Forever After Season 2 (LOVEB...

By dekmonika

49.6K 6.6K 1.3K

Setelah cinta mereka dirajut oleh sebuah ikatan suci pernikahan, maka kebahagiaan yang tak pernah mereka baya... More

All Cast
LOVEBIRD 1: Pantai Carita
LOVEBIRD 2: Senja dan Kita
LOVEBIRD 3: Night Cuddle
LOVEBIRD 4: Greenwich Village
LOVEBIRD 5: Jourdy & Emily
LOVEBIRD 6: La Vie en Rose
LOVEBIRD 7: Yang Tak Terlupakan
LOVEBIRD 8: Kabar dari Jakarta
LOVEBIRD 9: Pelipur Lara
LOVEBIRD 10: Abang Hakim
LOVEBIRD 11: Welcome Home!
LOVEBIRD 12: Get Well Soon
LOVEBIRD 13: Mengidam?
LOVEBIRD 14: Berita Bahagia
LOVEBIRD 15: Tahu Sumedang
LOVEBIRD 16: Roy & Aurora's Wedding
LOVEBIRD 17: Sisa Rasa
LOVEBIRD 18: Saling Mengerti
LOVEBIRD 19: Mencari Petunjuk
LOVEBIRD 20: Orang yang Sama
LOVEBIRD 21: Sahabat dan Rahasia
LOVEBIRD 22: Papa
LOVEBIRD 23: Full of Love
LOVEBIRD 24: Bertaruh Nyawa
LOVEBIRD 25: Elzio Sagara
LOVEBIRD 26: Curiga
LOVEBIRD 27: Agen Rahasia
LOVEBIRD 28: Memujamu (21+)
LOVEBIRD 29: Rahasia Kelam
LOVEBIRD 30: Apa Kamu Menyesal?
LOVEBIRD 31: Kepercayaan
LOVEBIRD 32: Sahabat Lama
LOVEBIRD 33: Chaos!
LOVEBIRD 34: Rumah yang Berbeda
LOVEBIRD 35: Supermarket
LOVEBIRD 36: Obsesi
LOVEBIRD 37: Masing-masing
LOVEBIRD 38: Lari dari Masalah?
LOVEBIRD 39: Deep Talk
LOVEBIRD 40: Seperti Dongeng
LOVEBIRD 41: Tipu Daya
LOVEBIRD 42: Dunia Daniel
LOVEBIRD 43: Undercover (18+)
LOVEBIRD 45: Hilang
LOVEBIRD 46: Bawalah Cintaku

LOVEBIRD 44: Petaka

493 86 36
By dekmonika

Sebelum membaca part ini, perbanyak tarik napas buang napas dulu yaa.

>>>>>>>>>

Setelah kurang lebih 15 menit mengekori laju mobil jeep hitam dengan menjaga jarak yang cukup jauh, Daniel akhirnya tiba di sebuah tempat yang terbilang sunyi. Dari jalan raya, ia perlu menempuh jarak sekitar 500 meter lagi memasuki sebuah jalan yang hanya terbangun dari tanah dan bebatuan. Dari jarak yang jauh, Daniel bisa melihat mobil yang diikutinya itu berhenti tepat di depan sebuah bangunan tua di antara semak-semak dan pepohonan.

Kondisi di tempat itu sangat gelap. Tak ada pencahayaan apapun selain dari lampu mobilnya. Namun pada bangunan tua itu, Daniel melihat ada beberapa kerlipan lampu. Setelah mengumpulkan keberaniannya, Daniel pun mematikan mobil dan turun dari sana. Ia kehilangan kemampuan melihatnya sebab tak ada seberkas cahaya pun. Sambil berjalan perlahan menuju bangunan tersebut, Daniel menggunakan cahaya senter dari handphone-nya.

"Tempat apa ini?" Gumam Daniel saat melihat dua orang pria bertubuh tegap tengah berjaga di luar. Daniel buru-buru mengubah arah langkahnya menuju belakang bangunan tua tersebut.

Daniel berdecak dalam hatinya saat mendapati tak ada satu celah pun baginya untuk bisa mengintip apa yang terjadi di dalam sana. Hanya ada satu pintu yang tertutup rapat di belakang bangunan tersebut.

Daniel refleks berjongkok di balik semak-semak liar saat tiba-tiba seorang pria membuka pintu tersebut untuk membuang puting rokoknya, kemudian menutupnya kembali. Daniel mengelus dadanya, sedikit bernapas lega. Ia mencoba mengintip kembali, ternyata pintunya sudah tertutup, tetapi tidak rapat. Daniel melihat sedikit celah di sana yang memungkinkannya untuk mengintip. Dengan langkah penuh waspada, Daniel perlahan mendekat.

"Bergerak sesuai dengan instruksi yang sudah saya jelaskan. Jangan ada yang menyimpang sedikitpun." Kata seorang pria tua berpenampilan mencolok disertai tongkatnya.

"Jika sebelumnya kita hanya menakut-nakuti dengan teror ini, maka malam ini kalian harus benar-benar menghabisinya." Lanjutnya dengan penuh ambisi.

