(Not) a Perfect Life

By Rasdianaisyah

767K 76.6K 3.4K

Warning! Bacalah saat benar-benar luang! Cerita ini hanya fiksi. šŸ‚šŸ‚šŸ‚ Diana dipaksa takdir untuk menelan pi... More

PROLOG
BAB 1
BAB 02
BAB 03
BAB 04
BAB 05
BAB 06
BAB 08
BAB 09
BAB 10
BAB 11
BAB 12
BAB 13
BAB 14
BAB 15
BAB 16
BAB 17
BAB 18
BAB 19
BAB 20
BAB 21
BAB 22
BAB 23
BAB 24

BAB 07

25.3K 2.8K 169
By Rasdianaisyah

Tarik napas, keluarkan...

Tarik lagi, keluarkan lagi...

Hingga lima menit berlalu, hanya itu yang bisa Diana lakukan di depan sebuah pintu ganda ruangan Direktur Keuangan.

Dinda—sekretaris Alfian yang mengantarkannya—hanya bisa memandang bingung. Selama satu tahun ia menjadi sekretaris direktur keuangan, tak sekalipun Dinda pernah melihat hal ganjil seperti ini.

Diana gugup? Bagaimana bisa?

Sedikit tidak enak hati, Dinda berdehem untuk menarik perhatian Diana, karena ia sudah merasa pegal terus berdiri dengan heels sepuluh senti tanpa melakukan  apa pun. Dan suara tenggorokannya yang agak serak berhasil membuat Diana menoleh.

"Kenapa Ibu tidak langsung masuk saja?" Dinda bertanya formal. Jika biasanya dia akan berbicara nonformal dengan karyawan kantor lainnya, maka hal itu tidak berlaku bagi Diana. Manager yang satu ini terlalu kaku, serta sulit untuk diajak bercanda, kecuali oleh orang-orang terdekatnya saja.

Mendapat pertanyaan seperti itu, Diana tampak salah tingkah. Gestur langka yang jarang ia perlihatkan, membuat Dinda harus mengerjap beberapa kali karena tidak yakin akan indra penglihatannya sendiri. Ah, setidaknya setelah melihat pemandangan itu, Dinda kini yakin bahwa Diana memanglah manusia biasa—bukan robot hasil buatan Jepang yang hanya memiliki ekspresi datar.

"O—oh, baiklah." Diana melempar senyum kikuk. Saking gugupnya, ia tidak sadar telah melakukan itu. Satu gestur lain yang lagi-lagi membuat Dinda melongo.

Diana tersenyum padanya? Langka sekali.

Tak memperdulikan tampang bodoh Dinda, Diana mendekat menuju pintu ganda berbahan kayu jati dengan ukiran burung elang di hadapannya. Menarik napas sekali lagi, ia mulai mengetuk pintu tiga kali.

"Masuk!" Perintah suara berat dari dalam ruangan.

Takut-takut, Diana memutar kenop pintu dan mendorong perlahan. Debaran jantungnya jangan ditanya lagi. Sebab, kini organ penting itu sudah berdemo minta dicopot paksa dari rongga dada.

Tak memiliki penopang untuk dijadikan pengalihan rasa gugup, Diana meremas ujung folder hijau yang ia bawa. Langkah kakinya terasa sangat berat saat ia seret untuk terus terayun ke arah meja sang direktur yang kini sudah mengalihkan perhatian dari layar MacBook padanya.

Setelah merasa agak tenang, gadis itu membuka suara. "S—selamat pagi, Pak!" Mati-matian dia menghiraukan perintah otaknya untuk menunduk dan menghindari tatapan mata tajam Alfian yang masih tak berkedip. Tapi, Diana tidak sepengecut itu. Hanya karena dia sudah bisa mengingat kisah lalu tentang masa SMA mereka dari diary merah jambunya yang sempat ia baca malam kemarin, bukan berarti Diana harus merasa terintimidasi. Meski sebenarnya, ia sudah merasa ciut sejak menatap pintu ganda ruangan pemuda ini.

Alfian mengangguk tanpa membalas sapaan Diana dengan suara. Ia menjauhkan laptop dari hadapannya dan melipat tangan di atas meja. Bersiap mendengar pelaporan dari Manager Keuangan perusahaan mereka.

"Ini ...." Tangan Diana bergerak, meletakkan folder keuangan periode kemarin yang belum diaudit ke atas meja kerja Alfian sesopan mungkin. "Laporan keuangan perusahaan kita per 31 Maret 2015. Pendapatan Galileo's Group periode ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan dibanding periode sebelumnya," terang Diana berusaha menahan gugup. Alfian memerhatikan sambil menyatukan jari-jarinya sebagai penopang dagu. "Tapi untuk informasi lebih lanjut, Bapak bisa memeriksanya langsung."

