7Promises (FINISH)

By ruthwidajaja

748K 43K 927

Pengalaman one night stand dengan seorang perempuan misterius yang dialami oleh seorang Nathaniel Allen tidak... More

Sinopsis
CHAPTER 1
CHAPTER 2
CHAPTER 3
CHAPTER 4
CHAPTER 5
CHAPTER 6
CHAPTER 7
CHAPTER 8
CHAPTER 10
CHAPTER 11
CHAPTER 12
CHAPTER 13
CHAPTER 14
CHAPTER 15
CHAPTER 16
CHAPTER 17
CHAPTER 18
CHAPTER 19
CHAPTER 20
CHAPTER 21
CHAPTER 22
CHAPTER 23
CHAPTER 24
CHAPTER 25
CHAPTER 26
CHAPTER 27
CHAPTER 28
CHAPTER 29
CHAPTER 30
CHAPTER 31
CHAPTER 32
CHAPTER 33
CHAPTER 34
CHAPTER 35
CHAPTER 36
EPILOG

CHAPTER 9

22.4K 1.3K 18
By ruthwidajaja

DANIEL DAVIS>>>

...........................................................................................

Paris dan Italia.

Tentu saja, aku tidak terkejut dengan negara pilihannya. Aku sudah membaca buku diarynya dan dua kota itu merupakan 'top visit' Abby. Paris, tentu saja pilihan setiap wanita. Kota romansa, apapun itu. Menggelikan. Sampai sekarang aku masih tidak dapat mengetahui alasan yang masuk akal mengapa setiap wanita ingin pergi ke Paris?

Seseorang mengetuk pintu rumahku, aku membuka pintu dan melihat Cam juga Daniel berada di depanku dengan wajah 'What the hell just happened?'

Kemarin siang, setelah Daniel menggeretku keluar dari rumah Maddy, aku segera kabur dengan alasan kalau dad membutuhkanku di bengkel. Lalu, pada malamnya dia terus menerus meneleponku tanpa henti tapi aku tidak berniat untuk mengangkatnya. Oke, aku hanya membalas pesan dari Abby – thank you Dani karena telah memberiku nomor perempuan itu. Aku sedikit terkejut ketika mendapatkan pesan dari Abby, bukannya aku tidak senang loh – aku malah bersyukur karena bisa mendapatakan nomer handphone Abby tanpa harus menggoda seseorang pun. Aku menggelengkan kepalaku ketika mengingat kejadiaan saat aku harus berurusan dengan Miss Lim agar mendapatkan nomer Maddy untuk Daniel. Untunglah aku tidak perlu mengalami hal serupa.

"Apakah mataku tidak salah melihat? Kau memberiku email yang menyatakan kalau nama pendampingmu adalah Abigail Summer?" jerit Cam bersamaan dengan perkataan Daniel.

"Apa kau gila? Kau melakukan sex dengan sahabat karib, Maddy. Perempuan itu sudah bersiap – siap akan membunuhmu jika sampai kau menampakkan wajahmu di rumahnya!" ujar Daniel tampak jengkel.

"Oke, gantlement!" ujarku mengangkat kedua tanganku, memberi mereka tanda agar mereka segera menutup mlutnya. "Kalian bisa duduk di sofa dan dengarkan aku menceritakan semuanya." Aku menahan tawa ketika mereka berdua mengikuti perintahku dan duduk di sofa dengan patuh. "Dengarkan baik – baik ceritaku karena aku tidak akan mengulangi lagi dan mohon tahan bibir sexy kalian berdua saat kalian ingin mengajukan pertanyaan karena aku akan membuka sesi tanya jawab di akhir ceriaku. Setuju?"

Mereka berdua mengangguk, mematuhi perkataanku. Aku berusaha menahan tawa melihat dua orang yang sudah menatapku dengan tidak sabar. Rasa penasaran ternyata mampu membuat mereka mematuhi semua perkataanku. Mungkin, aku harus lebih banyak memberi mereka kejutan agar mereka bisa tunduk kepadaku.

"Hei, Nate!" teriak sebuah suara langsung menerobos kamarku tanpa mengucapkan salam pembuka. "Apakah benar yang kudengar dari Dani kalau kau akhirnya jatuh cinta kepada salah satu perempuan one night standmu?"

"Halo, Aiden," ujarku menyapa temanku satu lagi. "Silahkan kau juga duduk disini untuk mendengarkan dongeng dari Daddy Nate."

"Mengapa Dani bisa menghubungimu?" tanya Cam kepada Aiden dengan curiga.

