A Half Beat ➳ Luke.Hemmings [...

By lightningtosca

3.6K 520 139

Aku terperangkap dalam dua hati yang sama-sama kusukai, tapi mustahil untuk memilih salah satu dari mereka. J... More

-Prolog-
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15

Chapter 11

134 9 0
By lightningtosca

Aku menghela nafas panjang, masih teringat dengan kejadian kemarin. Nash sempat mengirimkanku pesan tadi pagi, isinya hanya sapaan selamat pagi, dan aku tidak membalasnya, tidak merasa butuh untuk membalasnya. Dengan perlahan, kududukkan tubuh lesuku pada anak tangga pertama yang menuju ke lantai dua.

Setelah kejadian itu, Luke mengajakku pergi ke toko roti milik kakaknya, dia memperkenalkanku dengan Kak Ben, begitu kami memanggilnya. Pria yang penuh humor dan antusias, aku senang dapat bertemu dengannya. Meski aku merasa agak bersalah karena melibatkan Luke dalam masalahku. Maksudku, aku memintanya datang malam-malam ke tempat yang sekarang resmi kukatakan sebagai 'base-camp' untuk kami mungkin, dan dia benar-benar datang, disaat ada beberapa aktivitas lain yang lebih penting dibandingkan menemuiku. Dia memang baik sekali.

"Edelweiss?"

Aku tersadar dan menoleh, kudapati lelaki berambut cokelat itu menghampiriku dengan senyum yang berseri. Tentu aku sudah menduga apa yang akan ia katakan padaku, jelas sekali.

"Oh, hai Nash." Sapaku.

"Hm, kurasa tadi pagi aku mengirimkanmu pesan," tukasnya.

"Ehm, maaf, pulsaku habis, jadi aku tidak bisa membalas pesanmu." Jawabku.

"Haha, iya tidak masalah, oh ya, kau tahu, aku senang sekali," ungkapnya. Ia mendaratkan bokongnya duduk disampingku. Kedua tangannya saling memaut, bertopang pada kedua lututnya.

Aku mendelik padanya kemudian kembali pada pandangan normalku yang sejak tadi tertuju pada jendela ruang kesehatan sebelum kedatangannya menginterupsi.

"Oh ya, ada apa?" Tanyaku pura-pura tak tahu.

"Aku dan Lacey sudah resmi berpacaran sekarang." Jelasnya, kedua matanya menutup lucu saat ia tersenyum.

Kupaksakan sebuah lengkungan kecil menghiasi wajahku, "itu bagus Nash, selamat ya," kataku.

Nash mengangguk, "terima kasih, Davenly, kau memang sahabat terbaikku." Dia merangkul pundakku, entah kenapa aku merasa risih, sehingga kutepis pelan lengannya yang sebelumnya menempel di pundakku.

Kedua alisnya bertemu, ia menatapku penuh pertanyaan, "kau kenapa?" Ujarnya, nadanya terdengar seperti orang tersinggung.

Aku menggeleng, "aku hanya sedang tidak enak badan."

Aku tahu alasanku tak cukup untuk meyakinkannya, namun jujur, aku sedang malas berbicara dengannya.

Nash sedikit menggeser tubuhnya beberapa senti dariku. Kami diam dalam pemikiran kami masing-masing. Larut dalam rasa canggung yang bahkan tak pernah kami rasakan sebelumnya.

"Edelweiss?" Panggilnya lagi.

"Hm." Gumaman pelanlah yang berhasil terlontar dari bibirku.

Nash diam sejenak, menerka kembali kalimat apa yang pantas untuk ia rangkai, "kau ..." Ucapnya, "tidak merasa cemburu atau apapun kan?" Lanjutnya.

Aku mendongak, sedikit meregangkan anggota tubuhku, "tidak." Singkatku.

"Serius?"

"Iya, untuk apa aku cemburu? Aku tidak cemburu. Longlast ya untuk hubungan kalian." Ucapku.

Hahh ... Edelweiss,

Kau benar-benar munafik.

