About LOL (Losing Out Love)

By NaMeyya_

52.7K 5K 333

Ini kisahku... kau tahu? Cerita klasik dimana seorang gadis mencintai secara diam-diam, hingga akhirnya harus... More

Sneak A Peek
1_ Blackout
2_ Uproar Eleven !!!
3_ Rude but Sweet
4_ Yes... you, Girl!
5_ A Thief
6_ Not Over Yet
7_ Signs of Hope
8_ School Bell
9_ Friendship
10_ Wake Up, Snow White!
11_ Stalker
12_ Your Heartbeat
14_ You Under The Tree & Crescent (2)
15_ Cold Hearted Girl
16_ Fluorescent
17_ The Truth of Mistakes
18_ Like We Used To Be
19_ The Evil of Angel (1)
20_ The Evil of Angel (2)
21_ All About Crescent
22_ The Promise of Love
23_ Rise In Sunrise
24_ Stay with Me (1)
25_ Stay with Me (2)
About LOL by Illy (End)

13_ You, Under The Tree & Crescent (1)

1.4K 157 8
By NaMeyya_

Jakarta, 2015

Illy tengah menulis di taman, di malam yang cerah dengan langit dihiasi beberapa titik bintang dan bulan yang terlihat bulat sempurna. Taman di kompleks perumahannya itu terasa lebih sepi dari biasanya, padahal cuacanya hangat bersahabat. Dari rumah, ia mengendarai sepedah dengan mengenakan jamsuit dan cardigan ber-layer panjang yang cukup hangat. Tidak lupa, juga memakai syal untuk melindungi lehernya dari tiupan angin malam.

Di meja taman yang terbuat dari ukiran besi, Illy mulai larut menuliskan kisahnya. Ya, benar-benar kisahnya sendiri. Setelah menulis beberapa buku dengan kisah dan tokoh fiksi, yang kebanyakan bertemakan fantasy, entah kenapa belakangan ini ia mulai asik menulis kisahnya sendiri. Bukankah hidup terlalu singkat untuk menuliskan kisah orang lain?

Malam begitu sendu saat aku duduk di bawah pohon Ek, pohon yang selalu menjadi tempatnya merebahkan diri seraya memandangi langit.

"Al, rasanya aku begitu bahagia malam ini. Aku ingin mengatakan semuanya secepat mungkin padamu. Ya, ya, aku juga menyukaimu, seperti kamu yang juga menyukaiku, sejak dulu...."

Tapi, malam itu....

Seperti itulah Illy mengawali kisahnya untuk malam itu.

***

Jakarta, 2007

Illy duduk di bawah pohon besar yang seringkali menjadi tempatnya dengan Al saling menatap lekat, dengan tatapan yang begitu dalam namun singkat. Sayangnya, mereka tidak pernah bisa saling memahami arti tatapan itu.

Acara MOS telah resmi ditutup. Jam sudah menunjukan lewat tengah malam, dan semua orang yang sudah tertidur. Namun, Illy masih belum bisa terjaga. Malam itu, ia teringat saat menghabiskan malam bersama Al, di bawah bulan sabit yang tertutup awan, mungkin sekitar satu tahun yang lalu. Rasanya, seperti deja-vu. Hanya saja, bulan malam itu sama sekali tidak nampak. Langit tampak begitu kesepian tanpa bulan dan bintang.

"Kayaknya ini udah jadi tempat favorit lo, ya?" tanya Al yang baru saja datang dan langsung duduk di sebelah Illy.

Illy sedikit terkejut dengan kehadiran Al yang tiba-tiba, tapi kemudian tersenyum hangat pada Al. "Kenapa? Lo gak rela tempat favorit lo ini jadi tempat favorit gue juga?"

"Gue lebih senang kalau lo bilang, ini tempat favorit kita berdua." Al tersenyum simpul, lalu menerawang. "Ly, kita udah ambil jurusan yang beda, jadi kita gak mungkin semeja lagi. Bahkan, kita gak sekelas. Pasti susah...."