Aiden duduk di sebela Cam dan menggelengkan kepalanya. "Aku datang ke apartemenmu tapi Dani mengatakan kalau kau sedang tidak ada karena kau ingin memastikan hubungan percintaan Nate yang bisa dimasukkan dalam katagori tujuh keajaiban cinta. Dan Dani menceritakan semuanya dengan sedetail – detailnya."

Aku memutar bola mataku ketika mendengar kebohongan yang kulontarkan kepada Cam dan Dani. Mungkin, seharusnya aku berterus terang – dan Magdalena Autumn akan segera mengulitimu seperti pejagal yang menguliti sapi. Aku menggelengkan kepalaku dengan ngeri. "Sampaikan rasa terima kasihku yang terdalam untuk mulut besar Dani!" ucapku sinis kepada Cam.

"Apa yang ingin kau bicarakan kepadaku, Aiden?" tanya Cam tidak menggubris perkataanku.

" Aku datang kesana untuk berdiskusi denganmu karena perusahaanku ingin mengakusisi dari Offshore Company."

Cam mengerutkan dahinya. "Offshore Company dari Panama?"

"Yups!" ucap Aiden dengan yakin. Well, aku tidak pernah menyangka selama ini jika si nerd Aiden Blake ternyata adalah salah satu pewaris perusahaan terkenal di kota London, sehingga membuatnya salah satu mogul muda yang memiliki kekayaan ratusan juta poundstarling. "Tapi, aku tidak yakin dengan hubungan antara negara Inggris dengan Panama. Aku tidak ingin membeli sebuah perusahaan tapi aku tidak bisa memaksimalkannya dengan baik dikarena hubungan antar negara tidak baik..."

"Hei, hentikan kalian berdua!" jeritku kepada dua orang berIQ tinggi di depanku. "Kalian harus memberi sedikit rasa kasihan kepada pria di samping kalian. Kurasa dia akan pingsan sebentar lagi jika kalian berdiskusi topik yang oleh otaknya tidak bisa dicerna dengan baik.

Daniel sudah menatap Cam dan Blake dengan mulut terbuka dan kening berkerut, seperti berusaha untuk menelaah sebagiaan dari pembicaraan mereka. Wajah Daniel sontak memerah saat dia sudah menjadi sentral perhatiaan kami. Daniel menatapku dengan jengkel. "Terima kasih atas perhatiaanmu terhadap otakku yang lemah, Allen," ucapnya dengan sangat sarktaris – yang sungguh – oh – so – Maddy's – style.

"Kau sahabat baikku, Davis!" ucapku menganggukan kepala dan berusaha menampilkan wajak sok perhatianku. "Sudah seharusnya aku memperhatikanmu seperti seorang 'Mommy Ducky' yang khawatir dengan keadaan otak kecil anaknya."

"Jadi, bisakah kita kembali lagi ke pembicaraan tentang hubungan percintaan Nate," tanya Daniel dengan sebal kepada Cam dan Aiden.

"Ya.. ya... Seperti yang sudah Aiden jelaskan. Bukankah beberapa hari yang lalu kau mengatakan kalau kau jatuh cinta dengan perempuan yang bernama Camila?" tanya Cam dengan sebal. "Apakah sesaat setelah kau melihat gadis lain yang lebih menggiurkan – kau melupakan cinta pertamamu? Atau itu hanya kebohonganmu belaka?"

Aku meringis ketika mendengarkan Cam menyebutkan kebohongan dan cinta pertama. Karena, aku memang bohong – aku tidak pernah jatuh cinta dengan perempuan bernama Camila tersebut tapi aku hanya tertarik untuk melakukan sex lagi dengannya.

"Sebentar! Camila itu siapa? Dan, apakah kau barusan mengatakan kalau Nathaniel Allen sedang jatuh cinta?" tanya Daniel tampak terkejut. Oh, ya – aku tidak menceritakan pengalamnku kepadanya. Lebih tepatnya aku lupa setelah banyak masalah yang terjadi beberapa hari ini. Sebentar lagi, aku harus mendengar keluhan sensitif Daniel yang merasa sakit hati karena aku lebih memilih Cam dibandingkan dirinya. Bla. Bla. Dan. Bla.

"HA! Diam Daniel!" ujar Aiden menggunakan nada perintahnya yang aku masih belum terbiasa mendengarnya. Ya, kalian tahulah. Saat di sekolah tidak ada yang mengetahui identitas sebenarnya seorang Aiden Blake. Yups, bisa dibilang dia seperti Clark Kent yang menyembunyikan identitasnya. "Aku lebih tertarik dengan pertanyaan yang ditanyakan oleh Cam dibandingkan pertanyaan yang kau tanyakan."