"Oke!" Sang direktur menegakkan badan. Ia meraih folder hijau di hadapannya dan mulai memeriksa. Kening Alfian tampak berkerut samar, tanda fokusnya yang hanya tercurah pada berkas-berkas tersebut. Terlihat sekali bahwa pemuda itu tengah berkonsentrasi penuh memeriksa laporan keuangan serta hasil interpretasi yang juga disertakan oleh Diana dalam folder yang sama. Dan diam-diam, Diana mengamati setiap perubahan ekspresi atasannya itu penuh minat.

Entah. Diana hanya tak bisa memalingkan pandangan ke arah lain.

"Bagus!" Komentar Alfian sepuluh menit kemudian, yang sukses membangunkan Diana dari keterpesonaannya. Alfian mendengak lalu meletakkan kembali folder yang sudah selesai diperiksa itu ke atas meja kerja. "Lalu, bagaimana masalah pembiayaan untuk pembangunan Hotel and Resort yang di Batam?"

Tergagap, Diana mengerjap beberapa kali. Berusaha mengembalikan fokus dan mencerna pertanyaan Alfian yang sama sekali tak bisa ia tangkap. "Maaf, Pak. Bisa pertanyaannya diulang?" Sepasang kelopak mata Diana tepejam sesaat seiring dengan kepalanya yang tertunduk malu. Oh, dia tak pernah sekacau ini saat berhadapan dengan atasan.

Samar-samar, Diana mendengar helaan napas berat nan panjang dari seorang di hadapannya sebelum pertanyaan tadi kembali terdengar. "Bagaimana masalah pembiayaan mengenai pembangunan Hotel and Resort di Batam?"

Kepala Diana terangkat untuk menjawab. "Sejauh ini lancar, Pak. Hanya saja, selama beberapa hari kemarin Batam diguyur hujan cukup deras sehingga membutuhkan sekitar dua puluh pekerja tambahan agar pembangunan bisa selesai sesuai kontrak." Terangnya. "Maka dari itu, perusahaan harus menambah sedikit biaya lagi sebagai upah bagi mereka." Diana mengakhiri penjelasannya dengan senyum simpul.

Alfian mengangguk beberapa kali, sebagai tanda bahwa ia mengerti. "Baiklah kalau begitu. Kamu boleh kembali."

Tanpa sadar, Diana menghela napas lega. Ia memang harus cepat-cepat menghilang dari ruangan ini agar jantungnya selamat. Buru-buru gadis itu mengangguk sopan dan berbalik dengan gerakan secepat yang ia bisa. Baru beberapa langkah, kaki Diana kembali terpaku pada lantai granit berlapis karpet biru yang kini ia pijak, saat suara Alfian kembali terdengar. Memanggil namanya.

"Ana?!"

Dalam hati, Diana mengutuk mulut sang atasan yang lagi-lagi menyebut 'Ana' sebagai panggilan untuknya. Sebab karena nama panggilan itu, kini jantung Diana kembali berontak dengan tempo melebihi batas normal. Menggigit bibir, ia berbalik badan kembali.

"Y—ya, Pak?"

Alfian diam sesaat. Ia terlihat memperhatikan wajah Diana dengan tatapan lebih intens. "Kamu sakit?" tanyanya tiba-tiba, membuat tangan Diana terangkat secara refleks dan meraba wajahnya sendiri. "Kamu terlihat sedikit ... pucat," lanjut Alfian.

Yang ditanya segera menurunkan kembali tangannya setelah memastikan diri baik-baik saja seraya berdehem. "I'm fine, Sir." Jawabnya dalam bahasa asing. Berharap dengan itu, Alfian akan mengerti kalau ia sudah jengah di ruangan mewah ini.

Alfian menurunkan punggungnya pada sandaran kursi. "Kalau begitu, apa kamu ...,"—jeda sesaat. Direktur Keuangan Galileo's Group itu tampak berpikir sejenak sebelum melepas suaranya—"... gugup?"

Diana menelan ludah. Ia memang gugup saat ini. Sangat gugup. Tapi, tidak mungkin dia mengatakan 'iya'. Setidaknya, Diana tidak akan lagi menampakkan perasaannya segamblang dulu dan menjadi seorang gadis bodoh yang selalu mengejar. Karena kini, Diana adalah gadis dewasa yang tak akan menjadikan cinta sebagai patokan dalam mencari pasangan dan mengukur tingkat kebahagiaan.

