Rinai Hujan

By LupitaZhou

173K 9.5K 149

NO COPAS/REMAKE!!! CERITA INI BELUM MENGALAMI REVISI EYD... Aku menemukan bidadari kecil. Sayang, bidadari it... More

Rinai Hujan 1
Rinai Hujan 3
Rinai Hujan 4
Rinai Hujan 5
Rinai Hujan 6
Rinai Hujan 7
Rinai Hujan 8
Rinai Hujan 9
Rinai Hujan 10
Rinai Hujan 11
Rinai Hujan 12
Rinai Hujan 13
Rinai Hujan 14
Rinai Hujan 15
Rinai Hujan 16
Rinai Hujan 17
Rinai Hujan 18
Rinai Hujan 19
Rinai Hujan 20
Rinai Hujan 21
Rinai Hujan 22
Rinai Hujan 23
Rinai Hujan 24 (ENDING)
Rinai Hujan - EPILOG
Rinai Hujan - Extra Part

Rinai Hujan 2

10.1K 492 2
By LupitaZhou


Waktu menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Suasana di SMA Yudhiska sudah mulai dipenuhi oleh siswa-siswi. Seperti kegiatan siswa di pagi hari, ada yang diam-diam merokok di belakang sekolah, ada yang sibuk membuat sontekan di meja karena hari ini ada ulangan, ada yang sibuk mengerjakan PR, ada yang sibuk menggosip, dan masih banyak kegiatan lainnya khas anak SMA sebelum bel pelajaran dimulai. Rinai baru saja tiba di depan gedung sekolahnya yang baru. Ia memandang gedung ini sejenak sebelum memasukinya. Sementara itu, Rei sudah berjalan beberapa meter di depannya. Rei memang bertubuh jangkung, jadi wajar kalau jalannya cepet. Nggak kayak Rinai yang udah pendek, tapi leletnya setengah mampus.

"Rin, jalan lo jangan kayak putri keraton, dong! Bandung nih Bandung, bukan Jogja!" teriak Rei.

Huh! Kumat lagi ketusnya, batin Rinai. Akhirnya Rinai berlari agar langkahnya sejajar dengan Rei. Setelah berada tepat di sebelah Rei, Rei menggandeng tangan Rinai dan masuk ke dalam kelas. Suasana kelas yang tadinya ramai, berubah hening. Sudah bisa ditebak, Rinai menjadi pusat perhatian. Hal itu membuat Rinai jadi sedikit salah tingkah.

"Temen-temen, kenalin nih adik gue. Namanya Rinai, dia bakal jadi penghuni baru disini. Jadi baek-baek sama dia, ya?" seru Rei di depan kelas. Semuanya mengangguk. Rinai berpikir, mungkin Rei cowok yang paling ditakuti di sekolah. Buktinya semua kok kayak nurut gitu ke dia? Rinai juga sudah terbiasa mendengar Rei bilang kalau dia itu adiknya. Ya, lebih baik begitu. Lagian punya kakak keren seperti Rei, siapa yang mau nolak?

Pandangan Rinai menjelajah. Tiba-tiba matanya melihat seseorang yang duduk di pojok memandangnya dengan pandangan aneh. Rinai berusaha mengingat, ia pernah melihat wajah itu. Tapi dimana? Ia benar-benar lupa! Kenapa otaknya nggak berfungsi maksimal disaat seperti ini? Lamunan Rinai buyar saat tangannya ditarik oleh Rei menuju ke sebuah bangku kosong yang terletak di belakang, tepat disebelah cowok yang memandangnya dengan pandangan aneh tadi tapi beda bangku. Rinai berusaha bersikap biasa, tapi cowok itu tetap menatapnya lekat, membuat Rinai jengah.

"Rin, sementara lo duduk disini sama gue karena cuma bangku ini aja yang masih kosong," Rei berujar pelan. Rinai mengangguk perlahan sebelum kemudian duduk di bangku barunya.

***

"Rain sakit jiwa..."