Meski Daniel tidak bisa melihat persis orang yang berbicara, namun ia bisa mendengarnya dengan jelas. Bahkan handphone-nya sejak awal sudah tersetel rekaman suara untuk mengabadikan pembicaraan itu. Meski dengan perasaan yang mencekam, Daniel tetap bertahan di sana untuk terus mengulik apa yang sedang direncanakan oleh komplotan tersebut.

"Dimitri, kau seharusnya percaya pada rencana Erick. Dia tidak mungkin mengkhianati kita." Kata seseorang yang lain.

"Kau mau bersabar menunggu bom dari Erick sampai kapan, Felix? Aku bahkan jadi curiga, jangan-jangan Erick tidak betul-betul serius. Saat Adam dieksekusi, Erick hanyalah bocah ingusan yang tidak mengerti apa-apa. Lalu, apa yang membuatnya memahami gejolak dendam ini, Felix? Apa yang menjamin hal itu?"

"Aku tidak mengerti dengamu, Dimitri. Bukankah kita sudah sepakat sejak awal? Kita akan menghancurkan Aldebaran pelan-pelan. Dia harus merasakan penderitaan psikis yang dialami Adam semasa menunggu proses eksekusi mati itu terjadi."

"Itu hanya rencana omong kosong!"

"Bagaimana dengan rencana penyeranganmu ini? Kau pikir dengan membunuh langsung Aldebaran akan membuatnya merasakan penderitaan?!" kedua pria tersebut terdengar adu mulut penuh emosi, hingga sesaat kemudian Daniel mendengar sebuah benda jatuh. Oh, mungkin lebih tepatnya sengaja dijatuhkan.

"Masa bodo dengan itu semua! Aku hanya ingin keturunan Pramudya itu segera enyah dari bumi ini."

Daniel berusaha melihat mereka dengan jelas melalui celah kecil pintu yang sedikit terbuka itu. Usaha Daniel tak sia-sia. Matanya bisa menangkap keberadaan pria tua bertongkat itu berdiri dari tempat duduknya lalu menarik kerah kemeja lawan bicaranya tadi. Lawannya tersebut adalah pria yang sepertinya sepantaran, hanya terlihat lebih rapi dengan dasi dan jas.

Saat Daniel akan mendekat sedikit lagi, tiba-tiba mulutnya dibekap oleh tangan seseorang dengan begitu kuat. Daniel melotot kaget dan berusaha memberontak. Namun bagai makan buah simalakama, Daniel benar-benar berada dalam siatuasi yang genting. Ia ingin sekali berteriak, namun rasanya akan percuma, sebab itu sama saja seperti membangunkan para 'harimau' ganas di dalam sana. Tetapi seseorang yang membekap mulutnya itu juga nampaknya berbahaya, karena di salah satu tangannya Daniel melihat sebuah pistol tergenggam erat.

"Ikut saya." Samar-samar seseorang itu mengucapkan sesuatu dengan berbisik dan penuh penekanan tepat di telinga Daniel.

Meski sedikit melawan, Daniel terpaksa mengikuti kemana orang tersebut membawanya, masih dengan keadaan mulutnya yang dibekap. Dirasa sudah cukup jauh dari bangunan tua itu, orang misterius itu pun berhenti di bawah sebuah pohon yang rimbun. Hanya ada pencahayaan yang minim di sana. Dengan sekuat tenaga, Daniel melepaskan tangan tersebut dari mulutnya.

"Siapa kamu?" Tanya Daniel setelah berhasil membuka mulutnya sambil menyalakan penerangan dari handphone-nya.

"Kau pasti bagian dari komplotan orang-orang jahat itu, kan?" Selidik Daniel dengan napas yang tersenggal.

"Bukan..." Jawab pria tersebut sambil membuka kain yang sejak awal menutupi sebagian wajahnya.

"Tidak mungkin. Rencana apa yang mau kalian lakukan terhadap Aldebaran?"

"Anda berhasil merekam obrolan mereka di dalam sana?" Tanya pria itu melirik pada ponsel tersebut, nampak mengabaikan pertanyaan Daniel.

"Kenapa memangnya? Kau mau mengambil rekaman ini dariku? Tidak akan kubiarkan. Aku akan menunjukkannya pada Aldebaran."

"Saya sudah bilang, saya bukan bagian dari mereka." Jawabnya dengan penuh penekanan, namun dengan volume yang rendah.

"Saya tahu anda. Anda Daniel, kan, teman Pak Aldebaran? Saya Kama, agen rahasia yang disewa Pak Aldebaran." Jawab pria itu membuat Daniel mengerutkan keningnya, semakin bingung.

"Kau pikir kau bisa menipuku? Aku tidak percaya." Sahut Daniel.

"Saya tidak peduli Anda mau percaya atau tidak, yang jelas saat ini keselamatan Pak Aldebaran akan terancam." Ujar pria bernama Kama tersebut.

