Rinai Hujan

By LupitaZhou

173K 9.5K 149

NO COPAS/REMAKE!!! CERITA INI BELUM MENGALAMI REVISI EYD... Aku menemukan bidadari kecil. Sayang, bidadari it... More

Rinai Hujan 1
Rinai Hujan 2
Rinai Hujan 3
Rinai Hujan 4
Rinai Hujan 5
Rinai Hujan 6
Rinai Hujan 7
Rinai Hujan 8
Rinai Hujan 9
Rinai Hujan 10
Rinai Hujan 11
Rinai Hujan 12
Rinai Hujan 13
Rinai Hujan 14
Rinai Hujan 15
Rinai Hujan 16
Rinai Hujan 18
Rinai Hujan 19
Rinai Hujan 20
Rinai Hujan 21
Rinai Hujan 22
Rinai Hujan 23
Rinai Hujan 24 (ENDING)
Rinai Hujan - EPILOG
Rinai Hujan - Extra Part

Rinai Hujan 17

5K 340 1
By LupitaZhou


Hujan kembali mengguyur kota Bandung di sore hari. Ternyata hujan juga membanjiri mata Rei. Jika ditanya mengapa, maka Rei tidak akan bisa menjawab alasan mengapa ia menangis. Ia sendiri tidak tau. Apa ia menangisi Clery? Rei akan menjawab dengan tegas: tidak! Selama dua tahun ini saat mengenang Clery, ia tidak pernah menangis. Kalau pun menangis, ia tidak akan mengeluarkan air mata. Clery tidak boleh melihatnya menangis. Ia kuat, lebih kuat dari Rain. Lalu ia menangis untuk apa? Atau untuk siapa? Rei tetap tidak menemukan jawabannya. Ia ingin menangis, maka ia menangis. Dan disinilah ia menangis, gazebo kebun.

Tangannya mencoba terjulur, menyentuh air hujan. Ia memejamkan mata, mencoba merasakan. Suara gemericik air hujan menyambut indra pendengarannya. Tetesan air yang jatuh ke telapak tangannya menimbulkan rasa geli yang menyenangkan. Ia tetap terpejam, merasa nyaman. Tiba-tiba ia merasa sebuah tangan lain menopang tangannya. Ikut merasakan tetes air hujan bersamanya. Suara gemericik itu kini diikuti suara tawa seseorang. Suara itu adalah suara yang sangat dirindukan Rei. Suara yang selama dua tahun ini tidak akan pernah ia lupakan. Rei tidak ingin membuka mata, ia takut jika ia membuka mata maka suara itu akan hilang. Ia takut semua ini hanya sebuah halusinasi karena kerinduannya yang begitu besar.

"Buka mata Kakak..." suara itu seakan menuntun Rei untuk membuka kelopak matanya secara perlahan.

Tuhan, apa ini halusinasi? Dia ada di depanku dan dia terlalu nyata. Seorang bidadari yang sudah Kau ambil kini kembali ke bumi. Dan ia datang tepat disaat aku menangis!

Clery tersenyum, tangannya terjulur dan mengusap air mata Rei. Rei tidak berkedip. Ia memandang Clery yang tampak begitu cantik dengan gaun putihnya. Sekarang ia benar-benar seorang bidadari. Wajahnya masih sama seperti dua tahun yang lalu.

"Clery..." hanya itu yang bisa Rei ucapkan dari sekian banyak kata yang ingin ia sampaikan pada Clery.

"Aku disini, Kak..." balas Clery lembut.

"Jangan pergi lagi..." Rei memohon dengan suara parau.

"Aku nggak pernah pergi. Aku selalu ada di hati Kakak," Clery perlahan menggenggam tangan Rei. Rei bisa merasakan tangan Clery begitu dingin dan pucat.

"Aku cinta kamu!" perlahan Rei mengungkapkan perasaannya. Clery harus tau tentang itu, bukan hanya lewat sebuah buku, tapi langsung terucap dari bibirnya.

"Aku tau," jawab Clery dengan senyum yang mampu membuat Rei merasakan sebuah kebahagiaan yang selama ini ia nantikan. "Kakak bisa kasih alasan kenapa Kakak cinta aku?"

Tanpa berpikir panjang, Rei langsung menjawab, "karena kamu istimewa. Setiap aku ada di deket kamu, pasti aku merasa bahagia."

"Aku sayang Kak Rein."

Mata Rei kembali berkaca-kaca. Ia menangis lagi. Tangis bahagia. Tidak pernah ia merasa sebahagia ini seumur hidupnya.