"Susah?" Illy mengernyit.

"Pasti susah kalau setiap hari gue gak bisa lihat lo di samping gue lagi. Gue udah terlanjur biasa sama lo yang selalu ada di dekat gue, noyor kepala gue kalau gue ketiduran, nendang kaki gue kalau lo lagi bosen, ngeribetin gue kalau gue lagi mecahin soal kimia, dan yang paling gue ingat...." Al menghela nafas dalam-dalam. "Gue paling suka lihat lo kalau lagi nulis, dan kalau lagi baca. Lo tahu? Muka lo yang ketus itu seketika bisa berubah manis kalau lagi lakuin dua hal itu. Lo kelihatan... lebih bersinar."

Illy menatap Al yang malam itu begitu jujur mengutarakan perasaannya. Lalu, kapan dirinya akan jujur? Jangankan pada Al, ia bahkan belum benar-benar jujur pada dirinya sendiri.

Illy beralih melihat langit yang malam itu tanpa bulan. Tapi, tiba-tiba ia ingat bisa menemukan bulan di mana. Terlintaslah ide gila di kepalanya. "Al...."

Al menoleh. "Apa?"

Illy tidak menjawab, malah mengulurkan tangannya. Untuk beberapa detik, Al hanya melihat tangan itu, kemudian melihat Illy yang tersenyum begitu manis padanya.

"Ikut gue?" ajak Illy akhirnya.

"Ke mana?" Al bertanya setelah mengenggam tangan Illy erat. Tapi, Illy tidak menjawab, justru menarik tangannya dan berlari meninggalkan pohon itu. "Kita mau ke mana?"

"Ke ruang kesenian," jawab Illy akhirnya, saat mereka sudah hampir sampai.

"Ngapain?"

"..." Illy kembali diam.

TIba di depan pintu kesenian, Illy mengambil kunci di sakunya lalu membuka pintunya. Sebagai anak teater, ia adalah salah satu orang yang mempunyai hak atas ruangan itu. Ia ingat, sesuatu miliknya yang disimpan di ruangan itu. Sebuah lampu meja.

Illy menarik Al masuk, lalu menyalakan lampu mejanya yang memantulkan bentuk bulan-bulan sabit kecil ke seluruh ruangan. Seketika itu juga, ruang kesenian yang gelap berubah, menjadi remang hanya dengan pantulan cahaya-cahaya berbentuk bulan sabit.

Illy kemudian memegang tangan kiri Al seraya melingkarkan sebelah tangannya ke pundak Al. Spontan Al melingkarkan tangan kanannya di pinggang Illy. Perlahan, Illy menuntun kaki Al untuk bergerak, ke depan, ke belakang, ke samping hingga mereka tidak lagi canggung dan mulai bergerak leluasa.

Tanpa berkata-kata, mereka larut dalam keriangan dan keromantisan yang tercipta begitu saja, hanya dengan bulan-bulan sabit yang tersenyum mengelilingi mereka. Bahkan, tanpa musik yang biasa digunakan sebagai pengiring pesta dansa. Seperti sepasang putri dan pangeran yang tanpa lelah mengayun tubuh mereka, mereka terus melukis indahnya cinta di lantai yang mereka tapaki.

Entah sudah berapa lama, tapi Illy mulai melingkarkan kedua tangannya di leher Al. Nafasnya sudah tidak teratur karena tubuhnya yang belum juga dibiarkan beristirahat. Hingga kakinya berhenti mengayun, tapi masih memeluk Al seraya tertawa kecil, menertawakan keanehannya dalam mewujudkan khayalannya.

Illy selalu mempunyai imajinasi yang ajaib. Entah didapatkan dari cerita fiksi yang ia baca, maupun dari khayalannya sendiri. Sejak kecil, ia sangat menyukai bentuk bulan sabit yang terlihat seperti tengah tersenyum. Karena itu, ia mempunyai impian untuk bisa berdansa dengan cinta pertamanya di bawah senyum rembulan itu.