Belum sempat Daniel menyahut, Kama bergegas menarik Daniel untuk berlutut, berlindung di balik semak-semak belukar tatkala melihat komplotan tersebut keluar dari gudang tua itu dengan tiga buah mobil yang sudah menunggu.

"Kau benar-benar bukan bagian dari mereka?" Tanya Daniel, berbisik sambil melihat pada Kama yang masih mengamati komplotan tersebut yang perlahan meninggalkan tempat tersebut.

"Sudah saya katakan, saya agen rahasia yang disewa Pak Aldebaran."

"Lalu, apa yang sedang kau lakukan di sini? Kenapa tidak langsung melabrak mereka saja?" Cetus Daniel.

"Manusia bodoh mana yang nekat melabrak puluhan orang itu seorang diri?" Jawab Kama membuat Daniel terdiam.

"Lagipula saya bisa berada di tempat ini karena sejak siang tadi saya disekap oleh mereka." Kama bangkit dari posisinya sambil menepuk-nepuk lututnya yang mungkin sedikit kotor. Daniel pun mengikutinya.

"Saya ketahuan memata-matai pergerakan mereka. Saya tidak bisa memberikan informasi kepada Pak Aldebaran karena ponsel saya juga dirampas."

"Lalu kenapa kau bisa bebas?" Daniel masih penasaran. Di situasi seperti ini, ia tentu tidak bisa dengan mudah percaya pada orang asing.

"Karena benda ini." Kama menunjukkan pistolnya yang sebelumnya sudah dilihat Daniel.

"Beberapa saat sebelum bos komplotan itu datang, saya sudah menancapkan peluru ini pada kaki-kaki anak buah mereka yang menjaga saya di lantai atas."

"Itu... senjata api?" Daniel nampak tercengang.

"Bukan. Isinya hanya peluru karet yang hanya bisa melumpuhkan, bukan mematikan." Jawab Kama membuat Daniel mampu bernapas lega.

"Anda kesini naik apa?" Tanya Kama, kemudian.

"Mobil." Jawab Daniel.

"Kita harus kejar komplotan itu sebelum mereka mencegat Pak Aldebaran lebih dulu." Ujar Kama.

"Memangnya Aldebaran dimana?" Daniel bertanya, bingung.

"Pak Aldebaran malam ini akan melakukan perjalanan ke Bandung."

"Astaga! Ayo, kalau begitu." Tanpa pikir-pikir panjang lagi, Daniel pun menyetujui ajakan Kama untuk segera mengekori kemana mobil-mobil itu pergi.

_____________________

Sudah hampir satu jam berlalu dalam perjalanan Aldebaran. Sejak pertama kali masuk ke dalam mobil tersebut, mata pria itu nampak gelisah. Perasaan itu tidak ia tunjukkan saat berpamitan dengan sang istri beberapa saat yang lalu. Namun Aldebaran yang seringkali mengecek ponselnya membuat Tommy dan Hakim sesekali saling melihat satu sama lain. Meski tak menunjukkan ekspresi secara langsung, akan tetapi kegusaran pria itu bisa dirasakan oleh Tommy maupun Hakim.

"Ku tengok sejak tadi awak terlihat gelisah, Al. Ada apa?" Tanya Hakim yang duduk di jok depan, menemani Tommy di kursi kemudi. Sedangkan Aldebaran duduk sendiri di belakang.

"Awak menunggu kabar seseorang? Sebab saya tengok awak acap kali periksa handphone." Tanya Hakim, lagi.

"Tidak apa-apa, Bang. Saya hanya sedikit pusing." Jawab Aldebaran, berbohong.

Aldebaran tidak ingin memberitahu bahwa saat ini ia sedang menunggu informasi dari Kama. Agen rahasianya itu terakhir memberikan kabar siang tadi mengenai dirinya yang sedang mengintai komplotan bersenjata yang dicurigai adalah pelaku dari teror yang dialami Aldebaran selama ini.

Namun setelah itu, Kama menghilang tanpa kabar apapun. Bahkan ponselnya tidak bisa tersambung sama sekali. Cukup aneh bagi Aldebaran. Apakah agen rahasianya itu tertangkap basah oleh komplotan tersebut?

"Apa kau menyimpan hasil rekaman obrolan mereka tadi?" Tanya Kama. Kini keduanya sudah dalam perjalanan mengejar mobil para penjahat itu yang masih tak jauh dari mereka.

"Ya. Ada di handphone-ku." Jawab Daniel sambil melajukan mobilnya.

"Bagus. Sekarang kita harus mengabari Pak Aldebaran. Bisa pinjam handphone Anda?" Kama berinisiatif.

"Kenapa harus handphone-ku?" Daniel mengerutkan dahinya.

"Saya kan sudah bilang kalau handphone saya diambil saat mereka menangkap saya." Jawab Kama sesekali sambil memperhatikan jalan di depannya yang mulai lengang sebab malam sudah semakin larut.

"Oh iya." Daniel mengeluarkan handphone-nya kemudian langsung menyerahkannya pada Kama.

"Ada kontak Pak Aldebaran, kan?"

"Ada."