"Kak, biarkan aku selalu ada di hati Kakak, tapi jangan tutup hati Kakak terhadap orang yang mencintai Kakak. Aku juga tau saat ini Kakak sedang jatuh cinta."

"Nggak sebesar cintaku ke kamu," Rei menegaskan.

"Berarti Kakak tetap mencintainya. Seandainya Kakak bisa baca hatiku mungkin Kakak akan tau betapa besar aku sayang sama Kakak, juga Kak Rain. Aku sedih saat harus ninggalin kalian karena kalian adalah harta yang paling berharga. Tapi yang bikin aku lebih sedih adalah saat melihat kalian juga terlarut dalam kesedihan yang seharusnya nggak pernah ada. Keinginan terbesarku adalah melihat kalian bahagia. Melihat kalian tertawa dan tetap menjalani hidup kalian dengan baik. Yang harus kalian mengerti, aku pergi bukan berarti aku ninggalin kalian. Aku tetap bersama kalian. Jadi, Kak Rein, jangan sedih lagi. Kakak juga harus berani mencintainya. Karena aku yakin dia bisa menjadi bidadari kakak yang akan selalu setia bersama Kakak, selain aku. "

Clery benar, tidak seharusnya ia seperti ini. Hidupnya masih panjang dan masih ada seseorang yang mungkin mencintainya dan sedikit sudah dicintainya tanpa ia sadari. Rei merasa lega sekarang. Ia sendiri masih sangsi apakah pertemuannya dengan Clery ini kenyataan atau hanya mimpi. Yang jelas pertemuan ini sudah berhasil membuka matanya, terlebih hatinya untuk kembali berani mengejar apa yang ia inginkan yaitu sebuah kebahagiaan yang melebihi kebahagiaannya yang sekarang.

"Kak, mau dansa di bawah hujan sama aku?" Clery mengulurkan tangannya pada Rei. Rei menyunggingkan senyum tanda setuju. Ia menyambut uluran tangan Clery kemudian mereka menari di bawah hujan dengan tawa kebahagiaan.

***

Mata Rei terbuka. Ia memandang sekelilingnya. Suasana kebun dan tetes air hujan masih memenuhi ruang pandangnya. Ia tertidur di kebun, itu sudah pasti. Jadi... pertemuannya dengan Clery hanya sebuah mimpi. Rei mengusap-usap wajahnya. Ia bersyukur karena Tuhan masih mau mempertemukannya dengan Clery walaupun hanya lewat mimpi. Hati Rei kini merasa lebih tenang. Ia memandang hujan yang belum juga ingin mereda. Ia mulai menyukai hujan seperti Clery juga menyukainya.

Tangannya kembali terjulur, merasakan air hujan lagi dengan mata yang tak lagi terpejam. Sensasi yang selama ini belum pernah ia rasakan tiba-tiba merasuki seluruh tubuhnya, mengalir bersama aliran darahnya dan membawa kehangatan luar biasa. Bau aroma hujan menusuk indra penciumannya. Rei belum puas, ia ingin lebih dari sekedar ini. Maka Rei segera berdiri dan berjalan menembus hujan, berdiri di tengah kebun dengan kedua tangan terlentang. Sama seperti yang dilakukan Rinai di lapangan sekolah beberapa hari yang lalu. Rei tertawa sendiri, ia tidak bisa menahan kebahagiaannya. Ia terus tertawa sambil merasakan air hujan membasahi seluruh tubuhnya.

"AAAARRGGGHHHH!!!" Rei meyakini, berteriak tidak hanya untuk mengungkapkan kesedihan, kemarahan, ketidakmampuan, keputusasaan, rasa sakit atau hal menyakitkan lainnya, tetapi berteriak juga bisa mengungkapkan kebahaiaan.

***

"Udah, Rin, jangan nangis dong. Jelek tau kalau lo nangis," Rain berusaha menenangkan Rinai yang saat ini tengah menangis di depannya.

"Aku takut, Kak. Aku takut ketemu dia. Dia pasti marah banget sama aku!" tangis Rinai semakin keras.

"Rei nggak akan marah cuma gara-gara masalah ini, Rin. Kalau dia marah biar gue yang ngomong ke dia."

"JANGAN, KAK!!!" Rinai berubah panik.

"Lho?? Kenapa?"

"Takuuutttt! Huaaaaa....."

