Rinai Hujan

By LupitaZhou

173K 9.5K 149

NO COPAS/REMAKE!!! CERITA INI BELUM MENGALAMI REVISI EYD... Aku menemukan bidadari kecil. Sayang, bidadari it... More

Rinai Hujan 2
Rinai Hujan 3
Rinai Hujan 4
Rinai Hujan 5
Rinai Hujan 6
Rinai Hujan 7
Rinai Hujan 8
Rinai Hujan 9
Rinai Hujan 10
Rinai Hujan 11
Rinai Hujan 12
Rinai Hujan 13
Rinai Hujan 14
Rinai Hujan 15
Rinai Hujan 16
Rinai Hujan 17
Rinai Hujan 18
Rinai Hujan 19
Rinai Hujan 20
Rinai Hujan 21
Rinai Hujan 22
Rinai Hujan 23
Rinai Hujan 24 (ENDING)
Rinai Hujan - EPILOG
Rinai Hujan - Extra Part

Rinai Hujan 1

25.3K 710 15
By LupitaZhou

Cerita baru lagi...

Plakk!! tampar author.. hehehe maap..maap.. cerita ini sebenernya sudah lama dibuat sama author cuma sayang kalau nggak di publis.. so cekidot readers... jangan lupa votement yaa..

Sekalian promosi mampir ke cerita author lainnya (Orpheus Fairy Tale, Autumn's Amour, dan When Sunrise at Lovina) Promosi teruuuss.. biarin penting halal. hahaha..

***


Gadis itu memandang bangunan di depannya dengan pandangan kosong. Sebuah rumah berlantai dua, dari luar tampak begitu asri karena di halamannya terdapat pohon belimbing dan beberapa tanaman lain dalam jumlah cukup banyak. Kolam ikan ditambah dengan air mancur di tengah taman menambah nilai estetikanya. Selain itu, di depan rumah juga ada sebuah teras dengan dua kursi dan sebuah meja kayu. Rumah ini sangat manis. Tapi apakah pemiliknya juga demikian?

Ia menghela nafas panjang. Dalam pikirannya berkecamuk berbagai hal. Disinilah ia akan tinggal selama setahun. Disinilah ia akan memulai hidupnya tanpa kedua orang tuanya. Disinilah ia harus belajar mandiri. Tapi apa ia bisa? Mungkin ia tidak akan datang kesini kalau saja bukan karena....

Ia menggeleng-gelengkan kepala sebelum pikirannya berkelana terlalu jauh. Tiba-tiba seorang kakek keluar dari dalam rumah. Memandangnya sebentar, kemudian tersenyum hangat. Mau tidak mau ia membalas senyuman kakek itu dengan canggung.

"Rinai, ya?" Kakek itu mengangkat kedua alisnya, bertanya. Gadis yang bernama Rinai itu mengangguk. "Oh, kenapa nggak langsung masuk ke dalam? Oma sudah menunggu di dalam. Dia khawatir kalau Rinai nggak jadi datang."

Rinai diam saja, sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia tidak terbiasa berada di tempat asing. Tiba-tiba saja ia merindukan rumahnya. Ia ingin pulang. Tapi mustahil, ia sudah melangkah, dan tidak akan mungkin berbalik arah.

"Ayo masuk, barang-barang Rinai biar Opa yang bawa," Opa menuntun Rinai ke dalam.

Rinai menurut saja, ia melangkahkan kaki perlahan. Ia dapat melihat seorang nenek keluar dari rumah. Nenek itu melambai-lambaikan tangannya sambil tersenyum ramah pada Rinai. Rinai jadi merasa bersalah telah meragukan kebaikan mereka. Buktinya Rinai disambut dengan kehangatan seperti ini. Kehangatan yang sudah lama tidak ia rasakan, membuat dada Rinai disesaki oleh rasa nyaman yang tiba-tiba muncul.

"Akhirnya kamu datang juga, Rinai. Tadi Oma berkali-kali telepon mama kamu. Kalau nanti di jalan ada apa-apa bagaimana? Kata mamamu kamu baru pertama kali naik bus kota, jadi Oma sangat khawatir," cerocos Oma yang menyambut Rinai di depan pintu. Rinai tersenyum kikuk. Oma memperlakukannya seperti anak TK saja, padahal tahun ini ia akan masuk kelas XI SMA. Tapi ia senang juga karena ada yang memperhatikannya sampai seperti itu. Sekali lagi, kehangatan ini seperti menampar pipinya. Menyisakan rasa sakit dan bekas yang tak kasat mata.

