya genangan air asin itu saat tubuh kecil Doni berbalik setelah mengambil sisa tepung entah untuk ke berapa kalinya, hendak menyerangnya lagi. Cepat-cepat Diana menghindar dengan tawa yang menggelegar.

Sepertinya nanti Diana harus begadang untuk menyelesaikan pesananan Bu Garda. Tapi tak mengapa, yang terpenting Doni kembali ceria.

Tiba-tiba pergerakan mereka terhenti kala ada suara kerukan pintu mengintrupsi. Diana menoleh dengan alis terangkat, bibirnya berkedut berusaha menahan tawa saat mendapati sang adik tengah mematung dengan tangan kanan teracung k eudara, siap melemparinya, tapi tak jadi.

Bibir Doni kembali mengerucut, merasa kesal pada siapa pun yang telah menggganggu quality time yang jarang mereka miliki. Perlahan, ia menurunkan tangan kanannya seiring dengan pergerakan bahu mungilnya yang sedikit merosot. Ia ingin bermain lebih lama lagi.

Mengetahui perubahan ekspresi Doni, Diana tersenyum. Ia menghampiri Doni, berlutut mensejajarkan tinggi tubuhnya dengan sang adik dan mengacak rambut Doni yang berubah warna putih penuh sayang.

"Bukain pintu, sana. Didee mau beresin dapur dulu."

Ada raut tak suka dalam ekspresi Doni, tapi bocah itu tak berkata sama sekali. Mengangguk rikuh, ia pun berjalan melewati Diana menuju pintu depan untuk menemui si tamu tak kenal situasi.

"Halo, Doni."

Wajah Doni yang semula suram berubah cerah seketika. Di hadapannya kini sudah ada Rissa dengan kedua tangannya terangkat tinggi, memperlihatkan dua katong kresek putih yang ia bawa.

"Halo, Kak Rissa!" balasnya ceria. Ia mundur selangkah untuk mempersilakan Rissa masuk. Tanpa canggung, Rissa mengayun langkahnya ke dalam. Ia meletakkan bingkisan yang dibawa ke atas meja ruang tangah kemudian berbalik seraya merentangkan tangan lebar-lebar. Meminta satu pelukan yang langsung diberikan Doni.

"Ah, Kakak kangen banget sama kamu."

"Siapa, Do?" tanya Diana dari arah dapur.

Melepaskan pelukannya, Rissa menyahut, "Ini gue, Dee."

Detik berikutnya, sosok Diana muncul di antara mereka denga penampilan yang masih berantakan dan belepotan tepung. Rissa yang melihatnya mengerutkan kening. Ia memperhatikan kakak beradik di hadapannya bergantian.

"Kalian abis ngapain? Kok, belepotan gitu?" tanyanya.

Bukan menjawab, Diana malah melarikan pandangan penuh arti pada Doni. Mengrimkan kode tersirat melalui pandangan mata yang diterima Doni dengan seringai jailnya.

"Sini Kakak nunduk, biar Doni bisikin," celetuk Doni yang dituruti Rissa tanpa curiga. Ia pun menunduk. Mendekatkan telinganya kearah bibir Doni, siap memdengarkan jawaban.

Senyum jail Doni melebar. Serta merta ia merentangkan satu tangannya yang masih menggenggam tepung lalu diusapkan kewajah Rissa. Suara pekikan tertahan Rissa yang menggema diruang tamu praktis mengundang tawa kakak beradik usil itu.

"Doniiii...!" geram Rissa. Ia menegakkan punggungnya dan mengarahkan pandangan membunuh pada Diana yang kini sibuk memegangi perutnya karena tak sanggup menahan tawa. Merasakan pergerakan Doni yang sudah mengambil ancang-ancang untuk kabur, Rissa segera bergerak cepat. Disergapnya tubuh mungil Doni ke dalam dekapan kemudian menggelitiki pinggang bocah itu hingga Doni memohon ampun, meminta dilepaskan yang tentu saja tak akan semudah itu.

"Ampun, Kak. Hahah ... haaa. Gel-li ...."

"Nggak mau!" Rissa terus menggelitik tak memedulikan Doni yang sudah mengeluarkan air mata saking gelinya.

Diana yang baru bisa meredakan tawanya tak mau repot-repot membantu Doni melepaskan diri. Alih-alih ia mengambil posisi duduk di salah satu kursi kayu yang mengelilingi meja ruang tengah. Ia membuka salah satu kresek yang dibawa Rissa dan mengambil satu bungkus cemilan dari sana. Dia lebih memilih menikmati interaksi Doni dan Rissa yang tanpa canggung sambil ngemil. Ia bahagia. Cukup dengan Doni dan Rissa di sampingnya.

Kalau dipikir ulang, hidup Diana cukup beruntung. Ia memiliki seorang adik semanis Doni dan seorang sahabat sepeduli Rissa. Sahabatnya yang satu itu bahkan ikut mengundurkan diri dari GG. Katanya, kalau Diana tidak lagi bekerja disana, Rissa pun tak memiliki alasan untuk bertahan. Karena Rissa bekerja di sana sebab ingin menemani Diana, dan juga demi menyelesaikan satu misi rahasia. Misi rahasia Rissa yang sampai kini tak diketahui Diana. Ia pun tak ingin memaksa Rissa untuk bercerita, toh suatu saat misi itu akan terungkap juga saat Rissa sudah siap membaginya.

Rissa dan Doni adalah orang terakhir yang akan menghianatinya. Itu keyakinan Diana.

🍂🍂🍂

Yang kepo pengen baca duluan, bisa langsung ke karyakarsa, ya. Di sana lengkap sama ekstra partnya ^^

Continue Reading

You'll Also Like

Kurirasa 1990 By v i v i

General Fiction

10.6K 2.9K 12
ADIK MENIKAH DULUAN, MEMANGNYA KENAPA? Ketika Wening dilangkahi oleh sang adik, seketika keluarga besar mulai panik. Kekhawatiran mengenai calon jodo...
1.4K 356 5
River: A Man Who Came in My Dreams by Septi Nofia Sari & Emerald Dalam kisah yang ia tulis bersama Bita, Moana menceritakan tentang sosok tak dikenal...
14.5K 2.6K 7
Elana adalah upik abu yang sepanjang hidupnya terjerat hutang. Tersudutkan dengan kekurangan finansial. Arka adalah si pangeran yang terlahir dengan...
35.7K 9.9K 48
Ketemu masa lalu yang sudah di flush jauh-jauh itu memang ibarat membuka pandora box atau makan sekotak coklat ala Forrest Gump. Kita tidak pernah ta...