Dengan gerakan cepat, Kama mengetikkan nama atasannya itu pada daftar kontak milik Daniel. Setelah menemukannya, ia langsung menyambungkan panggilan.

Kembali pada Aldebaran. Pria itu mengerut heran saat mendapati ponselnya bergetar, namun bukan nama orang yang ia tunggu-tunggu yang tertera pada layarnya, melainkan nama Daniel. Tumben sekali Daniel menghubunginya, terlebih sudah larut malam sekali.

Mobil sedannya itu sudah memasuki kawasan jalan tol yang luas namun sepi. Hanya ada satu atau dua buah mobil yang berselisih dengan mobil mereka dari jalur yang berlawanan. Beberapa lampu jalanan pada tol itu pun nampak tak menyala.

"Halo, Daniel..." Aldebaran menyapa dengan suara pelan.

"Pak Aldebaran, ini saya... Kama." Mendengar suara itu, Aldebaran seketika tertegun, kaget. Pria itu kembali melihat nama yang nampak pada layar ponselnya. Tidak salah lihat, nomor kontak itu memang milik Daniel. Tapi kenapa Kama?

"Pak, Anda bisa mendengar saya?" Suara Kama terdengar beradu dengan napasnya yang sedikit terburu.

"Ya, Kama, saya dengar. Kenapa kamu bisa menggunakan nomor Daniel? Apa yang terjadi?" Tanya Aldebaran membuat Hakim dan Tommy refleks menoleh pada Aldebaran yang sedang menerima telepon tersebut.

"Saya sedang bersama Daniel sekarang. Handphone saya dirampas saat saya tertangkap basah oleh komplotan itu, Pak." Mendengar itu membuat Aldebaran menggertakkan jari-jemarinya dengan sedikit panik.

"Terus?"

"Tapi saya berhasil melarikan diri. Saya menelepon sekarang hanya ingin memastikan keberadaan Anda. Apakah bapak masih dalam perjalanan?"

"Iya. Saya berada di kawasan tol sekarang." Jawab Aldebaran. Kama mengaktifkan loudspeaker handphone tersebut, sementara jari-jarinya dengan cepat mengotak-atik sesuatu.

"Shit!" Umpat Kama setelah melihat pergerakan maps yang ia coba sambungkan dengan keberadaan ponselnya yang kemungkinan besar turut serta dibawa oleh salah satu orang dari komplotan tersebut.

"Ada apa, Kama?" Tanya Aldebaran, bingung.

"Pak, tolong Anda naikkan kecepatan mobil yang Anda bawa, tapi tetap harus berhati-hati. Komplotan itu sedang mengejar mobil Anda." Beritahu Kama membuat Daniel terpacu melajukan mobilnya lebih cepat lagi.

"Memangnya kamu sedang dimana, Kama?" Tanya Aldebaran sambil menengok ke arah belakang mobilnya yang tampak kosong, tidak terlihat ada mobil lain.

"Saya dan Daniel sedang mengikuti salah satu mobil mereka. Mereka tadi berangkat dengan tiga buah mobil, Pak."

"Kok bisa dengan Daniel?" Aldebaran masih tidak habis pikir, mengapa Kama bisa bertemu Daniel? Apa yang terjadi sebenarnya.

"Saya akan menceritakannya nanti, Pak. Yang jelas saat ini Anda harus waspada. Saya akan meminta bantuan dari pihak kepolisian." Kata Kama, lagi. Belum sempat Aldebaran menyahut, Kama sudah memutuskan sambungan mereka.

"Ada apa, Pak?" Tanya Tommy, bingung.

"Eumm, Tom, tolong naikkan kecepatan, ya." Perintah Aldebaran membuat Hakim dan Tommy saling menatap dan bertanya-tanya dalam hatinya. Namun sebagai asisten yang percaya penuh pada atasannya, Tommy langsung mematuhi instruksi tersebut dengan menaikkan kecepatan kemudinya.

"Apa yang terjadi, Al?" Perintah Aldebaran tersebut membuat Hakim menjadi waspada dan ikut mengawasi keadaan di belakang mobil mereka itu. Masih tidak terlihat apapun.

"Ada komplotan yang sedang mengejar kita." Jawab Aldebaran membuat Hakim dan Tommy tercekat, kaget.

"What the fuck! Siapa mereka?" Hakim mengumpat marah.

"Saya tidak tahu pasti. Kemungkinan besar mereka adalah kelompok yang menyebar teror ke saya selama ini." Jawab Aldebaran dengan suara yang stabil, mencoba untuk tetap tenang.

Hakim terdiam seketika. Apakah yang dimaksud adalah Erick? Apa mungkin Erick mengambil tindakan murahan seperti itu? Pikir Hakim dalam hatinya.

Dua menit, lima menit, tiga pria itu masih terus mengamati kondisi di belakang mereka, namun tidak menunjukkan akan keberadaan mobil yang mengekori mereka. Akan tetapi Tommy tetap melajukan mobilnya dengan kecepatan yang cukup tinggi. Entah mengapa, perjalanan melewati tol itu terasa amat panjang.