Dan malam itu, Illy menyadari cinta pertamanya sudah ia temukan. Dan bulan sabit itu, bukankah tidak harus selalu bulan yang terlihat di langit? Itu semacam kompensasi yang ia ciptakan sendiri untuk mewujudkan khayalannya menjadi nyata.

"Ly...," Al memanggil Illy seraya merengkuh wajah mungilnya. "Kenapa kamu lakuin ini?"

"..." Illy tidak menjawab, hanya menatap Al sendu dalam senyum hangatnya, dengan nafas masih berantakan yang perlahan mulai terasa sesak.

"Apa pun maksud kamu, tapi aku bahagia. Ly, aku sayang sama kamu, aku gak akan pernah lupain malam ini." Al menundukan wajahnya perlahan, berusaha menghilangkan jarak antara wajahnya dengan Illy yang terus mendongak untuk sekedar bisa menatap wajahnya yang lebih tinggi.

Saat itu, Illy ingin sekali memejamkan matanya. Namun, sesak di dadanya semakin terasa. Ia berusaha menahannya, tapi terlalu sulit. Akhirnya, kedua tangannya sudah meninggalkan pundak Al, tapi berusaha untuk tidak memegangi dadanya di depan Al. Ia segera melangkah mundur, menjauh dari Al, kemudian berbalik pergi.

"Illy...." Al bingung dengan perubahan sikap Illy yang begitu mendadak. Saat itu, ia mengira apa yang hampir saja dilakukannya sudah membuat Illy takut atau tersinggung. "Kamu mau kemana?! Maaf kalau aku-"

Illy berhenti di ambang pintu, dan seketika ucapan Al terhenti. "Al, makasih buat malam ini, kamu udah bantu aku wujudin impian aku...," katanyanya tanpa menoleh. "Soal jawaban itu, temui aku di bawah pohon Ek hari minggu malam, satu minggu dari sekarang." Kemudian, ia benar-benar pergi meninggalkan Al dalam remangnya ruangan itu.

"Kamu selalu lakuin hal-hal spontan di luar dugaan aku, Ly.... Aku gak tahu dan gak pernah bisa tebak apa yang kamu pikirin," Al bergumam seraya terpaku. Ia masih belum mengerti dengan apa yang baru saja terjadi, namun satu hal yang pasti, malam itu adalah malam yang terindah yang tidak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya.

~~~

Illy masuk ke dalam tendanya dengan tergesa, kemudian mengambil kotak obat di dalam tas. Ia langsung menelan dua butir obat yang disusul air mineral. Setelah perasaannya membaik, ia membaringkan tubuhnya di samping Cassie yang akhirnya terbangun.

"Ly..., lo kenapa? Dari mana aja?" tanya Cassie cemas.

"Gak papa, gue cuman agak sesak nafas aja. Mungkin kelamaan di luar."

"Lagian lo ngapain di luar? Kan lo belum benar-benar sembuh. Entar gue lagi yang diomelin nyokap lo, kan dia nitipin lo ke gue!"

"Iya, sorry... udah, ah! Gue ngantuk."

"..."

~~~

Hari minggu pagi....

Illy mengobrak-abrik isi lemarinya. Baju-baju berserakan di tempat tidur, bahkan di lantai kamarnya. Ia sudah tidak sabar menunggu malam tiba. Dan untuk malam spesial itu, ia harus tampil secantik mungkin. Malam nanti, ia akan resmi menjadi seorang gadis remaja yang untuk pertama kalinya mempunyai seorang pacar. Ya, benar-benar mempunyai pacar.

Setelah lebih dari satu jam, Illy akhirnya menemukan sebuah A-Line mini dress berwarna salem. Ia melihat dirinya dengan baju itu di cermin. "Yup, pake ini aja. Umm... terus pake cardigan cream, deh!" imbuhnya seraya mengambil Cardigan ber-layer panjang, sepanjang dress-nya.