Tentu saja aku cemburu Nash, sangat cemburu,

Tapi aku harus menutupi itu semua karena kau sahabatku,

Dan aku benci mengingat fakta itu, bahwa kau adalah sahabatku ...

"Syukurlah, hahaha, aku tidak tahu apa jadinya jika ... Emm ... Maksudku, kau menyukaiku, lebih dari sekedar sahabat. Uhmm ... Itu agak aneh, menurutku, hehehe," ungkap Nash.

Kuhirup panjang udara disekitarku, "ya, aneh."

"Nash."

Suara lembut itu cukup untuk mengusir keheningan di sekitar kami. Oh sial, sekarang gadisnya datang.

"Hey, Lace." Sapa Nash, ia menoleh pada Lacey kemudian kembali menoleh padaku, seakan mencoba untuk menunjukkan bahwa mereka benar-benar sepasang kekasih.

Lacey menghampiri kami, matanya melebar saat melihatku, aku sudah menduganya. Perlahan langkahnya berubah menjadi lebih menghentak. Hak setinggi 7cm itu berhenti menapak ketika bertemu dengan Nike milikku. Ia berdehem.

"Lace, perkenalkan, ini Edelweiss, dia sahabatku. Kami bersahabat sejak SMA." Jelasnya.

Lacey mendelik padaku namun aku tidak memperdulikannya.

"Edelweiss." Sapaku.

"Lacey." Ia menjawab.

Lacey membuat kontak mata denganku, seakan berusaha membaca pikiranku. Namun tiba-tiba ia tersenyum, membuatnya terlihat begitu ramah.

"Senang bertemu denganmu, kurasa kita pernah bertemu," katanya.

Aku hanya diam dan mengangguk tanpa ekspresi. Senyuman Lacey berubah, ia kemudian merangkul lengan Nash begitu erat.

"Nash, hari ini kau akan mengajakku pergi jalan-jalan kan?" Tanyanya seraya bergelayut manja pada lengan Nash, lebih mirip seekor kera yang sedang memeluk pohonnya.

Aku mencibir kecil, berupaya sebisa mungkin agar mereka tak mendengar cibiranku.

"Hm? Memangnya kita mau pergi kemana?" Tanya Nash.

"Ke mall!" Jawab Lacey antusias.

"Oh iya, Edelweiss, kau mau ikut bersama kami?"

Lacey menautkan kedua alisnya, sebelum aku sempat menjawab, ia menarik Nash untuk kembali berpusat padanya, "tidak, tidak, kita berdua saja, lagipula kan dia pasti memiliki urusan lain, iya kan? Siapa namamu tadi? Medelbass?" Tukasnya.

"Edelweiss." Koreksiku, seenaknya saja mengganti nama orang.

"Oh, yasudah, memang kau benar-benar sibuk hari ini?" Tanya Nash.

"Uhh ..." Dapat kulihat Lacey memelototiku secara tidak langsung, dengan segara kuanggukan kepalaku, "iya, aku sibuk."

"Sibuk apa?" Tanya Nash lagi.

Ingin sekali kutepuk dahiku saat ini juga. Aku melirik sekitar mencari alasan logis yang dapat meyakinkannya, beruntungnya aku menemukan Luke sedang berjalan ke arah dimana kami berdiri, namun sepertinya ia tidak menyadari keberadaan kami, karena sebuah headphone bertengger menutupi kedua daun telinganya.

"Uhh, Luke!" Panggilku. Aku berlari pelan menghampirinya, membuatnya sedikit terpekik kaget.

"Edelweiss," ucap Luke, ia melepas headphone miliknya. Luke berhenti menatapku dan memalingkan wajahnya untuk menatap lurus pada dua sejoli yang sedang memperhatikan kami. Ia menaikkan kedua alisnya, sedikit terkejut mungkin.

Buru-buru kutarik lengannya yang terbalut kaos raglan biru yang bertuliskan angka '1996'.

"Begini, aku ada urusan band dengannya, uhh, ini Luke." Jelasku.

Luke terdiam disampingku, begitupun Nash dan Lacey. Nash sedikit memiringkan kepalanya untuk menatap Luke, layaknya berusaha untuk mengingat sesuatu.