Oma memeluk Rinai. Dengan canggung Rinai membalas pelukan Oma. "Kamu sudah besar sekarang. Terakhir Oma lihat kamu waktu kamu masih SD. Dulu itu kan kamu paling suka main petak umpet sama sepupu-sepupu kamu. Oma juga ingat dulu kamu pernah jatuh waktu belajar sepeda roda dua sampai kaki kamu dijahit," Oma berceloteh sambil menggiring Rinai memasuki rumah. Rinai yang mendengar celotehan Oma hanya bisa menanggapi dengan senyuman dan anggukan seadanya. Ia bingung harus berkata apa, masih merasa asing dengan dunia barunya.

Setelah masuk ke dalam rumah, pandangan Rinai mulai berkelana. Kalau di bandingkan dengan rumahnya, rumah ini lebih kecil dan sederhana, tapi tetap berkesan manis. Semua perabot yang ada merupakan perabot tua yang antik dan bernilai seni tinggi. Di dinding yang bercat putih juga terdapat foto keluarga. Rinai dapat melihat diantara wajah dalam foto itu ada wajah orang tuanya, Oma, Opa, Tante, Om, dan keluarga lainnya.

Setelah beramah tamah dan ngobrol-ngobrol sebentar dengan Oma dan Opa, akhirnya Opa mengantar Rinai menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Di lantai dua terdapat dua kamar dan satu kamar mandi serta balkon untuk menjemur pakaian. Opa menyerahkan sebuah kunci pada Rinai. Setelah itu Opa meletakkan koper Rinai dan kembali menuju lantai bawah.

"Jangan lupa selalu kunci pintu kamar kalau Rinai mau keluar, ya?" pesan Opa. Rinai mengangguk. Setelah Opa menghilang dibalik tangga, Rinai segera masuk ke dalam kamar. Kamar itu pun menghadirkan kesan manis dan beraroma maskulin. Sangat rapi, penuh dengan perabot yang unik. Di salah satu sisi terdapat sebuah gitar akustik. Kalau dilihat dari barang-barang yang ada di dalam kamar ini, sepertinya ini lebih mirip dengan kamar cowok. Rinai mengangkat bahu, memang ia peduli? Yang terpenting ia bisa melepas lelah. Perjalanan panjang cukup menguras tenaganya. Ia membaringkan tubuhnya di atas ranjang, kemudian mulai terlelap.

***

Rinai turun ke lantai bawah, sekarang sudah pukul setengah tujuh. Biasanya di rumahnya jam-jam ini adalah waktunya makan malam, entah disini bagaimana. Atau tidak ada makan malam sama sekali? Tapi sepertinya nggak seburuk itu. Rinai mengetatkan jaket yang ia pakai, kota Bandung pada malam hari memang dingin, apalagi sekarang musim penghujan.

"Kalau Rain tetap nggak mau keluar dari kamar, apa nggak sebaiknya kita dobrak saja pintunya?"

Samar-samar Rinai mendengar suara Oma yang berasal dari dapur. Rain? Siapa Rain? Bodo ah, lagian aku nggak kenal. Batin Rinai. Ia segera turun dan menuju meja makan. Disana ia melihat seorang cowok jangkung sedang sibuk dengan ponselnya. Seperti sedang smsan. Ah, Rinai nggak peduli. Rinai mengambil posisi duduk tepat di depan cowok itu. Si cowok tidak menyadari kehadiran Rinai, masih terpaku dengan tombol-tombol qwerty di depannya. Meja makan kosong. Tidak ada makanan sama sekali. Tapi Rinai melihat ada sebuah gelas berisi air putih. Rasa dahaga Rinai tiba-tiba meminta ingin dipuaskan.