//CIIITTT!//

"Astaga!" Tommy terkejut.

"Hei!"

"TOM!!" Seru Aldebaran, keras, saat Tommy mengerem mobilnya dengan begitu tiba-tiba.

Rupanya sebuah mobil jeep hitam berhenti tiba-tiba di depan mereka dengan posisi melintang, menghalangi mobil sedan itu untuk melintas. Tommy menatapnya dengan shok. Aldebaran menatap pemandangan di depannya itu dengan sengit. Sedangkan Hakim sedikit meringis sebab keningnya sedikit terbentur pada dashboard mobil akibat rem mendadak.

"Pak..." Tommy berseru pelan saat melihat beberapa orang bertubuh tegap dengan pakaian serba hitam itu keluar dari mobil jeep tersebut.

"Mereka berhasil mengepung kita." Lirih Aldebaran.

"Setan!" Cemooh Hakim, emosi.

"Oke, kita tetap tenang. Jangan keluar." Aldebaran memberikan instruksi.

Dari arah belakang, bertambah satu buah lagi yang datang. Kali ini adalah sebuah mobil sedan hitam, yang mengeluarkan beberapa orang berseragam rapi, yakni kemeja putih dilapisi jas abu-abu dengan dasi hitam. Mereka nampak membawa sebuah bat, alat pemukul sebagai senjata. Tommy yang melihatnya nampak gentar. Hakim mengamati dari jauh satu-persatu orang itu, mencoba mengenali, apakah mungkin itu orang-orangnya Erick.

"Kita pergi ya, Pak. Saya bisa menabrak mereka yang menghalangi jalan kita." Usul Tommy.

"Jangan, Tom. Itu akan semakin membahayakan kita semua." Aldebaran melirik orang-orang yang sama sekali tidak ia kenal itu mulai mendekat ke sekotar mobilnya, mengelilingi.

"Biar saya yang turun. Kalian tetap di mobil." Ujarnya kemudian.

"Hei, awak jangan macam-macam, Al. Kalau mau nak turun, kita sama-sama." Protes Hakim atas ide Aldebaran tersebut.

"Nggak, Bang. Bang Hakim dan Tommy tetap di mobil. Ini menjadi urusan saya."

"Tapi, Al..."

Aldebaran membuka pintu mobilnya perlahan, membuat Hakim dan Tommy tak berkutik. Keduanya hanya bisa menatap aksi Aldebaran dengan penuh waspada. Sdangkan Aldebaran tetap berusaha santai dan menyembunyikan segala ketakutannya. Aldebaran tidak takut. Aldebaran tidak pernah takut dengan orang-orang seperti mereka. Pria itu terus memberikan sugesti pada dirinya sendiri.

"Kalian..." Aldebaran menatap satu-persatu. Mungkin ada sekitar delapan orang.

"Ada urusan apa?"

Hening. Tidak ada yang menjawab. Orang-orang itu seperti patung. Hingga seseorang muncul di antara mereka. Sosok pria tua berkacamata hitam dengan bantuan tongkatnya. Aldebaran tercenung sesaat. Laki-laki itu masih tertinggal dalam ingatannya. Lelaki tua yang beberapa tahun lalu melakukan penyerangan yang sama padanya dan hampir membunuhnya dengan senjata api.

"Kau terlihat terkejut, Aldebaran." Ucap lelaki tua itu.

"Itu pasti karena kau masih mengingatku, bukan?" Pria tua itu tertawa dengan nada mengejek.

"Lama tidak bertemu denganmu. Rupanya beberapa tahun terakhir kau nampak hidup dengan bahagia." Lanjutnya membuat Aldebaran menatapnya, sinis.

"Siapa Anda sebenarnya? Apa yang Anda inginkan hingga terus mengincar saya sampai sekarang?" Tanya Aldebaran.

"Ah ya, aku rasa aku harus berkenalan denganmu lebih dulu. Aku tidak mau kau mati penasaran setelah ini." Pria tua itu membuka kacamata hitamnya, lalu mengantonginya. Aldebaran menatapnya penuh selidik.

"Namaku Dimitri. Kau sudah pernah mendengar namaku, bukan?"

Dimitri. Aldebaran merapal nama itu dalam hati sambil mengingat pembicaraannya dengan Kama beberapa waktu yang lalu. Ia ingat nama itu. Dimitri adalah salah seorang saudara dari Adam, terdakwa eksekusi mati.

"Benar. Aku adalah saudara Adam Manggala, terdakwa eksekusi mati atas pengkhianatan yang dilakukan oleh Pramudya, ayahmu." Suara Dimitri terdengar dingin dengan tatapannya yang mematikan. Mendengar penuturan itu membuat Aldebaran terkekeh.

"Adam Manggala mendapat vonis hukuman mati karena dosa-dosanya sendiri. Lagipula mengkhianati orang-orang jahat dan licik seperti kalian memang sudah tugas seorang Pramudya."