Rinai terperangah. Re mengucapkan kata-kata itu seolah tanpa beban. Hanya seperti mengucapkan "harga bakso satu porsi goceng". Rinai benar-benar bingung bagaimana hubungan kakak beradik antara Rain dan Rei. Sebenarnya ini bukan urusannya, tapi ia penasaran dengan sikap Rain yang aneh itu, makanya waktu istirahat Rinai nggak tahan buat tanya tentang Rain langsung dari Rei.

"Maksud kamu?"

"Rinai, jangan belagak bego deh! Lo tau orang sakit jiwa, kan? Nggak waras! Gila! Salah satunya Rain itu, cuma dia orang nggak waras versi cakep dan intelek. Hehehehe..." Rei cengengesan. Rinai mendelik lebar.

"Rei, aku serius! Jangan jawab asal dong!" sergah Rinai.

"Lho, gue dua rius. Tiga rius malah. Lo lupa kalau gue adik kandungnya?" Lagi-lagi Rei menjawab enteng. Kelihatannya Rei serius dengan kata-katanya. Buat apa Rei berbohong soal kondisi kakaknya sendiri? Apalagi sampai di buat lelucon.

"Tapi dia kelihatan normal, kok," Rinai masih mencoba menyelidiki.

"Dari luar aja kelihatan normal, tapi apa lo tau kalau otaknya nggak beres, Rin? Iya sih, kadang dia kelihatan normal banget tapi sering juga dia berubah jadi aneh. Lo betah-betahin aja deh tinggal serumah sama dia. Jangan kaget kalau dia ngelakuin hal-hal yang bikin lo sport jantung," cerita Rei.

"Kamu kok tega sih ngomongin kakak kamu sampai kayak gitu? Kamu nggak takut aku bakal nyebarin ke seantero sekolah soal ini?"

"Bukannya gue tega, Rin. Gue ngomong apa adanya. Lagian kita juga serumah, dan gue nggak mau aja suatu saat lo kaget lihat keanehannya. Makanya gue ngomong sejak awal sama lo. Gue sekarang percaya sama lo, tapi kalau kepercayaan yang gue kasih ke elo, lo rusak, selamanya gue nggak akan pernah percaya lagi," tegas Re. Rinai mengangguk mengerti, toh dia nggak akan cerita ke siapapun soal ini. Tiba-tiba Rinai teringat sesuatu.

"Rei, cowok yang duduk di sebelahku siapa?" Tanya Rinai hati-hati.

"Ya ampun, Rin, gue nggak nyangka kalau lo kelewat bego. Jelas-jelas itu gue, masih nanya lagi!" Rei memandang Rinai dengan pandangan kaget yang dibuat-buat.

"Oh, dia Onie. Inget lo?"

***

Rinai dan Rei duduk di meja ruang tengah sambil mengerjakan PR mereka. Dari sini Rinai jadi tau kalau Rei itu smart banget, lebih smart daripada dirinya. Rinai merasa nyaman berada di dekat Rei. Dan memang disini hanya Rei yang bisa menghiburnya. Membuat ia perlahan-lahan bisa melupakan kenangan itu, kenangan yang menghantuinya tiap malam, kenangan yang selalu menjadi mimpi buruknya. Rinai bahkan tidak akan betah seandainya disini tidak ada Rei karena Oma dan Opa selalu sibuk mengurus kebun yang ada di belakang rumah.

"Rei, film baru nih. Lo mau nonton, nggak?"

Rinai dan Rei menoleh ke asal suara dalam radius detik yang hampir bersamaan. Ternyata Rain sudah berdiri di belakang mereka sambil membawa beberapa film. Ia menyerahkan film itu pada Rei dengan gaya santai seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa, seolah-olah keadaannya baik-baik saja. Rei melihat-lihat film apa yang dibawa kakaknya, kemudian ia mengangguk.

"Boleh aja. Sekarang?" Tanya Rei, juga terlihat santai.

"Terserah lo," balas Rain pendek.

"Rin, lo ikut nonton, nggak?" tawar Rei sambil menoleh ke arah Rinai.