"Maaf, itu minuman kamu?" Rinai bertanya pada cowok di depannya. Cowok itu tidak mendengar pertanyaan Rinai. Bola matanya masih tertuju pada layar ponselnya. "Minuman itu punya kamu?" Tanya Rinai sekali lagi dengan volume suara yang lebih keras. Si cowok masih bergeming. Rinai jadi kesal sendiri. Tanpa ba-bi-bu ia langsung mengambil gelas itu dan meneguk isinya sampai habis. Rasa dahaganya sudah terpuaskan!

Tiba-tiba si cowok yang sejak tadi sok sibuk dengan ponselnya itu mendongak. Cowok itu memandang Rinai dengan pandangan aneh. Sedetik kemudian pandangan itu berubah menjadi pandangan yang mengisyaratkan seolah-olah ia ingin menelan Rinai hidup-hidup.

"Lo siapa?" Tanya cowok itu tanpa mengalihkan pandangannya pada Rinai. Rinai salah tingkah. Rinai bisa membaca nada suara cowok ini sama sekali nggak bersahabat. Badai-badai permusuhan sedah jelas terlihat dari sorot mata cowok itu. Rinai menelan ludah, sedikit paranoid.

"A... aku... Rinai... aku bakal tinggal disini selama satu eh dua tahun mungkin, sampai aku lulus SMA. Kamu siapa?" Tanya Rinai dengan takut-takut.

Cowok itu diam saja. Pandangannya terfokus pada satu objek di depannya. Rinai. Pandangannya menilai dan mengintimidasi sekaligus. Cewek berambut panjang di depannya ini terlihat sangat polos dan sederhana dengan kaos putih bersweater biru laut dan celana pendek selutut. Wajahnya manis, dengan satu lesung pipi di sebelah pipi kanannya. Matanya bulat dan bening. Kalau ia bisa menilai, cewek ini mirip boneka Barbie.

Sementara Rinai juga melakukan hal yang sama. Menilai, tapi tanpa intimidasi. Karena Rinai tau, cowok inilah yang lebih memegang otoritas. Di rumah ini ia hanya orang baru, dan sebagai orang baru yang baik harusnya ia tidak cari gara-gara. Cowok di depannya ini terlihat tampan dengan tubuh proporsional hasil fitness yang entah berapa lama. Rambutnya di model spike, alis matanya tebal, dan sorot matanya tajam. Rinai juga dapat melihat kekelaman dalam mata itu. Kekelaman itu lebih tepat disebut sebagai luka! Rinai bisa merasakan sepertinya cowok ini sedang memendam masalah hanya dengan melihat sorot matanya. Salah satu kelebihan yang Rinai miliki, ia terlalu peka dengan kondisi di sekitarnya.

"Emang apa gunanya buat lo kalau udah tau siapa gue?" balas cowok itu dengan suara enteng.

"Nggak ada sih," jawab Rinai polos.

"Ya udah kalau nggak ada," setelah berkata seperti itu si cowok bangkit dari kursinya dan menuju lantai atas.

Tiba-tiba Oma muncul dari arah dapur dan memberikan senyuman pada Rinai. Rinai membalas senyuman Oma. Oma duduk di samping Rinai, memandang Rinai penuh kelembutan.

"Rinai, disini kamu tidak sendirian. Ada Rain dan Rei. Mereka kakak adik. Rain sudah kuliah semester tiga di ITB, dan Rei usianya sama dengan kamu."

Rinai tersenyum kikuk, ia bingung mau menjawab apa. Apa cowok tadi bernama Rain? atau Rei? Puusiiiiiing..... akhirnya Rinai hanya mengangguk saja disusul dengan senyuman Oma.

***

"Dasar cewek sialan!!! Pergi kamu sekarang!!! PERGI!!!" Ia mengambil sebuah batu, dengan seringaiannya yang penuh amarah ia melemparkan batu itu tepat ke kepala Rinai. Duuuaaakkkk!! Rinai tak ingat apa-apa lagi.

Rinai terbangun dengan keringat mengucur deras di dahinya. Napasnya memburu. Sedetik kemudian, ia menangis sesenggukan. Kenapa aku nggak bisa ngelupain kenangan itu? Bego kamu, Rin. Kamu bego! Maki Rinai pada dirinya sendiri.