"Tunggu, kau ... Bukannya pria yang semalam?" Tanya Nash.

"Yang semalam?" Ucap Luke. Seketika aku dan Luke saling bertukar pandangan. Pertanyaan Nash benar-benar ambigu, kurasa dia harus belajar bagaimana cara merangkai kalimat tanya yang tepat.

"Iya kan? Waktu itu kau tersesat dan lupa arah jalan menuju rumahmu, kalau tidak salah kau habis menghadiri pesta temanmu," kata Nash.

Luke menelan gumpalan air liur yang sejak tadi tertahan di dalam mulutnya, dapat kudengar bunyi 'gulp' dari tenggorokannya.

"Hahaha," Luke tertawa, "iya, aku baru ingat, yang semalam ya, uhh ... Iya," katanya agak gugup.

"Nah, kau mengingatnya kan. Kalau tidak salah, semalam kau juga membawa kekasihmu," kata Nash.

Dan itu cukup untuk membuatku ingin memukul keras kepalaku pada tembok. Kuharap Luke dapat memberikan jawaban yang meyakinkan.

"Ohh, uhh ... Iya, hehe, dia minum banyak," jelas Luke.

"Aku mengerti, aku mengerti, tapi rambut kekasihmu mirip sekali dengan Edelweiss, hahaha," tawa Nash, "apa jangan-jangan semalam sebenarnya kau bersama Edelweiss? Hahaha," tawanya lagi.

Kali ini bunyi 'gulp' disaat kutelan air liurku dengan susah payah. Luke menoleh padaku lagi.

"Itu sih tidak mungkin," kata Luke.

Kami terdiam sejenak, oh Luke, jika saja kau menurut padaku untuk kabur, dibandingkan keluar dan menghampiri mereka kemarin.

"Iya, iya, aku tahu, lagipula mana mungkin Edelweiss pergi malam-malam," Nash membuka mulutnya.

Sayang ya, Nash,

Justru memang aku pergi malam-malam kemarin,

"Uhm, oke Nash, terima kasih sudah berbincang-bincang dengannya, jadi izinkan kami untuk pergi," kataku.

"Oh iya, tentu, semoga sukses, senang bertemu denganmu, Luke." Jawab Nash.

"Iya, bye." Singkat Luke.

Tanpa melambai, aku menarik lengan Luke pergi menjauh dari mereka.

"Terima kasih, untung saja kau lewat sini, kalau tidak, mungkin aku tak akan bisa mencari alasan," kataku.

"No prob, hanya saja aku benar-benar terkejut saat ia mengungkit soal kejadian semalam itu."

"Hm, dia tak akan mengenaliku kan? Seharusnya kau juga menutupi rambutku!" Kataku.

"Hey, hey, kau mengenakan jaket, kenapa waktu itu kau tidak menutupi rambutmu dengan kupluk jaketmu saja?"

"Luke, waktu itu kita dalam keadaan terdesak, bagaimana bisa aku memikirkan soal kupluk jaket?"

Luke tertawa, "yaa ... Yang jelas dia tidak tahu kalau itu kau kan, lagipula ada banyak gadis yang memiliki rambut sama sepertimu." Tukasnya.

"Ya, ya, kuharap begitu. Kau mau kemana?" Tanyaku.

"Hm? Ruang musik, kemana lagi." Ujarnya, "kau mau ikut?"

"Ada Mike?"

"Oh, kurasa tadi pagi kulihat dia terbang bersama unicorn sambil bermain gitar." Luke memutar bola matanya.

"Luke, aku serius."

"Ya tentu saja ada, pertanyaan macam apa itu, Mike kan selalu ada di ruang musik."

Aku tertawa kecil, "ya siapa tahu saja dia memang terbang bersama unicorn seperti apa yang kau katakan tadi,"

"Sayangnya unicorn itu tidak ada, dan Mike tidak bisa terbang."

"Bagaimana kalau dia bisa terbang dengan rambutnya? Maksudku, jika tiba-tiba ia menggunakan cat rambut ajaib dan kemudian rambutnya bisa terbang?" Tanyaku ngelantur.