Dengan berani, Diana menegakkan punggungnya dan menantang tatapan tajam Alfian. "Tidak, Pak!"

Alfian sedikit menelengkan kepalanya ke kiri, meneliti jawaban tegas yang terlontar begitu saja dari bibir penuh Diana. Seringai tipis itu muncul saat ia telah menemukan sesuatu yang dicari dari mimik muka bawahannya. Alfian mendengus, berusaha untuk tidak menertawakan akting Diana yang sungguh buruk.

Beberapa hari yang lalu, Alfian memang tak bisa membaca apa pun dari ekspresi wajah Diana. Terlalu datar dan alami. Tapi kini? Oh, bahkan pipi gadis itu sudah semerah tomat busuk.

Diana, Diana ... kucing yang berpura-pura menjadi macan, eh?

Jangan tanya bagaimana seorang Alfian bisa membaca raut wajah dan gestur tubuh seorang. Sebab sewaktu kuliah S1 dulu, pemuda ini sempat menempuh double digree di London; Ekonomi dan Bisnis serta Psikologi Industri.

Merasa sudah cukup bermain-main dengan Diana, Alfian memarik napas panjang guna menghilangkan kedutan dikedua sisi mulutnya. "Maaf jika aku salah." Ucap pemuda itu mengalah. "Sekarang kamu boleh pergi."

Sekarang, barulah Diana bisa benar-benar lega.

∅∅∅

About Diary.

......................................................

Jakarta, 19 Juli 2005

Dear, diary...

Hari ini, sekolah heboh sama kedatangan murid baru.

Kata anak-anak, namanya Fian. Aku sempat lihat dia tadi. Orangnya ganteng pake baget. Tapi menurutku, cewek-cewek di sekolah terlalu berlebihan.

Kenapa coba mereka harus sehisteris itu? Lagian nih ya, cowok ganteng itu banyak. Merekanya aja yang lebay.

Oh iya, si Fian itu ternyata pindahan dari SMA Dipetrus.

SMA DIPETRUUUSSS!!!

Sekolah swasta yang bahkan jaraknya cuma lima langkah dari SMA BARAKLIN, sekolah gue saat ini. Apalagi dia seangkatan juga sama gue, alias udah kelas dua belas. Gila nggak tuh?! Ngapain pindah segala?!

Ah, tapi ga pa-pa, ding! Lumayan nambah daftar cowok ganteng yang bisa dipake buat cuci mata. Sayang kita gak sekelas. Dia anak IPA, coy, sedang gue IPS.

...........................................................................................................................

Jakarta, 23 Juli 2005

Dear, diary.

Ugh! Kesel itu, adalah saat PMS hari pertama pas pelajaran olahraga. Gue jadi gak bisa ikutan tanding basket putri bareng temen-temen kelas. Karena gak tau mau ngapain, gue milih nyepi aja di taman  deket ruang musik.

Tebak, apa yang gue dapet?!

Gue gak sengaja lihat si Fian, murid baru yang super ganteng itu lagi main drum. Hihi .... Karena penasaran, gue intipin tuh cowok dari jendela kaca yang kebuka.

Jujur ye, suara tabuhannya jelek banget!!! Tapi gak tau kenapa, gue suka dan sangat menikmatinya.

Tapi sayang gak lama, karena gue ketahuan. Dia ngeliat gue kaget gitu. Awalnya gue takut dipandangi mulu sama dia, soalnya dia kelihatan marah. Tapi, kok lama-lama gue suka, ya, sama cara pandangnya dia ke gue? Pandangan Fian kayak labirin, dan gue merasa tersesat di dalamnya.

Karena gak tahan sama tatapan matanya yang.... aneh (?) gue cepet-cepet kabur, takut lutut gue keburu meleleh kayak lilin gara-gara dipandangi terus-terusan sama dia. Lebih-lebih, jantung gue berasa mau copot, detakannya gak karuan.

Anehnnya lagi, malam ini gue gak bisa tidur. Kebayang kejadian tadi pagi sambil senyum-senyum sendiri.

Gue jadi parno, apa ini gejala gila kali, ya?

..........................................................................................................................

Jakarta, 24 Juli 2005

Dear, diary.

Makan dikantin sambil mandangin Fian yang main futsal di lapangan, adalah konbinasi paling pas siang ini. Biasanya, gue jijik liat orang mandi keringat. But, Fian, kok malah tambah keren, ya? Jadi pengen ngelapin keringatnya. Hihihi ....