"Aku sih oke-oke aja. Lagian capek juga dari tadi melototin soal kimia terus. Hehehe..." Jawab Rinai. Entah kenapa Rinai tidak berani menoleh ke arah Rain. Mungkin gara-gara cerita Rei tadi di sekolah, Rinai jadi paranoid sendiri.

Rei meletakkan film itu di meja, "gini aja deh, gue ngerjain PR dulu. Ntar kalau udah kelar baru deh kita nonton sama-sama. Gimana?"

"Whatever," jawab Rain singkat.

Setelah berkata demikian, Rain mengambil posisi duduk tepat di sebelah Rinai. Rinai mulai berpikir, benar kata Rei, Rain memang aneh. Kemarin dia seperti mayat hidup, tapi sekarang kelihatan sehat lahir batin sama seperti Rei dan dirinya. Rinai memberanikan diri menoleh ke arah Rain. Mencoba melihat Rain lebih jelas dan dari jarak yang lebih dekat. Tanpa sadar, Rinai mulai membanding-bandingkan Rain dengan Rei. Dari segi fisik, Rei lebih ganteng, tapi Rain lebih manis. Rain memiliki lesung pipi sama seperti dirinya, sementara Rei nggak punya. Rain lebih kurus daripada Rei, seperti orang kekurangan gizi. Wajahnya juga lebih pucat. Dari segi penampilan, jelas Rei yang menang. Rei selalu up to date. Tiap ada barang baru di tempat distro, pasti langsung dibeli oleh Rei entah itu jaket, celana, kaos, atau kemeja, dan segala tetek-bengeknya. Sementara itu Rain lebih suka memakai kaos polos dan celana pendek. Tapi yang bikin Rinai kaget dan hamper lolos dari pengamatannya, di telinga Rain terdapat tiga tindikan!!! Gila, apa nggak sakit tuh??? Rinai bergidik ngeri.

"Rinai, ya?" Tanya Rain lembut. Rinai gelagapan, acara curi-curi pandangnya ketahuan. Wajahnya memerah.

"I...iya...Kak Rain, ya?" balas Rinai malu-malu.

"Hah, lo panggil dia kakak? Nggak salah tuh? Cowok kayak dia cocoknya di panggil curut, Rin!!" celetuk Re dengan senyum jenakanya.

"Sialan lo!" Rain melempar kepala Re dengan pensil milik Rinai yang tergeletak di meja.

"Hahaha... ampuuuuunn Kak Rain, adikmu ini kan cuma bercanda. Hahahaha..."

Dan begitulah mereka melewati malam ini. Penuh tawa dan canda...

***

Bintang malam ini indah, ya? Lihat, mereka senyum ngeliatin kita. Kamu janji kan nggak akan ngelepasin tanganmu dari tanganku?

Dasar cewek sialan!!! Pergi kamu!!! PERGI!!! Duuuaaakkkk!!

Kembali Rinai terbangun dari mimpi buruknya. Kepalanya terasa pusing, sangat sakit. Rinai mengerang perlahan, menahan rasa sakit yang tiba-tiba muncul di kepalanya. Ternyata sama saja, ia pikir dengan kehadiran Re yang ceria ia bisa dengan gampang melupakan kenangan itu. Tapi nyatanya? Tidak bisa!!! Kenangan itu semakin menghantui. Lebih parah, seperti ingin menarik Rinai kembali ke masa itu tanpa memperbolehkan Rinai keluar lagi dan membelenggu Rinai makin dalam.

Rinai menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Tidak mau membiarkan air matanya turun, tapi sudah terlambat. Air mata itu sudah mengalir melewati bukit pipinya. Benteng yang selama ini ia bangun runtuh. Pertahanannya jebol. Rinai menangis tersedu-sedu.

***

Rain memandang bayangan di dalam cermin itu. Seorang cowok dengan kemeja putih dan celana jeans panjang, rambutnya masih acak-acakan karena belum disisir. Terlihat tiga tindikan di telinga kirinya. Itu dirinya. Ia merapikan rambutnya dengan tangan secara asal-asalan. Setelah merasa penampilannya oke, Rain berjalan keluar kamar dan segera menuju meja makan untuk sarapan. Disana sudah ada Rei, Rinai, dan Oma. Sementara Opa mungkin sudah berangkat ke kebun.