Rinai duduk bersandar di tempat tidurnya, pandangannya menerawang. Hatinya tiba-tiba merasa sakit. Sakit luar biasa. Hatinya yang sudah retak, kini makin retak disana-sini, meskipun sudah dengan susah payah Rinai menambal retakan-retakan itu agar bisa utuh kembali. Yang ingin Rinai lakukan saat ini adalah menangis sekeras-kerasnya untuk melepaskan sesuatu yang menyesakkan dada. Tapi apa bisa hanya dengan menangis semua beban itu hilang? Pikiran Rinai kembali buntu. Sepertinya malam ini Rinai tidak akan bisa tidur dengan tenang.

Rinai turun dari tempat tidur, mencoba mencari segelas air di meja. Mungkin dengan minum akan sedikit menjernihkan pikirannya. Tiba-tiba Rinai tersadar, ini bukan rumahnya, tentu aja tidak akan ada segelas air di meja tanpa Rinai menyiapkan terlebih dahulu sebelum ia tidur tadi.

Dengan langkah gontai ia keluar dari kamar. Saat membuka pintu, alangkah kagetnya ia mendapati seseorang terbaring di lantai. Tepat di depan pintu kamar yang ada di sebelah kamarnya. Rinai memandang wajah orang itu lebih jelas. Ia ingat, ia adalah cowok yang tadi siang ada di meja makan. Namanya Rei? Eh bukan, tapi Rain? Ah, tau lah, batin Rinai.

Ia segera menuju lantai bawah untuk mengambil segelas air. Baru selangkah, tiba-tiba langkahnya terhenti. Ada tangan kuat yang mencengkeram kakinya dan membuat Rinai tak bisa berjalan. Rinai melihat ke arah kakinya, dan sudah bisa di tebak, tangan itu adalah milik si cowok galak yang super menyebalkan ini. Dalam hati Rinai hanya bisa berdoa agar ia segera bebas dari mahkluk yang berada di bawahnya ini dan segera mandapatkan air! Rupanya Tuhan masih belum mau mengabulkan doanya. Cowok itu malah bangkit berdiri, kemudian menghalangi jalan Rinai. Sekali lagi, Rinai merasa terintimidasi. Hanya dengan melihat sorot di manik mata kelam milik si cowok.

"Permisi, aku mau ambil minum," kata Rinai pelan. Cowok itu menyeringai.

"Oh, mau minum? Sori, jaman sekarang nggak ada yang gratis. Kalau lo mau minum, beli aja di luar. Sekalian gantiin minuman gue yang lo minum tadi. Seenaknya lo ngembat minuman orang tanpa ijin. Emang sama orang tua lo nggak pernah diajarin sopan santun, ya?" sindir si cowok. Rinai mendengus kesal. Mungkin sedikit perlawanan akan lebih baik daripada tertindas terus-menerus.

"Mau kamu apa sih? Aku beneran haus! Kalau masalah tadi aku udah tanya ke kamu, kamunya aja yang sok sibuk!" teriak Rinai tertahan karena tidak mau membangunkan Opa dan Oma yang sudah tidur.

"Gue emang cowok sibuk, mau apa lo?" Cowok itu menghujam Rinai dengan sorot matanya yang setajam belati.

"Aku bingung kenapa kamu..."

Sebelum Rinai sempat melanjutkan kata-katanya, si cowok menginterupsi, "lo bingung? Oke gue beri tahu, pertama lo udah bikin gue terlantar disini. Seumur-umur, baru kali ini gue tidur di lantai! Kamar yang lo pake itu kamar gue! Dan yang lebih parah, Oma nyuruh gue tidur sama Rain, tapi lo lihat kan pintu kamar Rain dikunci!!! Kedua lo abisin minuman gue di meja. Gue paling nggak suka lihat cewek yang nggak tau sopan santun kayak lo!"

Rinai diam daja mendengar setiap kata yang dikeluarkan oleh cowok di depannya ini. Rei... dia Rei... Rinai mengingat dalam hati.

"Maafin aku..." Rinai mengucapkan kalimat itu dengan tulus. Dia sama sekali tidak tau kalau kamar yang ia tempati itu kamar Rei. Parahnya lagi, ia tidak sadar bahwa insiden di meja makan tadi akan berbuntut panjang seperti ini. Rinai hampir saja menangis. Baru saja ia dihantui oleh mimpi buruk yang paling ditakutinya, sekarang ditambah dengan omelan dari Rei yang sangat menusuk hati.