.........................................................................................................................

Jakarta, 30 Juli 2005

Dear, diary.

Gue ngerasa aneh akhir-akhir ini. Gue selalu pengen nyari perhatian Fian dan blingsatan sendiri kalau sehari gak ketemu dia.

Reta bilang, ini gejala jatuh cinta. Masa iya, gue jatuh cinta sama Fian? Tapi gak buruk juga, sih. Fian nyaris perfeck gitu. Buruknya, yang suka sama dia itu bejibun. Berarti saingan gue banyak.

Dan faktanya, dada gue selalu panas tiap ngeliat ada cewek yang sok kecentilan sama Fian. Reta bilang, kalau gue cemburu. Huft, gue baru tahu. Cemburu itu nyiksa ya?!

Oke, fix! Gue ngaku kalo sekarang, GUE JATUH CINTA SAMA DIA!

.........................................................................................................................

Jakarta, 2 Agustus 2005

Dear, diary.

Katakan gue gila. Karena sekarang, gue juga ngerasa gitu.

Banyangin. Gue nekat ke kelas IA² pas jam istirahat cuma buat ngajak Fian kenalan doang! Sinting kan gue?!

Dan elo tahu, apa tanggapannya? Dia nyuekin gue! Oh my god .... Cewek secantik gue duanggurin. Mana diliatin sama anak-anak sekelas. Maluuuu .... Mau ditaruh di mana ini muka???

Awas aja, bakal gue kejar terus loe, Fian. Jangan panggil gue Diana kalau gue gak bisa bikin elo jadi cowok gue! Hahaha ....

Oh iya, gue baru tahu nama panjangnya. Karena hari ini pertama kali dia pake name tage di seragam sekolah kami.

ALFIAN G. PRATAMA

Keren, kan, nama my future destiny?

.........................................................................................................................

Jakarta, 3 Agustus 2005

Dear, diary.

Misi pengejaran dimulai hari ini. Malu, gengsi, jaim udah gue buang ke laut. Demi seorang Fian, gue rela deh dikata cewek sok kecentilan.

Hari ini, gue nyamperin Fian yang lagi main voli di lapangan. Gue bawain air mineral sama sandwich buat dia, tapi boro-boro dia nerima pemberian gue, dipanggil aja gak noleh.

Pasrah deh, sandwich yang gue buat penuh cinta masuk lambung Reta.

#MisiPertamaGagal

.........................................................................................................................

Jakarta, 4 Agustus 2005

Dear, diary.

Hari ini gue bawa nasi goreng. Masak sendiri lhooo, demi Fian. Gue sampe rela-relain bangun jam empat subuh. Dan baru masakan ke-enam yang rasanya cukup lumayan. Papa bilang sih, rasanya hampir menyamai masakan Bi Rumi, pembantu di rumah. Yaialah, kebanyakan yang kerj 'kan Bi Rum. Gue cuma ngikutin intruksi doang. Hehe ....

Tapi lagi-lagi, Fian nyuekin gue. Hampir tiga puluh menit gue ngoceh nyeritain proses masak-memasak di subuh buta. Berharap tuh cowok simpati dan mau makan nasi goreng spesial pake telor tiga buatan gue. Tapi, dia cuma mingkem doang dan nanggepin "Hmm ... Hmm ... Hmm ..." aja.

Dia sariawan kali, ya?

Dan untuk kedua kalinya, Reta jadi perut penampungan masakam gue!!!

#MisiKeduaGagal

.........................................................................................................................

Jakarta, 1 Oktober 2005

Dear, diary.

Hhhh.... Udah lebih dua minggu gue bawain makanan buat dia. Nyariin dia kesetiap sudut sekolah tiap jam istirahat. Gue udah kayak anak ayam kehilangan induknya tau, nggak?! Dan selama ini pula, gue gagal mulu. Dia masih sariawan kayaknya. Sedihnya, dia kayak selalu ngindar gitu dari gue. Tapi, bukan Diana namanya kalo nyerah.

Hari ini, gue gak bawa makanan apa-apa, cuma bawa air mineral doang kayak dulu. Percuma gue masak, kalo yang makan Reta mulu. Untung di dia, rugi di gue ....

Hari ini, gue lagi males nguber-nguber Fian. Jadinya, gue cuma duduk cantik di pinggir lapangan.

Entah gue ketiduran terus mimpi ato apa, tapi gue lihat Fian duduk deket gue. Dia emang gak ngomong, sih. But, dia minum air mineral yang gue bawa. DIA MINUM DARI BOTOL YANG SAMA SAMA GUE!