Ucapan Aldebaran membuat para tukang pukul itu nampak bersiap dengan tongkat mereka masing-masing untuk melayangkan pukulan pada Aldebaran. Namun Dimitri mengangkat satu tangannya sebagai isyarat pencegatan agar anak buahnya menahan diri terlebih dahulu. Aldebaran kembali melirik orang-orang itu dengan penuh waspada.

"Aku akan memberikanmu kesempatan untuk bersujud di depanku saat ini juga. Setidaknya dengan begitu, aku tidak akan menyiksamu di akhir hayatmu. Aku akan membunuhmu dengan sekejap menggunakan pistol yang kupunya, sebagaimana Adam dieksekusi mati. Tapi jika kau tidak mau, para tukang pukul ini akan mematahkan sendi dan tulang-tulangmu lebih duhulu dibanding melayangnya peluru milikku." Ujar Dimitri. Dengan tatapan penuh amarah, Aldebaran tersenyum mengejek.

"Jangan mimpi, Tuan Dimitri. Sebuah penghinaan bagi saya jika harus mati bersimpuh di hadapan Anda." Jawab Aldebaran, tak gentar sedikitpun.

"Baik. Itu pilihanmu."

Tepat saat Dimitri menurunkan tangannya, para tukang pukul itu beramai-ramai menyerbu Aldebaran seorang diri dengan alat pukul mereka. Namun Aldebaran dapat menolak pukulan demi pukulan itu dengan tangannya sambil memberikan balasan berupa pukulan telak dengan tangan kosong.

Beberapa tukang pukul itu nampak tersungkur mendapatkan tendangan maupun pukulan dari Aldebaran. Akan tetapi pria itu pun tak luput dari hantaman lawannya yang bermain dengan keroyokan. Dimitri dan seorang anak buah terdekatnya hanya memantau dengan santai.

Melihat penyerangan yang Aldebaran alami membuat Hakim dan Tommy tidak bisa tinggal diam. Dua pria itu langsung keluar dari mobil untuk membantu keadaan darurat Aldebaran. Hakim yang memang memiliki keahlian bela diri, mengeluarkan seluruh kemampuannya melawan para tukang pukul tersebut. Sedangkan Tommy, meski tak sepandai atasannya, ia tetap maju melawan para bajingan tersebut tanpa ragu.

"Al, awak tak apa?" Hakim mengulurkan tangannya saat mendapati Aldebaran yang sedikit terhuyung ke belakang saat mendapat satu pukulan yang tak terduga pada bahunya.

"Nggak papa, Bang. Terima kasih." Aldebaran menyambut tangan Hakim untuk kembali bangkit.

Aldebaran, Hakim, dan Tommy kembali melawan penyerangan tersebut. Ketiganya nampak kuat mempertahankan diri dan mampu menjatuhkan tukang pukul itu satu-persatu. Namun penyerangan itu tidak berakhir begitu saja. Satu mobil datang lagi yang membawa sekitar empat orang tukang pukul yang langsung menyerang ketiganya. Meski begitu, kekuatan Aldebaran mampu membuat Dimitri sedikit panik.

"Payah!" Cemooh Dimitri pada anak-anak buahnya yang masih tersungkur.

"Tuan, lebih baik Anda masuk ke dalam mobil. Biar saya yang turun tangan." Ujar orang kepercayaannya yang sejak tadi berdiri di sebelahnya.

"Kau harus belajar dari kekalahan sebelumnya." Cerca Dimitri, marah.

"Anda tenang saja, Tuan Dimitri. Saya jamin, kali ini saya tidak akan membiarkan Aldebaran lolos." Katanya, meyakinkan atasannya. Dengan menghela napas kasar, Dimitri pun kembali memasuki mobilnya.

Dengan sekejap mata, orang kepercayaan Dimitri langsung melaju menyerang punggung Aldebaran dengan tendangan kakinya saat Aldebaran masih menghadapi seorang tukang pukul. Hal itu membuat Aldebaran hampir terjatuh.

"Tanganku sendiri yang akan memusnahkanmu malam ini, Aldebaran." Ucapnya dengan tersenyum licik.

Keduanya pun akhirnya terlibat pergulatan yang hebat. Sesekali Aldebaran terhuyung, namun ia lebih sering memimpin pergulatan dengan keahliannya yang sepertinya jauh di atas pria kepercayaan Dimitri tersebut. Dengan tangan kosong, mereka cukup mudah dikalahkan.

Setelah mendapatkan bogem mentah beberapa kali di wajah dan pukulan keras pada perutnya, pria yang nampak memiliki darah blasteran tersebut terbaring lemah di atas aspal, menatap penuh amarah pada Aldebaran yang berdiri di hadapannya.

"Saya bisa menghabisimu saat ini juga. Tapi saya tidak mau mengotori tangan saya sendiri. Biar hukum yang berlaku yang akan memproses kalian." Ucap Aldebaran. Meski penampilannya sekarang sudah berantakan dengan berbagai luka di wajah dan tangannya, namun Aldebaran merasa cukup lega karena bisa melumpuhkan lawannya tersebut.

"Woii!" Tommy berseru saat melihat mobil yang ditumpangi bos besar bernama Dimitri itu tiba-tiba menyala, berniat meninggalkan para anak buahnya.