"Weiss, cat rambut ajaib itu tidak ada. Lagipula jika rambut Mike bisa terbang, helaian-helaian malang itu tak akan sanggup menarik bobot Mikey dan akan menyebabkan tarikan kuat dari masing-masing helai rambutnya, kemudian helaian-helaian itu akan terlepas dari kepala malang Mike dan terbang dengan bebas di angkasa,"

"Oh! Oh! Aku tahu endingnya, Mikey botak! Hahaha, kemudian dia akan meratapi kepergian helaian-helaian rambutnya yang sedang terbang bebas di angkasa." Aku tertawa, membayangkan bagaimana Mikey duduk di rerumputan dengan kepala botak, menatap rambutnya yang terbang bebas menjauh. Kami memang jahat.

"Tepat sekali." Sambung Luke.

......

"Uhuk! Uhuk!!" Michael terbatuk saat baru saja ia memainkan ritme gitar terbaiknya.

"Mike, kau baik-baik saja? Minum ini," ucap Azure, tangannya menyodorkan botol minum pink bercetak kartun Mickey Mouse pada Mike.

"I-iya, aku tidak apa-apa. Entah kenapa tiba-tiba aku membayangkan kepalaku botak." Ujar Michael.

Azure tertawa pelan, "botak? Hahaha, pikiran macam apa itu." Tawanya.

"Kurasa ada yang sedang membicarakanku," Michael mencibir dan menyodorkan kembali botol minum milik Azure.

"Kau terlalu banyak berimajinasi, Mike."

"Yaa, kurasa begitu." Sambungnya, "kau mau bernyanyi?"

"Nyanyi apa?" Tanya Azure.

"Terserah, aku yang bermain gitar, dan kau bernyanyi."

"Hmm, yasudah," Azure mengambil beberapa lirik yang terletak di samping kursi Michael, "Voodoo Doll?"

Michael mengangguk, "kau ingat nadanya kan?" Tanyanya.

"Yaa, kau juga ikut menyanyi, jadi aku tidak lupa,"

Michael tersenyum kecil, "oke, ayo."

Michael mulai memainkan intro lagu itu.

"I don't even like you
Why'd you want to go and make me feel this way?
And I don't understand what's up
And I keep saying things I never say," nyanyi Azure.

Senyuman Michael mengembang lebih lebar, ia membuka mulutnya, "I can feel you watching even when you're nowhere to be seen
I can feel you touching even when you're far away from me," nyanyi keduanya.

"Tell me you were ...," Azure terdiam, "ahh, maaf, aku salah," ia tertawa kecil.

Michael ikut tertawa, "tidak apa-apa, kurasa kau sedikit gugup, ayo kita ulangi."

"Dari awal?" Tanya Azure.

"Tidak, dari chorus-nya saja."

"Oh oke," Azure berdehem, "Tell me where you're hiding your voodoo doll 'cause I can't control myself,"

"I don't wanna stay, wanna run away but I'm trapped under your spell," Michael ikut bernyanyi.

"And it hurts in my head and my heart in my chest, and I'm having trouble catching my breath!" Seru keduanya dengan sedikit tertawa, larut dalam lagu yang saat ini mereka nyanyikan.

"Ooh ooh," Azure tertawa saat Michael menyanyikan bagian itu, dia terlihat konyol dengan wajah yang dibuat-buat seperti sedang menghayati.

"Won't you please stop loving me to death?"

"Duet yang bagus,"

Luke memasuki ruangan dengan tampang tak berdosa, Michael memutar bola matanya malas kemudian kembali bersandar pada kursinya, "tidak kau, tidak Ashton, sama-sama pengganggu," cibirnya.

Azure hanya diam dan tersenyum, ia menoleh pada Michael, "oh, ini Luke, dia anggota band-ku." Jelas Michael.

Luke mengulurkan tangannya, "Luke Hemmings," ia menyebutkan namanya.

"Azure Josephine, salam kenal," Azure membalas uluran tangan Luke dan menjabat tangannya.