"Pagi, Rain..." sapa Oma dengan menyunggingkan senyum ramah. Rain balas tersenyum.

"Pagi juga, Oma. Pagi semuanya," setelah berkata demikian, ia mengambil posisi duduk tepat di samping Rinai.

"Ke kampus?" selidik Rei.

"Sejak kapan ada kuliah hari Minggu?" balas Rain sambil mencomot bakwan yang terhidang manis di meja.

"Gue kan cuma mau ngetes otak lo lagi bener atau lagi error, ternyata otak lo sekarang lagi nggak konslet." sahut Rei.

"Hush!!" Oma melotot tajam pada Re.

Sementara itu Rain memandang Rei dengan pandangan yang sulit di artikan. Tapi sedetik kemudian, Rain bersikap biasa. Rain sudah terbiasa dengan sikap Rei yang blak-blakan. Apalagi dengan kata-kata Rei yang terkadang lebih tajam dari samurai.

"Rin, lo belum pernah ke kebun kan? Nanti gue ajak lo kesana. Hari libur harus dinikmati!" dengan gaya pede Rei mengedipkan sebelah matanya pada Rinai. Rinai hanya mengangguk.

Selesai makan Rei mengajak Rinai ke kebun. Sebelumnya Rinai belum pernah kemari, Rinai tau kalau Opa dan Oma sering menghabiskan waktu di kebun, tapi Rinai tak pernah punya pikiran untuk datang kemari. Ternyata kebun ini sangat luas, di kebun ini hanya terdapat satu macam tanaman saja: mawar! Tapi biarpun hanya mawar yang ada di kebun ini, kebun ini tampak sangat indah.

"Gimana, keren kan?" Tanya Rei sambil terus berjalan menuju sebuah kursi kayu yang ada di dekat kebun.

"Keren. Oma sama Opa suka mawar?"

"Bukan Opa sama Oma yang suka mawar," Rinai mendengar nada bicara Rei sedikit aneh.

Rinai jadi penasaran. Tapi apa baik kalau dia bertanya lebih jauh? Rinai sebenarnya bukan tipe cewek yang suka mencampuri urusan orang lain. Tapi entah kenapa dia sangat tertarik dengan kehidupan orang-orang yang ada di sekitarnya sekarang, khususnya Rei dan Rain. Rinai hanya sekedar ingin tau, dan tidak bermaksud mencampuri privasi mereka. Semenjak Rinai berada disini, Rinai banyak menemui kejanggalan tentang Rei dan Rain meskipun itu sangat tidak kentara. Kejanggalan itu akhirnya membuahkan tanda tanya besar dalam kepala Rinai. Kenapa Rei dan Rain bisa tinggal di tempat Opa dan Oma? Kemana orang tua mereka? Apa Rei dan Rain punya hubungan darah dengan Opa atau Oma? Karena jika punya, sudah pasti Rei dan Rain adalah saudara Rinai karena Rinai adalah cucu kandung Oma. Rinai adalah anak dari putri pertama Oma. Tapi seingat Rinai, ia tidak pernah punya saudara bernama Rei atau Rain. Atau dua cowok ini merupakan saudara dari Opa??? Memikirkan itu membuat kepala Rinai makin pusing. Lebih baik tanya langsung ke narasumbernya aja, mumpung orangnya ada di samping Rinai persis.

"Rei, lo cucunya Opa?" tiba-tiba ada dorongan besar yang membuat Rinai bertanya seperti itu.

Hening. Sepertinya tidak ada tanda-tanda Rei akan menjawab pertanyaan Rinai. Rinai jadi serba salah.

"Sorry kalau kata-kata gue salah, tapi gue cuma bermaksud nanya kok. Lo nggak mau jawab juga nggak masalah sih. Hehehe..."