"Lo kalo takut juga nggak usah teriak-teriak gitu. Udah denger nih gue!" tanpa diduga Rei muncul dari pintu depan dengan masih mengenakan seragam yang basah kuyub. Rei hanya berkata seperti itu, kemudian ia langsung bergegas menuju lantai atas.

"Huuaaa.... Tamat nasibku, Kak! TAMAT!!!" Rinai kembali dirasuki rasa panic yang berlebihan.

"Aduh, tenang deh, Rin! Ada gue yang bakal belain lo. Rei pasti nurutin semua kata-kata gue, percaya deh!" Rain jadi ikut gelagapan menenangkan Rinai.

"Tapi Kakak perhatiin wajahnya tadi?? Dingiiin banget, Kak!"

"Yah, kalo dingin ntar biar gue angetin deh. Gimana?" Rain tidak bisa menahan tawanya.

"Kakaaakkk!!! Malah bercanda lagi! Ini masalah hidup dan mati, Kak!" Rinai mulai berlebihan.

Rain tertawa semakin keras. Rinai makin cemberut. Suara langkah kaki terdengar dari tangga. Rei terlihat masih dengan seragam basahnya. Di tangannya ia membawa handuk dan pakaian kering.

"Nikmatin aja saat-saat terakhir lo disini. Lihat aja bentar lagi, lo bakal..." Rei memperagakan gaya orang yang sedang sekarat lengkap dengan kejang-kejangnya. Setelah acara memperagakan selesai ia langsung masuk ke dalam kamar mandi.

"Huaaaaa...!!!! Aku bener-bener nggak bisa diselametin, Kak!!!"

Rinai kembali menangis, rain tertawa terbahak-bahak, sementara dari dalam kamar mandi terdengar Rei sedang menyelenggarakan konser tunggal rock dengan penonton gayung, sabun, sikat gigi, dll.

***

Benar saja, setelah mandi Rei langsung menculik Rinai. Aksi penculikan itu dilakukan di depan Rain yang kelihatannya lebih berpihak kepada si penculik daripada kepada si korban. Hal itu terlihat dari sikap Rain yang membiarkan kejadian itu terjadi. Ia malah mengedipkan sebelah mata pada si penculik yang notabene adalah adiknya sendiri.

Dengan motornya, Rei membawa Rinai ke sebuah tempat dimana mereka bisa melihat pemandangan kota Bandung dari atas bukit. Ternyata Tuhan memang baik, Ia memiliki rencana yang indah, buktinya saat Rei membawa Rinai kemari hujan sudah reda. Rei menepikan motornya, ia mengajak Rinai turun. Suasana hijau menyambut Rinai. Perbukitan yang begitu indah dan sejuk apalagi setelah disiram oleh air hujan.

Mereka duduk di sebuah batu yang cukup besar sambil menikmati alam ciptaan Tuhan. Tidak ada yang ingin memulai pembicaraan. Rei sendiri terlihat tenang, berbeda dengan Rinai yang dari tadi merasa takut dan was-was. Di tempat seperti ini yang jauh dari jangkauan Opa, Oma, Rain, bahkan orangtuanya, bisa saja Rei melakukan hal-hal yang bodoh dan gila. Rinai sangat memahami bahwa jalan pikiran Rei aneh. Bisa saja dalam waktu yang bersamaan ia bisa tertawa dan menangis. Masih menikmati alam di hadapannya, sudut mata Rinai mencuri pandang ke arah Rei. Rei masih saja terlihat tenang, tidak ada tanda-tanda ia akan melakukan hal-hal yang gila. Hal ini jelas semakin membuat alarm tanda bahaya di kepala Rinai berdering keras. Tenang bukan berarti aman, tenang bisa jadi mematikan. Itulah seorang Rein Alfandi.

Tak terasa sudah lama mereka hanya diam tanpa berbicara. Langit mulai gelap. Lampu-lampu kota mulai menyala. Rinai jadi ingat saat dulu bersama Tirta ia sering memandang bintang di atas bukit. Sayang sekali malam ini mendung, tidak ada satu bintang pun yang mau keluar dari persembunyiannya. Tapi Rinai masih merasa ia bisa melihat bintang. Ribuan lampu yang bersinar berwarna-warni seolah adalah bintang-bintang yang membentuk rasi-rasi yang indah. Untuk sejenak, Rinai tenggelam dalam pikirannya.

"Lo tau nggak kalau lo berani nampar gue hukumannya apa?"