"Dimana Edelweiss?" Tanya Michael.

"Dia ke toilet sebentar,"

Michael mengangguk-angguk tanda mengerti.

"Ah, maaf tadi aku ke toilet," Edelweiss membuka pintu dan masuk seraya merapikan kemejanya.

"Hey, Weissy," sapa Michael.

Azure terkejut, begitupun Edelweiss, namun kemudian Edelweiss memberikan gadis itu sebuah lengkungan ramah.

"Hai, kita bertemu lagi," sapa Edelweiss, "oh ya, waktu itu kita belum berkenalan kan, namaku Edelweiss."

Azure mendongak, "eh, iya," jawabnya, sedikit gugup, "a-aku Azure."

"Kalian sudah saling kenal?" Tanya Michael.

"Iya, waktu itu-,"

"Uhh, Michael, aku harus pergi, ada urusan yang harus kuselesaikan," ujar Azure tiba-tiba.

Baik Edelweiss maupun Luke kali ini memandang heran ke arah gadis itu yang nampaknya benar-benar seperti sedang dikejar oleh binatang buas.

"Eh? Tapi kan kau baru bertemu dengan teman-temanku, kita juga belum menyelesaikan duet kita," kata Michael.

"Ehm, besok aku akan menemuimu lagi, sampai jumpa," Kata Azure yang melenggang pergi tanpa melambai sedikitpun pada Luke ataupun Edelweiss.

Luke menoleh pada Edelweiss, begitupun Michael, seakan memohon untuk sebuah penjelasan.

"Oke, dia kenapa?" Tanya Edelweiss.

"Entahlah, apa kau memiliki masalah dengannya?" Michael berbalik tanya.

Edelweiss menggeleng, "lantas kenapa dia bersikap seperti itu?" Kali ini Luke yang bertanya.

"Kalian ini bertanya padaku seolah-olah aku penyebabnya, aku juga tidak tahu," sergah Edelweiss.

"Memangnya kalian bertemu dimana?" Tanya Luke.

"Hmm, begini, kau ingat ceritaku soal gadis yang kubela dari Lacey di kantin itu kan?" Kata Edelweiss, Luke mengangguk.

"Gadis yang apa?" Celetuk Michael.

"Hihh, begini, kemarin itu, aku dan Hazzel pergi ke kantin, dan kulihat Lacey sedang-"

"Siapa Lacey?" Tanya Michael.

"Hmph, nanti kujelaskan oke, panjang ceritanya,"

"Oh, oke, lanjutkan."

"Jadi, Lacey sedang marah-marah pada seorang gadis, aku dan Hazzel mendekati mereka, kemudian aku membela gadis itu meski Hazzel melarangku untuk ikut campur, dan gadis yang kubela itu adalah Azure." Jelas Edelweiss panjang lebar.

Michael dan Luke saling bertukar pandangan, "kenapa kau tidak menceritakan ini padaku? Jadi maksudmu, Azure bersikap seperti tadi karena dia malu mengingat kejadian itu?"

Edelweiss mengangguk, "kurasa begitu,"

"Kurasa aku harus bicara dengannya," ucap Michael.

"Tidak perlu, aku saja yang berbicara padanya, aku akan mencarinya nanti bersama Hazzel, lagipula aku sudah tahu namanya," sergah Edelweiss.

......

Di perpustakaan,

Hazzel sibuk memilih buku lain yang hendak ia baca, meski sudah lima buku yang ia pilih, namun Hazzel hanya bisa meminjam dua buku untuk ia baca dirumah.

"Ini saja deh," ucap Hazzel, ia mengamati cover salah satu buku yang terlihat menarik, "aku bosan dengan roman, mungkin aku harus mencoba fantasi atau misteri mungkin?" Pikirnya.

Hazzel melangkah kembali menuju mejanya dan menaruh buku itu, ini adalah buku keenam yang ia pilih. Hazzel menoleh, mendapati Calum yang malah tertidur dengan buku yang masih terbuka. Tangannya terlipat di atas meja dan menjadi bantal bagi kepalanya.