"Terima kasih Aiden!" ujar Cam tersenyum mengejek kepada Daniel. "Nah, sekarang jelaskan kepadaku!" ujar Cam dengan galak kepadaku.

"Sudahkah kau melihat foto copy passport milik Abby?" tanyaku kepadanya.

"Apa maksudmu...."

Aku segera memutus kalimat Cam. "Coba teliti passport milik Abby dan kalian semua akan mendapatkan jawabannya."

Aiden segera beringsut makin mendekati Cam dan mereka bertiga membuka Iphone milik Cam. Aku hampir tertawa melihat tingkah laku ketiga pria itu. Daniel masih menatapku dengan bingung. "Aku masih tidak mengerti..."

"Oh shit!" runtuk Aiden. "Ooo shit!"

"Ya... shit," beoku kepada Aiden yang tampaknya sudah menyadari apa yang telah terjadi.

"Abby dan Camila adalah orang yang sama?" tanya Cam dengan wajah terpaku.

"Abigail Camila Lopez–Summer," ujarku tersenyum kepada mereka bertiga. Wajah Cam dan Aiden tampak terpangu karena terkejut, sedangkan wajah Daniel tampak sangat bodoh karena tidak mengetahui semua alur cerita.

"Aku masih tidak tahu yang kalian maksud...."

"SHUT UP!" ujar Cam dan Aiden berbarengan kepada Daniel.

Hal yang paling membingungkan adalah saat Cam tiba – tiba memelukku dan menepuk bahuku. "Akhirnya... kau akan mendapatkan pacar tanpa harus bersusah payah mencarinya. Dan setelah tahu kalau wanita itu adalah Abby, aku semakin tenang karena ternyata wanita itu adalah wanita baik – baik. Juga, kami semua mengenal wanita itu dengan baik."

Aku berusaha menahan senyumku mendengar komentar Cam. Sejak kapan sahabatku menjadi pria yang melankonis seperti ini. Aku juga sedikit merasa bersalah karena telah berbohong kepadanya. "Tapi, Abby tidak mau menerimaku sebagai pacarnya."

"Apa?" tanya Cam dengan terkejut.

Aku menatap Daniel dengan ekspresi jengkel. "Karena pacarmu telah bercerita kepada Abby kalau aku adalah pria mata keranjang."

"Itu memang fakta," ujar Daniel pelan ditambah dengan anggukan menyebalkan dari Aiden

"Dan, aku hanya pria yang senang menyakiti hati perempuan."

Daniel menghembuskan nafas panjang dan berguman. "Sekali lagi. Itu faktanya." Aiden sekali lagi menganggukan kepalanya tampak menyetujui ucapan Daniel.

"Kalau aku hanya tertarik kepada one night stand dan tidak mau berkomitmen."

Daniel menatapku dengan wajah serius dan mengatakan kalimat ajaib yang sudah dikatakannya sebanyak tiga kali. "Dan. Itu. Memang. Fakta."

Aiden menganggukan kepala lagi dan memberikan ancungan jemponya kepada Daniel. "Hentikan semua gerakan menyebalkan itu, Aiden Blake."

Aiden meringis pelan dann menatapku dengan tatapan inosennya. "Kau bisa melanjutkan ceritamu."

Aku melanjutkan cerita dengan nada sebal. "Tapi, masalahnya dia tidak mempercayaiku lagi setelah semua hal yang didengarnya oleh Maddy," ujarku masih berakting menjadi pria yang sedang sangat jatuh cinta di depan teman – temanku. "Pacarmu telah membuatku kesulitan untuk mendapatkan satu – satunya perempuan yang pernah kucintai."

Daniel memutar bola matanya dan menatapku dengan wajah curiga. "Apakah secepat itu kau jatuh cinta kepada seorang perempuan?"

"Kau juga jatuh cinta kepada Maddy sejak melihatnya pertama kali," ujarku menatapnya dengan wajah sedih. "Apakah kau begitu tidak mempercayaiku hingga berpikiran kalau aku telah membohongimu?"

Daniel menggaruk rambutnya dengan wajah tidak enak dan aku hampir saja tertawa melihat ekspresi wajahnya. "Maafkan aku, oke. Karena Maddy, perjuangan cintamu semakin sulit. Tapi, dengan segala kesulitan yang kau alami untuk mendapatkannya – kau akan semakin dapat menghargai Abby. Lagipula, aku sudah membantumu untuk meyakinkan Magda agar membiarkan Abby pergi bersamamu. Kau tahu kan wanita itu sangat menakutkan untuk dihadapi."