Katanya, kalo ada orang yang minum dari bekas bibir orang lain, itu sama aja mereka ciuman secara gak langsung.

CIUMAN, coy! CI-U-MAN!

Omaigat. Berarti ciuman pertama gue udah diembat sama Alfian. Senengnya ....

#EdisiCiumanPertama

#MisiEntahKeberapa_Sukses

.........................................................................................................................

Jakarta, 21 Oktober 2005

Dear, diary.

Setelah hari dimana ciuman gak langsung itu, gue selalu duduk pinggir lapangan dengan sebotol air mineral. Nunggu Fian ceritanya. Tapi tuh cowok gak pernah duduk disamping gue, apalagi minum air yang gue bawa lagi. Fian balik ke mode awalnya. Cuek bebek!!!

Hari ini beda, mungkin dia kerasukan malaikat kali, ya? Pasalnya, dia nyamperin kelas gue. Kirain nyari siapa gitu, ternyata dia nyariin gue, terus bilang gini:

"Ana, elo dipanggil Bu Rita."

Lah, gue bingung, kan. Nama gue Diana, biasa dipanggil Dee sama anak-anak. Gue gak jawab dong, malah bengong, takutnya dia bicara sama Anastasya yang bangkunya di belakang gue.

Eh, dia ngomong lagi. "Diana Caesa Elfinza, elo dipanggil Bu Rita, sekarang!"

Jadi, beneran ngomong sama gue, gitu? Dan dia manggil gue ANA. Apa dia agak budek kali ya? Perasaan waktu gue ngenalin diri dua bulan lalu, gue bilangnya nama gue DIANA, deh! Atau mungkin, ANA itu nama panggilan spesial dia buat gue. Mungkin aja, kan? Duh, senengnya......

Kalau Fian aja punya nama panggilan khusus ke gue, maka gue juga harus punya panggilan khusus buat dia, kan?

Kira-kira, bagusnya apa ya?

ALFIAN G. PRATAMA

Alfi?

Ian?

Tama?

Kayaknya gak ada yang bagus. Hmmm .... Gimana kalo ... Alif? Alfian. Alif ... kayaknya bagus.

Ana-Alif ....

ANA-ALIF ....

Oke, sip! Mulai sekarang nama dia gue ganti jadi ALIF!!!

#EdisiNamaCinta

.........................................................................................................................

Jakarta, 22 Oktober 2005

Dear, diary.

Berangkat sekolah dengan hati berbunga, dan ketemu Fian dikoridor. Ah, hari ini gue bakal panggil dia dengan nama baru.

Gue udah kayak tarzan nyasar pagi ini. Lari-lari sambil teriakin nama Alif. Gue gak peduli kalopun dikira belum minum obat anti rabies sama anak-anak lain. Gue lagi seneng. Tapi yang dipanggil kok gak nyahut-nyahut, ya?

Kesel, gue tarik tas hitamnya dari belakang. Dia noleh. Dari tampang sih, doi kayaknya marah. Ah, tapi kalo dia denger gue manggil pake sebutan baru, dia pasti seneng kok.

Eh, perkiraan gue meleset. Pas gue panggil dia Alif, bukannya nyahut, dia malah bilang; "Maaf, salah orang!"

@#$%&*!";$%&:/?!£€

#EdisiAlifGalau

***

Maaf ya, lama. Saya sibuk di duta, Cah.
Buat yang kepo dan pengen baca maraton bisa langsung ke karyakarsa, ya. Di sana sudah bab 24.

Continue Reading

You'll Also Like

775 209 2
Spin of Aww-dorable You Kesalahan di masa remaja membuat Yashmine Fahreza kini sulit untuk meminta atau menerima bantuan dari orang lain. Baginya, t...
798K 77.1K 51
Ini adalah Kisah dari Kila. Kila Prastika yang ternyata memiliki seorang bapak kos yang kebelet kawin ... "Nikah sama saya, kosmu gratis seumur hidu...
8.6K 237 5
Setelah tujuh tahun berpisah, Langit Askyandara dipertemukan kembali dengan Sea Manikam Wirjaatmadja dalam sebuah project kerja bersama. Lama tidak b...
Kurirasa 1990 By v i v i

General Fiction

10.6K 2.9K 12
ADIK MENIKAH DULUAN, MEMANGNYA KENAPA? Ketika Wening dilangkahi oleh sang adik, seketika keluarga besar mulai panik. Kekhawatiran mengenai calon jodo...