"Bukan, Rin. Ceritanya panjang kenapa gue sama kakak gue bisa ada disini. Sekarang jangan tanya ceritanya gimana, karena kalau lo tanyain hal itu sama aja lo nyakitin gue. Gue harap lo bisa ngerti...," kalimat Rei mengambang. Ia memandang cakrawala, seolah ingin menumpahkan isi hatinya pada langit. Sorot luka di kedua mata kelam Rei kembali nampak. Kini makin jelas.

"Maaf, Rei..." gumam Rinai.

"Nggak pa-pa, Rin. Eh, itu Opa, ayo kita kesana siapa tau ada camilan yang bisa dimakan!"

***

Rei memandang Rain yang tidur disebelahnya. Kakaknya terlihat begitu tenang dan damai disaat seperti ini. Tapi dibalik semua itu, Rei tau kalau kakaknya ini sangat lemah dan rapuh, seperti boneka porselin yang jika sekali jatuh langsung hancur berantakan. Makanya boneka itu butuh penopang agar selalu bisa berdiri tegak menyembunyikan segala kerapuhan di baliknya. Dan yang berperan sebagai penopang adalah dirinya. Rei menghela napas panjang, memang kadang ucapannya terlalu keterlaluan terhadap Rain. Tapi tidak ada yang tau kalau Rei berkata seperti itu untuk kebaikan kakaknya ini. Rei tidak mau melihat kakaknya yang sok kuat dan sok tegar di hadapan orang lain, sementara Rei tau hati sang kakak sedang dilanda kekalutan luar biasa. Dia hanya membiasakan kakaknya mendengar kalimat-kalimat keterlaluan yang dia ucapkan, agar kakaknya tidak gampang jatuh. Kalau pun ia terjatuh, ia masih bisa bangun dan mencoba bangkit lagi.

Rei menyayangi Rain. Menyayangi dengan sangat. Hanya Rain satu-satunya yang tersisa dari segala kenangan masa lalunya. Kenangan yang membuat Rei berada dalam kondisi dimana ia harus mengalahkan keegoisannya demi sang kakak. Maka dari itu ia rela berkorban untuk Rain, ia rela menjadi tameng bagi Rain. Ia tidak peduli kalau seharusnya yang mendapatkan tameng itu adalah dirinya. Tapi ia bersedia menggantikan posisi Rain sebagai kakak. Dalam kasus ini, posisi mereka berbalik. Karena dia yang melindungi, bukan yang dilindungi. Rei rela. Benar-benar rela. Meskipun dulu Rei pernah terluka karena Rain. Luka yang sampai saat ini masih membekas, tanpa pernah Rain ketahui. Karena dimata Rain atau orang lain, mereka hanya tau selama ini Rei baik-baik saja tanpa berusaha menyelami hati seorang Rei lebih dalam.

***

Suara rintik hujan membuat Rain terjaga dari tidurnya. Ia menoleh ke kiri, disana ada Rei yang tertidur pulas. Suasana masih gelap, Rain berdiri dengan ogah-ogahan, menyalakan lampu kamar dan melihat jam. Masih pukul setengah dua pagi. Rain kembali mematikan lampu dan berbaring di ranjang. Ia memejamkan mata, mencoba untuk kembali terlelap. Tapi kenapa ia tidak bisa terlelap? Suara hujan dan dinginnya malam menjadi faktor pengganggu yang paling utama. Rain bersungut-sungut dalam hati. Kenapa harus hujan pada jam tidur seperti ini??? Rain memang paling benci jika hujan turun, ia jadi tidak bisa melakukan banyak aktivitas. Mendengar suara hujan saja Rain bergidik ngeri, apalagi jika petir menyambar. Ia lebih memilih untuk tidur di balik selimut yang tebal dan menutupi seluruh badannya.

Rain kembali menoleh ke arah Rei, sepertinya adiknya itu sudah terbang jauh ke alam mimpi. Rain jadi tidak tega membangunkaan adiknya itu, padahal saat ini dia butuh temen ngobrol. Rain hanya berani mengungkapkan isi hatinya di depan Rei. Dan Rain yakin, hanya Rei yang bisa memahaminya lebih dari siapa pun.