"Tapi, akhir – akhir ini dia tidak begitu menakutkan," timbrung Aiden yang tampaknya sudah melupakan sedikit masalahku.

"Maddy curiga kalau ada pria lain yang membuat Magda bahagia," ujar Daniel bergidik. "Aku hanya bisa berdoa dan berharap semoga hubungan mereka lancar terus menerus – karena, aku lebih menyukai Magda yang jinak dibandingkan Magda yang menakutkan."

Aku segera mengambil jaket kulit hitamku dari atas meja dan berdiri. "Kau mau kemana?" tanya Cam menatapku dengan bingung.

"Hari ini, waktuku untuk bertemu dengan Sabrina," ujarku meregangkan ototku.

"Ahhh..." ujar Cam tampak tidak enak. "Mengapa kau tidak kabur seperti biasanya?"

"Karena aku membutuhkan uang darinya untuk pergi berlibur nanti," ujarku kepada Cam.

"Kalau masalah penginapan dan uang makan – aku akan membiayainya. Kau tahu itu termasuk dalam taruhan," ujar Cam menatapku dengan kasihan.

Aku segera menggelengkan kepalaku. Walaupun, aku tahu Cam memiliki cukup banyak uang untuk membeli sebuah pulau untuk dirinya sendiri – tapi, aku tidak pernah memanfaatkan temanku. "Hotel memang kau yang menyediakan, tapi soal uang makan – aku akan membayar sendiri makananku dan Abby. Lagipula, dad bisa memarahiku kalau aku tidak bertemu dengan 'Sabri' menjengkelkan itu."

"Sebelum kau pergi. Kapan kau ingin pergi dan kemana destinasi pertamamu?" tanya Cam kepadaku.

"Tiga hari lagi," ujarku berpikir sejenak. "Destinasi pertama Budapest, Hungaria."

"Kota yang indah," ujar Cam tersenyum kepadaku. "Aku berencana pergi kesana beberapa bulan yang lalu, tapi Dani memaksaku untuk pergi ke Paris terlebih dahulu. Dan, kau tahu aku tidak bisa berkata tidak kalau berurusan dengannya. Ah.. pergilah sebelum kau terlambat."

Aku melambaikan tangan kepada ketiga sahabatku. "Ah, sampaikan salamku kepada ibumu... maksudku kepada Sabri," ujar Daniel buru – buru meralat perkataannya ketika aku menatapnya dengan jahat ketika mendengar kata 'ibuku'.

*******

Sabrina Allen–Pierre masih tampak sangat cantik diusianya yang sudah pertengahan lima puluh tahun. Ia mengenakan gaun anggun selutut berwarana hijau emerald dengan heels hitam yang sangat tinggi. Rambut pirang panjangnya tertata rapi setelah Ia menghabiskan berjam – jam di dalam salon. Wajah tuanya tertutup make up tipis dan aku tidak melihat sedikitpun kerut di wajahnya. Aku curiga ada campur tangan dokter yang menghabiskan beratus ribu poundstarling untuk membuat wajahnya sekenyal itu. Ya, suami barunya tidak akan kesulitan membayar semua keperluan mahalnya.

Aku terlihat seperti seseorang yang tidak pada tempatnya di tengah restoran mahal. Semua pengunjung menggunakan gaun seperti Sabri dan kemeja rapi untuk pria. Sedangkan, aku hanya mengenakan kaos dengan logo Bon Jovi, jins berwarna hitam, jaket kulit berwarna hitam, sepau boot hitam, anting – anting hitam di telingaku.

Sabri menatapku dengan pandangan tidak setuju saat aku melepaskan jaketku dan memperlihatkan seluruh tatoku. "Nathaniel, apakah kau menambah tatomu lagi? Aku tidak melihat gambar naga itu saat kita terakhir kali bertemu? Dan, mengapa kau menggunakan tindikan di hidungmu?"

"Sabri..."

"Mom," ujarnya membenarkan ucapanku.

Aku memutar bola mataku dan Sabri kembali menggelengkan kepalanya dengan tidak setuju. "Aku sudah memiliki tato naga itu dari tahun lalu. Kalau kau baru melihatnya sekarang – itu berarti kau tidak pernah memperhatikanku."

Ya, Sabrina. Memangnya sejak kapan kau pernah berperilaku layaknya sebagai seorang ibu kepadaku? Kau selalu sibuk bermain mata dengan pria tua kaya walaupun kau sudah memiliki suami dan anak yang seharusnya kau urus.