Hazzel menggelengkan kepalanya dan berdecak pelan, "katanya mau ikut membaca, ini malah tertidur,"

Tiba-tiba ide jahil terlintas di pikirannya. Ia tersenyum jahil dan sedikit membungkuk. Hazzel menggerakkan jarinya untuk menyentuh daun telinga Calum.

"Hihihi," ia terkikik pelan dan kembali menyentuh daun telinga lelaki itu, "pulas sekali tidurnya," ucap Hazzel.

Hazzel menarik kursi dan duduk di samping Calum. Ia menopang dagunya dengan tangan kanannya. Tangan kirinya kembali menyentuh telinga Calum, kali ini ia mencubit kecil pipi Calum dan tertawa pelan.

Tiba-tiba satu tangan Calum terangkat dan menangkap jemari Hazzel yang menjahilinya sejak tadi. Calum mengangkat kepalanya dan sedikit mengerjapkan matanya. Ia menarik jemari Hazzel untuk menatapnya.

"Jemarimu mungil sekali," ucap Calum.

Entah itu adalah sebuah pujian atau hinaan bagi jemari milik Hazzel. Buru-buru Hazzel menarik kembali jemarinya yang sebelumnya melekat pada pandangan Calum.

Wajahnya merona, namun Hazzel mencoba menutupinya. Calum tersenyum, "wajahmu memerah," ia tertawa.

"Apa sih. Tadi katanya mau menemaniku membaca, tapi kau malah tertidur, bagaimana sih," kata Hazzel.

"Hehe, maaf, maaf, semalam aku tidak bisa tidur, aku mencoba membuat lagu baru untuk 5SOS," jelas Calum.

"Ya, ya, terserah,"

"Haz, kau tidak marah padaku kan??"

Hazzel menghela nafas, "tidak, Cal,"

"Oh syukurlah," Calum kembali tertawa, "apa yang sedang kau baca, aku juga mau baca,"

"Duhh, sana ambil lagi bukunya, jangan menggangguku," kesal Hazzel.

"Aku malas mengambilnya, ayolah Hazzel, berbaik hatilah pada calon kekasihmu ini," goda Calum.

Hazzel mendorong wajah Calum dengan telapak tangannya sebelum Calum membuat wajahnya semakin memerah, "sejak kapan kau menjadi kekasihku?"

"Sejak ... Tadi mungkin?" Kata Calum.

"Ishh, pergi sana," kesal Hazzel.

"Katakan saja, Haz, kau menyukaiku kan?" Tanya Calum.

"Calum, ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan hal semacam itu, oke?" Kesal Hazzel.

"Oke-oke, tapi yang jelas, kau menyukaiku kan?" Tanya Calum lagi.

"Astaga, oke Calum, aku menyukaimu, puas?"

"Yey, jadi apa kau mau menjadi kekasihku?"

"Tidak."

"Hah? Tapi Haz-"

"Tidak."

"Haz-"

"Sshh!"

Calum menautkan kedua alisnya, mendapati Hazzel yang memandang serius keluar jendela.

"Itu bukannya ... Nash dan Lacey?" Ucap Hazzel terpekik.

"Hah? Siapa?"

......

Yak, jangan lupa,

V
O
M
E
N
T
S
^3^

Continue Reading

You'll Also Like

203K 21.8K 41
Menyesal! Haechan menyesal memaksakan kehendaknya untuk bersama dengan Mark Lee, harga yang harus ia bayar untuk memperjuangkan pria itu begitu mahal...
46.8K 6.4K 30
tidak ada kehidupan sejak balita berusia 3,5 tahun tersebut terkurung dalam sebuah bangunan terbengkalai di belakang mension mewah yang jauh dari pus...
137K 13.5K 25
Xiao Zhan, seorang single parent yang baru saja kehilangan putra tercinta karena penyakit bawaan dari sang istri, bertemu dengan anak kecil yang dise...
724K 58.2K 63
Kisah ia sang jiwa asing di tubuh kosong tanpa jiwa. Ernest Lancer namanya. Seorang pemuda kuliah yang tertabrak oleh sebuah truk pengangkut batu ba...