"Lo pikir dengan minta maaf semuanya bakal selesai?!" jawab Rei dengan nada membentak. Ia sama sekali tidak peduli pada Rinai yang sudah berkaca-kaca.

"Kalau gitu kamu aja yang tidur di dalam, biar aku yang tidur disini. Terus urusan air yang aku minum tadi, aku janji besok bakal ganti satu galon air. Impas kan?"
"Deal! Tapi inget ya, nggak usah ngadu-ngadu ke Oma atau Opa! Ini masalah kita berdua, ngerti?!," sentak Rei dengan keketusannya. Dengan sikap arogan, Rei berjalan masuk ke dalam kamar dan tak lupa membanting pintu hingga tertutup kemudian menguncinya dari dalam. "Selamat tidur, manis. Semoga mimpi indah!" teriak Rei dari dalam.

***

Hari ini kota Bandung diguyur hujan deras. Suasana di jalanan aspal tampak sepi, tak ada orang berlalu lalang karena terlalu derasnya hujan sampai-sampai meskipun sudah memakai payung tetap saja bisa basah kuyub. Suasana sepi di jalan ternyata tidak berbeda dengan suasana di sebuah kamar kecil yang terletak di lantai atas sebuah rumah di daerah itu. Seseorang duduk bersila di bawah tempat tidur, hanya boxer bergambar Garfield dan kaos belel yang melekat di tubuh kurusnya. Ia tampak berantakan dengan rambut yang acak-acakan dan wajah pucat tak terawat. Kumis halus mulai tumbuh di bawah hidungnya karena lama tak bercukur. Pandangan matanya kosong memperlihatkan bahwa hatinya juga kosong. Ia tidak mau melakukan apa-apa. Yang ia butuhkan sekarang hanya keheningan, dan ia suka suasana seperti ini, tanpa peduli bahwa banyak orang yang menghawatirkan keadaannya.

***

Rei memandang hujan melalui jendela rumah dengan hati jengkel. Kenapa hujan turun di saat yang nggak tepat? Padahal sekarang Rei akan menuju ke studio untuk berlatih band. Tapi kondisi sangat tidak mendukung, nggak mungkin kan dia berangkat dengan naik sepeda motor dan membawa gitar di belakangnya??? Rei mendengus kesal, ia menghempaskan tubuhnya di sofa kecil yang ada di dekatnya kemudian memejamkan mata untuk berpikir. Dia harus datang ke studio. Tapi bagaimana caranya??? Otaknya masih terus diajak berputar, mecari cara. Tiba-tiba bibirnya tersenyum nakal, ia ada akal.

***

"Lelet banget sih lo! Woeeyy, cepetan!! Kasihan tuh gitar gue kehujanan!!" Sentak Rei sambil menoleh ke samping. Rinai mempercepat langkahnya, tangan kirinya membawa payung dan tangan kanan membawa gitar membuat ia susah berjalan, apalagi jalanan becek. Rinai hampir menangis diperlakukan seperti ini oleh Rei. Rei yang melihat Rinai kewalahan merasa kasihan juga, akhirnya ia mengambil gitarnya dari tangan Rinai.

"Gue aja yang bawa!" kata Rei dingin. Mereka sudah sampai di studio. Memang tadi Rei memutuskan untuk berjalan kaki dari rumah ke studio, toh jaraknya tidak terlalu jauh, daripada harus membawa motor. Rei malas kalau harus mencuci motornya lagi karena terkena hujan. Untung saja di rumah ada penghuni baru bernama Rinai yang rela menjadi dewi penolongnya walaupun Rei tahu betul Rinai melakukan semua perintahnya dengan sangat terpaksa. Rei meminta Rinai untuk memayungi dirinya, sekalian membawakan gitarnya. Awalnya Re merasa kalau ia keterlaluan, tapi setelah melihat Rinai mampu melakukannya, Rei tidak jadi merasa kalau dirinya keterlaluan. Tapi barusan saja ia melihat Rinai hampir menangis, akhirnya sisi kemanusiaannya keluar juga, ia rela membawa sendiri gitarnya.