"Dimitri! Anda jangan kabur!" Giliran Aldebaran yang berseru sambil menghampiri mobil tersebut. Namun sayang, mobil itu melaju dengan begitu cepat.

"Sial!" Aldebaran mengumpat, kesal.

"Saya sudah menelepon pihak kepolisian terdekat untuk datang ke sini, Al." Ujar Hakim membuat Aldebaran mengangguk.

Hakim dan Tommy sibuk membereskan beberapa tukang pukul yang terduduk lemah tak berdaya sambil menjaga mereka agar tidak melarikan diri. Namun mereka melalaikan satu orang yang sedang berpura-pura terkapar tak berdaya di atas aspal.

Orang kepercayaan Dimitri itu diam-diam mengeluarkan sebuah pisau dari dalam jasnya. Dengan ujung matanya, ia melihat pada Aldebaran yang masih berdiri tidak jauh darinya dengan posisi membelakanginya. Dengan senyuman liciknya, orang tersebut perlahan bangun dan berjalan menuju Aldebaran.

"Pak Al, awas!!!" Tommy berteriak kencang sambil berlari ke arah orang tersebut dengan sekuat tenaganya. Mendengar teriakan Tommy sontak membuat Aldebaran berbalik, dan...

//SSSHHH//

Mata Aldebaran terbelalak merasakan sakit yang tak terkira. Urat-urat kening serta lehernya mengetat kuat. Wajahnya memerah dengan mata berkaca-kaca. Orang itu berhasil menusukkan pisaunya pada perut Aldebaran. Hanya beberapa detik, orang itu pun mencabut pisaunya kembali, membuat rasa sakit yang Aldebaran rasakan berkali-kali lipat.

Hakim yang melihatnya dari kejauhan membelalakkan matanya dengan shok. Tommy mengerahkan seluruh kekuatannya dan memukul pundak mendekati tengkuk leher pria misterius tersebut. Akan tetapi orang itu nampak begitu kuat. Ia hanya terjatuh sebentar, lalu mampu bangkit kembali dengan susah payah.

Pandangan Aldebaran mengabur. Lututnya terasa lemah, tak mampu lagi menahan beban tubuhnya. Darah mengalir deras dari bekas tusukan itu, meski telapak tangannya masih mampu menekan luka yang tercipta. Gelap.

Andin, Maaf. Saya tidak bisa menjaga diri saya dengan baik. Maafkan saya.

Tommy sudah tak peduli. Ia langsung menyambut tubuh Aldebaran yang ambruk tak berdaya. Hakim meninggalkan sekumpulan tukang pukul yang ia ringkus dan mengejar pelaku yang sudah menusuk adik iparnya tersebut. namun lagi-lagi terlambat. Orang kepercayaan Dimitri itu mampu melarikan diri dengan membawa mobil jeep yang masih dalam keadaan menyala.

"Pak Hakim, kita harus segara membawa Pak Al ke rumah sakit terdekat." Ujar Tommy dengan wajah paniknya. Tommy dan Hakim memapah kedua tangan Aldebaran, berusaha membawanya ke dalam mobil.

Tepat saat itu sebuah mobil lagi-lagi datang. Kali ini bukan lagi mobil pasukan anak buah Dimitri, melainkan mobil yang membawa Kama dan Daniel. Mobil itu berhenti saat melihat Hakim dan Tommy tengah memapah Aldebaran untuk memasuki mobil dengan keadaan tangan mereka yang bersimbah darah segar.

"Apa yang terjadi?" Daniel yang baru saja turun dari mobil langsung bertanya.

"Aldebaran ditusuk." Jawab Hakim membuat Daniel dan Kama sama-sama terkejut.

"Siapa pelakunya?" Tanya Kama. Tommy melihat pada Kama membuatnya teringat bahwa rasanya ia pernah melihat Kama sebelumnya.

"Itu dia. Dia berhasil melarikan diri." Jawab Tommy sambil menunjuk sebuah mobil yang melaju jauh, namun sorot lampu mobilnya masih bisa terlihat oleh mata mereka semua.

"Biadab! Ayo kita kejar!" Daniel terlihat marah dan mengajak Kama untuk mengejar mobil tersebut. Ia kembali memasuki mobil dan menyalakan mesinnya.

//TINN TINNN!//

"Ayo, Kama!" Seru Daniel sambil membunyikan klaksonnya secara beruntun. Kama pun tersadar.

Meski rautnya nampak begitu khawatir dengan keadaan Aldebaran, namun ia harus mengejar pelaku kejahatan itu. Biar Hakim dan Tommy yang melarikan bosnya itu ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan.

Sesaat setelah mobil yang membawa Daniel dan kama melaju, tampak datang dua buah mobil ber-sirine milik kepolisian. Setelah mengetahui apa yang terjadi, para polisi itu pun berbagi tugas. Salah satu mobilnya mengikuti laju mobil Daniel dan Kama, sedangkan satunya lagi mengiringi perjalanan Aldebaran ke rumah sakit.