Rinai menoleh, kalimat pertama Rei seakan menyadarkan dirinya bahwa saat ini ia sedang berada dalam bahaya. Rinai sadar sesadar-sadarnya bahwa sekarang bukan saat yang tepat untuk membayangkan sesuatu yang romantis. Sekarang adalah saat yang paling tepat untuk berusaha menyelamatkan diri dari mahkluk di depannya.

"Lo nggak bilang, mana gue tau?" Rinai mencoba mempertahankan diri dengan memberi pertanyaan bernada angkuh agar Rei tidak merasa bahwa saat ini ia sedang PANIK!

"Lo... harus... cium... gue!" Kata demi kata yang begitu tegas meluncur dari mulut Rei.

"Apaa??!! Hahaha... lo bercanda aja deh!" Rinai ketawa maksa. Tangannya menepuk-nepuk bahu Rei untuk menyamarkan rasa gugupnya.

"Saat ini gue adalah orang paling serius di dunia!" tandas Rei tegas.

"Kalau bukan bercanda brarti lo lagi ngaco dong? Hahaha..." Rinai gugup stadium satu.

"Cuma cium gue, apa susahnya sih?"

"Lo emang nggak masuk akal! Hahaha..." Rinai gugup stadium dua.

"Lo tinggal jawab, iya atau nggak?"

"Gue nggak habis pikir gimana jalan pikiran lo! Hahaha..." Rinai gugup stadium tiga dan sudah divonis mati.

"Iya atau enggak?!"

"Lo itu... lo itu emang... lo..." Rinai gugup dalam tahap koma.

Tangan Rei terjulur dan menarik wajah Rinai mendekat. Dengan cepat ia mengecup bibir Rinai. Menahan ciumannya, merasakan manis bibir Rinai. Melumat sebentar. Sebelum melepaskan ciumannya. Rasa gugup Rinai saat ini sudah mati digantikan oleh rasa yang sulit ia ungkapkan. Jantungnya seakan berhenti sesaat. Ia juga kehilangan oksigen untuk sesaat. Tubuhnya terasa seperti disengat listrik dengan tegangan tinggi. Ia sekarat.

"Mulai sekarang kita pacaran!" tegas Rei dengan nada otoriter

"Apa??!! Enak aja, itu keputusan sepihak!" rasa gugup itu pun bangkit dari kubur. Rinai melontarkan apa saja agar ia terlihat biasa saja. Tengsin dong kalau ketahuan bahwa saat ini adrenalinnya sedang dipacu seperti saat naik roller coaster.

"Lo nggak bisa ngelawan gue!" kedua tangan kokoh Rei memegang pipi Rinai agar Rinai tidak bisa berpaling.

"Gue nggak suka sama lo, ngapain kita pacaran?" Mata Rinai menantang mata Rei.

"Gue juga nggak suka sama lo, tapi gue pingin kita pacaran!" balas Rei dengan suara keras.

"Dasar semena-mena!!!"

"Dari dulu gue kayak gini, lo nggak terima, hah?"

"Iya...ehh, enggak...ehh..."

"Pipi lo merah tuh! Sini gue cium lagi biar tambah merah! Hahaha..."

"Reeeeeiiiiii!!!" Dan sebelum Rinai berhasil mengeluarkan jurus protesnya, bibir Rei sudah berhasil mengunci bibir Rinai dan menciumnya lebih lembut dan dalam.

TBC


Dan... akhirnya pasangan absurd ini pacaran sodara-sodaraaa...

Kisah Rei, Rinai dan Rain masih agak panjang nih...

Ditunggu terus ya part selanjutnya..

Ditunggu juga vote dan commentnya..

Maaf ya kalo psrt ini nggak nge-feel atau banyak kurangnya...

Peluk cium dan salam sayang,, :* :*



Continue Reading

You'll Also Like

Spaces By Ritonella

Teen Fiction

134K 11.5K 25
Awalnya Sabil berada di sisi Satria dengan sebuah permintaan dari lelaki itu. Tapi masalahnya, Sabil sudah terlalu jauh jatuh, sedang Satria masih sa...
38.7K 4.4K 30
Layaknya bumi yang butuh pendamping, gue juga butuh. Matahari dan Bulan jawabannya.
17.9K 1.5K 6
Ini cerita pendek Tentang Kita Yang aku percaya Berhak mendapat sebuah akhir bahagia. (c) 2016 by Iyuscori cover by: words-in-the-paradise...
7.6K 926 23
Forelsket (n.) ㅡthe word for when you start to fall in love. a euphoria in a sense; the beginning of love. Tentang lima siswa dan tiga siswi SMA Nusa...