Illy sangat bersemangat hingga lupa dengan pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi kepalanya, sejak malam kepulangannya dari malam kemping MOS. Pertanyaan mengenai apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya, kenapa belakangan ini begitu bergantung pada obat-obatan dan semakin mudah merasa lelah?

Tapi, sepertinya takdir mengharuskan Illy menerima jawaban itu secara tidak sengaja, bahkan tanpa harus bertanya. Saat hendak bertanya pada Sandra dengan pilihan baju yang akan ia kenakan, ia yang baru akan mengetuk pintu langsung terdiam saat mendengar ayahnya berteriak.

"Kita harus kasih tahu Illy!!!" Suara Rian terdengar begitu keras membentak, dari balik pintu kamar mereka.

"..." Illy memasang pendengarannya setajam mungkin.

"Ini semua demi Illy, Ma, Illy harus tahu kondisinya. Kalau enggak, dia bisa bahayain kondisinya sendiri!" Suara Rian kemudian mendadak bergetar.

"Tapi, Pa...." Sandra terisak hingga tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. Dan Illy, semakin gemetar saat mendengar tangisan sang Mama.

"Ma... Illy harus tahu, biar dia bisa jaga kondisinya. Kelainan jantungnya itu gak main-main, ini serius, Ma!" Kejelasan itu akhirnya keluar dari mulut Rian.

Illy membungkam mulutnya yang saat itu nyaris saja mengeluarkan suara tangisan. Ia menangis seraya menggeleng, tidak ingin percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Gak mungkin...."

Illy berlari, kembali ke kamarnya. Langkah kakinya nyaris tidak terasa, seakan tengah berada dalam mimpi buruk. Ia kemudian jatuh terduduk, bersandar di belakang pintu dan menangis hingga air mata yang terus menetes membuat roknya basah. Semakin ia tidak ingin menerima kenyataan itu, semakin air matanya mengalir deras, seiring tubuhnya yang bergetar hebat dengan nafas yang semakin sesak.

Illy segera bangkit dan mencari kotak obatnya, tapi tidak ditemukan di kamarnya. Ia kembali berlari menuju dapur untuk mencarinya. Akhirnya, ia menemukan kotak itu di atas lemari yang hanya bisa dijangkaunya dengan berjinjit. Ia memegang dadanya yang terasa semakin sakit saat berusaha mengambil kotak itu. Hingga kotaknya bisa diraih, namun terjatuh menimpah sebuah gelas yang langsung pecah.

Sandra dan Rian keluar dari kamar saat mendengar suara dari dapur. Mereka cepat-cepat menghampiri Ily dengan perasaan takut, saat medapati putrinya itu menangis sambil menahan sakit, dengan wajah pucat pasih.

"Illy! Kamu kenapa?!" tanya Sandra, sedikit berteriak dalam paniknya.

"Berhenti! Jangan deketin aku! Aku bisa sendiri!" Illy menghentikan Mama dan Papanya, yang hanya tinggal beberapa langkah saja darinya sambil terisak. "Aku bisa sendiri! Aku cuma harus minum obat ini, kan?"
Illy mengambil obat yang sudah berserakan di lantai. "Ya, kan? Aku cuma butuh obat ini! Aku harus minum obat ini sampai kapan? Seumur hidup aku?" lirihnya dengan air mata yang kembali mengalir deras di pipinya.

"Sayang, Mama bantu minum obatnya, ya?" Sandra yang juga menangis berusaha mendekati Illy yang masih memegangi dadanya. Saat tangannya berhasil meraih putrinya itu, ia memeluknya erat. "Maafin Mama...."

"Kenapa gak bilang dari awal? Kenapa harus bohong, Ma?" lirih Illy dengan suara sesak.