____________________________

"Pak Daniel, kontrol kecepatan Anda. Kita bisa dalam bahaya!" Peringat Kama sambil berpegangan erat pada sabuk pengaman dan pegangan tangan yang berada di kangit-langit mobil tersebut.

"Bajingan itu sudah ada di depan mata kita. Kita harus bisa menyeretnya." Kata Daniel dengan ambisi serta kemarahannya.

"Iya, tapi harus tetap hati-hati."

"Kau tenang saja."

Suara sirine polisi terdengar di telinga Kama membuatnya bisa sedikit bernapas lega. Begitu juga dengan Daniel yang menyadari kedatangan sebuah mobil dari kepolisian jauh di belakang mereka. Namun hal itu membuat target mereka kian jauh. Daniel kembali menaikkan kecepatannya, meninggalkan jauh mobil polisi di belakang sana.

"Kama, keluarkan pistolmu! Kita harus membuatnya merasa panik." Cetus Daniel.

"Anda jangan sembarangan. Kalau saya mengeluarkan peluru karet ini, dia akan membalas kita dengan peluru api."

"Maksudmu?" Daniel sedikit kaget.

"Dia bagian dari komplotan mafia senjata api ilegal." Jawab Kama membuat Daniel menghela napasnya dengan berat.

"Aku tidak akan takut dengannya." Ucap Daniel, lagi.

Daniel semakin menancapkan gasnya, menembus kabut-kabut malam dengan pecahayaan yang minim dari lampu mobil. Saat mobil jeep hitam itu sudah ada di depan matanya, Daniel tidak mau melewatkan kesempatan itu lagi. Ia menaikkan laju mobilnya lagi dan lagi. Kini posisi dua mobil itu saling berdampingan. Daniel nampak mencoba menghimpit mobil tersebut agar si pemiliknya merasa panik dan terdesak.

"Pak Daniel! Anda jangan gila!" Seru Kama melihat aksi nekat Daniel tersebut.

Daniel tidak menghiraukan peringatan dari Kama. Ia terus berusaha menghimpit mobil tersebut ke trotoar jalan agar si pengemudinya menyerah. Suara sirine polisi kian dekat membuat Daniel semakin berani.

//DORRR!!//

Suara tembakan pistol terdengar. Dengan wajah paniknya Kama melihat pada Daniel, begitu pula Daniel yang melihat kepada Kama. Keduanya dari mereka baik-baik saja. Lalu, apa yang menjadi sasaran tembakan pistol yang baru saja dilayangkan oleh anak buah Dimitri tersebut?

"Astaga! Dia meledakkan roda mobil." Ucap Daniel saat menyadari kemudi mobilnya yang oleng, tak terkontrol sama sekali.

"Oh Tuhan! Berhenti sekarang, Pak!" Seru Kama dengan panik.

Daniel mencoba mengerem mobilnya, namun sudah terlambat. Mobil tersebut melaju tanpa kendali dengan kondisi salah satu rodanya yang sudah meledak. Kama panik setengah mati. Meski begitu dengan sisa kemampuannya dalam kondisi paling genting itu, Daniel tetap mengintai mobil jeep tersebut. Daniel pikir kalau memang mereka harus celaka, maka orang jahat seperti itu juga harus ikut celaka.

"Kama, pegangan yang kuat!" Seru Daniel.

//CIITTT!!//

//BRUKKKK!!//

Daniel membanting setirnya, menghalangi laju mobil jeep tersebut yang melaju kencang. Sungguh naas. Mobil jeep tersebut terguling jatuh ke bawah jurang tol yang gelap, sedangkan mobil yang dikemudikan Daniel terbalik akibat menahan laju mobil jeep itu. Asap terlihat mengepul dari mobil yang membawa Daniel serta Kama.

Malam gelap dan dingin itu kian terasa membekukan seiiring dengan rintik-rintik kecil hujan yang mulai turun. Senyap. Hanya tersisa sebuah sirine polisi yang menyala dengan bunyinya yang seakan tenggelam bersama mencekamnya kondisi di malam itu.

_____________Bersambung_____________

Betapa menulis part ini membuat author ketar ketir :(

Gimana nasib Al, Kama, dan Daniel setelah ini?

Nggak mau banyak bacot, please kasih komentar kalian setelah membaca part ini. Karena ini salah satu part yang sulit buat author pribadi huhuuu..

Continue Reading

You'll Also Like

13.6K 253 6
It's just another evening at Jaekyung's penthouse, waiting for the MMA champion to return Dan decides to go for a walk but comes across a strange pla...
1.8M 113K 200
**Story is gonna be slow paced. Read only if you have patience. 🔥** Isha Sharma married a driver whom she had just met. She was taking a huge risk...
2.9M 186K 89
What will happen when an innocent girl gets trapped in the clutches of a devil mafia? This is the story of Rishabh and Anokhi. Anokhi's life is as...
1.6M 95.7K 39
"You all must have heard that a ray of light is definitely visible in the darkness which takes us towards light. But what if instead of light the dev...