"Oh.. tindakan hidung?" Aku tersenyum dengan puas ketika melihat Sabri menatapku dengan horor. "Aku menyukainya. Sekarang sedang trendi. Bagaimana menurumu, mom?" Aku menekan kata 'mom' kepadanya.

Mata gelap Sabri menatapku dengan lembut. Aku membenci mata itu, tapi sialnya aku adalah replika sempurna Sabrina dalam versi pria. Sewaktu dulu, dad selalu membanggakannya karena – walaupun, aku benci untuk mengakuinya - tapi, Sabrina memiliki rupa yang sangat eksotis dan cantik.

"Bagaimana kabarmu, Nathan?' tanyanya dengan lembut tidak mengindahkan pertanyaanku. Mungkin, Sabrina sudah bisa membaca gerak – gerikku atau mungkin dia tidak mau beragumentasi denganku di tengah restoran mewah dan membuatnya kehilangan muka.

"Baik," ujarku dengan pendek mengaduk teaku dengan pelan. Selama dua tahun terakhir, Sabrina berusaha untuk memperbaiki hubungan kami. Satu – satunya hal yang membuatku setuju untuk bertemu dengannya karena dad. Sabrina akan selalu mengganggu dan marah kepada dad jika aku menolak bertemu dengannya.

"Apa yang akan kau lakukan selama liburan musim panas ini?" tanya Sabry.

"Aku akan pergi ke beberapa tempat di Eropa bersama temanku," ujarku tidak acuh.

"Keliling dunia?" tanya Sabri dengan bersemangat. "Apakah kau akan pergi dengan Cameron LeGross dan tunangannya."

Aku memutar bola mataku. Satu – satunya hal yang disetujui oleh Sabri dari kehidupanku adalah pertemananku dengan Cam. Dan satu – satunya yang disetujui oleh Sabri dalam kehidupan dad adalah dad memiliki hubungan persaudaraan dengan Nora Winter. Sabri selalu mencari teman yang memiliki kedudukan tinggi yang mungin akan bermanfaat suatu saat nanti.

"Tidak. Aku pergi dengan teman baru," ujarku asal.

Sabri berusaha menyembunyikan kekecewaannya. "Berapa lama kau akan pergi dengan temanmu itu?"

"Tiga minggu."

"Apakah kau memiliki uang untuk menghudupimu disana?"

Nah, karena alasan inilah aku mau bertemu dengan Sabri hari ini. Walaupun, dia menyebalkan tapi dia memiliki banyak uang dan dia berniat untuk menutupi kesalahannya kepadaku selama ini karena telah mentelantarkanku dengan cara memberiku banyak uang. Biasanya, aku akan selalu menolak uang darinya karena uang yang diberikan oleh dad kepadaku dan hasil kerjaku sebagai petinju sudah cukup untuk membiayai kehidupan sehari – hariku. Tapi, aku harus berpikir rasional kalau tabunganku tidak akan cukup untuk membiayai liburanku disana.

"Aku memiliki uang tabungan, tidak perlu mencemaskannya," ujarku berpura – pura tidak peduli. "Aku bisa mengamen di jalanan untuk mendapatkan uang kalau aku kekurangan."

Ya, itu memang rencanaku jika Sabri tidak memberiku uang. Aku akan mengamen atau mungkin mengunjungi arena tinju jalanan disekitar sana. Pokoknya, aku tidak ingin merepotkan dad dalam masalah keuangan.

Sabri bergidik ngeri ketika mendengar kalau aku akan mengamen di jalanan negara entah berantah untuk mendapatkan uang. "Aku akan mentransfer uang ke rekeningmu nanti malam. Kau tidak perlu mengamen untuk mendapatkan uang." Sabri meminum teanya dengan anggun. "Apa sih yang dilakukan oleh ayahmu sehingga tidak bisa memberimu uang untuk pergi berlibur?"

Aku meletakkan gelasku dengan keras membuat Sabri tersentak. Wanita itu buru – buru menatap sekelilingnya dengan malu. "Setidaknya, dad tidak mentelantarkanku sendiri. Ia yang merawatku saat aku sakit atau kesulitan membuat tugas. Jangan, sekali – kali kau mengejek atau merendahkan dad."

Wajah Sabri segera memerah ketika mendengarkan perkataanku. Jika, dia mengira memberiku uang dapat membuatnya menjelekkan dad. Dia salah. Tidak boleh ada orang yang merendahkan dad.

Sama sekali.

*******

Continue Reading