"AAAAARRRRRKKKKKK!!!!!"

Rain terlonjak kaget. Barusan ia mendengar seseorang berteriak. Apa ia salah dengar? Tapi teriakan itu begitu nyata dan terdengar sangat dekat. Rain kembali mempertajam indra pendengarannya. Tidak terdengar apa-apa lagi. Ah, mungkin gue salah denger, kata Rain dalam hati. Tapi kenapa hatinya jadi tidak tenang? Ia masih penasaran suara siapa itu. Telinganya masih siaga mencari sumber suara itu, seandainya terdengar teriakan lagi. Tapi... bukan teriakan yang ia dengar, melainkan suara tangisan. Sedetik kemudian Rain tersentak. Ya Tuhan...

***

Nafas Rinai terengah-engah. Tubuhnya gemetar. Kepalanya mendadak terasa sangat sakit. Mimpi buruk itu lagi... Rinai meringkuk di bawah tempat tidurnya. Ia berdoa semoga saja air matanya habis agar ia tidak perlu harus menumpahkan air mata lagi, tapi doanya sia-sia. Air mata bahkan terus membanjir. Rinai menangis sejadi-jadinya.

"Rin, lo kenapa?"

Suara itu mengagetkan Rinai. Rinai menengadah, memandang wajah di depannya. Rain. Kenapa Rain bisa ada disini??? Dan... ia benci saat seperti ini. Saat seseorang mengetahui kelemahannya. Saat seseorang mengetahui tangisnya. Dengan cepat Rinai menyeka air matanya.

"Nggak pa-pa kok, aku cuma kangen sama Mama," dusta Rinai. Ia memaksakan sebuah senyum. Rinai yakin, senyumnya pasti jelek sekali.

"Gue baru tau kalau ada orang yang ngangenin ortunya sampai teriak histeris terus nangis-nangis," Rain menatap Rinai tajam. Rinai jadi salah tingkah dipandang seperti itu.

"A...aku..."

"Kalau lo nggak bakat bohong, nggak usah bohong," ujar Rain datar.

"Kak, gimana caranya ngelupain kenangan yang paling buruk?" Entah kenapa pertanyaan itu mengalir dari mulut Rinai dengan lancar.

Rinai menatap Rain penuh harap, berharap mendapat jawaban yang ia inginkan. Tapi wajah Rain tiba-tiba memucat. Tangannya gemetar, ia menjambak-jambak rambutnya sendiri. Sekarang keadaan Rain nggak jauh beda dengan Rinai, kacau. Bahkan lebih kacau. Rinai jadi merasa bingung dengan perubahan sikap Rain yang begitu drastis. Apa ini maksud ucapan Re tempo hari di sekolah? Perlahan Rain menjauh dan keluar dari kamar Rinai dengan langkah seperti orang mabuk. Tanpa berkata apa-apa. Meninggalkan Rinai dalam ketercengangan yang panjang.

TBC

Continue Reading

You'll Also Like

14.7M 1.5M 53
[Part Lengkap] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] [Reinkarnasi #01] Aurellia mati dibunuh oleh Dion, cowok yang ia cintai karena mencoba menabrak Jihan, cewek...
55.1M 4.2M 58
Selamat membaca cerita SEPTIHAN: Septian Aidan Nugroho & Jihan Halana BAGIAN Ravispa II Spin Off Novel Galaksi | A Story Teen Fiction by PoppiPertiwi...
6.1M 325K 14
Ketika lelaki yang ia cintai menolak pernyataan cintanya, Caca bertekad untuk menaklukkan hati lelaki itu. Lagipula, sebelum janur kuning melengkung...
1.8K 146 12
[ON GOING] RINAIEYA BY DDYNTE "Lo gak bosen ngehindar terus Nai?" "Gue gak bisa jadi pelangi di hidup lo. Nyatanya lo udah bersama Pelangi yang asli...