"Maafin Mama... maafin Mama.... Mama cuma belum siap kasih tahu kamu. Maafin Mama...."

Illy melepaskan pelukan Sandra, lalu menatap matanya lekat. "Se-separah itu ya, Ma? Aku bisa sembuh, kan?"
Sandra hanya bisa menjawab dengan suara tangisan yang semakin jelas, ia kembali memeluk Illy erat. Sementara Rian, hanya berdiri seraya menahan air matanya.

***

Jakarta, 2015

Kamu tahu, Al? Malam itu, di bawah pohon Ek itu, di tempat favorit kita, kalau saja aku sedikit lebih egois, kalau saja aku tidak memikirkan takdir yang begitu jahat padaku, mungkin aku akan memelukmu dan mengatakan... "Aku cinta padmu...."

Illy menghela nafas sejenak sebelum menutup Macbook-nya. Sepertinya cukup untuk malam itu, ia yakin masih akan mempunyai cukup waktu untuk melanjutkan kisahnya. Ia kemudian bergegas meninggalkan tempat itu. Tapi, baru saja berbalik, tokoh utama pria yang baru saja ia tuliskan dalam kisahnya hadir, berdiri seraya tersenyum manis padanya.

"Hai...," sapa si tokoh pria.

"..." Illy terkejut dan bingung. Sejak kapan dia di situ?

"Sayang banget, kamu kelihatannya udah mau pulang, ya?"

"Al, lo ngikutin gue? Kenapa lo bisa tiba-tiba ada di sini? Belakangan ini lo sering muncul di komplek ini, Al." Illy menggeleng samar, dengan picingan curiga pada Al.

"Kamu lupa? Jarak dari café aku ke sini itu gak lebih dari 20 menit pakai motor. Umm... aku juga bingung sih, tahu-tahu udah sampai aja di sini, hehe...."

Illy segera berwajah datar. "Oh... gitu ya, kali ini lo pasti lagi mau olah raga malam di sini?" sindirnya.

Al terkekeh seraya mengangguk tengkuk. "Hehehe, bisa jadi."

"Ya udah, kalau gitu selamat olahraga malam." Illy segera menaiki sepeda setelah menyimpan tas macbook-nya di keranjang depan.

Saat Illy baru mulai mengayuh, Al menghentikan sepedanya. "E-eh! Kamu mau ninggalin aku lagi?"

"Maksud lo?" Illy mengernyit polos.

"Dia nanya maksud lo? Apa-apaan! Bukannya dari dulu dia selalu seenaknya ninggalin gue?! Dia gak punya perasaan, lupa ingatan, atau gimana?" Al menggerutu dalam hatinya.

"Umm... ini kan udah malam, seenggaknya aku anterin kamu kek, sampai depan rumah. Biar gimanapun, sebagai cowok sejati aku gak mungkin biarin cewek malam-malam gini ngayuh sepeda sendirian."

"Cowok sejati?" Illy mencibir.

"Perlu aku buktiin?" goda Al seraya menaik turunkan alisnya.

"Gak usah! Makasih," sahut Illy dengan tatapan malas.

"Kalau gitu turun, biar aku yang bawa sepedanya. Ayo, cepetan!"

"..." Illy menggeleng, tidak habis pikir. Al benar-benar pantang menyerah, dan akhirnya ia menyerah dengan turun dari sepedah itu.

Tanpa babibu, Al langsung mengambil alih kemudi sepeda dengan semangat berapi-api. Setelah beberapa meter meninggalkan taman, mereka menemukan persimpangan. Al mengambil jalan ke kanan. Sontak Illy memukul punggung Al.

"Ke kiri, Al! Ini mau ke mana?!" protes Illy panik.

"Udah, kita ke sana dulu, jalan-jalan malam," Jawab Al dengan nada santai.

Illy tidak henti mendorong punggung Al hingga sepedah itu nyaris kehilangan keseimbangan. "Lo mau culik gue, ya?! Aalll! Puter balik, sekarang! Aaaaaa...!!!"