"Masuk!" Perintah Rei pada Rinai agar Rinai mengikutinya masuk ke dalam studio. Di dalam studio sudah ada empat cowok yang sibuk memainkan alat-alat musik sesuai keahlian mereka.

"Hei sob, lama banget sih lo?" sapa seorang cowok berambut ikal yang memegang bass.

"Lo nggak liat diluar hujan? Lagian, jongos gue jalannya kayak kura-kura, lelet abis, man!" balas Rei sambil memandang Rinai dengan senyum meremehkan. Empat cowok yang ada disitu mulai menyadari kehadiran Rinai. Mereka memandang Rei dengan pandangan penuh tanya.

"Itu jongos lo? Cantik, ya?" komentar cowok berambut ikal tadi sambil memandang Rinai genit. Ia langsung mengerling nakal pada Rinai.

"Lo dapet dimana, Rei? Gue cariin yang lebih bohay dong!" sambung cowok berkacamata yang memegang stick drum.

"Sialan lo, pembokat cantik nggak bagi-bagi! Masuk neraka lo!" celetuk cowok berambut merah yang duduk di atas karpet sambil merokok.

Rinai berusaha sabar menghadapi mahkluk-mahkluk yang entah berasal dari planet mana ini. Ia mencoba menahan rasa takutnya. Untung saja dia dulu pernah belajar ilmu bela diri meski belum pernah sampai mendapat sabuk merah kuning hijau. Jadi kalau kelima cowok ini macam-macam, setidaknya dia masih bisa melawan walaupun dengan kesadaran penuh Rinai meyakini, mustahil bisa menang. Tapi apa salahnya berharap?

"Sori, gue bercanda. Dia bukan pembantu gue, tapi adik gue yang baru dateng dari..." Rei menoleh ke arah Rinai sambil mengangkat kedua alisnya. Rinai yang bisa membaca isyarat Rei itu segera menjawab.

"Jogja..."

"Ya, Jogja. Jadi jangan gangguin dia, kalau sampai lo pada ngengangguin adik gue yang tersayang ini, lo pulang bakal tinggal nama!" ancam Rei.

Rinai merasa sedikit lega walaupun tak sepenuhnya merasa lega. Tapi apa kata Rei tadi??? Adik tersayang???!!! Oh my God, keajaiban apa lagi ini? Apa Rei sekarang sedang melancarkan aksi dramanya? Rinai tau Rei tidak menyukainya, tapi baru saja Rei mengatakan sesuatu yang kontradiktif. Membuat kepala Rinai dipenuhi tanda tanya dalam ukuran jumbo.

Setelah itu, Rei mulai memperkenalkan keempat temannya. Yang berambut ikal tadi bernama Benny tapi biasa di panggil Beben. Yang berambut merah bernama Tobby. Yang memakai kacamata bernama Erza, dan satu lagi cowok betubuh jangkung yang dari tadi hanya diam saja bernama Onie. Acara perkenalan singkat itu pun selesai. Rei mulai memberi instruksi pada keempat temannya untuk bersiap. Rinai bisa menilai, Rei memang selalu memegang otoritas yang tinggi. Disini ia seperti dihormati, bahkan oleh teman-temannya sendiri. Rinai juga sudah bisa menebak, Rei pasti leader disini.

***

Foto itu jatuh dalam keadaan terbuka. Foto yang memperlihatkan sepasang suami istri dan kedua putra mereka yang kira-kira masih berumur 8 dan 5 tahun. Foto itu diambil di bawah menara eiffel. Sedetik kemudian, seseorang mengambil foto itu, memandangnya lama. Foto itu melemparnya kembali ke masa lalu. Masa lalu yang paling menyakitkan. Masa lalu yang membuat semua harapannya hancur. Masa lalu yang sudah merenggut masa kanak-kanaknya. Masa lalu yang selalu menggerogoti sisa ingatannya sampai memori menyakitkan itu tergambar jelas di otak secara visual, bagai melihat bioskop dengan layar super besar. Sangat jelas, dan membuat tak bisa berpaling.

Tanpa berpikir panjang, ia merobek foto itu menjadi serpihan-serpihan kecil. kemudian ia melemparkanya hingga serpihan kecil itu bertaburan dan mengotori lantai. Nggak!! Gue nggak boleh kayak gini terus, gue harus kuat! Teriaknya dalam hati. Dengan perasaan yang masih tak keruan, ia membuka pintu kamar perlahan.