"Siapa yang mau culik lo? Ke sana sebentar doang, kenapa sih! Gue gak akan apa-apain lo, tenang aja."

"..." Illy pasrah, sepedah itu sudah terlanjur jauh untuk berputar balik.

"Kok sekarang diam?" tanya Al.

"..." Illy tidak sudi lagi menjawab.

Tak lama, mereka keluar dari komplek perumahan Illy, melewati palang pintu yang sekarang sudah ditinggalkan oleh pak Suparman, dan diganikan oleh satpam baru. Illy melihat-lihat ke sekitar dan semakin penasaran ke mana Al akan membawanya, tapi malas untuk bertanya. Semakin lama, Illy mulai menyadari jika itu jalan menuju sekolah, lebih tepatnya jalan pintas menuju gerbang belakang sekolah.

"Sampaaiiii!" teriak Al setelah berada tepat di depan gerbang belakang sekolah. "Ayoo!" Ia mengtulurkan tangannya pada Illy.

Illy mulai takut dan tidak mau menatap Al yang sekarang menunggunya menyambut uluran tangannya. Ia merasa, apa pun yang akan dilakukan Al saat itu, hanya akan mengingatkannya dengan apa yang sudah ia lakukan pada Al dulu. Dan Illy memang selalu mengingatnya.

Terlalu lama menunggu, akhirnya Al meraih tangan Illy dan menariknya. "Ayo, ah!"

Tepat di depan gerbang, Al mengeluarkan kunci dari sakunya lalu membuka gembok di gerbang itu. "Malam ini aku gak mau manjat dinding sekolah lagi, jadi aku udah antisipasi. Kamu tahu? Aku sampai mohon-mohon sama pak Eman penjaga sekolah buat pinjem kunci ini. Ya, untung juga aku alumni sini, jadi diijinin. Biarpun KTP aku dibikin jaminan." Al tidak henti mengoceh. Setelah gerbang terbuka, ia kembali menarik tangan Illy masuk.

Perasaan Illy semakin tidak enak. "Pak Eman? Dia temuin pak Eman?" pikirnya.

Dan arah itu, Illy tahu betul menuju ke mana. Benar saja, akhirnya mereka sampai beberapa langkah dari pohon Ek besar yang samasekali tidak berubah sejak bertahun-tahun yang lalu. Illy diam, menolak untuk melanjutkan langkahnya.

Al membiarkan Illy tetap berdiri mematung, sementara dirinya tetap berjalan hingga tepat berada di bawah pohon Ek. Ia kemudian berbalik dan menatap wajah pucat Illy yang tersembunyi oleh remangnya malam. Tapi, cahaya bulan cukup membuatnya bisa melihat guratan takut dan rasa bersalah di wajah Illy.

"Malam itu, kamu ingat? Tepat 5 tahun yang lalu, tepat malam ini, aku di sini nungguin kamu...." Al tersenyum getir. "Ini kebetulan? Ya, aku juga gak ngerti, Ly. Harusnya kamu yang jauh lebih ngerti."

"..." Rasanya... Illy bisa mendengar detak jantungnya sendiri.

♡♡♡

Continue Reading

You'll Also Like

6.6M 340K 60
[SEBAGIAN DIPRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM BACA] Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusakny...
2.4M 446K 32
was #1 in paranormal [part 5-end privated] ❝school and nct all unit, how mark lee manages his time? gampang, kamu cuma belum tau rahasianya.βžβ–«not an...
2.8K 110 8
Radit melirik dengan waswas dari ujung kacamatanya. Gadis antah-berantah itu masih duduk mematung di kursi belakang ruangan. Semilir angin malam tib...
724K 67.6K 50
{Rilis in :1 February 2021} [Fantasy Vampire series] Ivylina terjebak di sebuah Museum kuno di negara Rumania dan terkunci di kamar yang penuh dengan...