***

Suasana makan malam di rumah Opa dan Oma saat ini berlangsung hening. Tidak ada yang memulai pembicaraan, apalagi Rinai yang masih orang baru disini. Rinai memandang seseorang yang duduk di depannya dan bersebelahan dengan Rei. Seorang cowok yang wajahnya mirip dengan Rei, hanya terlihat lebih dewasa dan tubuhnya lebih kurus. Dia pasti Rain, kakak Re yang katanya kuliah di ITB itu. Rinai membatin.

"Rin, ambilin gue sambel!" Rei memandang Rinai, Rinai sadar, kemudian ia mengambil sebotol sambal yang ada di sampingnya dan menyerahkannya pada Rei. Rinai tau Rei hanya berbasa-basi, sebenarnya Rei berusaha mencairkan suasana yang terlihat kaku ini.

Rinai tau, kalau Rei bukan tipe cowok yang betah diam berlama-lama. Sebenarnya Rei malah kelewat cerewet dan super humoris. Hal itu baru Rinai ketahui saat mengantarkan Rei ke studio. Sikap Rei jadi berubah seratus delapan puluh derajat terhadapnya, yang tadinya antipati berubah jadi care, malah kelewat care. Bendera perang yang dikibarkan Rei di hari pertama Rinai tinggal disini seakan sudah menjadi sobekan. Tak tersisa, digantikan dengan bendera peace yang nampaknya akan berkibar lama. Rinai awalnya waspada dengan perubahan sikap Rei. Jangan-jangan itu sebuah dramatisasi yang begitu sempurna agar Rei terlihat baik di hadapan Oma dan Opa. Tapi setelah dipikir-pikir, harusnya ia tidak boleh terlalu berpikiran negatif terhadap orang lain.

"Terus rencananya lo mau sekolah dimana, Rin? Mending lo masuk sekolah gue aja, untung-untung kalau kita bisa sekelas. Gue jadi bisa jagain dan ngawasin elo. Lagian lo juga belum tau daerah Bandung. Gimana?" Tanya Rei penuh perhatian. Rinai menahan tawa, ia membayangkan saat Rei masih ketus padanya. Hahahaha.... Kalau di ulang lagi, Rinai pasti ngakak sampai nangis.

"Aku sih terserah Oma dan Opa," jawab Rinai.

"Saran Rai baik, Rin. Kamu sekolah dengan rei saja, biar Oma dan Opa disini nggak kepikiran. Nanti biar Rei yang urus semuanya. Kamu tinggal siapkan berkas-berkas penting kamu dari sekolah yang lama," Oma menanggapi. Rei tersenyum genit pada Rinai. 

"Oma, Rain ke kamar dulu," semuanya menoleh pada Rain yang tiba-tiba mengeluarkan suara. Rinai tak kalah kaget. rain berdiri dari kursinya dan berjalan menuju kamarnya, sedetik kemudian Rei juga melakukan hal yang sama. 

"Bro, lo tidur sama gue, ya? Kamar gue dipakai sama Rinai. Boleh kan?" Rinai yang mendengar ucapan rei pada kakaknya itu bernafas lega. Seenggaknya malam ini dia nggak harus tidur di lantai lagi. 


TBC


Continue Reading

You'll Also Like

2.4M 132K 53
[PART MASIH LENGKAP] "Lihat saudaramu yang lain! Mereka berprestasi! Tidak buat onar! Membanggakan orang tua!" Baginya yang terbiasa dibandingkan den...
919K 41.6K 41
Menjadi istri antagonis tidaklah buruk bukan? Namun apa jadinya jika ternyata tubuh yang ia tepati adalah seorang perusak hubungan rumah tangga sese...
20.7K 2.4K 11
"Besok kalau saya liat rambut kamu masih biru kaya gini, saya botakin kamu!" kejamnya guru gue. Sasaran selanjutnya adalah cowok di sebelah gue. "Tad...
6.5K 196 62
Sekumpulan goresan pena... Dan, pada tanda titik akhir kisah kita Aku dan kamu; melebur hasrat--hanya sebatas angan Lantaran kita tak mencumbu napas...